PANJANG BGT BARU NYADAR :").
semoga ga boring ya, aduh takut
banget sumpah demi apapun.
. . .
selamat memasuki lapak penuh cringe !
. . .
2018.
Renjani. Nona bersurai hitam dengan aksa nayanika itu menggoyangkan kaki mengikuti irama musik. Ia sesekali bersenandung---meski suaranya sumbang---penuh asyik, seakan lupa bahwa ada Satria yang duduk disebelahnya, diam tak berkutik.
Satria dan Renjani berbagi pengeras suara telinganya bersama. Ah lebih tepatnya, si nona yang menyumbangkan lagu, sedangkan Satria yang menyumbangkan earphone.
Renjani bergumam, "Satria," panggilnya.
Satria hanya bisa menoleh, "Hm?" ia berdeham, hingga cacat bolong pada pipinya muncul barang sedetik.
Renjani terkekeh kecil. "Lucu juga, ya, nanti ... Kalo semisal Satria dah nemu pacar, terus aku jadian sama Jaevon, abis itu kita ngedate bareng, terus kita---" si puan jelita terdiam sekilas, "Kita---aduh, g-gabisa, Sat! Gakuat aku bayanginnya!" pekik girang si nona, membuat tuan disebelahnya hanya bisa mendengus berat.
Satria memutar bola mata malas. "Kuping gue budeg, salah lo aja ya anying."
"Kok gitu?"
"Habisnya berisik."
Hening.
Tapi yang namanya Renjani---gadis berparas dahayu itu, tak pernah kenal apa arti hening dalam kamusnya. Iya, dia cukup bawel untuk Satria. Eum, mungkin, Renja akan menjadi putri Kerajaan Eropa Kuno tatkala Jaevon menggantikan posisi Satria. Ah, tidak! Membayangkannya saja, membuat jantung Renjani berdetak tidak karuan!
"Satria, kok Hira mau ya sama cowok kasar kayak Hendrik?" tanya si puan, tanpa rasa mendua hati.
Si tuan lantas menjawab, "Kalo gue balikin: kok lo mau sih sama cowok secringe Jaevon? Lo bakal jawab apa?"
"Y-yah ... kok kamu malah nyambung-nyambung ke dia sih?" osthanya maju lima senti, kalian bisa panggil Renja siluman bebek untuk kali ini.
"Kan nanya aja," Satria mengendikkan bahunya acuh. "Masa gue nanya gaboleh? Ada gitu asasnya?"
"Ya tapikan, itu urusanku!"
"Nah iya. Hira suka sama Hendrik juga, itu urusan dia. Toh kalo lo suka sama Jaevon pun tanpa alasan kan? Em, maksud gue, karena lo cinta, makanya lo suka sama dia. Secara cinta tuh buta, mau cowoknya sebad Hendrik, atau sedingin Kak Dimas ke Kak Seje, lu pasti bakal bilang kalau ya---rasa itu lahir, tanpa alasan."
Ucapan Satria seakan membidik tepat pada kalbunya. Benar juga kutipan si anucara. Lantas, ada satu hal yang Renja mau tanyakan,
Akankah Jaevon juga merasakan hal yang sama seperti---beratnya mencintai walau kini, jarak tak lagi berarti?
Mengingat perkataan Satria barusan, Renja jadi paham apa definisi wadah keluh kesah sebenarnya. Dia Satria Pantjaloka, tempat dimana Renja bisa menerima cinta yang sebenarnya. Cinta seorang teman yang jauh lebih menghangatkan. Mungkin hangatnya bisa mengingatkanmu akan rahim seorang ibunda.
Ditemani dengan antari yang berembus seri, dengan payoda yang mengarungi bumantara. Renjani jadi ingat kala ia bersua dengan sang lentera, beradu sapa, meski rasa rindu itu, terus menghantam ulunya berulang kali.
"Heh! Nama lo siapa?!"
"Renjani!"
"Gue balikinnya gimana?!"
"Buat kamu aja!"
"Oke, makasih, ya!"
Mengingatnya saja, membuat kurva cembung milik si Dewi Yunani kian melambung.
"Witing tresno jalaran saka kulino, itu apa?"
"Cinta datang karena terbiasa."
Puk!
"Heh! Malah melamun lagi lo saodah!"
Terlalu asyik menyelami hari itu, Renjani malah lupa akan Satria yang sedari awal menatapnya bingung.
Satria menggeleng sirah, "Mikirin yang aneh-aneh ya lo?"
"Enggak! Asal aja ngomongnya!"
"Terus? Kenapa dari tadi bengong mulu?" Satria bertanya, lalu berdiri, ia melepas earphone yang menggantung di rungunya dalam sekali hentakkan. "Udah jam lima. Mau sampe kapan kita disini mulu?"
Renjani terkekeh kecil kemudian menyengir lucu. "Sampai jadi debu."
"Gue bukan Jaevon, maap."
"Anjir ah, Satria! Gak seru banget kamu!"
Tawa si tuan mengalun merdu, selembut sarayu yang menyapu rupanya lembut. Kini, langit bak lembayung senja, dan itu semakin semarak tatkala hasta Satria menggantung apik pada pundaknya.
Senyumnya adun, dengan hasta yang mengusak surai Renja tanpa ampun. "Lo suka banget sama sajak?"
"Enggak begitu."
"Lah? Lo sukanya apa dong?"
"Aku sukanya Jaevon."
"Ini objeknya bukan orang loh, nying."
Renja menoleh, "Terus?"
Satria menghela napas berat. "Lo suka sama kata-kata puitis itu karena Jaevon kan?" tanyanya. "Kalo lo suka itu karena Jaevon, ada gue yang bakal turut buat mempelajarinya."
"Buat apa sih? Maksa banget. Lagi pula, kamu kan gak suka sama yang puitis-puitis gitu. Mending diem aja deh."
Satria mendengus. "Gue juga pengen kali, dikagumin sama lo." napasnya terembus berat, menutup aksa sekilas, meski inginnya adalah mengubur rasa itu hingga sirna.
"Gue gak mau kita menjauh. Maksudnya, Jaevon itu pendatang baru. Dan gue selaku presiden di loka ini, gak terima kalau rakyat yang dicintainya pergi demi si pendatang baru itu."
🌒
Pukul 17.15, begitu yang Renja lihat tatkala melirik ke arah ponselnya yang hampir sekarat. Dilihat-lihat, jarak menuju wismanya tinggal seperapat. Jadi, tak ada salahnya kan kalau Renja minta pada Tuhan agar patala tak usah bersedih sekarang?
Maksudnya, tolong lihat ke langit. Payoda yang semula semarak, kini menjadi runyam hanya karena Satria mendadak diam padanya. Ini gila.
Satria dan Renja berjalan---dengan jarak 10 sentimeter. Sebenarnya bukan mau Satria sih, ini maunya Renja. Renja mendadak canggung kala si adam melempar aksara manis---padahal Renja tahu, sifat Satria itu terlalu pasif.
"E-eh?"
"Kenapa, Nja?"
Lupakan tentang canggung. Mari kita saksikan kemurahan hatu semesta, yang mengilhami aksa si nona jelita. Ajunnya, tolong lihat! Disana berdiri sesosok daksa yang sepertinya Renja tahu itu siapa!
Renja menutup belah bibirnya, tak menyangka. "Sat, Orang yang di depan sana, aku kayak kenal!"
"Serius? Coba lo panggil namanya, terus lo loncat-loncat kayak ikan yang mental ke permukaan."
"Bodo ah!" Renja memalingkan wajah, lalu mengangkat tangannya tinggi-tinggi, menggerakkannya ke kanan dan ke kiri.
"HAIDAR!!!"
. . .
Raut semrawut dengan bibir yang tak berhenti bercarut-marut. Tangan merah sebab terlalu kalut, meremasnya---hingga si korban tak tahan untuk tidak memekik.
"SAKIT, DONGO!" ringisnya tak tahu budi.
Abah dan Uma yang kini duduk dihadapan keduanya, melirik garang ke arah Jaevon. Iya, Jaevon. Salahkan si kakak yang terlalu kasar, toh Jaevon hanya menyuarakan apa yang ia rasakan kok.
"Kunaon ieu, Jaevon?"
"Nteu aih, Ma. Tadi teh aya, serangan mendadak dari pihak Israel."
Jevano menimpali. "Naon sih?!"
"Jevano, cicing dia!" Akhirnya, si Abah mengumandangkan seluruh sumpah serapah. Jevano yang tak suka di perlakukan begitu, lantas menunduk sirah---dengan kaki yang masih bergelut ramai di bawah sana.
Jaevon sih tidak niat ribut. Tapi oh tetapi, pria itu sangat tidak suka diusili! Tatkala Jevano menyerang kakinya tanpa permisi, disitulah peluit tanda kompetisi lengkara tak berbunyi.
"Abah sekarang mau Jevano minta maaf ke Rendra." pinta si kepala keluarga.
"Ogah."
"Minta maaf, aa'."
"GAMAU, ABAH!"
"ARI SIA TEH BELAGU PISAN HAH?! RENDRA KAMU USIR GITU, APA GAK MIKIR DIA BAKAL TINGGAL DIMANA?!"
Abah membelungsang ke arah Jevano sambil bertatap penuh masam. Baru kali ini Abah merasa kecewa pada si eka, kalau ditanya kecewa perihal apa, Abah akan jawab: Jevano dengan kepalanya yang keras itu, hingga lupa kepada siapa si anak berteriak.
Abah paham. Sangat paham bahwa Jevano tak suka di duakan. Lengkara namanya bila si anak tak cemburu, apalagi Jaevon. Abah sangat tahu anak keduanya itu juga sakit perihal yang satu ini---dan ya, Jaevon hanya bisa mengubur rasa itu dalam-dalam.
Uma sesekali mengusap punggung Abah telaten. Rasanya, Abah jadi teringat kala filantropi berlabuh pada satu insan berparas laksana Dewi Yunani. Di umur yang ke dua satu kala itu---Abah merasakan kehangatan disana, Uma itu bagai air tatkala Abah tengah dirundungi para api.
Namun, itu semua hanya sementara tatkala Jevano berujar sebegitu ketusnya.
"Abah." panggilnya.
Abah berdeham. Enggan menatap si nandana, walau sedetik.
Jevano melirih, "Abah sayang gak sih sama Jevano? Abah sayang gak sih sama Jaevon?"
"Kalo Abah gak sayang, Abah udah buang kalian."
Uma menyela, "Hush, bahasa tetap yang utama, Abah..."
Jevano mencetuskan seringai---namun dengan mata yang berkaca-kaca. "Abah sayang sama kita, tapi kita gak merasa begitu."
Kini, giliran Jaevon yang berucap. "Bener, Bah. Waktu Jaevon bawa pulang medali dengan muka bahagia, Abah malah gak ada di tempat." katanya, dengan aksa yang menatap Abah sedikit terpaksa. "Sebenernya Jaevon juga kecewa, Abah gak sendirian."
Abah mendengus kasar. "Kalian ini apa-apaan sih?"
"ABAH YANG APA-APAAN?! JEVANO UDAH CUKUP PUNYA JAEVON SAMA CEU EDOH, SEKARANG MAU NAMBAH RENDRA LAGI? RENDRA TUH MASIH PUNYA RUMAH KALO ABAH MAU TAU. UANG JAJAN RENDRA DUA KALI LIPAT LEBIH BANYAK DARI KITA BERDUA, BAHKAN KALAU MAU DITANYA BAHAGIAAN MANA RENDRA SAMA AA', JAWABANNYA BAHAGIAAN RENDRA, BAH!"
Semuanya terdiam. Abah dan Uma tak menyangka bila Jevano bisa marah sebegitu hebatnya. Peluh bak membanjiri rupa si adam, deru napas tidak terkontrol, seakan jadi saksinya. Bisa dibayangkan kan, bagaimana berantakannya sosok Jevano dina ini?
"ABAH SAMA UMA LEBIH SENENG SAMA RENDRA, ABAH SAMA UM---"
"KAPAN ABAH BILANG KAYAK GITU?! KAPAN!"
"ABAH EMANG GAK BILANG, TAPI DARI PERILAKU ABAH SAMA UMA KENTARA BANGET KALO KITA YANG ANAK BUANGAN!"
Jaevon membelalakan manik jelaganya, terkejut karena si eka berkata tak tahu batas. "Jev, Jev, udah ah ... jangan gitu..."
"JANGAN GITU GIMANA?!"
Jaevon mengusap wajahnya kasar. "LUDAH LO ASUK! NYEMBUR!!"
Uma menggeleng pelan. "Sssttt, ini bukan lomba debat loh, ya," katanya. "Abah sama Uma emang kepingin Rendra disini, jadi anak angkat Uma sama Abah. Tapi kami belum sepenuhnya begitu kalo belum dapet persetujuan dari kalian. Sekarang, Uma mau tanya. Kamu adu jotos sama Rendra, cuma gara-gara ini?"
"Iya lah. Pake nanya." balas Jevano.
Uma tersenyum tipis. "Sekarang coba kamu pikir, dengan ngusir Rendra dari rumah, apa itu bikin masalah selesai gitu aja?"
"..."
"Rendra emang punya rumah sendiri. Tapi dia gak punya siapa-siapa di dalamnya. Uma sama Abah begini, karena Uma udah kelewat sayang sama Rendra. Rendra juga udah Uma anggep anak sendiri. Kapan coba kalian nemenin Uma pergi ke sawah selain Rendra? Kapan kalian bantuin Uma nyapu selain Rendra? Rendra itu baik, bahkan kalo diliat-liat, kamu sama Rendra juga deket 'kan?" Uma mengusap surai Jevano lembut. "Itu yang Uma pikir. Uma pikir kalian bakal ikhlas nerima Rendra. Tapi sekarang, Uma paham. Uma gak memaksa. Kalo Jevano gak suka keberadaan Rendra disini, yasudah. Uma bisa apa selain nurut?"
Jaevon menimpali. "Jevano itu cuma takut, Ma, kalo kasih sayang Uma nanti malah pindah ke Rendra."
"Apasih lu?"
"Heleh, jujur aja napa bos,"
Uma tertawa. "Gak bakal atuh, Jevano. Uma emang sayang Rendra, tapi Uma cuma tahu definisi sayang sebenernya itu ya kalian berdua. Jevano sama Jaevon." Uma mengusak gemas surai sang putra.
"Sekarang, Uma minta kalian---gak cuma Jevano aja. Ke rumah Rendra, terus minta maaf. Kalau bisa bawa anaknya kesini dulu, Uma mau ngomong empat mata sama dia."
[].tbc
RENDRA : met pagi ayangiek '-' .
///
gila sinetron bgt.
btw masalahnya rendra kelar
di chapter depan ya. ini cuma
konflik ringan kok. wkwk, cringe bgt yh.
oiya lupa,
aku mauk minta maaf ya kalo semakin lama,
tata bahasa yg aku gunain makin ga rapih.
sumpah, aku selalu deg2an kalo update chapter
demi chapter 'seandainya' ini.
ngeri ga nge feel... ngeri bahasanya alay...
ngeri plotnya ancur...
ngeri semuanya pokoknya :(
21/06/20
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro