17. Maple Leaf
Author: Alice_white210
Genre : Historical, [Musim gugur.]
Sub Genre : drama, dan tragedy.
---------------------------------------------------------
Pelabuhan Southampton, Inggris, 10 April 1912.
Pelabuhan Southampton begitu ramai siang itu. Orang-orang dengan berbagai urusan berkumpul, baik orang-orang yang memang punya urusan melaut, atau orang yang sekedar mengantar mereka. Ada juga orang yang datang hanya untuk melihat mahakarya besar itu memulai perjalanan pertamanya.
Titanic, nama kapal yang akan membawaku dan ratusan penumpang lainnya melintasi lautan menuju pelabuhan New York. Kapal yang begitu dibanggakan masyarakat karena ukurannya yang lebih besar dari pendahulunya, kapal yang disebut-sebut tak akan tenggelam dan mampu mengagkut tiga ribu lebih penumpang ini, akan memulai pelayaran pertamanya siang ini.
"Pastikan barang-barangmu tak ada yang tertinggal." Entah sudah berapa kali ibu berkata begitu padaku sejak kami tiba di pelabuhan.
"Paman Fergus akan menjemputmu di pelabuhan New York, jangan lupa kirimi kami surat jika kau sudah sampai," kata ayah sambil menatap suasana pelabuhan yang semakin ramai.
Aku hanya mengangguk, bagaimanapun, aku tak bisa merasa tak sedih mengingat setelah ini aku akan jarang bertemu mereka berdua.
Terdengar pemberitahuan kapal Titanic akan berangkat sebentar lagi, orang-orang mulai memadati kapal super mewah tersebut.
Ayah menoleh padaku, "Nah, waktunya berangkat."
"Belajarlah yang baik, Kieron, kami akan sering mengirimimu surat," kata ibu, kali ini sambil mengecup keningku.
"Ayolah bu, jangan begitu, umurku sudah tujuh belas tahun kan," kataku sambil mengelak dari kecupan ibu.
Ibu hanya tersenyum melihatku, "Sudahlah, sekarang cepat naik ke kapal."
"Tak bisa dipercaya, anak lelaki ayah sekarang sudah tumbuh besar dan berani pergi sendirian demi impiannya," Ayah mengacak rambutku ketika mengantarku menuju ujung tangga menuju geladak kapal.
"Kalau begitu, sampai jumpa dan hati-hati di jalan ya, Kieron."
Aku mengangkat koperku dan menaiki tangga menuju geladak kapal mewah ini. Di atas sini, aku bisa melihat ayah dan ibu melambai padaku dan mengucapkan selamat jalan, aku membalas lambaian tangan mereka.
Suara cerobong asap terdengar memecah pelabuhan yang ramai ini. Puluhan bahkan ratusan lambaian tangan mengiringi pelayaran pertama kapal megah ini, Titanic mulai meninggalkan dermaga dan aku tak bisa lagi melihat sosok ayah dan ibu diantara orang-orang yang melepas kepergian kapal ini dengan sukacita.
Dan, di sinilah aku sekarang, di atas dermaga kapal yang menjadi kebanggaan bangsa Inggris, kapal yang disebut-sebut paling besar dan megah saat ini.
Aku melihat sekitar, banyak pria dan wanita berpakaian mewah di sana-sini. Kebanyakan penumpang kapal ini memang orang-orang kaya. Dan mereka tak henti-hentinya membahas tentang kehebatan dan kemewahan yang dimiliki kapal ini.
Yah, aku sendiri tak percaya bisa berdiri di atas geladak kapal semewah ini. Jika Paman Fergus tidak mengirimi kami uang, sekarang mungkin aku tidak di sini, karena penghasilan ayah sebagai nelayan pasti tidak cukup untuk membiayai perjalananku.
Ya, tujuanku pergi ke New York dengan kapal ini, adalah untuk melanjutkan sekolahku di sana. Kebetulan, pamanku Fergus punya koneksi dengan sebuah universitas kedokteran di New York dan dia menawariku untuk masuk ke sana. Tentu saja aku menerimanya.
Paman juga beranggapan, dengan kemampuanku aku akan bisa memasuki universitas itu dengan mudah. Karena itu. dia bersedia membiayai seluruh biaya kuliahku, bahkan membelikanku tiket untuk naik ke kapal super mewah ini.
Setelah meletakkan barang-barangku di kamar, aku kembali naik ke geladak. Angin berhembus cukup kencang siang ini, mataku mungkin sudah kemasukan debu jika aku tak memakai kacamata.
Aku mendengar suara musik yang lembut dari arah haluan, seperti suara alunan biola. Kupikir, mungkin mereka mengadakan pertunjukan musik untuk penumpang. Karena penasaran, aku berjalan menuju haluan, dan melihat dari mana alunan musik ini berasal.
Seorang gadis berambut pirang yang tampaknya seumuran denganku, tengah memainkan biolanya di haluan kapal. Dari sanalah suara musik indah ini berasal. Gadis itu tampak memainkan biolanya dengan serius sambil memperhatikan kertas partitur lagu di depannya.
"Ah..."
Angin berhembus kencang dan menerbangkan kertas partitur gadis itu. Beruntung aku bisa menangkapnya.
"Terima kasih!" kata gadis itu ketika aku mengembalikan kertasnya.
"Tolong biarkan aku menyelesaikan satu lagu ini." Setelah menerima kertasnya, ia kembali melanjutkan permainan biolanya yang terhenti. Aku tetap berdiri di tempatku dan mendengarkan suara biolanya yang lembut.
Akhirnya dia selesai, beberapa orang bertepuk tangan karena permainannya yang bagus. Gadis itu lalu membungkuk dan berterima kasih. Ia lalu menoleh ke arahku dan mata kami bertemu.
"Kau juga, terima kasih telah mengambilkan partiturku yang terbawa angin," katanya sambil tersenyum.
"Tak apa.." balasku singkat.
Gadis itu melangkah mendekatiku dan mengulurkan tangannya, "Namaku Sheera."
"Kieron," balasku singkat sambil menerima uluran tangannya.
"Kau sendiri?" tanya Sheera. Aku mengangguk.
Sheera lalu mengajakku ke pinggir haluan untuk mengobrol. Rupanya Sheera juga sama sepertiku, dia pergi ke New York untuk melanjutkan sekolah di sekolah musik.
"Kau tahu Kieron, ini pertama kalinya aku pergi sendiri tanpa ditemani orangtua," cerita Sheera, "dan ini juga pertama kalinya aku naik kapal semewah ini."
Ya, saat ini, kapal Titanic memang digelari sebagai kapal termewah. Banyak orang beranggapan, kapal ini mustahil tenggelam, karena ukuran dan kekuatannya yang luar biasa. Salah satu alasan Paman Fergus menyuruhmu naik kapal ini adalah, karena dia percaya kapal ini aman dari bahaya tenggelam.
Yah, semoga saja anggapan orang-orang memang benar bahwa kapal ini tak akan tenggelam, karena apapun bisa terjadi di laut.
"Apa tujuanmu pergi ke New York, Kieron?" Pertanyaan Sheera membuyarkan lamunanku.
"Ada universitas kedokteran yang ingin aku masuki di New York."
"Kau ingin jadi dokter?" tanya Sheera lagi.
Aku mengangguk, "Kau tahu, saat ini masih banyak penyakit yang belum ada obatnya. Dan kuharap suatu hari nanti aku yang akan menemukan obat dari penyakit-penyakit itu."
Bagaimanapun, ini adalah pembicaraan favoritku, tentu saja aku tak bisa tidak seantusias ini. Sheera juga kelihatan antusias mendengar jawabanku.
"Kalau begitu, semoga kau bisa menjadi dokter yang hebat!" puji Sheera. Tentu saja aku senang mendengarnya.
Sepanjang sisa siang itu, kami berdua terus mengobrol di haluan kapal, sesekali sambil melihat laut. Sheera ternyata gadis yang menarik, kami sudah benar-benar akrab sekarang.
***
Selama pelayaran yang panjang itu, aku jadi semakin sering bersama Sheera. Kami jadi saling cocok satu sama lain, mungkin karena kami sama-sama jauh dari orangtua.
"Kieron," panggil Sheera ketika kami bersantai di haluan pada pagi hari ketiga pelayaran.
"Ya?"
"Setelah kau lulus nanti.. apa yang akan kau lakukan?"
Aku terdiam sebentar mendengar pertanyaan Sheera. Aku memang belum memutuskan apa yang akan kulakukan setelah lulus sekolah, "Yah.. kurasa yang pertama kulakukan adalah kembali ke Southampton. Untuk setelahnya, akan kupikirkan pelan-pelan."
"Bagaimana denganmu?" tanyaku balik.
Sheera tersenyum, "Aku ingin jadi pemain biola yang hebat. Karena itu, aku pergi ke sekolah musik. Dan setelah lulus nanti, hal pertama yang kulakukan adalah pulang ke rumah dan memainkan biola untuk seluruh keluargaku!"
Sheera terlihat bersemangat menceritakan impiannya. Kupikir, aku tak akan punya teman bicara selama di kapal karena kebanyakan penumpang adalah orang kaya. Tapi ternyata aku salah, aku bertemu Sheera yang dalam sekejap sudah menjadi teman akrabku.
"Kau tahu Kieron, aku sangat senang bisa bertemu denganmu, aku jadi punya teman yang bisa kuajak bicara."
Aku hanya mengiyakan. Meskipun kami baru kenal tiga hari ini, tapi rasanya seperti sudah lama saling kenal. Dan pelayaran ini jadi terasa sedikit lebih menyenangkan karena ada Sheera.
***
14 April 1912, jam 20:00 malam
Malam ini tak seperti biasanya, Sheera mengajakku keluar setelah makam malam. Padahal biasanya selesai makan kami langsung pergi ke kamar masing-masing untuk istirahat. Sheera mengajakku ke buritan.
"Kieron," panggil Sheera.
Sheera diam sebentar, tampak seperti sedang memilih kata-kata. Kemudian ia berkata, "Setelah ini, kita akan berpisah kan."
"Yah... memang, karena kita punya tujuan sendiri," balasku pelan. Entah mengapa, kata-kata Sheera terdengar seperti kata-kata perpisahan. Cepat-cepat kutepis pikiran buruk dari benakku.
"Tapi kita akan bertemu lagi, kan?"
Aku mengangguk, "Ya, kuharap begitu.." Entah kenapa, perasaanku tidak enak.
Angi malam berhembus kencang menerbangkan rambut pirang panjang Sheera. Gadis itu lalu menunjukkan selembar kertas padaku. Itu kertas partitur.
"Ini lagu yang kubuat sendiri, judulnya, Maple Leaf," jelas Sheera, "bagaimana menurutmua?"
Aku memang tidak mengerti soal musik, tapi aku tetap mengatakan, "Bagus," Untuk menyenangkannya. Tapi, judul lagu ini membuatku penasaran, "Kenapa judulnya begitu?" tanyaku.
Sheera tesenyum, "Kau tahu? Aku mendapat inspirasi lagu ini dari dirimu, menurutku, kau mirip daun mapel."
Aku masih tidak mengerti dengan jawabannya, Sheera kembali melanjutkan, "Daun mapel terlihat menarik karena bentuknya berbeda dari daun lainnya. Dan menurutku kau seperti itu, terlihat berbeda dari penumpang kapal yang lain, tapi tetap indah."
Aku merasa Sheera memujiku. Mau tak mau aku merasa senang, "Terima kasih," ucapku pelan.
"Hei, lihat, mereka membuka stan foto!" seru Sheera. Tak jauh dari tempat kami, memang terdapat stan foto yang sepertinya baru buka, beberapa penumpang terlihat memadati stan kecil tersebut.
"Mau foto bersama?" tawar Sheera. Dan sebelum aku sempat menjawab, dia sudah menarik tanganku untuk masuk ke stan foto tersebut.
"Ini untukmu," Sheera menyerahkan selembar foto yang telah dicetak. Fotoku dan Sheera. Di balik foto itu, Sheera menulis, "Kieron & Sheera, 1912" . Dia juga menyimpan foto untuk dirinya sendiri.
"Simpanlah, untuk kenang-kenangan," ucap Sheera. Aku mengangguk dan segera menyimpan foto itu. Lalu kami kembali ke tempat semula.
Angin malam berhembus begitu dingin malam ini, Sheera menceritakan macam-macam hal dan aku hanya menanggapinya seperluku. Entah kenapa, dari tadi aku merasakan firasat buruk. Tapi aku tak ingin membuat Sheera khawatir, jadi aku diam saja.
Geladak kapal mulai tampak sepi karena orang-orang lebih suka bersantai di ruang pesta di dek bawah.
23:40
"Akh, sudah hampir tengah malam!" cetus Sheera ketika melihat jam.
Aku sendiri baru sadar kami sudah mengobrol hingga hampir tengah malam. "Yah, waktu cepat sekali berlalu ya.."
"Kurasa ini waktunya istirahat." Sheera beranjak dari tempatnya semula dan mengajakku turun ke dek bawah untuk istirahat. Aku juga beranjak dari tempatku dan mengikutinya.
Tiba-tiba, aku merasa kapal ini sedikit oleng. Aku bertanya pada Sheera apa dia juga merasakan hal yang sama, dia mengangguk, tapi dia mengatakan mungkin saja kapal ini hanya berbelok, tak ada yang perlu dicemaskan. Yah, kuharap begitu, karena aku merasakan firasat buruk.
Kami turun ke lambung kapal dan melewati ruang pesta, sepertinya semuanya baik-baik saja, karena pemain musik masih terus memainkan musiknya.
Rasanya aku seperti mendengar suara air dari kejauhan, apa ini cuma perasaanku? Yah, kuharap begitu. Tapi, begitu kami sampai di dek bagian depan, sesuatu di sana membuatku terkejut.
Air.
Ya, air telah memenuhi dek bagian depan, orang-orang ribut mencoba untuk naik ke atas. Ternyata aku benar-benar mendengar suara air.
"Sheera, cepat naik ke geladak!" pekikku pada Sheera, tapi dia begitu tercengang sehingga tak bisa bergerak. Aku lalu menariknya naik ke geladak.
Sampai di haluan, aku segera mengecek lambung kapal. Ternyata benar, lambung kapal ini robek dan air mengalir masuk ke dek bawah. Rupanya kapal ini menabrak gunung es!
Aku melihat Sheera, wajahnya sudah sangat pucat sekarang. Pasti dia syok karena kejadian ini. Kami tak bisa berlama-lama di sini, sebagai anak nelayan, ayah sudah mengajariku apa yang harus dilakukan saat kapal yang kunaiki terancam tenggelam.
"Sheera, dengar aku," Pertama, aku harus menenangkannya dulu. "semuanya akan baik-baik saja, sekarang, kita harus pergi ke tempat sekoci dan menyelamatkan diri dengan itu."
Sheera hanya mengangguk. Dengan cepat, aku menariknya menuju buritan tempat sekoci ditambatkan. Tapi sepertinya tidak semudah itu, karena kapal ini mulai oleng oleh air.
Aku merasakan tangan Sheera gemetar, "Kieron.." panggilnya pelan.
Aku menoleh kearahnya. Baik, aku harus menenangkannya, "Tidak apa-apa, Sheera, semuanya akan baik-baik saja."
"Aku takut Kieron, apa yang akan kita lakukan.." kata Sheera pelan.
"Dengar, pertama, kau harus tenang. Sekarang, kita akan ke tempat sekoci ditambatkan dan menyelamatkan diri dari sana." Sheera mengangguk pelan setelah mendengarkan kata-kataku.
"Kieron, kita akan baik-baik saja kan?" Sheera berkata pelan, ada getaran dalam suaranya.
Aku kembali menatap Sheera, lagi-lagi firasat buruk menyerangku, cepat-cepat kutepis pikiran itu, "Maple leaf," Aku teringat judul lagu yang dibuat Sheera, "jika kita berhasil selamat dari sini, tolong mainkan lagu itu untukku ya?"
Sheera tertegun mendengar kata-kataku. Tapi kemudian senyumnya mengembang dan dia mengangguk, "Aku janji!" katanya mantap sambil mengangkat jari kelingkingnya.
Jari kelingking kami bertautan, syukurlah, paling tidak Sheera sudah lebih tenang sekarang.
Kreeek!
Belum sempat kami bergerak, geladak kapal ini terbelah menjadi dua. Cepat-cepat kupegang tangan Sheera agar kami tidak terpisah. Kami berdua jatuh ke laut.
Rupanya tekanan air dari lambung kapal menyebabkan kapal ini terbelah. Beruntung aku dan Sheera tidak terpisah.
"Kau baik-baik saja, Sheera?" seruku melawan deru air.
Sheera yang berada di sebelahku mengangguk, "Kita harus bagaimana, Kieron?"
Aku melihat sekeliling, beberapa sekoci sudah diturunkan dari kapal, "Dengar Sheera, jika kita bisa mencapai salah satu sekoci, kita bisa selamat. Jangan terpisah dariku."
Bicara memng lebih mudah daripada melakukan. Arus air yang kuat benar-benar menyulitkan kami untuk bergerak, pandanganku mulai mengabur karena air. Dan yang paling kutakutkan dalam situasi begini, adalah jika pegangan tangan kami terlepas.
Satu sapuan air yang besar datang yang melepaskan pegangan kami, "Kieron..." Sheera memekik tertahan. Aku berusaha menggapainya, tapi lagi-lagi arus air menghalangiku. Sheera hilang dari pandangan.
"Sheera.." Aku berusaha memanggilnya, tapi sama sekali tak ada jawaban. Sial, sekarang aku benar-benar kehilangannya. Tiba-tiba aku melihat sebuah sekoci mendekat, seorang bapak mendekatiku dari atas sekoci.
"Naiklah nak, berbahaya jika kau terus berada di dalam air," Bapak itu menarikku ke atas sekoci. Aku sedikit lega karena bisa selamat. Selain aku, ada sekitar selusin orang lagi di atas sekoci. Aku menatap kapal Titanic yang tadi kunaiki. Kapal yang begitu dibanggakan itu, kini tenggelam secara perlahan. Kapal super mewah itu, kini menemui ajalnya di dasar laut, bersama ratusan penumpang yang terlambat menyelamatkan diri, mungkin, Sheera menjadi salah satunya.
Aku merasa sangat menyesal. Jika kami sedikit lebih cepat, mungkin dia bisa selamat. Aku merogoh sakuku dan mengeluarkan fotoku dan Sheera, foto yang kami ambil sesaat sebelum kejadian ini. Kutatap foto itu lama-lama, foto yang menjadi satu-satunya kenanganku dengan Sheera.
Maple Leaf.
Aku teringat judul lagu yang dibuat Sheera. Sheera sudah berjanji kelak akan memainkan lagu itu, tapi tampaknya janji itu tak akan terwujud. Dan mungkin saja, aku tak akan bisa mendengar alunan biola yang lembut dari Sheera lagi. Kucoba untuk melupakannya. Ya, bagaimanapun, aku harus melupakan kejadian ini. Karena Sheera tak akan kembali, dan aku tak sanggup jika harus terus mengingat kejadian ini.
***
Oktober 1972
"Ed, kau mendengarku?"
Aku tersentak kaget dari lamunanku ketika kakek memanggilku, "Ya, aku dengar," seruku cepat.
Aku tidak tahu harus berkata apa setelah kakek menceritakan kisah itu. Kapal Titanic, kapal yang paling besar dan mewah pada zamannya, yang karam hanya karena menabrak gunung es kecil. Aku sudah sering mendengar atau membaca kisah mengenai kapal ini, tapi baru kali ini aku mendengar cerita itu dari korbannya.
Kakekku, Kieron adalah salah satu korban tenggelamnya kapal Titanic pada 1912 silam, yang berhasil selamat karena naik sekoci.
Kakek menyerahkan selembar foto. Sejak nenek meninggal dan kakek pensiun dari pekerjaannya sebagai dokter, kakek jadi lebih sering menyendiri sambil menatap selembar foto. Aku menerima foto tersebut.
Meski sudah buram karena termakan usia, tapi aku bisa melihat kakek yang masih muda di foto itu, saat masih muda, kakek sangat mirip denganku. Di samping kakek berdiri seorang gadis berambut pirang. Aku membalik foto tersebut dan menemukan tulisan "Kieron & Sheera, 1912" , rupanya nama gadis berambut pirang itu adalah Sheera. Di pojok kiri bawah foto tersebut juga terdapat tulisan "Maple Leaf" . Aku bertanya apa maksud tulisan itu.
"Itu janji yang kami buat," jelas kakek, "Sheera adalah pemain biola. Dan itu judul lagu yang dia buat."
Kakek tampak sangat sedih. Sepertinya mereka berdua dulu adalah teman baik. Kakek mengatakan padaku, Sheera adalah gadis yang ia temui di kapal, dan Sheera bernasib malang ketika kejadian tragis tersebut.
Aku mengembalikan foto itu pada kakek dan pamit pulang. Jalan antara rumahku dan rumah kakek melewati hutan pohon mapel. Saat ini musim gugur, dan daun-daun mapel jadi terlihat lebih indah di musim ini.
Tiba-tiba, aku mendengar alunan musik klasik, sepertinya berasal dari biola. Tapi, siapa yang memutar musik klasik di tengah hutan begini? Karena penasaran, aku menelusuri asal suara tersebut.
Seorang gadis berambut pirang tengah memainkan biolanya di tengah rimbunan pohon mapel. Aku memperhatikan gadis itu, suara biolanya begitu lembut.
Sepertinya gadis itu menyadari kehadiranku, ia menghentikan permainannya dan menoleh. Dan, aku begitu terkesiap ketika melihat wajahnya. Sebab, ia sangat mirip dengan gadis berambut pirang di foto kakek.
Kami saling menatap cukup lama, aku benar-benar kaget karena gadis ini mirip dengan teman kakek. Sampai kemudian gadis itu menunjukku, "Kamu..." ucapnya pelan, "apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
"Um.." Yah, aku tak tahu harus menjawab apa, kami memang belum pernah bertemu. Tapi kenapa aku merasa gadis ini sepertinya tidak asing?
Kening gadis itu berkerut seperti sedang memikirkan sesuatu. Sampai kemudian senyumnya mengembang, "Benar, kau mirip dengan teman lama nenekku!"
"Um... maaf?" Aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan.
Gadis itu kembali tersenyum, "Keberatan kalau aku menceritakan sebuah cerita?"
Aku menggeleng. Kemudian, gadis itu meletakkan biolanya dan memulai, "Dulu, nenekku menumpang sebuah kapal pesiar besar, kapal pesiar paling besar dan megah pada zamannya."
"Tapi kapal itu karam setelah menabrak gunung es. Nenek sempat jatuh ke laut, beruntung beberapa penumpang yang menaiki sekoci menemukannya sehingga dia bisa selamat."
Sepertinya aku tahu cerita ini, gadis itu kembali melanjutkan, "Nenek membuat janji dengan orang yang ia temui di atas kapal, nenek berjanji padanya kelak akan memainkan sebuah lagu untuk orang itu, nenekku pemain biola."
"Dan judul lagu itu adalah, Maple Leaf."
Maple Leaf. Tunggu, jangan-jangan nenek gadis ini...
"Nenek sudah terlalu tua untuk bermain biola, jadi sekarang aku yang akan menggantikannya melakukan janji itu." Gadis itu mengambil biolanya, "keberatan kalau aku memainkannya?"
"Tidak, silahkan," balasku.
Gadis itu memulai permainan biolanya. Rasanya aku menyadari sesuatu, dia sangat mirip dengan gadis di foto kakek, dan dari cerita mengenai neneknya barusan, mungkinkah...
Gadis itu selesai bermain. Ia kembali menatapku, "Aku sering berlatih di hutan ini. Daun-daun mapel ini membuatku tenang."
"Besok..." kata gadis itu sambil merapikan biolanya, "bisakah kau menemuiku lagi di sini pada jam yang sama?"
"Eh.. kenapa?" tanyaku bingung.
"Aku hanya ingin memastikan sesuatu, ini demi janji nenekku," Dia sudah selesai merapikan biolanya dan bersiap-siap pergi, "ya?"
"Ah, baik, aku akan datang."
Gadis itu tersenyum mendengar jawabanku, "Terima kasih, kalau begitu kutunggu besok ya. Oh, dan satu lagi, namaku Lucy."
"Edmund," balasku singkat.
"Nah, kalau begitu, sampai ketemu besok, Ed!" Gadis itu melambai padaku dan dia menghilang di balik rimbunan pepohonan.
Aku memutar arah. Alih-alih pulang ke rumah, aku akan kembali ke rumah kakek. Ya, setelah kejadian ini, aku harus melihat foto itu, foto yang tadi ditunjukkan kakek padaku. Dan kurasa aku akan membawa foto itu besok saat bertemu Lucy.
Karena, aku ingin memastikan sesuatu.
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro