
03 | Mawar Kuning
uda mulay aga panjank,
tiati boring :v
. . .
Masih 2018. Karena hanya ini memori yang membekas.
Ajang perlombaan kali itu, sudah dimulai. Ia mengawalinya dengan menorehkan sebuah goresan tipis di pinggiran kanvas dengan warna hitam kelabunya. Jaemin sesekali melirik ke arah kuas yang tengah ia gunakan saat ini, andai kalau wanita itu tidak ada...
Mungkin nasibnya akan sial. Dan kepala sekolah akan memberikan beban kepercayaannya ke pundak orang lain. Jaemin itu, tak suka bila posisinya digantikan.
Sekon demi sekon terus menghantui pikirannya, lomba melukis memang dimulai yang paling awal. Ibaratnya, ini adalah pembukaan dari segala macam jenis perlombaan.
Pair jantungnya, berdegup kencang. Sebut saja ia anomali.
"Renjani!"
Rungunya bagai dipenuhi oleh sekelebat suara laksmi yang mendayu rayu tersebut. Jaevon itu pria yang mudah mabuk kepayang, buktinya, gadis bernetra bak lembayung senja itu sudah meracuni sel-sel otaknya.
Normalnya, ia tak akan mudah kepikiran sedemikian rumitnya, macam ada benang kusut di dalam otaknya.
Namun benar, gadis itu membuat pria ini anomali. Sebuah kuas, dari Renja. Benar-benar membuatnya bisa menemukan sketsa lukisan sedemikian rupa eloknya. Bahkan warna jingga sedikit kekuningan itu sudah ia bubuhkan menjadi satu kesatuan warna yang sempurna.
Ia terhenti sejenak, guna menenangkan pikirannya yang menguarkan banyak asap sebab terlalu banyak batu bara yang sudah ia masukkan.
Idenya benar-benar kosong kali ini.
"Warna apa lagi coba anjir yang kudu gue pasang?"
Ia bermonolog sembari menatap sebuah palet yang sudah ditaruh berbagai macam warna, dari yang orisinil hingga campuran.
Biru... itu jelas bukan warna yang tepat!
Lukisan dihadapannya kini, sudah tampak ramai. Namun tetap saja, Jaevon rasa, ada yang kurang.
Lima menit waktu itu terbuang sia-sia. Jaevon hanya bisa merutuki dirinya sendiri. Lukisannya hambar. Tak ada pelengkap yang membuatnya nampak makin apik.
Laiknya teman-teman yang lain, mereka bahkan sudah menggambar sketsa dari inti tema lukisan hari ini. Mencintai Alam Raya.
"Anjjjjj---" geramnya seraya mengacak rambutnya abstrak. Lelaki bersurai hitam legam itu seakan sudah berada di titik kejenuhannya. Ia suka melukis, namun ia juga tampak bosan saban hari palet mulu yang ia pelototi.
Ratusan orang tengah menonton perlombaan ini. Dan ia harap, gadis laksmi itu ada disini.
Tapi tidak. Itu hanya utopianya.
Mengingat Renja...
"Dia suka nyanyi?"
Rasanya, Jaevon tahu apa yang akan ia perbuat dengan kanvasnya detik ini.
🌒
Pria Bagaskara ini melangkahkan kakinya menuju ke sebuah tempat. Netranya menyorot ke segala penjuru, melihat pemandangan yang begitu ramai. Jaevon tak tahu kenapa kakinya bisa melangkah ke tempat ini.
Hiruk pikuk orang ramai, membicarakan tentang perlombaan barusan. Dominansi orang yang ikut lomba melukis tadi lah yang banyak beragumen. Mereka seperti berbagi cerita kepada teman, sanak saudara, maupun orang tuanya.
Sayang sekali, uma dan abah Jaevon tak bisa datang sebab ada hal yang jauh lebih penting ketimbang dirinya.
Merasa sosok yang dicarinya itu tidak ada, Jaevon akhirnya berniat untuk keluar dari peradaban. Mau melihat bumantara di perkotaan katanya, ia akan bandingkan dengan yang di pedesaan.
Jaevon itu bukan anak desa yang menjorok tidak tahu tekhnologi. Tinggal boleh di desa, namun jiwa tetap modern mengikuti perkembangan zaman.
Jam sudah menunjukkan angka satu. Namun masih ada satu perlombaan yang belum ia tonton.
Menyanyi.
Ah, ia jadi teringat akan Renja. Laiknya bumantara berhias swastamita dengan burung yang berhamburan di atasnya. Seindah itu sesosok Renja. Menurut Jaevon.
Padahal, ia baru saja berjumpa manis dengannya. Bukan kah itu sebuah hal yang gila?
Sarayu berembus tenang menyapu permukaan wajahnya. Lelaki dengan dagu yang tajam ini tersenyum tipis. Bandung versi kota, tidak buruk juga.
Oh, iya, Haidar.
Jaevon mengedarkan pandangannya ke segala penjuru. Apa harus ia masuk lagi ke dalam sana?
Pria itu menghela napas.
Sepertinya, harus.
. . .
Puk!
"Heh, sombong lu. Baru kenalan juga."
Jaemin menoleh, tepat sasaran. Sekonyong-konyongnya orang yang baru saja berjumpa, pasti akan mengucapkan salam, entah hai, panggilan nama, atau yang lainnya.
Haidar ini berbeda. Ia punya afsun yang dapat memikat hati para gadis dengan caranya sendiri.
"Gue dari tadi nyariin lo tau, Chan."
"Cieeee, nyariin Sam Smith, kangen ya lo??"
Jaevon memutar bola matanya malas ketika pria di hadapannya ini bertutur terlalu percaya diri.
Jaevon menatap penjuru dengan pandangan was-was, dan dihadiahi oleh lontaran pertanyaan dari kimpoidra disebelahnya.
"Ayan, Pon?" tanyanya konyol.
Dirasa cukup aman, Jaevon mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat dengan Haidar, seraya berbisik pelan. "Lo mau temenin gue gak?" tanyanya berbisik, membuat Haidar sedikit terusik sebab mulut Jaevon yang begitu dekat dengan rungunya.
"Anjritt! Ngomong biasa aja kali, orang lain juga sibuk sama dirinya masing-masing."
Jaevon mengembuskan napasnya berat, "Hufffttt, temenin gue buat nonton lomba nyanyi, skut?"
"Ada temen lo disana?"
"Iya. Lebih tepatnya sih doi."
"Najis, doa-doi-doa-doi. Kenalin dong ke gue. Hehehehe."
Jaevon terkekeh kecil sambil merangkul pundak Haidar sok kenal, sok deket. Ia menatap Haidar dengan tatapan mengejek seraya melambaikan tangannya diatas udara.
"Kalo lo ngeliat mukanya... pasti lo langsung pingsan di tempat saking geulisnya dia, Dar..."
Tatkala Jaevon berujar layannya orang yang mabuk air kloset---alias sakau. Haidar langsung melepas rangkulan tersebut. Ternyata wajah tampan nan rupawan taruna di hadapannya ini hanya pajangan, sisanya nihil.
"WOY ELAH, GILA LO?! NYESEL GUE KENALAN SAMA LO!" rutuknya seraya mendelik kegelian.
Jaevon malah tertawa lebar. Ia justru menepuk dada Haidar sekali sambil berujar, "Lo gak ada doi disini, ya?"
"Ngeledek lo anjrit. Doi lo ma gue aja pasti montokkan doi gua."
"Yeee, sapri, bilang aja gak ada----atau lebih tepatnya, kagak ada yang sudi! Awokaowkaowka!"
Lelucon Jaevon itu bagai tinta hitam yang hadir diantara ribuan warna-warna cantik di kehidupan Haidar. Iya, menghancurkan suasana. Rasanya Haidar ingin menenggelamkan diri di dalam palung mariana saja.
"Bacot pekok, yok lah nonton."
"Bicit pikik, yik lih nintin."
"Totok sia anying, Jaevon!"
Haidar; dua puluh persen halusinasi, delapan puluh persen berkata kasar. Setan mana yang tidak iri dengan tingkahnya, bahkan malaikat pun sampai bingung hendak mencatat perbuatan buruknya itu atau tidak.
Kini, Jaevon dan Haidar berjalan berdampingan. Mereka sudah seperti dua insan yang sudah kenal sejak satu windu yang lalu. Acapkali mereka sama-sama melempar guyon, berbagi kisah, hingga akhirnya sampai di tempat dimana lomba menyanyi itu diselenggarakan.
Satu gor besar ini dibagi 4 ruangan yang tak kalah luasnya juga. Jadi, ibaratnya seperti ini; Ruang Melukis - Ruang Seni Kriya - Ruang Bernyanyi - Ruang Menggambar.
Jadi, tak ada salahnya kalau mereka jalan sejauh itu.
Haidar menoleh, "Mana, Pon, doi lo?"
"Sebentar. Mata gue masi---Nah! Tuh, Dar! Keliatan gak?!"
Jaevon menunjuk ke arah yang menurut Haidar kurang jelas. Hingga, pria berkulit tan tersebut mengaduh kebingungan. "Akh, mana sih, Pon-Ponkuh?"
"Itu!!"
Haidar terperanjat kaget.
"HAHHH???? LO SUKA SAMA TRANSGENDER??"
Dalam hitungan detik, Jaevon membulatkan matanya sebesar biji kelereng. Pria itu menggeleng kuat, seraya menampar pipi Haidar pelan. "Sadar, anjing! Bukan itu!"
"Terus yang mana?!"
"Tuh! Yang cantiknya udah kayak Zeus!"
"...Pon? Zeus cowok loh, kalo boleh gue promosiin."
"Udah ah bacot. Ayuk anterin gue ke tuh cew---"
"Dan ini untuk peserta kelima, ada gadis yang datang dari Ibukota, nih. Teman-teman ada yang kepo? Dia perwakilan dari--- SMAN Neo 23 Jakarta, atas nama Renjani Niwashita! Mana suaranya anak SMA Neo?!"
Kini, Jaevon berdiri macam orang dungu. Matanya memincing sedikit lebih tajam untuk melihat gadis laksminya itu. Kurva tipis manisnya itu seolah menjadi bagian dari kegilaan Jaevon, ia benar-benar sudah tidak waras.
"Gue ramal ... dia orangnya, Pom? Si Niwashita?" terka Haechan.
Jaevon mengangguk. "Hooh. Dia Renjani. Dipanggilnya Renja. Dia yang ngasih gue kuas buat ngelukis pas lomba tadi." tutur Jaevon.
Haidar terpelatuk, "Lah?! Dia bukan temen sekolah lo?!"
Jaevon menggeleng.
"Goblok parah, hyung! Gimana ceritanya anjir? Kalo lo masih demen sama dia gimana? Udah mah dia di Jakarta, lo di Lembang lagi. Cari cewek lain napa, Pon!"
Jaevon sesekali tertawa kecil mendengar celotehan pria setengah bunglon ini. "Renja itu, nayanika. Makanya gue cepet suka sama dia."
"Hah? Hayang nikah?"
Jaevon menggeleng, "Nayanika," jedanya sekilas, "sorot matanya indah, dan memancarkan daya tarik."
Haidar mengangguk paham sembari ber-oh-ria. Betul kata Jaevon, Haidar pun seolah merasa tersihir dengan binar Renja yang teduh, seteduh aksa menatap swastamita.
"Ayune ... cah wedok'e sopo kui..."
"DAH KAN ANJRIT, JANGAN REBUT-REBUT DOI GUWA LUHH!!!"
Haidar menoleh secepat kilat ke arah Jaevon yang tengah memasang gaya kuda-kudanya. "HEH! EMANG BENER ANJIR DIA CANTIK NAMANYA JUGA CEWEK! LO MAU GUE KATAIN CANTIK JUGA?!" katanya sambil bernapas panjang. Meladeni seonggok Jaevon memang butuh makan banyak urat.
Jaevon hanya dapat mencibir celotehan Haidar, "Ngeles mulu lo jodohnya Kekeyi." Beberapa menit kemudian, ruangan benar-benar hening ketika Renja---yang tengah berdiri diatas panggung sana, memamerkan suara indahnya bagai puspa berlatarkan arunika.
"Aku ... lelah. Tak bersandar,
Tiada lagi ku terka, kabarmu..."
Suaranya yang elok, mendayu rayu mengisi ruang pendengaran Jaevon. Indah sekali, Jaevon sering mendengarkan deretan melodi itu menggunakan pengeras suara telinganya. Rindu Tak Bersuara, tajuknya menyayat hati.
"Hari itu, kau bertanya akankah selamanya, bersama?"
"Dengarkan lah, aku rindu...
Tak bersuara, tak berbalas...
Memanggilmu."
Hati Jaevon bagai disayat abis-abisan dengan suara merdunya yang masuk dengan sopan ke dalam relungnya. Jaevon memutuskan untuk menyalakan perekam suara, agar ia bisa mendengarkannya setiap hendak berjumpa dengan bunga tidur.
Ah, Jaevon ada ide.
"Dar, pegangin hape gue. Jan sampe rekamannya mati."
"Lah? Lu mau kemana?"
"Udahhh, tunggu bentar disini. Ntar gua balik lagi. Selo mamen."
Masih kurang puas dengan jawaban Jaevon, Haidar lantas berteriak, memecahkan fatamorgana dan meruntuhkan segala lintang di galaksi andromeda.
"WOY KAMPRETTT! MAU KEMANA?! KALO GA JAWAB, HAPE LU GUA JUAL HARGA SENDAL!"
Jaevon melambaikan tangannya ke atas, "Ke toko bunga! Bentar doang kok!"
Haidar tertegun. Sesekali ia melirik ke arah Renja yang masih bernyanyi dengan mimik wajah yang mendalam. Sepertinya ia paham apa yang baru saja Jaevon maksud.
"YAUDAH SANA BORONG TUH BUNGA SEKALIAN SAMA MAMANG-MAMANGNYA!"
"Ya gak gitu juga, bego!"
Ke toko bunga. Beli puspa mawar berwarna kuning secerah rawikara. Sama seperti apa yang Jaevon lukis di kanvasnya lomba tadi, sirat penyemangat, untuknya dan puannya, Renjani.
[] .tbc
⠄⠂⠁⠁⠂⠄⠄⠂⠂⠄⠄⠂⠁⠁⠂.
ଽ . p e l a k o n ↷
O3 ⸝⸝ RENJANI NIWASHITA .˚海 ‹ 🥨*
singing . soft . libra's . girl
sweet . seventeen . clever
moon . warm figure . kesayangan jepon
++
guMOH G, GUMOH G? AHAHAHAHA
kisah ini sbnrnya dh d tulis dr jauh2 hati,
cm baru d pub ya lu tau lh sbrp gengsi ny eyke
huhuhu bnrn ini mah inseksyur bgt, , ,
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro