Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Pretty Lily

Username : ryry_otaku

Genre : musim semi (romance)

Subgenre : Drama.

--------------------------------------------------

Pretty Lily

Cahaya matahari menembus celah-celah rambutku. Cahaya itu menembus irisku, membuatku berkedip lebih cepat. Jalanan yang kuinjak agak buram karenanya tetapi itu bukan masalah asalkan aku dapat sampai pada bukit di ujung sana. Bukit pendek dengan satu pohon sakura di puncaknya.

Begitu aku sampai, rerumputan hijau mengerubungi sepatuku. Sepatu bermerek Nike yang kukenakan akhirnya basah. Itu karena rerumputan tadi masih berembun ketika menyentuh sepatuku.

Tadi aku bilang di puncak bukit ada pohon sakura. Ya, memang ada di sana. Tepatnya di puncak paling pojok dekat tebing. Pohon sakura itu sedikit tinggi dengan batang condong ke arah tebing. Ranting-ranting yang melekat juga mengikuti arah batang. Ringkasnya pohon sakura itu bungkuk. Walaupun bungkuk, bukan berarti tidak sedap dipandang. Justru posisi itu lah yang menyebabkan bunga sakura berjatuhan di bawah tebing, membentuk lautan sakura. Sangat indah jika dilihat dari atas tebing. Bentuk dari pohon sakura itu juga agak mirip dengan tangan yang menaburkan kegembiraan bewarna merah muda. Tepatnya adalah cinta. Menurut orang-orang sekitar, jika ada yang mengikuti kelopak sakura jatuh disana maka akan bertemu jodoh masing-masing. Aku tidak percaya dengan hal seperti itu. Namun saat aku SMA dulu, kelopak sakura itu menempertemukanku dengan jodohku. Dan ingat, itu hanyalah kebetulan, bukan soal kata orang sekitar.

Bicara soal jodohku, kupikir dia istimewa. Dia adalah perempuan cantik berambut panjang sepinggang. Bibir dan rona pipinya berwarna pink senada dengan warna bunga sakura. Mungkinkah dia anak dari pohon sakura di tepi tebing? Kurasa tidak.

Nama jodohku. Emm maksudku gadis itu (jujur, sebutan "gadis itu" lebih cocok daripada "jodohku") adalah Fumiko Yuri. Yuri berarti lily, tetapi dia lebih cocok jika diberi nama Sakura. Selain bibir dan rona pipinya yang merah muda, wanginya seperti bunga sakura. Eh.... iya, kulitnya sih juga berwarna putih seperti warna lilly . Jangan-jangan ibunya bunga sakura dan ayahnya bunga lilly . Kawin silang, begitu? Lucu juga.
Seketika aku jadi teringat masa lalu.

Mungkin sedikit melamun tentang masa lalu tidak apa-apa. Hanya ringkasnya saja.

28 Maret 2010

Akhirnya aku menjadi murid kelas tiga. Setelah lama aku ditindas oleh senpaiku habis-habisan, kini aku bisa bersantai. Bai bai senpaiku tersayang. Semoga kalian mendapat universitas yang bagus. Semoga.

"Koga Fujiwara" ujar Mirei-sensei yang menjadi wali kelasku.

Aku mengangkat tangan disusul anggukan dari sensei.

"Fumiko Yuri?"

Hening. Tidak ada jawaban dari gadis yang bernama Fumiko Yuri.

"Sensei, Fumiko-san berada di UkS. Tadi dia berpesan kepadaku kalau dia merasa pusing dan ingin istirahat." ujar gadis di bangku depan, Minami-san.

"Tadi aku juga melihatnya mimisan saat berjalan ke UKS." timpal si Ketua Kelas, Mamura.
Mirei-sensei berusaha tenang walaupun wajahnya sudah dibanjiri keringat. Kurasa dia sangat khawatir dengan Fumiko-san hingga seperti itu.

"Baiklah aku akan melanjutkan dengan cepat." Mirei-sensei mengelap keringatnya.
Setelah nama murid di kelasku disebut semu, Mitei sensei bergegas keluar.

Saat di ujung pintu, aku mendengar dia berkata, "Aku harus memberi pengawasan ekstra padanya."
Kelas menjadi riuh seketika. Mereka saling berbicara mengenai topik hangat kali ini "Fumiko Yuri Si Gadis Ringkih". Sebenarnya aku tidak suka dengan judul seperti itu. Walaupun kata "Si Gadis Ringkih" sangat tepat menggambarkan keadaannya. Tetapi tetap saja itu menghina.
Fumiko Yuri memang gadis yang gampang sakit-sakitan. Pertama kali aku menjadi siswa disini, dia tidak hadir dalam penyambutan siswa baru. Ketidak hadirannya itu sangat lama, bisa dibilang satu bulan. Setelah itu, dia masih sering tidak masuk sekolah. Bahkan aku saja tidak bisa mengenalnya.

Teman-temanku berasumsi bahwa Fumiko-san menderita penyakit parah.Setelah mereka bertanya langsung pada Fumiko-san, ternyata asumsi mereka benar. Awalnya mereka merasa iba, namun kelamaan rasa iba itu sirna. Semua itu gara-gara ada gosip yang mengatakan jika Fumiko-san itu berbohong soal penyakitnya. Sebab, waktu itu ada teman kelasku yang melihat Fumiko-san bermain PS Vita di ruang UKS. Juga teman kelasku yang lain melihatnya makan malam di restoran cepat saji dengan pakaian yang minim. Setelah itu, mereka mulai mengucilkan dan sering menyindir Fumiko-san.

Menurutku, semua gosip itu tidak benar karena aku sendiri belum pernah melihatnya perbohong seperti itu. Selain itu, Fumiko-san juga tida mengambil emosi saat dirinya disindir dengan kata-kata yang menohok hatinya. Wajah mungilnya itu seolah berkata,"aku kan bukan pembohong, jadi ngapain aku marah?"

Tetapi ini sudah terlanjur. Jika sudah seperti ini, sulit rasanya jika mengungkapkan kebenarannya. Ujung-ujungnya pasti tidak akan ada yang percaya dan akan berakhir tidak menyenangkan.

29  Maret 2010

Aku mengoleskan pomade di kepalaku. Tanganku membenarkan kerah sembari menatap cermin di depan. Aku seksi dan aku tau itu.
Hari ini hari yang paling aku tunggu. Aku erus merasakan kegembiraan yang menggelitik tubuhku. Setelah mendekap dalam penantian panjang, akhirnya aku bisa menemui ratu penjagaku. Ratu cantik yang menyayangiku dalam jauh. Dialah ibuku.

Ayah dan Ibuku sudah bercerai 2 tahun yang lalu. Masalahnya sepele, hanya karena ibu berbincang dengan lelaki misterius lewat telepon. Ayah yang sikapnya tempramental dan keras kepala langsung memarahi ibu. Ibu berusaha menjelaskan kalau yang menelponnya itu kakak angkatnya yang sudah lama tidak bertemu dengan ibu (yang dikatakan ibu memang benar). Walaupun ibu sudah meminta maaf, tetap saja ayah melayangkan gugatan cerai. Seminggu setelah itu, ketok palu persidangan akhirnya memutuskan duan insan yang dulunya terikat dengan janji suci. Sekarang ayah dan ibu ibaratkan orang yang tidak saling mengenal.

Waktu itu, aku sempat protes, namun ayah langsung menamparku. Dia berteriak, "jauhilah jalang itu, mengerti!"

Aku tidak terima ayah memberikan sebutan rendahan itu pada ibuku. Namun karena sudah terjadi, aku tidak bisa berbuat banyak.

Ternyata ibu mengetahui apa yang diteriakan ayah padaku. Setelah waktu yang panjang, dia memiliki rencana. Intinya, aku masih bisa bertemu ibu, namun hanya sekali 6 bulan. Tempatnya di puncak tebing dekat rumah. Di bawah pohon sakura yang bungkuk. Waktunya jam 1 pagi saat ayah masih tidur. Terdengar horor, namun berkat itu, aku bisa melepas rindu dengan ibu. Biasanya aku melaporkan perkembanganku dan berkata pada ibu bahwa aku sangat merindukannya dan ingin kembali seperti dulu. Ibu biasanya tersenyum menanggapi perkataanku, kemudian dia berkata, "namanya juga takdir. Lebih baik sekarang syukuri dan jalani kehidupan yang ada. Mengharap yang sudah lewat itu sia-sia"

Begitu sampai di sana, aku terheran-heran. Biasanta aku akan langsung melihat punggung ibuku yang mungil. Namun sekarang, aku melihat ounggung seseorang yang jelas bukan ibuku. Dia besar dan memakai jas yang entah berapa lapis yang ia kenakan.

Aku mendekatinya perlahan. Tanganku sudah berada di posisi siap, untuk jaga-jaga jika terjadi apa-apa. Orang itu memutar tubuhnya. Aku bisa melihat kontur wajahnya yang sekilas mirip ibu. Jangan-jangan...

"Maaf aku bukan ibumu." ujarnya parau.

Aku mengerti. Orang itu adalah kakak angkat ibu, Taiga-san. Taiga-san menatapku seolah ingin mendekapku dalam rindu. Jika dilihat dari gerak-gerik dan ekspresinya, aku tahu apa yang dia maksud.

Taiga-san mendekatiku. Di ujung tangannya sudah berada sepucuk surat. Tangannya yang satu lagi menarik tanganku untuk mengambil surat yang dia pegang. Matanya bertemu mataku kemudian dia berkata, "ibumu ingin kau menerimanya."

Aku mengambil surat itu dibarengi dengan langkah Taiga-san yang mendahuluiku.
"Semua yang ingin kau tanyakan ada di surat itu...." bisiknya padaku. "Aku benar-benar minta maaf, terutama pada ayahmu." lanjutnya yang kemudian pergi dariku.

Pipiku terasa panas.  Kesedihan menjalar ke seluruh tubuhku. Aku ingin menangis kencang tapi lelaki sejati tak pantas melakukannya. Biarkan bunga-bunga sakura yang berjatuhan  sebagai pengganti air mataku.

Aku berharap hal yang baik segera menghampiriku dan ibu tenang di sana.

"Eh!"

Aku terkejut. Surat yang kupegang lepas karena cengkramanku yang lemah. Surat itu menari-nari di antara bunga-bunga sakura yang mengelilinginya hingga aku tidak bisa melihatnya lagi. Sempat rasa kecewa mendatangiku, namun aku tidak menyerah. Aku mendongak lalu mengikuti arah kemana bunga-bunga sakura itu terbang. Mungkin jika aku mengikutinya, aku dapat menemukan surat berharga itu.

Kumpulan berwarna pink itu  terbang semakin menjauh. Mereka naik turun dan akhirnya membawaku ke dasar tebing. Di sana aku melihat banyak bunga sakura berkumpul. Diantara mereka, ada seorang gadis mengenakan piyama merah muda. Maniknya menatapku sembari bertanya, "surat ini punyamu, kan?"

Aku memekik ketika mengenali wajahnya.

"Fumiko-san!"

1 April 2010

Setelah kejadian itu, Fumiko-san sering mendekatiku. Maksudku mendekati sebagai teman. Dia bahkan menganggapku sebagai sahabatnya. Dia sering berbicara padaku baik di sekolah ataupun di rumah lewat handphone (dia minta nomorku dari Mirei-sensei).

Semakin lama, kedekatanku dengan Fumiko-san membuat teman-teman sekelas memandangku. Entah apa yang mereka pikirkan tentangku, mungkin semacam, "hei, kau ingin menjadi pahlawan baginya ya."

Aku tidak khawatir soal itu, yang kukhawartikan justru Fumiko-san. Namun sepertinya dia juga merasa biasa-biasa saja.
Kami semakin terbuka dan akhirnya kami mulai berbicara soal masalah pribadi.

"Kau tidak bisa begitu!" pekiknya ketika aku bercerita tentangku, surat dari ibu, dan ayahku.

"Terus?"

"Masa kau ingin mendiamkannya begitu saja. Kau tidak kepikiran kalau ibumu menangis di sana. Mungkin ini yang paling diinginkan ibumu."

"Maksudmu?" Dia mendengus kearahku. Matanya mengerling kemudian menatapku lekat-lekat.

"Begini, ibumu kan menulis surat ini untuk memberitahukan semuanya padamu, terutama ayahmu. Dan ini adalah satu-satunya cara yang bisa dilakukan ibumu. Sekarang, yang harus kau lakukan gampang saja. Pertama-tama,  serahkan surat ini dn jelaskan semuanya pada ayahmu. Lalu, berilah pengertian kalau ayahmu sebenarnya sangat merindukan ibumu. Ah, kau tidak paham ya? Uuh... pokoknya begitu."

Aku hanya melongo mendengar penjelasannya panjang lebar. Semua penjelasannya keluar dari telingaku. Malahan, ini membuatku semakin tidak paham.

"Baiklah.."

Fumiko-san menarik lenganku. Ia meminta paksa alamat rumahku. Awalnya aku menolak, namun dia semakin beringas. Akhirnya aku memberinya agar dia tenang lagi.

"Ayo cepat lakukan!" pekiknya di depan rumahku.

Aku menggeleng keras karena ini terlalu mendadak. Lagian ini juga bukan keinginanku.

"Kalau begitu, biarkan aku masuk ke dalam rumahmu!" Fumiko-san  menerobos pagar rumahku.

Debat antara aku dan Fumiko-an sempat terjadi. Setelah berlama-kama beradu argumen, Fumiko-san lah yang menang. Ia membawaku masuk ke rumahku paksa. Padahal ini rumahku sendiri.

Saat masuk, aku yakin ayah ada di ruang kerjanya. Aku tidak akan memberitahu keberadaan ayahku jika tidak ingin hal buruk terjadi lagi. Namun sepertinya aku terlambat. Fumiko-san langsung ngacir ke bagian atas rumahku.

Hening. Padahal aku sempat nemikirkan kegaduhan. Apalagi sikap ayahku yang tempramental. Beberapa menit kemudian, Fumiko-san keluar dengan mata yang sembab.

"Lihat apa yang akan terjadi nanti," pesannya padaku sebelum meninggalkan rumah.
Aku meraba sakuku. Hilang. Surat dari ibuku hilang.

Saat makan malam tiba, aku melihat wajah ayahku yang berubah. Wajahnya lebih teduh dan menunjukkan sikap yang lembut. Dia membuatkanku kare persis yang dibuat ibu dulu. Kemudian dia mengajakku makan malam bersama. Tidak seperti biasannya.

"Soal ibumu" ujar ayahku memulai pembicaraan. Sikap ayahku yang lainnya, berbicara langsung ke intinya.

"Ayah sudah tau? Dari surat itu, ya?" jawabku yang juga langsung ke intinya.
Ayahku meletakan sumpitnya. Bulir-bulir air mata jatuh di atas meja makan. Aku bisa melihat wajah ayahku yang dulunya keras kini juga bisa melembut.

"Maafkan ayahmu ini. Ayah memang terlalu tempramental, egois, dan keras kepala. Ayah tahu waktu itu ayah salah karena langsung menceraikan ibumu. Sebenarnya ayah tudak mau, sungguh. Tetapi ayah malu dengan ibumu, malu dengan perbuatan ayah padanya. Ayah sungguh minta maaf. Maafkan ayah..." Ayahku menangis sejadi-jadinya.

Aku yang juga dalam atmosfer yang serupa juga langsung menangis haru. Rasa bersalah juga menyelimuti tubuhku seketika. Salah karena tidak memberitahukannya langsung pada ayah.

Malam itu, hubungan aku dan ayahku menjadi baik. Kami sekarang seperti anak dan ayah yang saling menyayangi seperti dulu lagi.

3 April 2010

Waktu menunjukkan pukul 6 pagi. Aku menelusuri lorong, mencari Fumiko-san. Sebenarnya aku tidak ada masalah serius hingga harus mencarinya pagi-pagi. Hanya saja aku ingin berterimakasih padanya dan memastikan dia masuk atau tidak.

Perkataannya pada ayahku kemarin itu ajaib. Ayah memberitahuku apa yang Fumiko-san katakan padanya. Kini, aku harus membalas perbuatannya, maksudku balas budi.

Pukul 7 pagi, semua siswa sudah berada di kelas. Sedetik berikutnya, Mirei-sensei datang dengan papan absen di tangannya. Ia memasang senyum begitu tahu jika murid-muridnya hadir semua.

"Ano.. Sensei.." Fumiko-san berdiri. "Bisakah aku ijin ke UKS lagi?" lanjutnya sedikit malu-malu.

Mirei-sensei ingin menjawab tapi didahului oleh Tanaka-san yang langsung melancarkan serangan.

"Ijin lagi ya? Bukannya belajar malah sakit-sakitan. Mending ke rumah sakit saja."

"Paling sekolah cuma buat pelampiasan doang" timpal yang lain.

"Ahh kebiasaan jelek"
Kelas semakin gaduh. Mirei-sensei berusaha menenangkan murid-muridnya. Namun sepertinya teman-temanku tidak menggubris wanita berusia 19 tahun tersebut. Kebiasaan jelek di sekolah kami yaitu merendahkan guru yang masih muda. Keterlaluan.

"Sumimasen... Mina!" Aku berteriak dan menghadap seisi kelas.

"Pertama-tama, aku ingin minta perhatian kalian semua. Begini, bukannya aku berpihak pada Fumiko-san, tapi cobalah kalian berpikir. Apa kalian tidak merasa kasihan terhadapnya. Maksudku, Fumiko-san orangnya memang sakit-sakitan. Itu serius, aku tidak bohong. Soal gosip, ya itu namanya gosip. Kalian hanya memandangnya satu sisi kan? Asal kalian tahu, Fumiko-san orangnya jujur. Soal bermain PS Vita di ruang UKS memang benar. Fumiko-san hanya merasa kesepian karena harus berada di ruangan itu berjam-jam, jadi dia bermain untuk menghilangkan stress. Dia mengaku salah dan sudah meminta maaf kepada guru dan penjaga UKS. Beres kan?

Terus waktu dia makan di restoran cepat saji dan memakai pakaian mini. Sebenarnya dia menemani adiknya yang berulang tahun. Adiknya itu sangat mengharapkan kehadirannya. Dan soal pakaian, dia memakai stocking  dan manset berwarna kulit. Ehmmm... Menurutku itu sudah cukup menjelaskan bukan? Nah kalian semua daripada mengurus orang lain, uruslah diri kalian sendiri. Kalian ya kalian, dia ya dia. Jangan samakan orang karena setiap orang itu berbeda. Masalahmu belum tentu seperti masalahnya. Apakah dengan menghina dapat memuaskan diri? Coba pikikan lagi.
Satu lagi, hargai guru kalian walaupun masih muda. Kalian tidak tahu perjuangannya seperti apa. Begitu? Sekian... Arigatogozaimasu"

Aku menelan ludah sembari duduk di kursiku. Kulihat ekspresi teman-temanku tidak percaya apa yang kukatakan. Seolah aku ini sedang menjadi motivator mendadak.

"Fujiwara-kun?" Ucap Fumiko-san lirih.

Wajah Fumiko-san memerah semu antara malu dan menahan tangis. Bibirnya mengatup rapat seperti kelopak sakura yang ditekuk. Semoga dengan ini aku bisa membalas budi padanya.

4 April 2010

Setelah kejadian kemarin, teman-temanku jadi lebih bijak dalam bersikap. Mereka sadar dan mulai mendukung kesembuhan Fumiko-san.

Aku ikut senang melihat keadaan yang membaik seperti ini. Rasanya aku ingin memeluk tubuh Fumiko-san saking senangnya. Aku berharap Fumiko-san juga merasakan hal yang sama.

Sorenya, aku mengajak Fumiko-san ke tebing dekat rumah. Kemana lagi kalau bukan ke tempat pohon sakura itu.

"Fumiko-san, apa kau bahagia?" tanyaku pada Fumiko-san yang semringah.

"Tentu saja, oh ya panggil aku Yuri saja atau Yuchan biar lebih kawaii." Yuri tersenyum dan aku baru tahu jika dia memiliki sisi kawaii.

"Ngomong-ngomong doakan aku, ya?"

"Iya aku doakan, kenapa?"

"Besok sore aku ada operasi. Aku berharap operasi itu akan lancar mengingat kondisiku yang semakin parah, operasi itu hanya berhasil sekitar 20 persen saja."

Aku mendengar ucapan Yuri tadi sembari menatapnya. Suaranya tidak bergetar dan tidak mencerminkan ketakutan sama sekali. Tatapannya yakin seakan semuanya akan baik-baik saja mengingat hanya 20 persen kemungkinan berhasilnya.

"Jika hanya 20 persen yang selamat, maka 80 persen kegagalannya?" tanyaku nekat pada Yuri.

Air muka Yuri berubah ketika mendengar pertanyaanku. Tepatnya berubah lebih semangat.

"80 persen kegagalannya akan kubuang jauh-jauh,.." Yuri meremat beberapa kelopak sakura di tangannya kemudian melemparnya jauh-jauh. "Seperti tadi," lanjutnya memandang jauh.

Rasanya aku ingin menangis. Perkataan Fumiko-san yang seolah baik-baik saja mengisyaratkan padaku soal kesedihan dan ketakutannya. Mungkin dia nampak ceria di luar tapi aku tidak tahu di dalamnya.

"Aku ingin menangis" ungkapku lewat satu kata yang mungkin menggambarkan berjuta kesedihannku padanya.

"Laki-laki jangan menangis dong."

"Bukan begitu. Aku hanya tidak ingin seperti dulu. Walaupun kita dekat hanya sesaat, aku ingin kita bahagia.  Aku mungkin akan kehilanganmu, namun aku ingin kau bahagia saat meninggalkanku. Maksudnya bahagia akan kebersamaan kita." aku menggigit bibir bagian bawahku.

"Aku tahu kamu masih berduka soal ibumu. Begini saja, jika aku mati maka aku akan bertemu bersama ibumu dan menunggumu di surga nanti..." Yuri menarik napasnya dalam.

"Namun jika aku hidup. Aku akan menikahimu."
Yuri menatap manikku penuh harap. Aku menatapnya balas dan berusaha menyembunyikan kesedihanku.

"Aku punya satu permintaan untumu. Maukah kau menunggu di sini hingga seluruh bunga sakura habis ? Jangan tinggalkan aku ya sebelum bunganya habis. Walaupun ada satu yang belum jatuh, maukah kau masih menunggu di sini? Kumohon."

Kelopak sakura berjatuhan seiringan dengan bulir air matanya yang membasahi pipinya. Seulas senyum berusaha ia keluarkan tetapi tidak bisa.

Akhirnya aku harus mendekapnya dan menjadi sandaran baginya. Angin yang berhembus membelai kami seolah sedang menenangkan kami.

Sebuah kelopak sakura mengenai wajahku dan akhirnya menghamburkan lamunan masa laluku. Aku tersenyum mengingat kenangan yang kubuat bersamanya dulu. Hal yang paling kuingat ketika aku harus menunggunya di tempat ini. Aku selalu menatap bunga sakura yang menggantung di dahannya. Aku menunggu sangat lama hingga musim semi berakhir. Hasilnya, aku mendapati sebuah bunga sakura yang masih menggantung di dahannya. Dia tetap kokoh dan cantik seperti Yuri.

"Ayah!" sebuah suara anak kecil memekik di belakangku.
Aku membalik badanku dan mendapati seorang anak kecil memelukku erat. Seorang wanita muncul di belakangnya sembari tersenyum.

Dua orang ini adalah keluargaku. Anak kecil ini tentunya putriku yang bernama Fujiwara Sakura dan wanita di belakangnya atau istriku ini bernama Fumiko Yuri. Iya, Fumiko Yuri yang dulu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro