3. Summer Is Coming
Genre : Fantasi
Sub-genre : Romance (?), action (?)
Songfict : Delete
Story by : RizqFaa
-----------------------------------------------------
"Hangatnya."
Dua orang anak menggenggam tangan satu sama lain.
"Ini sejuk, kau tahu."
Uap tipis menghalangi pandangan mereka.
"Hangat sekali, aku tak ingin melepaskanmu."
Salah satu dari mereka tersenyum, "Kalau begitu jangan pernah lepaskan. Bersamalah denganku sampai nanti."
Dua anak kecil yang memiliki warna mata berbeda satu sama lain memejamkan mata, berpelukan. Tak peduli uap di sekitar mereka semakin membesar.
"Apa yang kau lakukan pada anakku?!!"
Tubuh salah satu anak itu terhempas dengan keras. Seorang wanita menatapnya benci dan memeluk anaknya.
"Ta--tapi dia tidak--"
"Lihat apa yang dia lakukan padamu!" wanita itu menuding anak yang tersungkur sambil memeluk anaknya, "dia akan menjadikanmu abu! Pergilah! Aku tidak tau kau siapa, tapi jangan sekalipun dekati anakku lagi!"
"Ta--tapi Mama--"
"Sudah!" Wanita itu menyentakkan lengannya, "ayo kita pergi."
Ibu dan anak itu meninggalkan anak yang tertuduh, tersungkur, terlukai hatinya. Anak-anak itu hanya ingin bersama, tak ada niat selain itu sebelum ibu dari salah satunya datang dan melakukan penghakiman sendiri. Melakukan diskriminasi, menyalahkan dengan cara yang belum bisa diterima oleh anak sekecil mereka.
Sayangnya luka itu telah tertanam di hatinya begitu dalam.
***
"Musim panas telah datang." Aku berbisik pelan sambil menggenggamkan kedua tanganku. Membiarkan udara beku mengisi ruang tubuhku.
"Ibu, Ayah, doakan aku agar tetap dapat mempertahankan kesucian musim dingin ini,"
Salju mulai berjatuhan dalam Taman Suci. Butirannya membuai rambut keperakanku.
"Dan semua rakyat kalian titipkan kepadaku, izinkan aku melindungi mereka semua."
Butir salju jatuh dengan deras dari langit, seakan menjawab doa yang kupanjatkan. Aku mengangkat kedua tangan ke depan, menengadah, lalu memejamkan mata.
Cahaya putih menguar keluar dari bambu suci. Merambat pelan, membuat lenganku berpendar lemah. Kurasakan sensasi dingin yang kuat memasuki tubuhku, mengisi ruang-ruang dalam hatiku, ragaku. Begitu kuat, begitu dingin.
Terdengar langkah kaki mendekat.
Aku melirik ke arah samping. Memejamkan mata sejenak, lalu membukanya. Uap-uap dingin berhembus lebih kencang, memburamkan pandangan namun tak mengganggu.
"Aku tahu."
Aku menghela napas panjang. Kutatap rumpun pohon bambu yang terbekukan oleh salju di hadapanku. Bambu merupakan tanaman musim panas, namun bambu yang ada di depanku ini adalah tumbuhan tertua di Kerajaan Musim Dingin. Tumbuhan yang menjelaskan keadaan kondisi iklim kerajaan secara keseluruhan. Selama ribuan tahun rumpun bambu suci tetap bertahan dalam kebekuannya. Namun sekarang, salju yang menyelimutinya telah mencair satu jengkal.
"Ardere semakin merangsek memasuki wilayah kita, Ratuku. Jika keadaan ini dibiarkan seperti ini, rakyat kita takkan dapat bertahan hidup lebih lama lagi." Edurne, penasehat kerajaan Musim Dingin berkata cemas. Wajah keriputnya tampak lelah.
Dia benar. Kami, penduduk musim dingin tidak akan bisa bertahan mengadapi iklim bersuhu lebih tinggi dari ini. Kenaikan suhu sedikit saja akan berakibat fatal. Salju akan mencair, air menjadi hangat dan udara terasa lebih berat, hewan-hewan bermigrasi, tak ada makanan. Yang lebih membahayakan, kekuatan kami akan menghilang karena kami adalah pengendali salju dan semua yang berkaitan dengan itu.
"Bambu suci," aku mendongak, "saljunya telah meleleh. Anda benar, Ardere tidak boleh dibiarkan lagi."
Aku berbalik. Kurasa waktu pemulihanku telah cukup. Kekuatanku telah penuh kembali. Setelah kekacauan yang ditimbulkan Ardere seminggu lalu di perbatasan mengharuskanku turun tangan ke lokasi kejadian dan memporak-porandakan pasukan Musim Panas-nya, Ardere berulah kembali.
"Panggil para jenderal," kataku mantap, "kita akan menghancurkan mereka sekali lagi."
***
Camp pengepungan Kerajaan Musim Panas tampak seperti bebatuan besar yang berjajar kejauhan. Tak bisa dipungkiri kalau pasukan mereka bertambah kuat karena salju mulai meleleh dimana-mana. Bahkan wilayah yang kami gunakan untuk mendirikan tenda-tenda pertahanan telah tak terselimutkan salju sama sekali. Aku menatap sekeliling. Kondisi seperti ini amat berpengaruh terhadap mental para prajuritku.
"Yang Mulia Ratu Eira." Salah seorang Jenderal datang kehadapanku dan membungkukkan badannya.
Aku memalingkan pandanganku dari tenda-tenda musuh kepada Jenderalku.
"Kerajaan Musim Panas mengirimkan pesan."
Aku menaikkan alisku sedikit, "Apa itu?"
"Raja Ardere ingin bernegosiasi dengan Anda, Yang Mulia."
Oh, begitu ya, rupanya bocah ingusan itu ingin berdamai, "Siapkan tempatnya, panggil para petinggi."
"Namun, Yang Mulia."
"Ada apa?"
"Raja Ardere menginginkan pembicaraan empat mata."
Aku memaki dalam hati.
.
.
Jadilah aku sekarang duduk berhadapan dengan pemimpin kerajaan musuh yang umurnya sebaya denganku, kami sama-sama diharuskan menjadi pemimpin besar ketika remaja.
"Jadi, Eira." Seperti biasa, Raja Ardere menyunggingkan senyuman khasnya. Senyuman yang katanya begitu menyilaukan seperti matahari.
Aku berdehem, "Aku tidak akan membuang banyak waktu. Apa yang kau inginkan?"
"Aku menawarkan sebuah kesempatan padamu." Ardere menopangkan dagunya, mata semerah-api-nya menatapku lamat-lamat.
"Sebutkan."
Ardere tersenyum lebar. Dapat kulihat kilatan kelicikan di matanya. Udara dalam tendaku terasa berat. Kurasakan beberapa tetes keringat mulai diproduksi oleh tubuhku. Gerah.
"Jadilah ratuku dan kau tak perlu meletakkan mahkotamu."
Aku hampir tesedak.
"Rakyatku hanya memerlukan wilayah yang lebih luas, kau akan menyetujuinya dan peperangan takkan terjadi. Tambahan, dengan kemurahan hatiku, rakyatmu tetap diijinkan tinggal, namun sekali mereka melawan, takkan ada ampun."
Aku memasang ekspresi seperti sedang menelan batu.
"Kenapa? bukankah kau mendambakannya?" Ardere merentangkan kedua tangannya. Aliran udara hangat menyapu wajahku, "kau merindukan kehangatan musim panas, bukan?"
Tanpa memedulikan kalimat terakhir Ardere, aku menjawab, "Bagaimana jika tawaranmu ditolak?"
"Kau tahu aku tidak menerima segala jenis penolakan," Ardere mengusap rambutnya yang serupa emas cair tertimpa cahaya matahari. Penduduk mengatakan dia adalah jelmaan dari dewa Matahari itu sendiri. Kemampuannya mengerikan. Karena itu aku cukup memaklumi kesombongan berlebihan ini, "dengan kata lain, kau akan menyetujuinya."
"Aku menolak."
"Hmm?"
"Bagaimana mungkin aku mengizinkan orang-orang musim panas dengan bebas berkeliaran di wilayah musim dingin?"
"Pikirkanlah rakyatmu." dia mengangkat bahunya.
"Bualanmu terlalu bodoh. Mengizinkan kalian masuk berarti membunuh diri sendiri. Hanya memerlukan wilayah, katamu? Hah, panas sudah menggerogoti pikiranmu rupanya. Dari awal kau tahu aku tidak mungkin setuju dengan penawaran konyol ini," Aku mengangkat dagu, "sebenarnya apa keinginanmu?"
Ardere tersenyum, "Keinginan apa lagi yang kau maksud, ratu-yang-lupa-akan-musim-panas? Justru seharusnya aku yang bertanya kepadamu. Sebegitu inginnya kah kau menumpahkan darah pasukanmu? Aku justru berbaik hati menawarkan kematian yang lebih baik, lebih indah bagi kaummu dengan perubahan iklim secara perlahan."
Aku terhenyak. Dia tersenyum melihat perubahan ekspresiku.
"Kau pasti tahu kata-kata ini. Musim panas telah datang. Bukankah terdengar indah? terasa hangat dan aman?" Ardere bangkit dari kursinya dan mulai berjalan ke sisi tenda, mengamati simbol-simbol yang terpasang di dalam tenda Ratu ini.
"Musim panas hanyalah kebinasaan."
Dan kehangatan.
Hatiku masih saja menentang lisan dan pikiranku.
"Hatimu telah beku, Eira," katanya, "kau membutuhkan kami, membutuhkanku, musim panas."
"Cukup, Ardere." aku melihat sosoknya dari sudut mata, hatiku tidak beku, kau hanya tidak tahu, "Aku menolak semua tawaranmu. Negosiasi selesai. Akan kupanggil pengawal--"
"Seperti biasa, kau terlalu terburu-buru, Eira."
Aura hangat menguar dari tubuhnya. Aku menelan ludah. Sial, aku benci hangat dan segala hal itu termasuk musim panas, dan Ardere. Belasan tahun aku mencoba membencinya. Setiap tahun, setiap bulan, setiap hari. Kucoba menghapus kilasan memori itu. Memori tentang kehangatan yang diberikan seseorang kepadaku ... aku tidak bisa mengingat orang itu.
Ardere berjalan mendekat, aku bangkit dari kursiku dan berdiri. Ruangan ini terasa hangat sepenuhnya. Bahkan udara dingin yang aku buat tidak mampu mengalahkan kekuatan Sang Raja Musim Panas itu.
"Ah, kau memang pintar," dia menyeringai, "kalau begini tidak perlu kusuruh untuk berdiri, bukan?"
Aku mengernyit, "Apa maksud--"
Tanpa memberiku kesempatan menyelesaikan perkataaan, Ardere memelukku. Erat sekali.
"Apa yang kau lakukan?" aku memberontak. Sial.
Dia malah mengeratkan pelukannya. Keringatku bercucuran. Tubuhnya benar-benar sehangat matahari. Dan kehangatan ini ... rasanya pernah menghampiri tubuhku dulu, lama sekali.
"Kau pasti merindukan kehangatan seperti ini, bukan?"
"Jangan bercanda, aku membenci Musim Panas lebih dari apapun!" Aku mengehentakkan tubuhku dan berhasil lepas dari dekapannya. Aku mundur tiga langkah, mengambil nafas, serte menguarkan udara dingin untuk menetralkan kehangatan yang kurang ajar ini.
"Pergilah." kataku dingin. Mata sebiru-es murni-ku menatap tajam lelaki di hadapanku.
"Dingin sekali. Rupanya kehangatan tadi belum cukup untuk mencairkan hati Sang Ratu Beku." Ardere menyeringai. Kalau aku mengabaikan sopan santun dan kehormatan, sudah kutebas kepalanya sejak awal.
Aku tidak lagi membalas ucapannya. Percuma. Dia tipe orang yang senang mengejek orang lain, tipikal raja yang sombong. Meladeni perkataannya hanya mempersulit diri.
"Ah, baiklah aku akan pergi," Ardere tertawa, lalu menyunggingkan senyum miring, "sebelum pertempuran besok, pastikan kau mengingat luka di kedua telapak tanganmu itu, Ratu Eira." kemudian Ardere membuka tirai pintu masuk tenda dan kudengar tawanya yang begitu keras ketika dia di luar. Meninggalkanku yang diam terpaku menatap kedua telapak tangan. Telapak tangan dengan bekas luka terbakar akibat bergenggaman tangan dengan seseorang berkekuatan panas. Tidak ada yang mengetahuitentang ini kecuali orang tuaku dan orang itu. Belasan tahun silam, sudah lama sekali.
Tunggu.
Aku berjalan cepat keluar, Ardere dan rombongannya telah berderap pergi.
"Kau pasti merindukan kehangatan seperti ini, bukan?"
Anak itu ... Memori itu ....
Jangan bilang dia Ardere. Anak itu, anak yang kutemui di perbatasan. Anak yang memelukku erat. Anak yang diusir oleh ibu. Anak yang--
Setetes air mataku jatuh. Raja Musim Panas tadi hanya mencoba mengingatkanku tentang dirinya, mengapa aku begitu buta?
***
Pertempuran besar tak terhindarkan. Pasukan Musim Panas menggempur habis-habisan sementara kami berusaha sekuat tenaga untuk bertahan. Pertempuran di siang hari begitu merugikan pihak kami.
Aku terengah. Kekuatanku cukup terkuras. Entah berapa kali aku hujamkan hujan salju dan es ke arah pasukan berzirah secerah matahari itu. Sebagai balasannya, Ardere mengirimkan sentakan udara panas.
Aku menatap sekeliling. Zirah seputih salju dan seterang matahari teronggok dengan raga tanpa nyawa di dalamnya. Warna merah dari darah tertumpah di setiap jengkal tanah. Kenyataan pahit yang aku dapatkan : Pasukan Musim Panas terus maju selangkah demi selangkah, membuat salju yang memberi kekuatan bagiku dan pasukanku perlahan memudar.
Aku menggigit bibir. Pasukan berzirah putih terus saja berjatuhan.
Kalau begini, rakyatku akan....
"Eira!"
Berdiri di sana, dengan seringai keangkuhan seorang raja. Ardere.
"Kau...." aku mendesis. Memori masa lalu yang aku tangisi kemarin tak berarti apapun lagi. Benar, aku pernah bertemu Ardere waktu itu. Aku tidak pernah tahu bahwa akhirnya dia akan menjadi seorang raja. Yang aku ketahui saat itu hanyalah ; aku bertemu seseorang yang memberiku kehangatan untuk pertama dan akan menjadi terakhir kalinya dalam hidupku. Walaupun tak bisa dipungkiri bahwa hatiku selalu merindukan musim panas.
Kuputuskan mulai saat ini dan seterusnya, aku, Eira, Ratu Kerajaan Musim Dingin, akan mempertahankan wilayah ini dari siapa pun dan dari apa pun.
"Kau tidak akan bisa..."
Aku mengepalkan tangan, tubuhku begetar. Angin dingin berhembus dahsyat di sekitarku. Es-es meruncing dari tanah. Salju berjatuhan hebat. Akan ku selesaikan saat ini juga. Lihatlah senjata pamungkasku!
"Melawan kami!!!" Aku menerjang kedepan, tanganku terjulur, sebuah pedang es terbentuk dari sana dengan sendirinya. Fokusku hanya Ardere.
"Lihat saja." Ardere kembali menyeringai. Di sekelilingnya muncul gumpalan-gumpalan api yang siap di tembakkan kapan saja. Dia mengangkat sebelah tangannya dan sebuah gumpalan api menghancurkan barian pasukanku di dekat sana. Seperti itulah dia menyerang.
Ketika udara panas dan dingin bertemu, cahaya memenuhi penglihatanku.
Menyilaukan.
.
.
"Kau?!" Aku sangat terkejut ketika kudapati Ardere berdiri tepat di hadapanku. Armor emas masih melekat di tubuhnya, begitu pula Armor putih milikku.
"Apa yang kau lakukan?"
"Aku?" dia menjawab konyol. Namun ekspresinya juga menunjukkan keterkejutan. "Mungkin ini alam bawah sadar, atau bisa jadi alam baka."
Aku melihat ke sekeliling. Putih, tidak ada apa pun. Aku juga tidak tahu apa yang membuatku terseret ke tempat aneh ini hanya berdua dengannya.
"Sepertinya kita diberi kesempatan terkahir untuk berbicara." katanya.
Aku tidak mengangguk, tidak pula menggeleng. Pikiranku dipenuhi kondisi peperangan di luar sana. Apakah waktu terhenti ketika aku berada di sini? Kalau tidak, aku harus kembali ke medan perang, bukannya berada di sini dan berbicara dengan Sang Raja.
Lalu aku teringat kejadian kemarin.
"Ardere," panggilku, "mengapa kau mengingatkanku tentang luka di tanganku? Apa maumu? Kalau kau pikir itu bisa membuatku berubah pikiran, kau salah."
Tiba-tiba Ardere tertawa keras-keras, "Cara sehalus itu sama sekali bukan tipeku! Ayolah, aku tahu sejak aal kau akan menolakku, ungkapan itu hanya bertujuan agar kau menyesal di detik-detik kematianmu, Eira. Kalaupun memori saat itu membuatmu berubah pikiran sekarang, tak apa. Dengan kemurahan hatiku, masih bisa kuterima." dia merentangkan tangannya, seolah-olah menyambut seseorang untuk datang ke pelukannya.
"Tentu saja tidak," bahkan aku sendiri dapat mendengar keraguan dalam perkataanku, "tidak mungkin memori kecil seperti itu membuatku goyah."
"Oh ya, Eira, bila kau sampai ke alam baka dan bertemu ibumu, sampaikan terima kasihku kepadanya," Ardere menyeringai, Sekarang setiap ekspresinya terlihat menakutkan di mataku, "berkatnya, aku berhasil memiliki kebencian yang lebih dari cukup untuk menghancurkan kalian, bangsa Musim Dingin yang sombong. Dan tibalah saatnya sekarang, Musim Panas akan datang."
Aku mencoba mengeluarkan kekuatanku, namun tak terjadi apapun. Sepertinya Ardere benar, ini adalah alam bawah sadar kami yang muncul ketika kedua kekuatan besar bertemu.
"Aku tawarkan kepadamu sekali lagi mengingat dulu kau pernah berteman baik denganku," katanya, "jadilah Ratuku, dan kita akan menyaksikan kehancuran Negeri Musim Dingin bersama."
Aku tidak mungkin mengkhianati bangsaku. Walaupun setelah kutatap mata Ardere, kekalahan itu terasa sangat dekat, aku akan berjuang sampai detik terakhir.
"Tidak akan."
.
.
Sesuatu yang hangat terasa menyentuh dadaku. Menembus hingga rusukku ikut merasakan kehangatan itu. Aku memuntahkan darah, pandanganku memburam.
Pedang Ardere menembus jantungku.
Sekuat tenaga aku mengumpulkan kekuatan yang tersisa untuk melawan. Percuma, tenagaku benar-benar habis.
Aku berbisik pilu.
Inilah akhirnya.
Ardere menyentakkan pedangnya agar terlepas dari tubuhku. Aku tersungkur ke depan, memuntahkan darah lebih banyak lagi.
"Terima kasih, Ratu Eira," katanya riang, "atas kemurahan hatimu membiarkanku memenangkan peperangan ini."
Selanjutnya apa yang dia lakukan sungguh di luar dugaanku.
"Kau merindukan musim panas, bukan?" Ardere merengkuhku, persis seperti belasan tahun silam, "kuberikan padamu untuk terakhir kalinya. Rasanya tidak manusiawi jika kau kubiarkan mati begitu saja."
Aku memejamkan mata, tidak ada lagi tenaga bahkan hanya untuk sekedar membalas perkataannya. Sedetik sebelum nyawaku benar-benar meninggalkan raga, aku mengucapkan maaf kepada seluruh bangsa musim dingin. Karena....
Musim Panas telah datang.
Dan itu semua salahku.
-TAMAT-
Betewe aku bikin ini masih terngiang-ngiang kematian Bang Gilgamesh :""(
Jangan bayangin Ardere itu Gilgamesh ya, soalnya ini bukan fanfic :")
Udah gitu aja, aku tau ini agak menyimpang dari tema, tapi sungguh, aku kehabisan ide :")
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro