Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Nagi • STAGE 2 • Pulang ke rumah

Kukira hari berakhir begitu saja setelah Rin berhasil dipulihkan, nyatanya aku salah.

Nagi, aku, Reo, dan dua rubah milik Nagi. Kami bergerak cepat menembus hutan yang rimbun, dituntun gonggongan dua rubah yang jadi penunjuk jalan.

"Kukira tempat itu sudah lama hilang," ujar Reo yang ada di sisi kiri ku.

Nagi melirik dari sisi sebaliknya. "Aku juga mengira seperti itu. Tapi setelah Shiro menunjukkannya, kenyataannya memang benar."

"Heian-kyo?" Bibirku mengucap nama yang diberitahukan Nagi sebelum kami berangkat tadi.

Rumor dan sejarah berkata, Heian-Kyo adalah tempat Abe Seimei dan para Shikigami nya tinggal. Katanya tempat itu nyaris dinyatakan "tidak ada" karena tak sembarang Onmyoji atau Ayakashi bisa menemukannya. Hanya Abe Seimei dan para Shikigami nya saja yang bisa dengan mudah mengaksesnya.

"Kau tak pernah berkeliling daerah perbukitan ini, (name)?" tanya Reo.

Aku takut menyatakannya. Jarang sekali aku berkeliling setelah banyaknya masalah bermunculan. Master memperbolehkanku melewati gerbang hanya jika bersama dengannya atau dengan Shikigami. Itu pun harus memiliki alasan.

Kepalaku menggeleng. "Aku terlalu fokus belajar Onmyodo bersama master daripada berkeliling," jawabku memilih pilihan paling aman.

Reo menghela seperti tak bisa mempercayai hal itu. Dia mungkin berpikir seharusnya aku lebih tau daerah ini daripada mereka yang tentunya jarang berkunjung kemari.

Nagi mendongak, langkahnya perlahan berhenti dengan manik terbelalak, begitu juga denganku juga Reo yang tak percaya dengan apa yang kami temukan.

Gerbang Tori berdiri di tepi pantai. Penyangganya sudah runtuh, hanya menyisakan puing-puing dengan retak yang seakan menceritakan pernah adanya pertarungan hebat sebelumnya.

Shiro menggonggong di samping Tori itu, memberi isyarat untuk siapapun mendekatinya.

"Kayak Tori biasa, ya?" kata Reo yang hanya berjarak beberapa langkah saja dari reruntuhan.

Nagi menoleh pada Reo. "Kata Shiro, sebelumnya tidak ada disini. Baru kemarin dia menemukannya."

"Muncul tiba-tiba begitu?"

"Uhm.."

"Mana ada tiba-tiba muncul kalau nggak ada yang sengaja menampakkannya disini?"

"Lalu, apa? Shiro sudah memeriksa tempat ini dan tak menemukan aroma makhluk lain."

Keduanya diliputi tanda tanya dalam diam. Reo berpikir keras menebak segala kemungkinan, sementara Nagi memanggil Shiro untuk kembali padanya. Rubah itu menjulurkan lidahnya saat Nagi berjongkok untuk mengusap kepalanya.

Aku merasa ada "sesuatu" dengan reruntuhan ini. Entah bagaimana aku merasakan itu.
Sembari mengamati sekitar, aku berniat menyentuh satu kaki Tori yang masih berdiri.

"(Name)!" Reo memanggil, membuatku terkejut dan menoleh padanya. "Jangan disentuh. Bisa saja itu jebakan atau ilusi. Kemunculan Tori Heian-Kyo tanpa pemicu itu tidak mungkin."

Apa yang dikatakan Reo ada benarnya. Mana lagi daerah perbukitan ini adalah tempat tinggal ideal untuk para Ayakashi, termasuk untuk yang usil juga.

"Bagaimana kalau kau periksa dulu, Reo? Kau kan pandai memeriksa barang palsu atau bukan," sahut Nagi.

Reo menggerutu. Dia menatap rumit puing-puing Tori yang dianggap gerbang Heian-Kyo.

"Kupikir juga begitu, tapi daritadi aku tak melihat jejak sihir apapun dari Tori itu. Rasanya memang sudah terbangun disana, bukan dari sihir atau apapun. Walau begitu, tetap akan kucoba untuk memastikan."

Dengan melebarkan kipasnya, Reo berjalan maju. Dia mengisyaratkanku untuk berdiri dibelakangnya selagi dia memeriksa apakah itu gerbang Tori sungguhan atau bukan.

Sihir berwarna ungu muncul dari kipas miliknya. Membentuk ukiran bintang di udara kosong, Reo melemparkan sihir itu kepada gerbang Tori di depannya. Tapi sihir itu menembus begitu saja, tanpa reaksi apapun dari reruntuhan Tori.

"Benar, kan?" ucapnya kecewa.

"Kau tak merasakan apapun dari Tori itu, (name)?" tanya Nagi.
"Shiro yakin itu Heian-Kyo, entah kenapa dia merasa begitu--katanya."

Nagi menggaruk-garuk dagu Shiro yang dengan karena senang. Aku melirik pada rubah itu dengan agak curiga.
Kembali lagi melihat ke reruntuhan Tori, aku kembali mendekatinya dan mengamati sejenak.

"Bagaimana Shiro bisa yakin ini gerbang menuju Heian-Kyo?"

Tanganku kemudian menyentuh reruntuhan Tori itu dan tentu tak terjadi apapun--padahal aku sudah berharap tanganku bisa melakukan sesuatu pada gerbang itu, meski aku tak tau bagaimana. Kurasa keajaiban tak selamanya ada selama memiliki darah Abe.

Aku menjauhkan diri dari Tori itu, mendongak melihat ujung pucuk salah satu kaki Tori. Tiba-tiba saja aku mendapat ide untuk mengambil kipas peninggalan ayah yang kutemukan di gudang Reo.

"Dari atas sana juga tidak ada tulisan atau ukiran apapun." Asal saja aku menunjuk titik itu dengan kipas Abe.

Dan tiba-tiba saja satu cahaya sihir menyerupai api jiwa muncul di titik itu.

Kami bertiga tersentak bersamaan seperti sekelompok anak kecil yang tanpa sengaja menemukan hal baru di depan mereka.

"Kau apakan tadi?!" ujar Reo panik.

"Cuma asal tunjuk, kesana!" Tunjukku lagi kearah yang sama. Kipas itu kembali menyala, hanya saja redup.

"Wah..." Nagi terpukau dari balik pundakku. Lagi-lagi Shiro menggonggong padaku.

"Coba buat garis kesamping, (name)-sama!"

Agaknya aku belum terbiasa dengan hubungan Onmyoji yang mampu berbicara atau mendengar makhluk Shikigami-nya.

"Kata Shiro, coba buat garis kesamping," ujar Nagi.

"... Aku juga dengar itu." Jawabanku membuat Nagi terkejut.

"Shiro bicara padamu? Kau bisa mendengarnya?"

Aku hanya mengangguk pada Nagi walau tak yakin bagaimana harus menjelaskannya. Manikku tertuju pada Shiro yang mengibaskan ekornya, kemudian melihat lagi pada gerbang Tori.

"Garis kesamping... ya?"

Mengikuti insting, aku menarik garis dari ujung titik itu ke arah samping. Ajaibnya, api jiwa kedua muncul di titik lain--tepat diseberangnya--membuat garis penghubung antar dua sumber cahaya.

Manikku terbelalak. Aku mengerti!

Dengan cepat kubuat garis lain kearah berbeda, hingga membentuk garis sihir berbentuk bintang.
Seketika itu juga tiap api jiwa terhubung satu sama lain membentuk lingkaran dengan sendirinya--ini simbol pentagram Onmyodo!

Setelah simbol itu tercipta, tanah tiba-tiba bergetar. Puing-puing gerbang Tori melayang satu demi satu ke udara. Mereka bergerak dan membenahi diri mereka sendiri kembali menjadi utuh.

Dari tengah gerbang Tori yang utuh, sebuah portal terbuka, seperti membuka gerbang menuju dunia baru yang dianggap "Tak ada".

Pundakku bergetar melihat keajaiban itu. Seakan tak bisa mempercayai apa yang kini tampak di hadapan sebagia jawaban.

Dari balik portal itu, tampak pantulan indah dari taman luas yang menyambut dengan hutan rindang yang menjadi latar belakangnya.
Disebelahnya, kolam kecil dengan tempat duduk panjang dari bambu berada.

Di bagian tengah tempat itu, menutupi penampakan bangunan bercat merah dibelakangnya, tumbuh pohon sakura yang kokoh dan besar.
Dan jika dilihat dengan sedikit teliti, bangunan yang ada dibalik pohon Sakura itu memiliki papan kayu yang terukirkan suatu nama.

"Heian..."
Setengahnya lagi tertutup ranting-ranting pohon Sakura.

Nafasku terkesiap dengan bibirku yang gemetar mengetahui bahwa tempat ini sungguh dan nyata adanya--dan aku meligatnya dengan mata-kepalaku sendiri.

"I-ini..."

"Sungguhan Heian-Kyo?" lanjut Reo yang sama tak percaya nya denganku.

Tanpa aba-aba, Shiro langsung saja berlari memasuki gerbang itu. Reo ingin menahannya tapi dia terlambat.
Akhirnya kami bertiga memutuskan untuk melintasi gerbang bersama. Kaki gerbang tiba-tiba saja menyala sambil menimbulkan suara berat dari ujung pucuknya.
Saat kami bertiga bersamaan menoleh kesana, suatu sihir mengukir sesuatu diatas papan kayu--"Barat".

"Mungkin maksudnya gerbang barat. Berarti ada gerbang lainnya juga!"
Reo tampak tak sabar untuk mengungkap ada berapa banyak misteri di tempat langka ini. Tapi ini bukan saatnya untuk berkeliling jauh.

"Bisa kita cari saja nanti?" tukasku agak tajam, memohon pada Reo untuk fokus pada bangunan yang jelas-jelas menyimpan lebih banyak jawaban.

Dua Kitsune itu menatap satu sama lain sebelum mengekor dibelakang ku.
Sembari mendekati rumah kayu yang mungkin saja, mungkin saja, tempat dimana sosok yang selama ini kucari tengah berada.
Jantungku berdebar-debar.

Aura yang sangat familiar terasa mengelilingi tempat itu, bermunculan dari tiap ujung lorong, bahkan mengalir di tiap kayu penyanggahnya. Tapi tak sekalipun aku melihat keberadaan siapapun disana.

Sejauh kami menyusuri lorong, hanya ada suara tapak kaki ku, Reo, Nagi, dan Shiro yang terdengar. Selain itu, kesunyian yang nyaris mematikan.

Langkahku berhenti di depan pintu ruangan tertutup. Di antara pintu lainnya, entah mengapa saja, aku merasa hanya ini yang berbeda.

Tanpa berpikir panjang, ujung jariku menyentuh permukaan pintu, menggesernya, dan membuka ruang yang langsung menyambutku dengan tiga asap gelap yang terbang keluar--nyaris menabrakku, kalau saja Nagi tak langsung menundukkanku ke lantai dengan tangannya yang dia jatuhkan di punggungku.

"Awas!" desis Nagi.

Aku melirik bukan hanya padanya, namun pada Reo yang untungnya sigap menggunakan sihirnya untuk menangkis tiga makhluk tak bertubuh itu. Tiga makhluk itu lantas terbang menghindarinya.

"Apa itu?!" pekik Reo.

Tiga asap itu terbang di udara, membentuk gumpalan seraya menggabung tubuh mereka menjadi satu.

Setelah membuntal menjadi bulatan energi yang kuat, mereka menabrakkan diri kepada Shiro yang saat itu tak berada di dekat Nagi. Makhluk kecil itu menjerit-jerit saat energi itu merasuki tubuhnya. Tubuh Shiro perlahan membesar secara signifikan, membentuk bayangan mengerikan dibawah pijakan kakinya.

Dia kemudian mengaum kencang. Seakan ingin sekali melampiaskan keagresifannya yang tiba-tiba, dua maniknya yang menyala dalam warna merah, mengarah pada kami bertiga.

"Ayakashi!" seru ku.

Kami menoleh pada satu sama lain sebelum tangan Shiro yang besar menabrak tanah dengan kencang, memisahkan kami kearah berbeda.

"Nagi!" panggil Reo, seakan memberi isyarat.

Nagi mengangguk dan berlari kearah Reo, sebelum sejenak melihat kearahku. "Kau bersembunyi saja. Aku dan Reo akan mengurusnya."

Jujur, aku tak ingin hanya berdiam diri di belakang. Tapi melihat ukuran tubuh Shiro yang semakin berkembang, membuatku tak yakin tubuh manusia ku saat ini sebanding dengannya.

Nagi dan Reo yang kini bersampingam milai menyerang Shiro berdampingan. Keduanya membuat strategi--salah seorang mengalihkan perhatian Shiro, satu yang lainnya harus menyerang dan mencari titik lemah Shiro agar dia bisa dilemahkan.

Nagi bertugas mengalihkan perhatian Shiro dengan memanggil Sei, sementara Reo mencari cara dan merapal mantra untuk menenangkan Shiro dari arah berbeda.
Keduanya menggunakan cara itu untuk mengurangi kefokusan Shiro sebanyak mungkin.

Kukira itu akan berhasil, sehubung Nagi dan Reo sudahlah kawan lama yang pasti menggabungkan kekuatan sudah jadi hal yang mudah. Setidaknya itu yang kupercaya sebelum Shiro kembali mengaung kencang. Aungan kali ini mampu mengguncang tanah dan sekitarnya.

Berbeda dengan Nagi dan Sei yang bisa bertahan meski tanah berguncang, Reo terjatuh. Rapalannya terbatalkan.
Hal itu membuat Shiro sadar bahwa dua sosok yang melawannya tidak lagi seimbang--itu adalah pembukaan untuk serangan selanjutnya!

Tepat pada waktunya, Nagi melompat ke depan Reo dengan katana miliknya menahan cakaran besar milik Shiro.
Meski begitu, pijakan kakinya sedikit tergeser.

"R-reo." Dia memberi sinyal pada Reo kalau dia tak bisa menahannya terlalu lama.

Reo melompat pergi, meninggalkan tanah yang dipijak Shiro kini hanyalah asap tanpa siapapun disana.

Shiro kebingungan. Dia menoleh kesana-kemari sebelum akhirnya mendapati Reo dan Nagi sudah melayang di udara.

Reo merapal sihir pemicu bola-bola api yang memutarinya, juga bara api yang membungkus katana milik Nagi. "Maju, Nagi!" serunya.

Reo menjatuhkan bola-bola api bagaikan hujan, sementara Nagi meluncur turun lebih cepat daripada Reo, dia menjatuhkan serangannya tepat diatas kepala Shiro. Makhluk itu ambruk menabrak tanah dengan begitu menyakitkan. Sementara Reo mendarat perlahan dengan sihirnya.


"Reo!" Aku memanggilnya. Kukira semua sudah aman, tapi melihat netra Reo yang terbelalak mendapatiku keluar dari zona aman, ku rasa aku membuat pilihan yang salah.

Dari balik asap tebal pertarungan barusan, tubuh Nagi terlempar keluar dengan keras, menabrak genting bangunan Heian-Kyo.
Dua pasang mata berwarna merah muncul dari putihnya kumpulan asap, bergerak mendekat dan mendekat dengan suara geraman.

"Makhluk asing yang berani memijakkan kaki di tanah Abe Seimei..."

Tanah kembali bergetar dibawah tapakan kakinya.

"... Akan menghadapi konsekuensi dari kelancangannya."

Dia melompat maju dengan serangan yang sekali lagi melemparkan cakaran besarnya, sekarang kearahku!

Berkat pelatihan lebih dengan master, insting ku terasah dengan baik menghadapi serangan kejutan. Refleksku dengan cepat merapal sihir pelindung sambil membuka kipas peninggalan ayah.

Saat dua energi bertabrakan, cipratan warna emas menyala terang dengan warna ungu. Cahaya melahapnya hidup-hidup, hingga tak ada yang tersisa selain warna yang menyilaukan.

Sesaat setelah benturan energi itu mereda, dua manikku terbuka perlahan. Makhluk itu seketika terdiam. Dia tak lagi seagresif sebelumnya.
Sekilas aku melihat mimiknya yang berubah perlahan. Seakan apa yang baru dilihatnya tak ada dalam dugaannya.

"(Name)!" Reo menyaut dan langsung berdiri di depanku, dia siap merapal sihir jika ada hal yang tak diinginkan akan kembali terjadi.

Makhluk itu mengerang di depanku, tapi tak tampak seperti ingin menyerang lagi.

"Siapa sebenarnya kalian?"

Liriknya jatuh kepada kipas ayah yang masih menyala di genggamanku.

"Bagaimana bisa kipas Seimei ada di tanganmu?"

Tanganku menepuk pundak Reo, menyuruhnya untuk mundur. Dia menoleh, kemudian menurunkan kipasnya.

Aku mendongak kearah makhluk itu sambil mendekat. Nafas bengis nya mengibas poni depanku. Tapi tatapku tak gentar, tak juga ingin menantangnya.

Punggungku membungkuk sebelum kembali menatapnya.

"Namaku Abe (name). Anak dari Abe Seimei. Aku menemukan kipas ini di kediaman Kitsune Mikage, di dunia Ayakashi. Tujuanku kemari hanya untuk mencari dimana ayahku berada."

Makhluk itu mendengus tawa sarkas. Dia menatapku remeh.

"Abe Seimei sudah tak memiliki penerus. Anak itu sudah meninggal dalam perang Ayakashi dan manusia, jauh sebelum masa kini, juga di masa dewasanya. Makhluk sepertimu tak mungkin dirinya. Atau... ini bagian dari tipuanmu?"

Tanganku mengepal keras, sebagaimana dia menyebutku dengan begitu tidak sopan.

"Apa perlu kubuktikan kalau aku sungguh keturunan Abe?"

Sekali lagi makhluk itu menyeringai, masih tak mempercayai ku.

"Ada banyak Onmyoji di dunia ini yang bisa menggunakan kipas Abe Seimei."

"Ada banyak pula yang mampu menjinakkan dan memiliki banyak Shikigami sepertinya."

"Jika kau pikir akan membuktikannya dengan itu, lebih baik kau pulang sekarang atau kutelan tulangmu hidup-hidup."

Ujung bibir kugigit. Dia membuatku memutar kepala akan bagaimana meyakinkannya.
Kalau semua yang dia sebutkan sebenarnya hanyalah hal-hal yang saat ini bisa kulakukan, aku tidak mungkin cukup untuk meyakinkannya. Lalu, harus bagaimana?

"Kurasa anda melupakan sesuatu di luar dua kondisi itu yang hanya mampu dimiliki keturunan Abe," ujar Reo yang menapak maju, bersampingan denganku.
"Iya, kan, (name)?" Maniknya berkedip seraya memberi suatu kode. Aku tak yakin bisa mengerti maksudnya.

Dia menjentikkan lidahnya, sepertinya dia mengetahui itu, makanya dia mendekat. "Kau pernah memanggilnya?" bisiknya.

"Siapa?"

"Ular itu."

Pundakku terkejut. Dia tak bercanda ingin aku memanggil Orochi, kan?

"Gunakan kertas sihir dan tulis namanya. Kalau kau sudah terhubung dengannya, seharusnya dia bisa langsung dipanggil."

"Kau serius?" ucapku tak yakin.

Reo mengerutkan alisnya. "Apa aku terlihat bercanda? Kurasa dia tak akan paham kalau tidak melihat makhluk itu secara langsung."
Dia menunjuk makhluk itu dengan menepuk kipas di sikunya, seraya memberiku sinyal jika itu hanya satu-satunya jalan.

Meski ketidakyakinan membuatku gundah, kurasa dia tak sepenuhnya salah.
Aku mengambil satu kertas sihir yang masih putih bersih dari saku, lantas menggoreskan kuas bertinta hitam yang selalu kubawa diatasnya.

"Aku tak yakin dia mau mendengarku."

Terakhir, dia tampak tak senang saat aku membahas soal Rin yang menjadi Shikigami ku. Kurasa kami punya perbedaan tentang Rin disana.

"Kalau sesuatu terjadi padamu. Aku dan Nagi akan membantu."

Suara milik Reo terasa seperti air hangat yang melunakkan rasa khawatirku. Dia tersenyum dengan keyakinannya. Kurasa dia sudah bisa menerimaku atau aku yang sudah bisa bekerjasama dengannya.

Ujung kertas jadi sedikit kusut karena kuremas. Dengan tarikan nafas, aku memusatkan energi Onmyodo pada kertas itu--pada nama yang tertulis disitu.

Sae Itoshi, sang Orochi, jawab panggilanku.
Aku membutuhkanmu disini untuk meyakinkan penjaga Heian-Kyo.

Kumohon, dengarkan aku kali ini.

Bisikanku kemudian membuat kertas sihir itu bergetar dan melayang dari tanganku. Tulisannya membara merah gelap nyaris seperti tertelan darah yang membakar.
Aku, Reo, dan makhluk itu sudah hampir terkejut dibuatnya, sebelum akhirnya kertas lenyap begitu saja tanpa ada apapun yang terjadi.

Sunyi untuk sementara membekap suasana saat itu. Tatap kebingungan muncul dari masing-masing pemilik netra sebelum aku merasakan detak yang begitu keras memukul jantungku dari dalam.

Darah terbatuk dari mulutku. Tepat saat Reo hendak menangkap tubuhku yang mulai rubuh, langit seketika menggelap dengan awan hitam berputar tepat diatas kepala ku.
Energi negatif begitu kuat lah yang jadi alasannya.

Sang makhluk ingin sekali mendongak keatas karena dibuat kebingungan oleh situasi yang berubah drastis. Namun, dua maniknya lebih tertuju pada sesuatu di depannya yang membuatnya terbelalak.
Dua kaki tangannya seketika mencengkram tanah begitu kuat. Geraman bengis terdengar kembali dari balik deretan gigi tajamnya.

"Semua orang memang bisa melakukan apa yang Abe Seimei lakukan, makhluk rendah."

"Tapi, apa mereka bisa menahanku dalam diri mereka?"

Suara itu muncul tak lain dari mulutku sendiri. Tapi bukan aku yang mengucapkannya.

Dua tanganku tak lagi berwarna kulit manusia, melainkan merah gelap bak darah dan kutukan yang tercampur menjadi satu--warna yang menjulur dari ujung tiap jariku.

Aku bisa merasakan sosok lain sedangbersama denganku. Setubuh denganku. Dia sudah tiba.

Makhluk yang merasuki Shiro terkejut dengan kedatangan Sae yang meminjam tubuhku. Dia menggeram.

"Orochi?!"

Seakan dia menemukan musuh bebuyutan yang telah lama hilang.

Sae bahkan tak terkejut padanya--ataupun meledeknya. Dia hanya diam saat menyadari Reo membuat jarak dengannya.
Bukan hanya makhluk bengis itu yang terdampak auranya, tapi juga Reo. Kitsune ungu itu pernah nyaris menjadi korbannya dan tak ingin sesuatu yang buruk kembali lagi nenimpanya.

"Sekarang kau sudah mempercayai anak manusia ini sebagai Abe?" lirik Sae yang semakin tajam pada makhluk itu.
"Atau kau butuh merasakannya lebih dulu?"

Bukannya mencari jalan tengah untuk kedamaian, Sae malah menggertak makhluk itu dengan ancamannya. Jelas langsung saja makhluk itu mengejar Sae dengan bengis, bagaikan predator yang mengejar mangsa.

Kurasa makhluk ini tak memiliki level yang dekat dengan Sae, terlihat dari bagaimana Sae tampak tak kesulitan untuk menghindarinya. Dalam hitungan detik pun, dia mampu menjatuhkan sang makhluk dan mengikatnya di tanah dengan ular-ular yang bermunculan.

Tapi makhluk itu tak menyerah. Kegigihannya seperti energi yang mengalir dalam dirinya. Dia mampu menghilangkan ular-ular itu dari atas tanah dengan aungannya, meskipun pasa akhirnya tidak bisa menghindari Sae yang mencekik lehernya--membiuskan racun yang memadamkan suara makhluk besar itu.

Sae sekali lagi nyaris membunuh seseorang, jika aku tak ikut campur memperebutkan kendali tubuh.

"Cukup, Sae! Aku tak ingin membunuhnya!"

Tangannya yang sudah berlumur energi kutukan itu berhenti mencengkram makhluk itu, membiarkannya mengeluh kesakitan. Tapi aura mengancam Sae seperti belum mereda--seperti sesuatu belum selesai.

Aku mampu merasakannya. Dia naik pitam karena aku menghentikannya di tengah melakukan sesuatu.
Tapi sungguh, aku tak berkeinginan untuk menghilangkan siapapun. Tidak dengan tangan ini. Tidak dalam kehidupan ini.

Perlahan-lahan, aku bisa mengambil kembali kendali tubuhku. Menghilangkan liputan kutukan dari tanganku dan melihat makhluk yang kini bernafas begitu berat.

"Pulih."

Sihir pemulih kuberikan padanya. Makhluk itu perlahan kembali bangkit meski agak terhuyung karena pertarungan barusan.
Kini dia menatapku sedikit lebih lembut.

"Ternyata kau sungguh keturunan Abe. Tapi, bagaimana bisa?"

Giliranku yang melunak. Getaran menyakitkan mulai mengguncang batin ku.
Sae, di lain sisi, tak mengatakan apapun. Entah kenapa dia tak juga pergi, memilih untuk menetap disini.

"Shikigami ku dari kehidupan sebelumnya membuat perjanjian dengan seorang dewa. Dia menukarkan setengah dirinya untuk menghidupkanku kembali."

Makhluk itu sekali lagi terbelalak.

"Dewa kehidupan dan kematian?"

Aku mengangguk.

"Sesungguhnya aku kemari hanya karena ingin mencari ayahku, Abe Seimei. Shikigami ku yang saat ini menemukan gerbang Heian-Kyo kemarin hari dan dia menunjukkannya padaku."

Aku bisa merasakan energi Nagi yang tak jauh dariku. Dia tak begitu terluka. Mungkin dia kini sedang bersembunyi. Jika saja ada sesuatu yang buruk terjadi, dia akan muncul dari sana.

Makhluk itu kini menundukkan wajahnya. Auranya tak semengerikan sebelumnya. Dia tampak begitu kecewa secara tiba-tiba.

"Dia juga sudah tak ada lagi disini--Abe Seimei, ayahmu."

Pukulan kencang seakan menjatuhkan jantungku.

"Aku turut berduka cita untuk ibumu. Seharusnya aku mampu melindunginya hari itu. Tapi..."

Dia senyap untuk sejenak dengan geraman yang bergetar di bibirnya.

"Manusia itu terlalu kuat dalam menghadangku."

Bagai lembaran misteri yang terbuka satu demi satu. Aku mengingat bagaimana cakaran suatu makhluk mewarnai ruang dimana ibu meninggal hari itu.

Ya, aku melihat bekas cakaran besar yang kuduga adalah ulah Ayakashi. Aku mengira Ayakashi itulah yang membunuh ibu. Tapi, aku salah.

"Manusia?" tanyaku bergegas menggalinya lebih dalam. "Siapa manusia itu?"

Makhluk itu melirik padaku. Dengan suara penuh penyesalan dia menyatakan identitas pelaki malam itu.

"Keturunan dari Ego. Dia sengaja membunuh ibu mu agar bisa membawamu ke kediaman Onmyoji."

"Motifnya tampak begitu jelas, dia ingin menggunakanmu untuk mendapatkan kekuatan Orochi karena kau masih terlalu naif."

"Aku gagal melindungimu, juga ibumu, sebagai Shikigami dari Abe Seimei."

Air matanya mulai berlinang. Kepalanya menunduk begitu dalam, dia merasa gagal dengan dirinya sendiri. Kakinya melemah, semakin dia menceritakan kebenaran yang menyakitkan, dia hanya mampu terduduk dengan menunduk begitu dalam.

"Tubuh ku terluka parah malam itu. Seharusnya aku yang mati disana, bukan ibumu. Tapi dia justru menggunakan kertas sihir teleportasi yang membawaku kembali ke Heian-Kyo. Dan itu menjadi kali terakhir aku bisa melihatnya lagi."

Tatapnya lemas tertuju padaku, melihat raga ku yang kini kembali menjadi sosok lebih muda--berdiri secara nyata, bernafas, dam mencari segala kebenaran yang bisa kutemukan.

"Ibu mu berniat menjauhkanmu dari dunia luar, dari pengetahuan kediaman Onmyoji. Karena dia tau para Onmyoji hanya ingin memanfaatkan darah dan kemampuan Abe yang mengalir di tubuhmu."

"Wanita biasa sepertinya tak ingin kau berada di kehidupan berbahaya yang dilalui ayahmu."

"Maka dari itu, kau tak pernah dianggap manusia. Kau pun tak bisa diterima juga sebagai Ayakashi."

"Dan ayahmu... dia tak meninggalkan alasan apapun selain memberikan tugas sebagai Shikigami pelindung padaku. Meski aku sebelumnya adalah Shikigami yang begitu dekat dan selalu ada di sampingnya, suatu ketika dia hanya berpamitan, menyerahkanku pada ibumu, dan tak kembali lagi."

"Jika kau ingin kebenaran, dia tak pernah sekalipun ingin kau menderita karenanya, karena darahnya, atau karena namanya."

"Dia sangat menyayangimu, juga ibumu yang menginginkan keturunan bersamanya sebagai dirimu. Dan dia pergi dengan kondisi hancur, aku bisa merasakan kepedihannya berpendar dari tubuhnya yang rapuh saat itu."

"Itu jawaban yang kau cari."

Aku tak pernah mengira semua kenyataan itu muncul akhirnya terkuak dalam satu waktu.

Kaki ku lemah, hati ku hancur. Air mataku tumpah, tapi aku tak rubuh, Sae menahan tubuhku dalam kendalinya.
Untuk sejenak, aku merasakan--jika dia memiliki detak jantung--dia membagikan kesedihan dari luka duka yang menyamaiku.

Aku nyaris tak mempercayai dia bisa seperti itu. Tapi dia tetap di sisiku, sampai setidaknya rasa itu mereda dengan sendirinya.

+ + + +

"Dan ini ruang tamunya," ujar suara lucu dari sosok rubah kecil yang menyerupai Shiro, tapi memiliki rona merah gelap di ujung telinga dan ekornya. Dia membimbing kami untuk mengelilingi kawasan dan bangunan Heian-Kyo.

Makhluk itu melepaskan diri dari Shiro dalam wujud aslinya. Karena sebelumnya dia terluka parah, energi tubuhnya terbelah menjadi tiga energi, yang mana aku dengan bantuan Reo kembali menyatukannya agar bisa utuh lagi.
Aku tak menyangka dia lebih manis daripada Shiro, bahkan terlihat lebih besar dan empuk. Lidahnya selalu menjulur keluar seperti seekor anjing rumahan dan tampak loyal mendampingi kami saat berkeliling.

Dia menyatakan dirinya sebagai pendamping ayah sejak dulu, makanya dia tau setiap seluk beluk tatanan bangunan Heian-Kyo. Sebutlah namanya Shiba karena dia menyukai nama yang kusebut itu lebih dulu sebelum nama aslinya muncul.

Shiba kini menunjukkan ruang luas yang ditutupi pintu-pintu kertas dengan lukisan indah. Ruang tamu sering digunakan juga jadi ruang serbaguna oleh ayah dulunya. Entah untuk perkumpulan, perjanjian, makan bersama, atau bahkan pemanggilan Ayakashi.

"Meski ruang ini tampak luas, Seimei-sama lebih suka berada di taman daripada disini. Sebaliknya, justru para Shikigaminya yang suka berada disini," jelasnya.

"Cukup menyatu dengan alam juga ya, tuan Seimei," ucap Nagi yang berjalan di belakangku.

Shiba menggonggong senang. "Seimei-sama suka ketenangan! Dia akan mencari tempat sekiranya cocok untuk menyendiri, walau pada akhirnya Shikigaminya akan selalu datang padanya."

"Hee~ Dia terdengar ramah, ya? Membagi ruang dengan orang dekatnya, sepertiku dengan Nagi." Tanpa sadar Reo menyatakan perasaan spesialnya pada Nagi, tapi sepertinya Nagi tak begitu menangkapnya.

Shiba kemudian berjalan lagi menuju deretan kamar dari lorong panjang. "Nah, semua ruang disini multifungsi. Kadang digunakan untuk ruang tidur atau ruang belajar. Semua bebas menggunakan tempat ini selama bisa berbagi."

Aku membuka salah satu ruang sepi yang memiliki benda-benda rapi tertata di ujungnya. Seperti tempat ini tetap dirawat dengan baik meski sudah tak ada penghuninya.

"Sepertinya disini banyak orang ya sebelumnya?" Pertanyaanku memicu kerutan sedih dari Shiba.

"Sebelumnya, iya. Ramai sekali Shikigami dan Ayakashi yang datang maupun tinggal disini. Sampai terakhir kali, aku meninggalkan Heian-Kyo untuk tugas melindungi ibumu, semuanya seketika menghilang. Aku tak tau dimana sekarang mereka berada."

Dia mendecit seperti makhluk kesepian.
Memang benar, tempat ini tampak terlalu besar hingga tak terasa apapun selain kesunyian yang hampa.

Di saat itulah, Shiro dan Sei muncul dari udara kosong sambil menggonggong-gonggong pada makhluk kesepian itu.
Aku tak mengerti maksud mereka, tapi sepertinya mereka menyemangati Shiba. Shikigami milik ayah itu kembali tersenyum riang setelahnya.

"Benar! Setelah ini, (name)-san akan tinggal disini. Jadi suasananya pasti tak akan sepi lagi!" Maniknya tersenyum, satu dua gonggongannya terlepas.

"Aku setuju. Tinggal disini lumayan juga, (name). Kurasa kau lebih baik tinggal disini daripada terus menebeng di rumah Chigiri," sahut Reo.

Seketika aku mengingat rumahku--rumah dengan master. Tempat itu memang kecil, tapi penuh sesak dengan banyaknya penghuni.
Ide dari Reo tidak buruk. Dan lagipula, tempat ini sepertinya cukup menampung banyak orang. Hanya saja...

"Ini masih bagian barat dari Heian-Kyo! Masih ada banyak yang belum kutunjukkan," tukas Shiba dengan semangat.

"Bagian barat saja katamu?!" pekikku.

Rasanya aku tak kuat lagi untuk berjalan lebih jauh. Sepertinya memang benar, aku harus berlatih banyak agar bisa menggunakan teleportasi dengan efisien. Berjalan terus dengan kaki pegal juga.

Shiba terkekeh. "Kau mirip sekali dengan ayahmu, (name)-san."
Aku mendongak padanya, dia menatapku.

"Seimei-sama punya tubuh yang rapuh, meski begitu dia selalu berusaha tampak kuat di depan banyak orang. Yah... itu sudah tak berlaku di depan kami. Para Shikigami nya sudah mengenal beliau begitu lama."

"Makanya, kami yang selalu menjalankan berbagai misi Seimei-sama, sementara beliau menetap di Heian-Kyo jika tak ada urusan yang begitu membutuhkan kehadirannya."

"Itulah alasan kenapa dia memiliki banyak Shikigami--Seimei-sama membutuhkan kami sebagai pelayannya dan kami membutuhkannya sebagai master kami. Itu bukan kesepakatan satu pihak, tapi dari keduanya, entah penuh dengan ketulusan atau kepasrahan."

"Meski begitu, kepercayaan yang paling utama disini. Lagipula, Onmyoji dan Shikigami itu hidup bersama-sama seperti keluarga. Kami menganggapnya begitu di Heian-Kyo."

"Meski tak sedikit dari kami yang memiliki tujuan berbeda, Seimei-sama tetap menerima bahkan membantu kami. Hubungan yang saling membutuhkan, seperti itulah."

Penjelasan Shiba terdengar begitu menenangkan. Ayah orang yang seperti itu rupanya.
Meski aku tak bisa bertemu dengannya, aku senang bisa mengenal lebih tentang dirinya disini.

Tekad dalam hatiku semakin bulat. Aku akan membawa Shikigami-shikigami ku kesini. Karena jika ini peninggalan ayah dan aku mampu menemukannya, maka takdir memang sudah menginginkanku untuk melanjutkannya.
Aku harus segera kembali!

Baru juga dua langkah aku kembali melangkah, rasa nyeri menjalar di kaki ku. Disanalah aku menyadari, kaki ini sudah mencapai batasnya.

"(Name)-san! Jangan paksakan diri!" Shiba mendekatiku dengan cepat, berniat menompang diriku dengan membesarkan dirinya, tapi tanganku dengan cekatan menahan beban diri langsung kepada dinding.

Dan meski aku mampu menompang diri sendiri, Nagi yang sedari tadi di belakangku tetap menahan dengan melingkarkan tangannya di pinggang ku.
Dengan cepat dia mengangkat tubuhku dalam gendongannya tanpa berpikir panjang. Tangannya yang kekar menjadi sandaranku yang masih tersentak dengan tingkahnya yang tiba-tiba.

"Dimana kamar Abe Seimei?" katanya.

Shiba dengan panik menuntun kami menuju suatu ruangan yang tak juga bisa dianggap besar. Cukup untuk seorang dan sederhana dengan banyaknya barang yang tertata di sekitarnya.

"Disini, Nagi-dono." Shiba memanggil Nagi seperti itu karena dia merasa Nagi memiliki suatu kedudukan yang melebihi Shiba sendiri(dalam per-Ayakashi-an).

Reo dengan gercap melebarkanl futon yang ada disana. Lantas, Nagi menurunkanku. Maniknya tanpa sengaja melihat kulit kaki ku yang membiru, sedikit kearah ungu.

"Reo," panggilnya menarik perhatian kitsune ungu kawannya itu. "Ada salep?"

"Eeh... aku bisa pakai sihir--"

"Kau mau mati kelelahan tanpa energi Onmyodo  tersisa? Mengontrol Orochi, menangki Ayakashi seperti tadi itu bukan hal ringan," potong Reo. Dia menatapku dengan serius dan baru kali ini aku gentar padanya.

"A-aku punya beberapa! Peninggalan Seimei-sama. Disini!" Shiba berlari keluar ruangan, diikuti dengan Reo. Meninggalkanku dan Nagi sendiri.

Tapi aku tak merasa memakai sihir berlebihan hari ini, batinku sambil mengerucutkan bibir.

Sekali lagi Nagi menoleh padaku. Seakan bisa membaca pikiranku, dia berkata.

"Kau sulit peduli dengan dirimu sendiri ya, (name)?"

Meski dengan suara sesantai itu, aku bisa merasakan dia menekankan kalimatnya dengan kesal.

"Maksudnya?" tanyaku lagi, memastikan apa yang dia maksudkan. Kepalaku menggeleng, tidak membenarkannya.
"Sungguh, Nagi. Ini bukan apa-apa dibanding latihan dengan master--W-wah?!"

Nagi tiba-tiba saja merangkak maju, memutus jarak wajah ku dengannya. Tubuhnya terasa lebih besar diatasku. Meski dia tak berniat menindasku(walau dia bisa pun), aku tetap merasa takut dengan hal itu.

"Kau masih manusia, (name), bahkan keturunan Abe. Tidak ingat tadi Shiba bilang apa?"

Netranya seperti menyala dibalik bayangannya. Warna abu-abu itu mengkilap dengan satu sayatan cahaya yang memancarkan amarah.

"Tubuhmu rapuh, karena kau bukan manusia biasa. Kau lebih lemah dari orang-orang. Bahkan dianggap Ayakashi juga bukan. Menyerahlah dengan kenyataan itu."

Lama-lama darahku mendidih juga karena terus direndahkan seperti itu. Seakan latihan fisikku selama ini tak membuahkan hasil.

"Bahkan senjata yang tumpul bisa menjadi lebih kuat jika dirawat dan diasah dengan baik. Tidak ada yang tidak mungkin jika aku berjuang untuk mengurangi kelemahanku sendiri."

"Terlebih, aku yakin kekuatan dari Sae dan para Shikigami bisa menompang kerapuhan tubuh Abe ini. Aku bisa menggunakannya."

Nagi tak merespon apapun, tapi aku yakin, dia sama-sama mendidihnya denganku saat ini.
Tangannya bergerak mengangkat kain baju yang menutupi kaki ku. Dia meraba ke area yang menampakkan rona berbeda--biru--karena kelelahan. Dengan menekan agak keras ke area itu, dia membuatku meringis kesakitan.

"N-nagi, sakit!"

Tanpa sengaja aku mencengkram kain pakaiannya. Tapi Nagi tak berkutik selain semakin menekannya, membuatku memekik perih. Air mata menggenang di mataku karena rasa sakit luar biasa.

"Suruh Orochi itu untuk menyembuhkan. Panggil dia."

Manikku menangkap tatapan Nagi denhan kesal dan kesakitan. Untuk sebentar aku terpejam sambil menggigit kembali rasa sakit.

Aku memanggil-manggil nama Sae dengan energi Onmyodo yang entah kenapa terasa begitu sedikit--begitu tipis sisanya. Berharap Ayakashi itu akan menjawabku atau membantuku. Tapi dia malah berkata sebaliknya.

Manusia bodoh. Aku bukan dewa penyembuh.
Aku tak bertanggungjawab soal tubuhmu jika aku tak terancam dengan itu.

Baguslah kalau tubuhmu lemah, aku bisa mengambil alih nanti.

Manikku terbelalak mendengarnya. Sekali lagi aku ingin memintanya, tapi tubuhku terasa lemas dan hanya bisa merasa kesakitan.
Aku tak tau kenapa. Kenapa aku ditakdirkan memiliki tubuh selemah ini.

"Sudah menyerah, (name)?" tanya Nagi yang tak juga lelah melihatku meringis perih.

Terakhir, aku hanya ingat melirik mimilnya sejenak, sebelum kepala ku terasa berat--seperti... hidupku ditarik keluar dan pandanganku berubah menjadi hitam.
Aku tak bisa menggerakkan tubuhku atau membuka dua mataku. Yang hanya bisa kurasakan adalah tangan Nagi menahan kepala ku agar tak jatuh dengan keras. Dia meletakkan kepalaku untuk bersandar ke bantal futon.

"Aku tak berniat menyakitimu, kau yang keras kepala," bisiknya.
"Kau hanya perlu mengakui kelemahanmu, apa itu sulit?"

Tangannya mengesampingkan poni dari wajahku, kemudian turun ke pundakku. Disanalah dia melanjutkan ucapannya.

"Apa gunanya aku sebagai Shikigami, kalau kau masih keras dengan diri sendiri begitu?"

Suaranya terdengar begitu kecewa. Aku tak bisa melihat wajah apa yang dia tunjukkan, selain menebak-nebak, mungkin dia tengah mengerutkan alis atau melengkungkan bibirnya.
Nafasnya begitu dekat. Apa dia menunduk padaku?

Sedikit demi sedikit, aku merasa dejavu dengan ini. Satu sosok muncul di pikiranku. Dia yang selalu tersenyum riang seperti mentari dengan energi tanpa batasnya.

"Apa gunanya menjadi Shikigami, jika tuannya tak mempercayai mereka?"

....Bachira.

Dan itu bukan kali pertama aku membuat kesalahan yang sama.
Dibawah suasana yang ricuh dengan dua pendapat berbeda saling beradu. Salah satu sosok yang selalu menjadi hal utama dalam hatiku sejak musim salju pertama kami bertemu--menatapku dengan penuh permohonan yang berakhir dengan kekecewaan.

"Apa gunanya kau menjadi Shikigami-nya, jika dia saja tak bisa percaya mempercayaimu?"

Ujar sosok disampingnya yang memilih pergi dengan menerima semua fitnah yang dilimpahkan padanya. Hanya karena keberadaannya selalu mengundang kutukan dan ketamakan.

Aku sudah melakukan itu berulang kali. Bahkan percaya bahwa diriku sendiri yang paling benar diantara yang lain, yang harus lebih kuat dari yang lain.

Ayah...
Apa dulu kau juga seperti ini?
Apa aku mempermalukan marga Abe?

Aku ingin menitikkan air mata jika aku bisa. Karena ini menyakitkan. Untuk terus menyesal dan tetap saja melakukan kesalahan yang sama.
Bukannya memperbaiki diri, malah menyakiti orang lain lagi.

Kesadaranku kian menghilang bersama pendengaran yang tak lagi ada di dunia nyata. Tanpa kusadari, aku memang selelah itu.

Maafkan aku, semuanya.

Esok, aku akan mencoba untuk membenahi diri.

Beri aku kesempatan lagi.

Karena aku ingin melakukan hal yang benar.
Untuk sekali, kali ini, setidaknya.

+ + + +

Langit mengganti rona nya saat aku membuka mata. Sudah berapa lama aku terlelap, itu pertanyaannya. Tapi aku sama sekali tak bisa pergi dari futon karena lengan cukup besar menimpa ku.

Saat aku menoleh kesamping, kudapati Nagi tertidur pulas. Dengan jarak sedekat ini, siapa juga yang tak berdebar-debar dibuatnya?

Sedikit saja aku bergerak, Nagi mengerang kecil. Bagai makhluk yang tak ingin diganggu masa hibernasinya.
Tapi aku disini merasa tidurku sudah cukup, entah benar atau tidaknya. Intinya dua mataku tak bisa dibawa terlelap kembali.

"Nagi," panggilku nyaris berbisik sambil menggoyang tubuhnya.

Awalnya dia tak merespon selain memelukku dan mengeratkannya. Mungkin dia mengira sedang merangkul bantal empuk. Meski jujur, rasanya tubuhku seperti diremukkan olehnya.

"Na-gi!" desisku agak lebih kencang.

Kalau saja tanganku tak ditimpanya, mungkin aku bisa mencubit atau menyodok pipinya dengan jariku.

Sekali lagi aku mencoba untuk menggeliat, membuatnya tidak nyaman dengan gerak-gerik gusarku. Syukurlah dia membuka matanya.

"Apa?" tanyanya begitu malas hanya untuk bangun sedikit.

"Bangunlah! Aku lapar." Sengaja kubuat alasan agar dia tak mengiraku hanya ingin bangun karena merasa tak mengantuk.

Nagi mengerang sebelum menguap. Dia melihat kearahku(masih menimpaku dengan lengannya).

"Kau mau makan apa? Biar aku carikan."

Sudah seperti pelayan saja dia mengatakan itu. Ya, walau Shikigami memang seperti pelayan, tetap saja aku tak terbiasa.
Mana lagi... ah, aku tak bisa menolak kenyataan kalau Nagi cukup tampan untuk disebut sebagai pelayan, selain untuk Reo.

Nagi mendekatkan jarak wajahnya dengan menyeret kepalanya. Poni depannya jatuh kearah bantal, yang mana itu semakin membuatku jantungku berdetak tak karuan.

"Mau apa?" tanyanya lagi.

Untuk sejenak, aku tak bisa berpikir tentang apapun, sungguh. Makhluk jenis apa yang meski bertingkah malas tapi tampil tampan? Kurasa itu Nagi.

"U-uhm.." Aku memikirkan nama makanan apapun sambil mengalihkan pikiranku. "Oni... giri?"

Serius? Dari segala makanan, Onigiri.
Makanan tersimpel yang pernah ada.

Nagi mengerjapkan matanya dua kali dengan pelan sebelum memutuskan untuk duduk, lalu bangkit sambil mengusap tengkuk leher--

"Tunggu!"

Aku menarik kainnya. Dia menoleh.

"Bawa aku keluar kamar. Aku juga ingin cari udara segar."

Dia tak mengatakan apapun. Tubuhnya membungkuk padaku, tatap kami lagi-lagi bertemu, tapi sepertinya hanya milikku yang berdetak-detak.

Nagi meraih punggung dan tekuk lutut ku. Dia mendudukkanku di satu lengannya.
Dan dengan mudahnya dia membawaku menggunakan SATU TANGAN?? Seberapa kuat dia sebenarnya?!

Langkahnya berjalan keluar menyusuri lorong. Seakan tau harus kemana, dia mengarah ke suatu ruangan yang tampak seperti dapur--terlihat dari tempat pembakaran dan banyaknya alat memasak yang ada disana.

Nagi meletakkanku bukannya di lantai tatami atau bantal duduk, tapi diatas meja. Ya, meja dapur, setelah menyingkirkan beberapa benda yang ada diatas sana.

Barulah dia mengambil nasi yang masih hangat dari kuali gerabah. Sepertinya mereka(Reo, Shiba, dan Nagi) sudah makan malam dulu sebelum aku.

Dalam kesunyian yang memuncakkan rasa penasaran, aku berusaha melihat bagaimana Nagi membuat Onigiri dengan tangannya.
Dia tampak terbiasa dalam memasak--atau membuat sesuatu yang simpel lebih tepatnya. Mungkin karena dia sudah lama melayani Reo.

Tak lama kemudian, Nagi sudah membawa sepiring Onigiri. Dia melihat kearahku, berniat mengangkatku lagi.

"Sebentar!" Tangannya berhenti karena ucapanku. "Aku masih belum boleh berjalan?"

Dia menggeleng, yang mana membuatku pasrah diangkatnya lagi(walau jatinya memalukan).
M

au bagaimana lagi? Anggaplah ini pelatihanku untuk belajar "bersandar" dengan Shikigami ku sendiri. (Maafkan aku, Rin. Bukan berarti aku mengkhianatimu atau apapun.)

Nagi memilih lorong yang berada tepat di depan pintu kamar tadi. Pemandangan taman Zen yang menjadi latar halamannya lumayan indah, mungkin itu alasannya memilih tempat ini--mungkin.
Dia menurunkanku disana dengan dirinya yang duduk disebelahku.

"Makanlah." Dia menyodorkan piring Onigiri itu padaku. "Mau kusuapi?"

Sungguh, aku merasa sesuatu yang hangat di malam sejuk itu menimpa pipi hingga telingaku.

"A-aku bisa sendiri, terima ka--," jawabku gagap dan belum juga selesai, Nagi sudah menyuapkan Onigiri yang disodorkan ke mulutku.

Aku sedikit terkejut. Tatapnya lurus tanpa sepatah kata. Kenapa rasanya dia seperti ingin sekali?

Mengunyah sebagian yang ku gigit sebelum tertelan, dia bertanya.

"Enak?"

Aku tak bisa berkata-kata. Tidak, bukan karena rasanya. Rasanya aman saja, bisa dimakan. Tapi barusan... dia kenapa?

Karena aku tak juga merespon, Nagi melihat ke Onigiri yang ada di tangannya dan menggigit bagian yang kugigit tadi. Dia mengunyahnya.

"Masih lumayan."

Dia menyodorkannya kembali padaku. Jelas aku menyadari apa yang dimaksud dengan ini.

Ciuman tidak langsung!!

Sadar atau tidak sadar dia melakukannya, seketika aku memikirkan hal itu. Tapi Nagi seakan tak memikirkan itu.

Buru-buru aku mengambil Onigiri yang baru dan memakannya. Senyum kutampakkan.

"Beneran enak kok, kau pandai membuatnya Nagi!" puji ku.

Nagi lagi-lagi termenung, hanya lirikannya saja yang berbicara--mengikuti gerakku menyantap Onigiri buatannya.
Karena takut salah tingkah, aku pura-pura merapikan helai rambut sampingku sambil membuang wajah. Entah kenapapikiranku lari kemana-mana, hanya karena tatapan diam dari Nagi.

Tiba-tiba saja aku teringat dengan Reo. Mungkin dia tak akan bertingkah sepertiku karena dia sudah terbiasa dengan Nagi.

"Oh ya, Nagi," Aku memecah kecanggungan. Dia berhenti mengunyah untuk sejenak. "Kudengar dari Reo, kau sudah lama bersamanya semenjak kalian, urm, lari dari kediaman Mikage."

Nagi mengangguk tanpa mengatakan apa-apa lagi.

"Dia sangat... berterimakasih padamu karena hal itu. Apa... kau tak merasakan apapun darinya?"

Pertanyaanku kali ini seperti menekan saklar di kepalanya. Tatapan lurusnya yang tadinya mengarah terus padaku kini jatuh ke bawah.

"Entahlah."

Terus terang sekali jawabnya.

"Mungkin seperti... Reo dan aku seperti ditakdirkan untuk bersama."

Keterkejutanku barusan seketika luruh. Nagi ternyata juga merasakannya, tali penghubung dua orang itu. Tak tampak memang, tapi bisa dirasakan seberapa kuat tali itu mampu mengikat atau merenggang.

"Tak ada yang kau rasakan lagi selain itu?" tanyaku kembali.

Kali ini Nagi menoleh padaku. Alisnya terangkat.

"Reo mengatakan sesuatu padamu?"

Dan tebakannya tepat sasaran.

"Sedikit banyak begitu." Dan aku tak bisa berbohong soal itu.

Sejenak Nagi terdiam, dia kemudian memandang langit malam dengan bulan yang kini tengah tiada--bulan baru.

"Reo tempatku untuk kembali. Kurasa dia seperti rumah," jelasnya.
"Sebelum aku bertemu dengannya, aku selalu berpindah-pindah. Kitsune putih dengan nama marga ku hanya tinggal aku saja. Setelah perang besar Ayakashi dan Manusia yang disebabkan dirimu yang dulu, keluarga besarku terenggang nyawanya. Hanya aku yang tersisa karena masih terlalu muda."

Tusukan menyakitkan menembus hati ku. Pahit dan perih kembali membasuh. Bagaimana aku bisa memaafkan diriku di masalalu jika kesalahan itu menjalar dan berdampak besar hingga sekarang? Bahkan pada orang-orang yang harusnya kulindungi.

Tanganku meremas kain baju. Sementara Nagi terus melanjutkan ceritanya.

"Dan karena aku sendiri yang masih hidup, dunia Ayakashi mengira aku adalah pembawa sial--kau bisa menyebutnya seperti kutukan. Itu kenapa aku dikucilkan. Sampai seorang penjaga kuil menawarkanku tempatnya."

Oh, kurasa ini yang baru.

"Kuil tempat Reo menemukanmu itu?" potongku. Dia hanya mengangguk.
"Oh iya, katanya kalian bertengkar keras dengan marga lain saat itu. Kenapa sekarang kuilnya masih berdiri?"

"Kau pikir Reo akan membiarkannya?"

Dia ada benarnya. Mana mungkin Reo membiarkan tempat penuh momen itu hancur begitu saja, apalagi menyangkut Nagi.

"Bagaimana kau bisa menemukan penjaga kuil itu?" tanyaku kembali.

Nagi mengerjapkan matanya, dia mulai menata kata sambil mengingat masalalunya.

"Saat itu, aku kelaparan setelah berjalan jauh. Karena terlalu lapar, aku mengambil makanan yang terjatuh dari meja seorang pedagang. Dia menyebutku pencuri. Padahal benda itu sudah menyentuh tanah dan tak mungkin dijual lagi."

"Banyak Ayakashi yang mengejarku, sampai tanpa akhirnya aku menemukan sebuah kuil. Entah itu kuil yang masih ada di dunia Ayakashi atau dunia manusia. Tempat itu seperti berdiri di tengah-tengahnya."

"Saat itu, hujan mulai turun cukup deras. Tubuhku kedinginan dan mulai mati rasa.  Aku sudah terlalu lemas dan jatuh di halaman kuil itu, pasrah saja jika aku tertangkap oleh mereka."

"Sampai tiba-tiba saja pantulan sihir menghalang para Ayakashi yang mengejarku. Sambaran-sambaran petirnya membuat mereka takut dan pergi meninggalkanku. Dan di saat itulah, sosok pria datang menghampiriku dengan payungnya."

"Sepertinya dia menanyakan kondisiku, sebelum aku pingsan karena tak kuat lagi saat itu. Tapi aku masih ingat, bagaimana dia membawaku masuk ke dalam kuil dan merawatku hingga aku terbangun."

Nagi kemudian mengamati telapak tangannya. Pikirannya menyelam dalam ingatan.

"Tangannya lembut dan sedikit hangat. Saat aku terbangun, dia mengatakan padaku kalau dia seorang penjaga kuil ... aku tidak ingat namanya."

"Dia bertanya banyak tentangku sampai akhirnya memutuskan agar aku menjaga kuil bersama dengannya. Aku menerima itu."

Kepalanya mengangguk-angguk. Sebentar aku merasa deskripsi penjaga kuil ini terdengar familiar.
Memilih untuk diam, aku terus mendengarkan Nagi.

"Aku tinggal lama bersamanya selama bertahun-tahun dan menyadari kalau dia tinggal di kuil itu seorang diri. Meski terkadang dia kedatangan tamu sekali atau dua kali, dia melayani nya sendiri sementara aku mempersiapkan beberapa hal jika dibutuhkan."

"Hanya saat dibutuhkan. Kukira dia belum mempercayaiku sepenuhnya. Sampai aku tau kalau dia orang yang tak memikirkan dirinya sendiri."

Pandangan Nagi tiba-tiba menggelap, seperti dia kecewa berat dan menyesal pada saat bersamaan.

"Dia rapuh, sama sepertimu. Tapi berlagak kuat dan berpikir dia akan baik-baik saja. Jika aku tak memojokkannya, mungkin dia tak akan pernah menyerah dengan itu."

Tiba-tiba saja saat Nagi mengucapkan itu, aku mampu melihat kilasan masalalu yang menggambarkan lelaki muda bersurai putih di hadapanku--Nagi masa muda dan sosok pria dengan wajah yang buram.

Nagi muda berkata dengan tegas, nyaris dengan amarah. "Kau punya aku, kenapa tak menggunakanku?"

Tapi pria itu hanya tersenyum. "Aku tak ingin memberatkanmu hanya karena tugasku, Nagi. Kau masih muda, bersenang-senang lah dengan Ayakashi di luar sana."
Dia mengusap kepala Ayakashi muda itu.

Pengelihatan itu kemudian berpindah saat dimana pria itu terhuyung dan rubuh di jalan menuju pintu kuil.
Tangan Nagi dengan cepat menangkapnya. Dia sudah memiliki tubuh yang besar dan kuat, seperti sekarang.

"...N-nagi?" tanya pria itu, suaranya terdengar  lemah.

"Sudah cukup." bisik Nagi.

Dia langsung mengangkat pria itu tanpa mendengarkan satu pun kata yang muncul dari sang pria.
Nagi seketika menjadi sangat diam sambil merawat pria yang kini dibaringkan diatas futon.
Alisnya mengerut, tangannya mencengkram semakin keras secara perlahan diatas kain bajunya.

"Kenapa aku merasa kesal?" batin Nagi, dia tak mengerti.

Suara batuk semakin terdengar keras dari pria yang setengah terlelap itu. Sontak pundak Nagi menegang saat dia berusaha memeriksa kondisi sang penjaga kuil.
Obat-obatan seperti biasa diberikannya, itu obat yang biasa ditemukannya dari pasar.
Kenapa aku merasa obat itu tak akan bekerja selain hanya menahan rasa sakitnya?

"Apa tak ada yang bisa kulakukan?" tanya Nagi pada sang pria.

Pria itu hanya tersenyum lemas. Dia bangkit perlahan untuk duduk, tentu dengan bantuan dari Nagi. Kemudian dia menulis sesuatu di kertas sebelum diberikan kepada Nagi.

"Berikan ini pada tamu yang akan datang hari ini. Katakan padanya, kondisiku sedang lemah, aku tak bisa menemuinya. Sampaikan juga permintaan maafku."

Nagi menerima itu. Tak lama kemudian, tamu dengan topi caping berukuran besar datang. Nagi seperti seharusnya memberikan pesan dan permohonan maaf itu. Seketika tamu itu mengerti dan pergi.

Esok paginya, Nagi terbelalak dengan apa yang dilihatnya. Tuannya--yang tak lain adalah sang pria penjaga kuil--menyiapkan diri untuk pergi dari kuil dengan tamu kemarin yang berkunjung lagi.

"Kau bebas sekarang, Nagi," ucapnya.
Yang jelas itu bukanlah sesuatu yang Nagi inginkan.

"Aku tak ingin pergi. Aku tetap ingin disini, menunggu tuan kembali."

Pria itu terkesiap untuk sejenak sebelum berkata dia akan pergi dengan ucapan akan kembali lagi.
Dam nagi percaya dengan hal itu, hal terakhir di waktu terakhir Nagi dapat bertemu dengannya.

Dia tak pernah kembali, tak peduli seberapa lama tahun beralih. Tapi Nagi tetap tinggal di kuil itu, meski kondisi sudah lapuk sekalipun(karena dia tak bisa benar-benar memperbaiki sesuatu).
Hingga akhirnya Reo datang menemukannya dan membawanya.

Kesadaranku nyaris menyelam terlalu dalam ke ingatan itu, sampai-sampai aku tak mendengarkan Nagi yang terus memanggilku, hingga dia mencubit pipi ku sampai terasa sakit. Aku memekik perih.

"Oh, udah balik ternyata," katanya saat aku mengusal-usap bekas merah cubitannya. "Kau melamunkan apa sampai tuli begitu?"

Aku melirik sinis padanya, awalnya, sebelum empati ku memilih untuk jatuh dalam kesepian yang dia rasakan dari memori itu.

"Kau pasti merindukannya," balasku.
Nagi membelalak, seakan apa yang kukatakan itu memang benar adanya. "Sekarang aku tau kenapa kau bertingkah kasar sebelumnya. Kau peduli dan ingin aku tau itu."

Nagi melepas nafasnya. Pundaknya entah mengapa seperti baru saja melepas beban berat yang menegangkan.

"Selama kau sudah mengerti, itu sudah bagus."

Aku tersenyum miring. "Terima kasih, ya, Nagi."

Kali ini dia melirik sedikit sebelum membuang wajahnya secara perlahan kearah yang lain. "Itu sudah tugasku. Selama kau berjanji tak akan mengulangnya lagi."

Aku ingin sekali berkata tidak janji, tapi aku tak ingin Nagi melakukan hal lain yang mungkin jauh lebih kasar daripada yang tadi.

Merapal sihir, kumunculkan suatu sihir yang memicu dua cahaya. Satu cahaya terbang di depan Nagi, satu lagi di depanku. Keduanya perlahan lenyap saat melayang di depan dada.

"Itu tadi bentuk janji ku padamu. Kalau aku mengkhianatinya, kau bisa melakukan apapun padaku. Anggapannya, kekuatanmu setara dengan Onmyoji-mu, tapi hanya untuk kondisi ini saja," jelasku.

Hanya untuk sekilas, sedikit sekali, Nagi tersenyum dengan kesepakatan itu. Dia menyentuh permukaan dada tempat cahaya itu tadi meredup. Menutup matanya sejenak sebelum kembali melihatku.

"Ada lagi? Kau kelihatan belum selesai," ujarnya.

Ah, ya, aku lupa lagi soal Reo.

"Jadi sekarang yang menjadi rumah mu, Reo kan?"

Nagi tak merespon, sepertinya dia agak bingung.

"Aku berbincang dengannya saat di dunia Ayakashi. Dia bilang kau spesial. Karenamu dia juga punya alasan untuk hidup lepas dari penderitaannya--perjodohan itu."

Pandangku mendongak ke angkasa. Seakan aku berharap ayah ada disana untuk meyakinkanku tentang apa yang akan kuucapkan selanjutnya adalah pilihan yang benar.

"Kurasa kau harus berbicara dengannya. Dia ingin menyatakan sesuatu padamu, hanya saja... dia tak punya cukup keyakinan untuk itu."

Netra Nagi melebar perlahan, dia mulai menangkap maksudku.

"Dia beruntung bisa memilikimu, Nagi," lanjutku.
"Setelah ini pergilah ke kamarnya. Aku bisa tidur sendiri, tak akan kemana-mana lagi sampai nanti esok hari."

Merasa teryakini, Nagi perlahan mengangguk seperti peliharaan penurut yang mendengar tuannya.
Setelah makan malam menghilang habis dari piring, Nagi membawaku kembali keatas futon(meski kubilang itu tak jauh dan aku bisa berjalan sendiri, dia menolak). Barulah kami berpisah sambil mengucap selamat malam.

Besok, aku harus sudah baikan. Untuk membawa Shikigami-shikigami ku kemari dan barang-barang ku juga.

Mata ku terpejam, sekali lagi terlelap dalam dunia mimpi.
Suara seseorang terdengar semilir di telingaku. Dia berkata...

"Kau melakukan hal yang benar."

+ + + +

Matahari menyingsing dengan cahaya hangat saat aku, Reo, dan Nagi berniat untuk berpamitan dengan Shiba.

"Kalian akan kembali lagi, kan?" Dia menggonggong riang. Aku mengangguk.
"Hati-hati di jalan, (name)-san, Reo-dono, Nagi-dono. Aku akan menunggu kedatangan kalian kembali!"

Kami berpisah sambil melambaikan tangan. Berjalan menuju gerbang Heian-Kyo, sedari tadi aku melihat Reo agak bertingkah... aneh. Seperti...

Seperti sesuatu baru saja terjadi malam kemarin, batinku menahan seringai. Nagi sempat menoleh padaku, sepertinya dia mendengarnya. Buru-buru aku mengalihkan diriku untuk melakukan hal lain, contohnya memandangi kolam ikan yang beriak karena ikan-ikan yang berenang di dalamnya.

Entah benar atau tidak, sepertinya hubungan Ayakashi dan Onmyoji memang bisa memiliki sesuatu seperti telepati begini. Sejauh aku membaca gulungan, belum ada yang menjelaskan itu.
Kurasa aku akan mempelajarinya lebih lanjut nanti.

"Reo," panggilku, agaknya dia terkejut. Hal itu nyaris saja membuat tawaku lepas. "Tolong, teleportasinya."

"O-oh, iya." Reo membuka kipasnya setelah merapal sihir, membawa kami menghilang dari gerbang dengan teleportasi yang mengarah pada kediaman master.

Sampai disana, aku menemukan Rin yang kebetulan berjalan di lorong, terlihat dari gerbang.
Dia menyadariku. Saat itulah aku melihatnya kembali berdiri tanpa satupun luka atau perihnya kesakitan dari tubuhnya. Air mataku kembali menggenang saat dia agak berlari kearahku.
Bukan lagi dirinya, tapi aku yang berinisiatif duluan untuk merangkulnya seperti dulu.

Dia terkejut, sejenak terdiam tak percaya, hingga perlahan maniknya yang melebar luruh menjadi lembut.
Tangannya merangkul punggungku, tulang pipinya mendarat disamping kepalaku, dimana dia bernafas dengan tenang disana.

"Okaerinasai, hime-sama."

Senyumku melebar dalam dekapan yang menemukanku kembali pulang ke rumah.

"Tadaima, Rin."

+ + + +

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro