Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28 | Entitas Makna Bahagia

heEEeYYOW! aku back dari 2 bulan kagak update xixi. </3

warn! tulisanku bakal sedikit aneh ehe.

2 bulan kemudian ...


"Gua balik duluan, ya?"

Jaevon mendongak sekilas lalu mengangguk cepat. Kedua hastanya sibuk merapikan buku-buku yang berserakan di meja sembari memasukannya satu per satu ke dalam tas. "Bareng bokap?" Laungan tanya si pemuda Bagaskara membuat hulu Rendra seketika naik-turun tanpa disadar.

"Ho'oh," gumamnya seraya sibuk menguatkan gendongan tas pada punggungnya. Rendra lantas menepuk pundak Jaevon dua kali seraya melambaikan tangannya isyarat akan pergi. "Gua duluan, Jae. Semisal lo mau nyari si Jevano, tuh kunyuk ada di ruang ekskulnya. Samperin aja, ya."

Jaevon turut melambaikan tangannya jua. "Ahsiapp! Titi dije, Ndraa!"

Ruangan kelas benar-benar nyenyat. Hanya ada dirinya, pula bangku-bangku yang sudah kosong melompong tak ditempat. Jaevon mengambil pengeras telinga dari tasnya, lalu memasangnya pada masing-masing rungunya. Ponselnya mulai terputar lagu Good in Goodbye milik Madison Beer. Bilah redupnya seakan bersenandung, pula jari-jari lentiknya yang membentuk sebuah petikan kecil guna menyemarakan gama pulangnya.

Hal pertama yang harus Jaevon lakukan ialah menghampiri ruang ekstrakulikuler musik. Rendra bilang, Jevano ada di dalamnya. Dan seketika Jaevon teringat bahwa ini memang hari Kamis, dimana Jevano rutin menjalankan kegiatannya di bidang musik.

Semenjak kelas sebelas ini. Iya, kelas sebelas. Dahulu, saat Jevano duduk di kelas sepuluh, dirinya begitu pasif. Lenggana menyentuh dunia organisasi maupun kegiatan positif lainnya di sekolah. Berkat saran dari Abah, Jevano memutar kemudi prespektifnya pada kegiatan sekolah. Ia akhirnya menyetujui untuk mengikuti ekskul musik, yang jadwalnya juga tidak padat-padat sekali.

"Permisi," Jaevon melengkungkan bibirnya ke atas. "Lihat Jevano?"

"Oh? Kak Jevano? Ada di dalam, kak. Mau saya panggilin, kak?"

Jaevon menaikkan kedua alisnya bersamaan. "Boleh?"

Gadis itu turut mengangguk, lalu tersenyum ramah. "Boleh dong. Sebentar, ya, kak. Saya panggilin dulu Kak Jevano-nya."

Sirah sang tuan terangguk sempurna. Daksanya ia sandarkan pada dinding pembatas ruang. Telinganya sudah disumpal pengeras suara, masih saja terdengar suara bising pukulan drum dari dalam. Hastanya terlipat di depan dada, sesekali mengintip lewat jendela, dan akhirnya melihat bahwa Jevano sudah keluar bersamaan dengan gitar yang dibawanya setiap saat.

Jevano tersenyum lebar. Membuat Jaevon mengrenyit kebingungan.

"Napa lo? Ayan?"

Jevano terkekeh. "Gapapa. Gue lagi seneng aja," tuturnya seraya menyerogoh sesuatu dari kantung seragamnya. "Nih, lo baca geh."

Jaevon mengrenyit tanda tak mengerti, namun tangannya main ambil saja kertas tersebut. Dibukanya perlahan, sembari membacanya penuh khidmat. Matanya menyipit guna menelisik, lalu sepersekon kemudian, Jaevon memekik.

"L-lo bakal ke Jakarta buat lomba musik?! Seriusan lo?!"

Jevano mengangguk tak kalah semangat. "Iya, bangsat, sumpah gue juga kaget pas bacanya."

"Pas kapan itu?"

"Abis UKK cenahnya."

Jaevon tertawa girang. "PAS KITA LIBUR KAN, YA, BERARTI?!"

"Iya, bangsat. Gosah teriak-teriak napa? Malu."

"Gue ikut, ya?!"

Jevano mengangguk. "Iya dah iya, paham kok gue. Pasti lo mau ngajak Renja juga kan buat nontonin gue lomba?"

Jaevon tersenyum simpul seraya meberikan secarik kertas itu kembali pada pemiliknya. "Gak cuma Renja. Sekalian gue ajak si Haidar sama Senja biar klop, ngwehehehhehe."

"Jancok! Enak di lo berdua lah! Masa gua kudu ngejones sendiri sih?!"

"Lo ajak aja si siapa kek, banyak cewek disini."

"Gue ajak Mitha aja, ya? Gimana?"

Jaevon mengulum senyum tipis seraya mengeratkan gendongan tas pada pundaknya. "Sok aja, gak ada yang larang juga."

🌒

Senjakala tepat di sudut halte sekolah, ada salah seorang gadis ayu pula senyum cantiknya yang membahana. Tungkai rampingnya ia gerakkan, mengikuti alunan talun dari pengeras telinganya. Jemari lentiknya pun tak kuasa tuk memetik, hingga suara gesek sepatu pula bumi datang menghampiri, mengiterupsi waktu lengangnya.

"Nja," sapa si pelaku, hingga akhirnya Renja memilih tuk menoleh.

Dirinya tersenyum. "Eh, Hendrik? Kenapa?"

Puan dengan tudung yang menutupi hulunya sempurna—sampai-sampai sehelai rambut pun tak bisa orang lihat dengan sembarang mata—Hendrik, sosok yang memanggil asma sang gadis, menggaruk punggung lehernya seraya mencetuskan kurvanya samar.

Hendrik terkekeh canggung. "Eum, Nja. B-boleh ngobrol bentar? Lo keberatan gak nih? Maaf, gua ganggu banget, ya...?"

"Santai aja, Hen. Kenapa sih kebelibet gini? Biasanya juga to the point."

"Gua cuma ... takut salah ngomong aja, Nja."

"Oh, hehe. Terus?"

"Gue minta maaf, ya?"

Napasnya mendadak bak tersengal. Tidak, tidak. Ini hanyalah efek yang semesta berikan bila Renja kembali teringat dengan apa yang Hendrik perbuat pada dirinya dahulu. Terus terang, Renja sudah melupakannya. Namun kedatangan Hendrik kali ini, seolah mengajaknya untuk kembali pada muara yang sama; sudah merelakan, namun masih belum mengikhlaskan.

Renja menepuk kursi kosong disebelahnya seraya menatap jalanan yang tampak sepi. "Duduk dulu, biar enakan dikit ngobronya."

Hendrik mau tak mau menuruti. Bokongnya pun tepat menciumi permukaan kursi, hingga tepat pada sasaran; Renja melanjutkan kalimatnya sembari menatap jalanan lengang pula sepi pengendara.

"Gapapa, Hen."

"Hah?"

"Udah aku maafin, kok."

"Soal Satria ... juga dimaafin?"

Dahi sang gadis berkerut. Melahirkan sebuah tanda tanya besar yang membuat ulunya berteriak agar tidak ribut. "Hah? Satria?"

Hendrik dengan frustrasi mengusap wajahnya kasar, napas berat diembusnya pula rengekan kecil yang mulai lolos dari bilah pucatnya. "Nja ... masih belum tau?" gelagaknya bak maling yang terciduk warga. Suasana canggung seketika menyelimuti perbincangan keduanya. "Gua ... sama geng gua, setiap sore nongkrong di halte sini. Eum, lebih tepatnya, pas dibelakang pohon gede itu,"

Sirah Renja otomatis ikut menoleh. Dan, benar, Pohon itu begitu amat besar.

"Terus?"

Hendrik menghela napasnya berat. "Ini bukan soal pohonnya lebat apa gimana. Tapi soal ... temen lo. Gue minta maaf banget, gue nyesel, Nja."

"Kamu kenapa sih, Hen?"

"Gue ... dipenjara, Nja. Gue minta maaf sama lo, karena gue udah ngelakuin hal yang goblok banget sama Satria. Sumpah, gue khilaf—gue minta maaf, Nja..."

"Maksudnya goblok?"

"Ya, setiap pulang sekolah, anak gerombolan gue p-pada ngepung Satria dan setiap itu juga, kita nyari aman supaya gak ada lo."

"Nja, gua minta maaf, ya?"

"Nja...?"

Renja menitihkan air matanya tanpa aba-aba, membuat nurani Hendrik tanpa sadar bergerak, koyak tak berbentuk. Hastanya terulur, meski segan, Hendrik harus melakukannya guna menenangkan puan madhuswara. Dan tepat mengenai titik kelemahannya, Renja menatap Hendrik lamat; menunjukkan sisi terhancurnya dengan aksa sembab tan berdayanya.

"Lepas."

"N-Nja, gua minta maaf—"

"Lepas aja, Hen..."

Sesuai kemauan Renja, Hendrik pun akhirnya melepas genggamannya pada asta sang nona.

"Satria bohong, ya, berarti?"

"..."

"Jadi, dia masuk rumah sakit ini gara-gara kamu, Hen?"

"Sebenernya terlalu jahat kalau gue bilang iya ... tapi, Nja. Itu emang kenyataannya, jadi gue minta maaf banget ke lo, sump—"

Plak!

"Kamu minta maaf ke Satria-nya langsung. Jadi cowok jangan beraninya cuma berantem doang. Berani minta maaf, apalagi ke Mamanya Satria. Aku bukan tukang pos yang bisa seenaknya ngirim permintaan maaf buat Satria." Tukas Renja, seraya menghapus rintik nestapanya. "Aku pamit dulu. Kamu hati-hati pulangnya."

;

Jaevon

| Nja?

| Sibuk gak?

Renja

Knpa? |

Jaevon

| Eh.. tumben?

| Kamu ... gapapa kan?

Renja

Gpp, Jaee. Ngomong aja, |

Jaevon

| Ogheyh, jadi bginich

| Kelar UKK nanti, aku ke Jakarta bareng temen-temen

| Sodara aku ikut lomba soalnya, hehehe

| Kamu ikut, mau kan?

Renja

Abis UKK y? |

Gimana nnti aja deh, Jae |

Jaevon

| Ngogweyh

| Lagi ada masalah, ya?

| Semangat terus, yaa?

| Udah kontrol lagi belum??

Renja

Hehehe |

Udah kok, Jae. Kemarin. |

Jaevon

| Rajin minum obatnya, ntar kalo ada progress, kasih tau aku aja

Renja

Nganu, Jae.. |

Aku udah botak sekarang >//< |

Jaevon

| lOH?
| cantiknya Jaevon dah botak nih??
| Aduh jadi gak sabaar mau meluk!

| Semangat terus yaa, mau gimana pun kamu, kamu tetep cantik kok.

| Asal rajin berobat. Kalo absen sehari aja, aku tempeleng dari sini.

Renja

Iya, Jae |
Makasih banyak, yyaa <3 |

Jaevon

| Iyaa, kalo capek istirahat

| Sedih boleh, tapi jangan sampe kamu kehilangan satu alasan buat bahagia lagi ya?

| Aku off dulu, dadah cantik ^3^

Read.

Usai berbincang dengan Jaevon, Renja lantas menghela napasnya pelan kemudian berujar dengan nada yang sumbang.

"Asal aku gak kehilangan kamu, Jae ... asal aku gak kehilangan kamu..."

Hastanya masih setia menggengam tapak tangan kepunyaan Satria yang tergulung oleh selang infus. Kembali terulang, hari ke hari dimana Satria selalu menemani. Renja tak mau kehilangan jati diri hanya untuk menangisi perihal kawan sejati. Namun, bagaimana lagi? Semua ini telanjur perih, hingga Renja tak kuasa tuk berbisik lirih.

Sebab, entitas makna dari kalimat bahagia itu—cuma kamu, Jaevon...




+++

hALOO YOro00BundZzz,,

*masih ada yang baca book ini kan?? ;< /ngarep puol

udah lama banget aku ga ngetik di work ini. alasannya simpel; aku sibuk rl, ngurusin work sebelah, dan juga aku agak bingung buat ngelanjutinnya gimana supaya... ya alurnya gak cringe2 amat lah. /tapi keknya ini masi cringe,, y g c ah maloe bat ainx

dan, sebagai permintaan maaf dari dua bulan kagak update2, aku mau spoiler.

endingnya ada di chap 30, dan insya allah (keknya!) bakal ada 5 bonchap. aku udah bikin kerangkanya, semoga bonchap kali ini terwujud ya wkwk. /soalnya aku kalo mau bikin bonchap tu gagal mulu tsay wgwg/

gaya tulisanku makin aneh ya? nangis.

yaudah deh, semoga enjOy aja ya bacanya. gimme vote and comment. biar aku bisa lebi semangat lagi </3 love kalian semuaa!

-keira.

18/11/20

+ promotion

hayuk mampir yuk awoakowkoko /spread love


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro