Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Rin • STAGE 2 • Rindu Untukmu, Luka untukku

Rin menggiringku menuju hutan lebat di bukit tempat master termangu. Dia bilang dia ingin membicarakan hal "Kutukan" itu diluar tempat master. Aku tak tau kenapa jelasnya. Tanda tanya di kepalaku soal kutukan lebih besar daripada alasan dia menjauhi tempat itu.

"Jadi?" Suaraku memecah kesunyian.

Rin berjalan melewati kabut. Punggung putihnya masih tampak untukku mengekorinya. Netra kehijauannya sebentar melirik ke belakang.

"Aku sudah pernah bilang bukan, kalau aku punya janji saat kau ingin menjadikanku Shiki milikmu."

Aku mengangguk padanya. Rin sebentar terdiam dengan nafasnya yang sedikit menggeram, apa sesuatu mengganggunya?

"Apa kau tau soal dewa kehidupan dan kematian?" ucapnya.

Nama itu langsung menghentikan jantungku sesaat. Tentu, aku ingat siapa dan rumor apa yang selalu terdengar desas-desusnya di telinga tiap Onmyoji. Tentang membangkitkan maupun memanggil orang kembali dari kematian dengan bayaran yang setimpal--nyawa, bisa saja.

"Begitulah." Rin menundukkan kepalanya meski dia tak melihat kearahku. Bibirnya kini tertutup rapat.

"Rin. Jangan bilang kau--" Manikku berdetak-detak, sesuatu terasa begitu retak dalam dada ku. Begitu menyakitkan, tak tau bagaimana cara menyembuhkannya.

"Dewa itu menginginkan bayaran yang setimpal, tapi aku tak memilih nyawaku untuk kuberikan padanya."

Rin menoleh padaku dari balik kain putih penutup kepalanya itu--berdesir tertiup kabut yang lembut.

"Aku masih ingin menjagamu."

Sengatan hangat menghunus dua lensa mata ku. Meski udara sekitar memelukku begitu dingin, tapi ucapannya sehangat mentari pagi dan sepanas lelehan besi yang terasah menjadi tombak pemecah formasi.

Rin kembali menatap ke depan, kami berhenti di suatu ujung bukit yang menampakkan perhutanan luas membentang. Sinar mentari seperti terselimuti kain putih yang sama seperti miliknya--milikku, dahulunya.

"Jadi kau menghidupkanku lagi?" - (name)

"Lebih tepatnya terlahir kembali." - Rin

"Jangan-jangan yang membawaku di masa kecil ku hari itu, kau?" - (name)

Rin kembali tak menjawab. Kain putihnya bergerak menutupi pandanganku darinya.

"Maaf. Aku hanya bisa mengamatimu dari kejauhan. Hanya bisa membantumu dibalik bayangan sampai waktumu tiba."

"Rin..." Pundakku perlahan turun. Udara sekitar jadi terasa berat.

Sejenak sunyi membatasi kami untuk berbicara lebih jauh. Hanya ada udara sejuk yang menemani--sambil ramai memainkan suara alam di sekitarnya. Tapi keramaian itu begitu menenangkan. Damai. Seperti apa yang Sae dulu inginkan.

Senyumku kuangkat meski masih pahit rasanya.

"Bukannya ini terasa begitu damai?" tanyaku padanya yang langsung menoleh padaku.

Tanganku terangkat ke depan. Telapakku terbuka seperti ingin menangkup air hujan dari langit. Tidak, aku hanya ingin merasakan bagaimana kabut itu mengusap-usap tanganku.

"Kurasa Sae menyukai ini. Dia bisa tinggal disini jika dia mau," tuturku mengalihkan pembicaraan. Tapi Rin sama sekali tak berubah mimiknya. Kesenyapannya menghadirkan kekhawatiran yang terus mengusikku.

"Niichan tak akan pernah tinggal disini." - Rin

Aku mengerjap. "Kenapa begitu?"

Rin menengadah keatas, melihat rentetan awan yang menjadi payung dari mendung.

"Tak ada tempat paling damai selain Pelepas Rindu, katanya. Setidaknya itu hanya berlaku sebelum perang besar terjadi. Setelahnya, tak ada tempat untuknya berdamai lagi."

Sebelum perang besar? Tempat pelepas rindu? Bukannya itu berarti saat aku masih ada bersama dengan mereka?

"Begitu rupanya. Aku mengerti maksudnya."

Sekali lagi kami terjebak dalam sunyi. Rin kini mencuri-curi momen untuk mengintip dari balik kainnya kearahku. Sebelum kemudian teman gagak miliknya terpanggil dan mencengkram di lengannya.

"Oh. Gagak itu kan."

Kali ini gagak bersayap lebar itu membungkukkan tubuhnya padaku dengan sayap yang sedikit merekah.
Aku ingat dia. Burung kecil yang kutangkap hari itu.

"Dia selalu rindu padamu." - Rin

"Sungguh?" - (name)

Rin mengangguk, kemudian melepas gagak yang tiba-tiba menyala terang dan membentangkan sayap miliknya yang lebih besar daripada ukuran manusia dewasa. Gagak itu terduduk dan menunggu disamping Rin.

Rin memberikan tangannya padaku, seraya membimbingku untuk menaiki punggung gagak itu.
Setelah semua naik, sayap milik gagak itu mengibas-ngibas sebelum terbang membelah angkasa.

Aku dibuat takjub olehnya. Rasanya ini seperti pertama kali aku menaiki Ayakashi yang bisa terbang.

Udara jadi lebih dingin diatas sini, tubuhku mulai menggigil. Dua jari ingin kubisikkan rapalan sihir api, tapi haori putih menyelimuti tubuhku lebih dahulu.

Saat aku menoleh, aku melihat Rin melepas itu dari kepalanya, menampakkan tanduk biru miliknya. Wajahnya tampak dengan jelas sekarang.

"Kenakan ini," ucapnya.

Degub jantungku dibuatnya berlari, seperti masalalu itu kembali terjadi.
Haori putih dengan rona biru, khayalaknya musim dingin dan sungai yang masih mengalir di suhunya yang rendah.

"Kau selalu memakai ini denganmu, Rin. Bukankah ini hanya akan melukai hatimu?" tanyaku lirih.

Rin memicing seakan dia tak setuju dengan hal itu. Tapi kemudian liriknya teralih, seperti dia juga tak bisa memungkiri realita yang dia dengar barusan.

"Sedikit," jawabnya, "Setidaknya itu bisa menjadi pelepas rindu juga."

Kini dia tak bisa menyembunyikan wajahnya lagi. Rona merah muda ternyata hanya muncul di telinga miliknya. Jadi itu yang berusaha dia sembunyikan.

Senyumku terangkat lembut, ringis tawaku terdengar melihat betapa manis reaksinya. Sementara Rin semakin memerah, warna itu membentang di wajahnya. Kurasa dia sudah merasa hangat sekarang.

"Boleh aku memegang tanganmu, Rin?" - (name)

"U-untuk apa?" - Rin

"Berikan saja." - (name)

"Mrngh.." - Rin

Tangan putih yang nyaris pucat itu dia berikan padaku meski agak ragu. Garis tangan itu sudah lebih panjang dan lebar di telapaknya. Sudah berusia berapa dia sekarang, ya? Aku tak bisa menebaknya.

Tangan itu kuraih dan masih sama seperti dulu--dingin, sedingin salju putih hari itu.

"Kau juga tak banyak berubah, ya?"

Ucapanku menarik perhatiannya. Kalinat itu pernah dia katakan saat beberapa hari yang lalu, saat kami kembali bertemu di kediaman Onmyoji.

Jariku mengusap-usap tangannya yang sedikit tegang. Apa dia gugup? Aku jadi punya ide.

Wajahku mendekat kearah tangannya yang ada di tangkupanku. Pundak miliknya terkejut saat aku meletakkan telapaknya di pipi ku.
Kembali kurasakan lagi bagaimana suhu tubuh miliknya yang berbanding jauh denganku.

"Kurasa, yang ini jadi pelepas rindu ku," tuturku lembut.

Aku bisa merasakan bagaimana degub jantungku termompa kencang lagi, begitu juga dengannya yang terdengar berdetak dari telapak itu.

"Katakan padaku, Rin."

Dia melihatku dari mata ke mata.

"Apa yang sebenarnya kau korbankan untuk nyawaku."

Kali ini dia tak bisa mengelak. Nafasnya sedikit memberat sebelum jawaban sebenarnya yang terus ditutupinya itu akhirnya terungkap juga.

"Kau--tubuh ini."

Liriknya jatuh ke dadanya sendiri.

"Kau selalu melindungi tubuh ini. Apa kau ingat bagaimana bersikerasnya dirimu agar aku tak terluka dari apapun?"

Ingatanku masih kabur, tapi aku yakin apa yang dia ucapkan memiliki tempat yang belum ku temukan dalam ruang memori masa lalu. Dan Rin menyadari itu.

"Kau begitu menyayangkanku agar tak tersakiti oleh apapun. Meski kau tau aku Shosoku, Ayakashi tingkat dua terkuat, kau tetap menaruh raga bahkan jiwamu untuk melindungiku."

"Sama seperti hari pertama kita bertemu, kau menangkap belahan jiwa ku yang baru terlahir dari pohon itu agar tak jatuh terluka diatas tanah."

"Itu adalah berkat terbesar yang pernah kudapatkan. Dewa itu menerima tawaranku sebagai bayaran setimpal untuk melahirkanmu kembali ke kehidupan."

"Kemudian kutukan kuterima sebagai tubuh yang tak bisa disembuhkan."

Pundakku gemetar, tanganku terjatuh. Air mata ku rasanya tak mampu terbendung lagi. Rasa bersalah mencengkram ku begitu kuat sampai rasa mual mencapai mulutku yang langsung kututup.

"(Name)?!"

Saat dia hendak menangkap dua pundakku, aku menahannya--tangan ini mendarat di dadanya yang nyaris mendekat. Kepalaku menggeleng pelan.

"Maaf. Maaf."

Isakku tak bisa terhalang lagi.

"Aku membuatmu menerima semua ini. Aku hanya bisa meninggalkan luka untukmu, itu yang ingin kukatakan padamu sebelum pergi menuju kematian di hari itu."

"Bahkan di kehidupan baru, aku masih melakukan hal yang sama padamu. Aku melukaimu."

Rin menggeram, lenganku dicengkramnya, membuatku meringis kesakitan.

"Kau bukan luka untukku!" Kali ini suaranya membentak diantara para awan. "Kau juga tak melukaiku!"

Dia menggeleng. "Menjadi Shikigami mu dan menjalaninya seumur hidupku, melayanimu dan melakukan apapun untukmu--itu semua adalah anugerah bagiku. Jangan berani-beraninya kau mengutuk dirimu sendiri."

"Aku mengambil pilihan ini sendiri. Kau pasti mengingatnya saat dahulu kontrak ini terjalin. Keterikatan, kutukan... aku tak pernah melihat hal itu darimu. Makanya..."

"Aku tak menerima kontrak Shikigami milikmu di depan tempat tersegel itu."

Rin menatapku lamat-lamat, serasa dunia berhenti dan tak nyata saat dia mengatakan itu.

"Aku sudah milikmu sejak dulu. Dan aku tak pernah menyesali atau ingin melepaskan itu."

"Aku tak akan pernah mengkhianatimu, (name)."

Jarak kami terhapus perlahan saat kepalaku jatuh diatas dada bidang miliknya, tempat dimana air mataku mengalir jatuh seperti hujan.
Tangan dinginnya terasa hangat meski tanpa adanya kehangatan-yang-sebenarnya mengalir di dalamnya.

Lengannya melingkar memembalut punggungku yang terbalut haori itu. Kecupnya lembut terjatuh diatas kepalaku, saat aku tak mampu lagi menenangkan segala rasa yang berdegub kencang dalam jantungku.

Gagak Ayakashi mulai melandaikan ketinggiannya. Dia mendarat di suatu hutan bambu yang tampak familiar di mataku.

Rin menggiringku kembali. Menuju suatu tempat yang berdiri dibalik barisan tanaman bambu, aku mendengar suara air semakin jelas di telingaku.
Sebuah kolam yang begitu luas dengan teras tak berpenghuni, muncul bersama gubuk yang begitu kukenal.

Rumahku dulu.
Tempat Pelepas Rindu.

Di teras itu, aku dan Rin duduk termangu. Tangan kami masih terjalin satu dengan yang lain, sambil melepas segala beban yang terbawa terbang tadinya.

Bambu-bambu yang bertumbukan menimbulkan bunyi penyenandung suatu lagu alam. Ikan-ikan dalam kolam berkecipakan, membuat suatu irama.
Saat itu sehelai daun terbang tertiup angin, mendarat di tangan Rin. Lantas daun itu didekatkan ke bibirnya, dia meniupnya.

Alunan suatu lagu darinya mengusap daun telingaku, terdengar oleh siapapun yang berada dalam hutan itu. Sebuah lagu yang menjelaskan apa yang sebenarnya Rin rasakan.

Seperti membuka halaman-halaman buku lama, melodi lagu itu mengungkap satu demi satu memori yang terlupakan dalam benakku. Segala perhatian duniawi ku berputar di sekitarnya.

Alunan yang selalu dimainkannya untuk melepas penatku dulu. Satu lagu yang dia ciptakan di malam bulan purnama hari itu, pengusap hati nurani yang terbawa rayuan sepoi romantis.

Aku pernah mencintainya dahulu. Begitu pula dirinya--dia yang memberikan namanya kepadaku.

Lensa mata ku lembab kembali. Bagaimana bisa aku melupakannya?

Rin terus memainkan daun itu, seolah tak ingin berhenti meniupkan memori-memori lama yang tergerus oleh proses reinkarnasiku. Aku tak bisa menerka apa yang sebenarnya dia rasakan. Kepedihan? Kesedihan? Kehilangan? ataukah Kebahagiaan?

Aku ingin menghentikannya, aku ingin mengatakan padanya apa yang sebenarnya kurasakan kini.
Tapi mengingat ucapan Sae saat itu--Manusia dan Ayakashi tak seharusnya menjalin romansa--bukanlah hal yang seharusnya kurasakan kepadanya. Lebih lagi jika seandainya kami menyetujui perasaan ini bersama-sama. Aku tak ingin membawa keburukan lagi padanya.

"Kau juga Ayakashi."

Lamunanku terpecah kepada suaranya yang berbisik dari lagu itu. Rin melirik padaku.

"Kau pun juga manusia. Kau bebas untuk menjadi siapapun, Abe-hime."

Alunan lagu itu berhenti saat aku kembali mengingat dimana hari-hari kami selalu bersama.

+ + + +

Saat menjalankan misi, dia selalu berdiri di depanku. Sihir miliknya yang begitu besar selalu dia kerahkan untuk melindungiku yang berada dibalik punggung kokohnya. Tak peduli seberapa terluka dirinya, tersungkur mundur bahkan, dia tak pernah mengingkari janji itu.

"Aku akan melindungimu."

Ya, kalimat itu yang selalu kau putar-putarkan dalam ingatanku. Memberikan jiwa dan ragamu untukku--kau mengusir pikiranku tentang kontrak itu pergi begitu jauh. Karena kau mengatakan itu dari hatimu, kau melakukan itu karena aku berharga untukmu.

Aku tak ingin semua ini hanya dibebankan padamu. Jika aku memang memiliki rasa yang sama sepertimu, maka biarkan aku juga berdiri untuk dirimu, Rin.

"Hime-sama?!" pekikmu tak percaya padaku yang memilih berdiri di depanmu.

Tangan ini kubentangkan untuk membuka sihir pelindung--sihir yang begitu sulit untuk kukuasai sejak dulu. Itu juga satu alasanmu selalu menjadi pelindungku, bukan?

Tapi tidak sekarang, aku tak ingin hanya bisa berada di belakangmu. Aku ingin berdiri berdampingan di sisi mu. Karena kau juga berharga untukku, Rin, Shikigami ku.

Dinding pelindung terbentuk begitu hebat di depanku, menahan serangan musuh yang tak kalah kuatnya dengan kemampuanmu.

Kaki ku gemetar nyaris ambruk, tapi tidak dengan jiwa ku. Dan saat itu kau takjub melihatku--kau mengagumiku sebagaimana aku mengagumi langkahmu yang selalu berada di depanku.

Sihir musuh berhasil kuhentikan, kubalaskan dengan segel yang menahan geriknya. Menghentikan pertarungan.

Namun kau benar. Kau memang benar memilih sebagai pelindungku, pendampingku. Karena aku selalu melupakan sesuatu. Sesuatu begitu penting yang terlahir dalam tubuh keturunan Abe.

Mulutku mengeluarkan darah, kaki ku terhuyung, dan jatuh tepat dalam raihan tanganmu.

Tubuh ini terlalu rapuh. Itulah kebenaran pahit yang harus kuterima dalam hidupku.

"Hime-sama? Bertahanlah, tetaplah denganku!" gelagapmu dengan ketakutan yang memenuhi pandanganmu.

"Akhirnya... aku bisa melindungimu juga, Rin," ujarku gemetar dan dengan sempatnya tersenyum.

Itu menyakitkan. Kau pasti kesakitan melihatku. Aku selalu membawa luka padamu, ya? Maaf, Rin.

Tapi, terima kasih, karena kau selalu bersama denganku. Aku manusia yang beruntung, juga Ayakashi yang beruntung memiliki sosok sepertimu.

"Kenapa... kenapa kau melakukannya? Apa gunanya aku sebagai Shikigami jika kau sudah begini?!" bentakmu tak terima.

Mudah untukku untuk menjawabmu.

"Karena..." Nafasku tertarik dengan berat. "Aku tak ingin kehilangan dirimu."

Jika aku tak melakukan itu, aku akan kehilangan nama mu dari hidupku, untuk selamanya.

Aku tak ingin itu. Aku ingin terus bersama denganmu sampai kehidupan manusia ku habis tergerus. Biarkan masa ku kini terukir dengan dirimu, sampai nanti waktu sendiri yang menjemputku.

"Aku akan membaik, Rin." Tanganku meraih pipi mu yang nyaris seputih salju. "Aku percaya itu, juga padamu. Sekarang biarkan aku beristirahat sebentar."

Aku terpejam dalam dekapmu. Kepakan sayap terdengar dan tanah bergerak menjauh dariku. Kau membawaku kembali ke kediaman Onmyoji, tanpa pergi dari sisi ku hingga aku terbangun.

Shikigami ku yang setia, Rin Itoshi, yang menjadi namamu.

Salju yang mewarnaimu. Musim semi yang datang setelahnya, akan selalu membawa memori tentang kita.

Jika seandainya suatu saat aku akan menghilang darimu, aku percaya kepadamu, Rin.

Kau akan membawaku kembali padamu.

+ + + +

"Apa kau sudah mengingatnya?"

Suaramu mengumbarkan putaran memori masalalu itu. Salah satu yang kuingat jelas dari beribu lainnya.

Aku menunduk, mengangguk. "Rasa ini. Jantung ini. Jiwaku ini."
Kain yang membungkusnya kuremas, kemudian kembali mendongak kepadanya yang menungguku dengan dua manik kehijauan yang penuh kekhawatiran dan penasaran.

Telapakku terbuka diatas udara, energi magis berputar di sekujur lenganku.
Tiga warna muncul bersamaan... kuning, putih, dan satunya lagi... menyala lebih terang dari yang lainnya--hijau menuju biru.

"Kau terlalu jelas untuk menghilang dariku, Shikigami pertama ku, Rin." Senyum haru ku timbul, bersama dengannya yang terbelalak.

Daun itu terjatuh darinya. Secepat angin berhembus dia memelukku, bagai anak kecil yang begitu merindukan orang tua mereka yang bepergian jauh. Begitu lama tak bertemu, begitu dalam rasa rindu.

Punggungnya gemetar dengan tempo yang singkat-singkat. Isakan yang ingin disembunyikannya itu tak bisa tak terdengar telingaku. Dua tangan ini mengusap segala hal yang telah diemban, ditimbun, disamarkan dari punggungnya.

Dia tak ingin melepasku dalam posisi ini. Dua pundakku tak dibiarkannya terlepas ataupun pergi.
Aku mengerti, meski dia bertahan dalam kondisi sunyi. Aku pun tak ingin momen ini menghilang begitu cepat. Biarlah lebih lama lagi.
Biarkan aku dan dirinya kembali memeluk kata pilu dan rindu yang berkecamuk. Karena tempat ini memang untuk hal ini, bukan?

"Hime-sama," ucapnya melepas hening. Aku menoleh.

Bibirnya terbuka dan tertutup, bingung memilih kata. Pandangnya tak karuan melirik entah kemana.

"Aku ingin melakukannya denganmu. J-jika itu diperbolehkan," sebutnya dengan gugup.

Tak ada kehangatan yang menyengat pipi ku, karena aku tau hal ini akan datang cepat atau lambat. Dia sudah menahannya bertahun-tahun lamanya. Meski begitu, kesopanan formal ini tak pernah hilang darinya.

"Tentu," jawabku.

Dia melepas dekapannya dariku, lantas dua manik itu bertukar pandang dengan milikku. Jemari tajam miliknya terusap lembut agar tak melukai wajahku dan jarak bukan lagi penghalang untuknya membenamkan kehangatan antar bibir.

Sehangat musim semi yang muncul setelah musim dingin berjalan pergi, air mata mengalir bak salju yang mencair. Rin bagai langit biru yang menyambutku--dia yang berada diatasku, meneduhkanku dibawah bayangan miliknya.

Musim salju tak sepenuhnya pergi--musim itu selalu ada dalam dirinya, membawanya kembali kepadaku dari setiap sentuhnya yang terjatuh seperti butiran salju dari langit hari itu. Meleleh dan meleleh. Hangat dalam suhu yang memancar dari dalam tubuhku, dalam pompaan darah yang terus mengalir kencang--jantung ku seperti ingin meledak.

Tapi sentuhan dan panggilannya selalu menyadarkanku, bahwa kini aku bersama dengannya, hangat olehnya. Aneh. Setelah sekian lama berlalu sudah, aku merasakan dia juga memiliki suhu yang sama sepertiku.

"(Name)."

Bibir yang menyebut nama ku itu melengkungkan senyum berharganya.

"Aku senang, kau kembali mengingatku."

Aneh, lagi-lagi, dia tampak lebih manusiawi dari terakhir ingatanku itu menggambarkan dirinya yang sedingin musim dingin.

Tak ada genangan air dari maniknya, senyum itu sudah mewakilinya. Aku tau... dia menghadiahkan itu untukku.

Aku menerimanya segenap hatiku. Sedalam rasa yang tergali begitu dalam, terlupakan oleh waktu, dan kembali bersama denganmu.

+ + + +

Tempat ternyaman untuk merehatkan penat di kepala bukanlah kasur ataupun tempat jauh untuk berlari dari kewajiban dan tugas-tugas berat. Tapi pundakmu yang selalu ada disampingku.
Karena kemanapun aku pergi, jika kau tak ada disana, itu tak akan berarti. Dan dimanapun aku berada, jika dirimu ada disana denganku, maka itu saja sudah cukup.

Rin kini mampu membentuk senyumnya. Tangannya masih tak terlepas dariku, bertaut denganku diatas kaki nya yang bersila.
Tak ada satupun yang berbicara, cukup angin saja yang membuat hutan bambu bersenandung ribut.

Teras rumah lamaku menjadi tempat kami berdua duduk bersampingan, menyandarkan masing-masing bahu sambil membiarkan waktu berlalu.

"Dua warna itu." Rin membuka pembicaraan. Senyumnya tak sepenuhnya hilang. "Mereka Shikigami baru mu?"

Lirikanku bergerak jatuh. "Kau tak menyukainya?"

Rin tak menjawab agak lama. "Aku hanya penasaran."

Dengus lembut ku terdengar, mulai kusebut satu-satu Shikigami yang kudapatkan di kehidupan baru ku.

"Bachira, Ayakashi pemain bola yang memiliki teman monster Ayakashi yang bernama Monsta. Kau pernah bertemu dengannya saat dia tersesat di hutan, bukan? Dia membuat keonaran di suatu desa dan aku membawanya."

"Lalu Nagi, Kitsune dengan sebutan Anjing Penjaga Toko Serba Ada milik Mikage. Dia menjebakku dan Bachira di dunia Ayakashi, dia nyaris terbunuh oleh racun Orochi milik Sae. Dia menjadi Shikigami ku untuk mengalirkan energinya pada tubuhku yang menghisap kembali racun itu."

Rin sempat terkejut dengan penjelasan yang terakhir itu. Bibirnya menggeram samar.

"Tubuhmu tak akan bertahan tanpa energi yang besar dari Shikigami." - Rin

"Saat itu aku tak tau. Aku juga belum mengingatmu dan kau tak bersama denganku saat itu." - (name)

"Maaf." - Rin

"Itu bukan salahmu, Rin. Aku melakukannya sendiri. Kenyataannya aku masih ada disini saat ini. Jangan terjebak di masalalu yang sudah pergi." - (name)

Balasanku menutup mulutnya, maniknya terpejam, seakan dia tak bisa melakukan apapun jika aku sudah berkehendak seperti itu. Aku mengamati garis pembuluh darah berwarna biru di bawah pergelangan tanganku.

"Sekarang aku bisa merasakan energi Shoshoku milikmu mengalir lagi dalam diriku. Aku tak akan serapuh sebelumnya." - (name)

"Bukan berarti kau bisa melakukan semua hal semaumu. Shikigami tetap yang harus melindungimu." - Rin

"Kau kembali lagi seperti dulu jadinya. Aku tak membencinya." - (name)

Dua pundak kami kembali melandai, tenang, tersenyum dengan candaan masa lalu, tapi milikku yang paling cepat menghilang.

"Soal Ego." - (name)

Rin langsung menoleh padaku.

"Apa sungguh dia yang memulai ritual pembangkitan Orochi? Bukan para Ayakashi?" tanyaku dengan manik gemetar.

Dia mengangguk. "Itu benar. Aku melihatnya ada di tempat kejadian saat itu. Mayat-mayat di sekitarnya, dia berada disana mengumpulkan jiwa-jiwa orang tak bersalah," jelas Rin.

Ketakutan dan rasa bersalah perlahan meraihku lagi, tapi kali ini aku harus melawannya.
Apa yang sudah terjadi, biarlah terjadi, hiduplah di masa kini. Itu ajaran Onmyodo yang masih kuingat.

"Lalu bagaimana akhir dari perang hari itu? Sae berhasil bangkit, aku hanya bisa merasakan dirinya sudah memanggil ular raksasanya."

Bayangan kepala ular raksasa yang samar muncul di pandanganku. Hari itu, sebelum kegelapan menelanku dalam-dalam.

Rin menutup bibirnya rapat-rapat. Tatapnya seketika menajam melihat ke depan. Sesuatu yang begitu serius pasti sedang mengusiknya.

"Ayakashi terpukul mundur, manusia kembali meraih kemenangan. Para Onmyoji berhasil memecah belah tubuh Niichan menjadi tiga dan menyegel jantung miliknya. Kurasa Ego menginginkan jantung Orochi untuk kepentingan dirinya. Untuk kekuatan atau kekuasaan. Auranya begitu busuk--"

"Rin," panggilku yang menyadarkannya dari cengkraman dendam. "Aku memahami amarahmu, tapi jika kau teruskan, kutukan akan menguasaimu. Apa kau menggunakan itu saat aku tiada?"

Kini dia sungguh tak bisa bicara. Maniknya tertutup rapat. Dia sungguh melakukannya rupanya, meski begitu Ayakashi tetap tak mendapat kemenangannya. Kediaman Onmyoji begitu kuat bahkan tanpa diriku hadir disana. Apa kepemimpinan Ego memang sekuat itu?

"Tapi sekarang, pimpinan Onmyoji bukan dari marga Ego, benar? Kemana dirinya? Dan kenapa Ego muda hanya menjadi petinggi saja?" tanyaku berturut-turut.

"Namanya Ego Jinpachi, Hime-sama."

Pundakku melompat saat menyadari suara lain terdengar dari samping tempatku terduduk. Seekor gagak yang kutangkap hari itu, menjawab.

"Ayahnya meninggal tak lama setelah peperangan terjadi. Eksekusi terjadi di kediaman Onmyoji hari itu. Orang-orang mengetahui motifnya. Kutukan terlahir dari obsesi haus kekuatan miliknya. Dia berubah menjadi Oni setelah mendapatkan jantung Orochi."

"Setelah itu, untuk menghalau kejadian yang sama terulang, jantung Orochi disegel dengan mantra terkuat. Pecahan tubuh Orochi juga disembunyikan tanpa penjagaan terang-terangan dari Kediaman Onmyoji agar sulit diketahui tempatnya. Hanya beberapa Onmyoji terpilih yang mengetahuinya."

"Rin saat itu bertujuan untuk menggiring Hime-sama menuju salah satu potongan Orochi untuk membangkitkan Sae-dono dan Hime-sama kembali."

Tatapku menengang. "Tapi kalian melukainya--maksudku, master ku, dia terluka karena kalian!"

Kini gagak itu mengarahkan paruhnya padaku.

"Kami tidak menyerang master mu, Hime-sama. Dia terluka dengan sendirinya."

Bingung, aku tak mengerti. Bagaimana bisa master terluka dengan sendirinya?

"Lalu kenapa kalian menyerangku juga saat itu?" - (name)

"Rin ingin memancing kesadaran Sae-dono dari tubuh Hime-sama. Kami memastikan apakah Sae-dono sudah berada disana atau belum, apakah dia masih hidup dibawah cengkraman segel itu atau tidak." - gagak

Kepala ku terasa berat menerima ini semua. Rin menoleh, hendak menyentuhku yang mencengkram kening. Dia khawatir ini terlalu banyak untukku. Aku menampakkan telapakku padanya, menghentikannya.

"Dengan kata lain, kalian ingin membalas perang Onmyoji dengan membangkitkan Sae dalam diriku atau hanya ingin Sae kembali hidup?"

Tak ada siapapun yang menjawab, mereka berdua saling menatap hingga Rin membuka mulutnya.

"Aku tak ingin kehilangan Niichan. Dan ini juga sumpah yang sudah dia katakan sebelum ditaklukkan," jawabnya.

"Sumpah?" - (name)

Rin menghembus nafas, matanya terpejam.

"Niichan ingin dibangkitkan untuk membalas Onmyoji yang menjadi penyebab kekalahan dunia Ayakashi dan kematianmu, hime-sama."

Manikku melebar. Sae adalah Orochi dan Orochi tertulis dalam sejarah sebagai dewa terkutuk yang melawan surga, menjatuhkan dewa lainnya, dan berusaha memutarbalikkan dunia.
Dia ingin mengulang sejarah leluhurnya.

Lirikku terjatuh kearah dada, dimana jantungnya pasti juga berdetak sama denganku. Tanganku mengusapnya. Aliran dendam terasa begitu kuat terbenam dalam pembuluh darah yang mengulur sampai kepada bayangan Sae yang terpantul di mata ku.

"Aku tak mengizinkannya."

Jawabanku mengejutkan dua Ayakashi di sampingku.

"Jika Sae menginginkan pembalasan, itu hanya akan membawa kehancuran. Orochi membawa kutukan yang bisa menghancurkan alam semesta, bahkan surga. Dia memiliki naluri itu karena Perang Besar dua arah di masalalu."

"Aku sudah tiada saat dia mengamuk melawan manusia. Kekuatannya tak sepadan tanpaku sebagai inangnya--darah Abe ku menjadi kunci kemenangannya."

"Kalau dia selanjutnya akan bangkit dengan tubuhku yang hidup sebagai wadahnya, dan dia meraih apa yang diinginkannya. Bukankah itu berarti kembali membuka sejarah?"

Kepalaku menggeleng. "Aku tak ingin meresikokan dunia manusia, Ayakashi, atau bahkan mungkin para dewa."

Pikiranku tertuju pada Bachira, Isagi, master Chigiri, Anri, Reo dan Nagi.
Aku tak ingin mereka menjadi korban seperti perang besar yang pernah terjadi.

"Hime-sama.." Rin memanggilku lirih.

Saat semua tenggelam dalam sunyi. Tiba-tiba cahaya-cahaya membara terbang di angkasa. Jatuh bagai hujan deras yang mengguyur musim panas.

Rin bergerak cepat, mengibas serangan itu dengan sihir angin miliknya. Tapi serangan lain muncul dibaliknya. Serangan sesungguhnya setelah perlindungan milik Rin usai.

"Karasu!" sahutnya.

Gagak itu memekik dengan tubuhnya yang membesar. Dia terbang menuju serangan itu sambil membelah api biru miliknya yang membentuk koloni makhluk angkasa--meledak bersama sihir-sihir itu.

Aku mengira dia ditaklukkan, Rin mengisyaratkan kalau Karasu akan baik-baik saja. "Teleportasi, sekarang!"

Mantra kurapal dengan cepat. Lingkaran sihir berpola bintang muncul dibawah kakiku juga Rin. Lingkaran itu menyala terang, membawa kami pergi secepat dirinya pula.

Namun bukan tempat tujuan yang menjadi tempat kami mendarat. Sihir Onmyodo lain mengejar dan membenturkan kekuatan mereka padaku--memutus garis lurus teleportasi menuju tempat master yang tertepis jatuh di tengah hutan tak dikenal.

Pasukan Onmyoji menyergap kembali. Rin bangkit dengan pisau di sabuknya yang dia gunakan untuk melesat cepat--menyayat setiap tubuh musuhnya yang kemudian terbakar dalam api jiwa.

Sementara dirinya menghalau para pasukan, sosok bayangan muncul di hadapanku.

Dia yang mewarisi ayahnya, memiliki lensa hitam legam yang begitu familiar dalam ingatanku.

"Ego Jinpachi!" batinku menyebut namanya.

Dia memicing sedikit sebelum dua sihir kami beradu dalam tempo yang sama. Tanah sekitar tercambuk oleh petir yang timbul oleh tabrakan dua kekuatan.

Rin menyadari itu. Dia muncul dengan gesit untuk menyerang Ego. Pria Onmyoji itu dengan mudah menangkis dirinya, seakan kemunculan Rin bukan apa-apa seperti lalat pengganggu.

Api biru milik Rin berkobar di tanduknya. Karasu kembali muncul, terbang melewati pundaknya. Geraman amarah Rin tak tertahankan lagi. Dia dan Karasu mengejar bayangan Ego yang terus-menerus menjauhinya.

Satu hal yang sesuai dengan kekhawatiranku saat itu, Ego menjebak Rin yang memiliki dendam padanya.
Ego menariknya jauh ke dalam hutan, memisahkannya dariku.

Pasukan Onmyoji yang bertahan memanggil Shikigami mereka, menyasar diriku yang akan menjadi titik pemburuan.

"Tangkap wadah Orochi!" seruan itu terdengar hingga tempat Rin berada.

"Hime-sama!" Tapi sahutannya itu diputus dengan Ego yang terus menahan dirinya.

"Lawanmu disini, Oni." - Ego

Ledakan elemen terdengar jauh di dalam hutan. Lensaku berdetak. Tapi para Shikigami memburu ku yang semakin jauh dari Rin. Bahkan menyerangku dari segala arah bertubi-tubi. Membuat pikiranku kacau.

Tidak bisa. Aku tak bisa--

"Gaagh!!"

Mulut ku membatukkan cairan merah begitu keras, selepas sayatan pedang sosok Shikigami nyaris menyayat leherku.
Mantra pelindung yang kugunakan untuk menahan setiap serangan, tak mampu bertahan lama. Berdentum dan dengan mudahnya hancur. Jantungku serasa terbentur keras.

Tanah bercak merah. Bayangan yang terlukis diatasnya bukan hanya milikku, tapi juga bayangan lain yang muncul di belakangku, menyasar kepala ku.

Langit berawan yang memancar warna putih seketika lenyap dan gelap. Hanya ada satu sumber cahaya yang begitu terang muncul di atas segalanya.
Bayangan menguasai sekitar, melahap milikku, dan Shikigami itu dalam rona biru panas yang melahap mereka--tapi aku tidak.

"Tidak akan."

Suara geram penuh dendam itu terdengar jelas dari bayangan hutan.

"Tidak akan kubiarkan kalian menyentuh Hime-sama."

Sosok itu sudah kembali di sisi ku dengan aura yang lebih ganas dari sebelumnya.

Karasu dengan pasukan Ayakashi gagak menyalakan kegelapan hutan. Kepakan sayap mereka menghancurkan formasi para Shikigami. Masing-masing dari mereka memilih musuh mereka. Tubuh mereka lenyap dan hidup kembali tanpa ada habisnya dalam ruang ilusi Malam Berbulan ini.

Sementara Shikigami pertama ku berdiri di depanku. Sihir kebiruannya menggerakkan kegelapan malam untuk melahap setiap Shikigami maupun musuh yang terbendung dibawah bayangan.

"R-rin?"

Aku tak percaya dia ada disini. Dan yang lebih membuatku tak bisa menerima apa yang kulihat saat ini adalah tubuhnya yang terkutuk itu sudah terbalut banyak luka.

Dia masih bisa berdiri dengan punggung tegapnya. Seakan itu bukanlah apa-apa. Seakan apa yang dia lakukan sekarang adalah hal paling benar.

Sementara aku tak bisa melakukan apa-apa untuknya. Tak bisa melindunginya, apalagi menyembuhkannya.
Apa yang bisa kulakukan? Apa yang bisa kugunakan? Selain terus dibalik bayanganmu dan menunggu sayapmu gugur?

Seperti terjatuh dari dahan pohon itu.
Kini tanganku tak bisa menangkapmu dan kau tetap memilih melompat tanpa ragu.

Aku tak ingin kau pergi.
Aku tak ingin kau gunakan namaku jadi alasanmu lagi.

Sihir Onmyodo masih mengejar di hadapanmu. Tak akan segan menghapus keberadaanmu dariku.
Tatapmu tak meragukan itu. Kau tak berlari dari itu, karena itulah tugasmu. Untuk melindungiku dari apapun itu, melayaniku sehidup-semati mu. Itulah yang namanya "Tugas Suci Shikigami."

Kau pikir aku akan membiarkan itu?
Tidak.

"Bachira! Nagi!"

Suara ku melolong bak serigala malam memanggil kawanannya dari balik bayangan malam.

Kepulan asap meletup di depan Rin--segera kau membelah warna kelabu itu dan menemukan dua sosok muncul menghalau malapetaka yang hendak jatuh padamu.

"Kau memanggilku, kenapa?" - Nagi

"Kau memanggilku, master?" - Bachira

Ucap mereka nyaris bersamaan.

Seringai ku tumbuh, bersama dengan Rin yang terbelalak dengan kehadiran mereka berdua.

"Aku butuh kalian," sahutku sambil mengusap rona darah dari bibir.

Rin melihatku bangkit dengan sendirinya, berjalan dan berdiri di sisinya, aku berbisik sambil menepuk lengannya.

"Kau tak akan berjuang sendiri lagi, Rin."

Aku berhenti di belakang Nagi yang memanggil dua kitsune nya, juga Bachira bersama Monsta yang tersenyum padaku.

Melihat dibawah bulan purnama, pasukan Onmyoji mengepung, siap dengan mantra lanjutan dan Shikigami mereka yang berhasil mengenyahkan Karasu.

Tatap ku mantap.
Kita akan pergi dari sini, bersama-sama.

+ + + +

To be continued

+ + + +

Aiya, author minta maaf karena telat update FF nya 🙏
Wifi nge-down karena hujan dan acara dadakan, haish...

Sebagai permohonan maaf, author kasih pict motivasi kepenulisan FF ini!

Tengkyu yang sudah nungguin author update 😉

© Pinterest (lupa nama user X nya)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro