Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Nagi & Reo • STAGE 1 • Anjing Penjaga dan Toko Serba Ada

Hari sudah berganti tapi kondisi Chigiri masih belum membaik. Kau semakin khawatir, kegundahanmu terus memuncak. Apakah masih ada harapan... atau tidak?

Rasa berat itu terlukis jelas di wajahmu. Hal yang nampak jelas itulah yang membuat Isagi selalu ada di sisi mu. Dia tau, bukan hanya masternya yang kini dalam kondisi tidak baik, tapi kau pun juga, setelah hari itu.

"Ocha?" tanyanya saat membawa segelas ocha padamu. Kau tak lagi mengangguk seperti biasanya. Tatapmu tertuju pada hutan belantara yang selalu gemerisik ditiup angin, membawa aroma yang melegakan dada--tapi kali ini tak berefek sama sekali padamu.

Isagi meletakkan gelas ocha disampingmu. Dia duduk bersebelahan denganmu tanpa sepatah kata apapun lagi. Menemanimu adalah hal terkecil yang bisa dia lakukan saat ini.

Suasana begitu aneh saat sunyi dan sepi begini. Para Kappa tak mengecipakkan air kolamnya, mereka rela tak menimbulkan satu suara pun demi pemulihan masternya.
Dan Bachira tak ramai ataupun bermain bola di halaman seperti biasanya. Bukan berarti dia tak mau bermain.

"Master?" tanya Bachira yang datang padamu. Suaranya terdengar kecil, raut wajahnya melambangkan kesedihan yang tak mampu kau utarakan. "Mau main bentar?" Bola itu dibawanya. Dia berniat untuk mengusir rasa sesak darimu, tapi dia tak berani berkata lebih dari kalimat itu karena takut semakin memperburuk suasananya.

Kau tak menjawab, hanya menoleh, lalu duduk menekuk lutut lagi sambil melihat tanah. "Master," panggilnya lagi, kini duduk di sisi yang berlawanan dengan Isagi.

Nafasmu serak. Bibirmu bergumam. "Ini salahku." Kau bisa merasakan hati mu mulai goyah. Sengatan hangat mengambang di matamu dan kau tak bisa lagi menghentikan itu jika sudah muncul.

Dua Shikigami di samping mu langsung menenangkanmu. Pundakmu mulai gemetar. Tangis mu tak bersuara, tapi mereka bisa mendengar kencangnya rasa sakit yang mengalir di pipimu itu, jatuh membasahi tanah seperti hujan di musim kemarau.

Suara bak gemuruh juga terdengar, tapi tidak dari langit. Itu Monsta. Dia ada di dekatmu dengan melengkungkan senyumnya kearah berlawanan. Dari gemuruh miliknya, kau bisa memahami kalau dia pun merasakan 'hujan' yang jatuh dari lensamu.

Semua yang ada di sampingmu kini berteduh di payung rasa yang sama sepertimu. Kondisi yang sama sepertimu. Kau tak sendirian. Kau memiliki teman.

Tak lama kemudian, tapak kaki terdengar. Anri muncul dari suatu lorong dengan wajah cemas dan itu membuat kalian semua menoleh padanya. "Boleh aku minta tolong kalian?" tanyanya, kembali dia lanjutkan. "Luka yang diterima master bukan luka biasa. Ini bekas serangan Ayakashi tingkat Daishu*. Sihir ku tak mampu untuk menyembuhkannya. Obat racikan biasanya pun tak berefek padanya. Takutnya obat penawarnya hanya bisa ditemukan di dunia Ayakashi."
*Tingkatan Ayakashi, nanti akan dibahas di bagian paling bawah.

"Daishu?!" ujar Isagi tak percaya. "Itu bukannya tingkat kuat banget, ya, Isagi?" timpa Bachira. Isagi mengangguk. "Hanya beda 2 tingkatan saja dengan Daishoku*, tingkatan tertinggi."

"Waah.. kalau aku dan kamu dimana?" tanya Bachira sambil terkagum.

"Kita tepat dibawah Daishu--namanya Shoshu*. Tingkat keempat dari dua belas."

"Kuat juga dong berarti?"

"Hmm, anggapannya tingkat awal dari label kuat dalam dunia Ayakashi sih."

Bachira mengangguk-angguk pada penjelasan Isagi sambil menyentuh dagunya. Dia baru mengetahui sampai sedetail itu.

Kau menyeka air matamu. Kakimu bangkit seketika. "Aku akan pergi." Jawabanmu itu membuat semua pasang mata tertuju padamu. "Dimana pun itu, aku akan mendapatkan obat untuk master!"

"Aku ikut," sahut Isagi dengan cepat. "Ikoot! ikooot!!" seru Bachira yang langsung di diamkan Anri dengan sihirnya.

"Isagi." Kau melihat kearah Isagi. Isagi menjawabmu dengan lugas. "Aku akan memandumu di dunia Ayakashi. Tempat itu bukan tempat aman untuk manusia. Bahkan Onmyoji pun harus tetap waspada disana. Master memintaku untuk menjagamu."

Lensamu berdecak. Bukan hanya karena ucapan Isagi, tapi juga pesan master yang tersirat dalam perkataannya. Sebegitu pedulinya dia padamu.

Tapi kau menggeleng. "Jaga master untukku, Isagi." Balasanmu itu membuatnya terkejut. "Aku mohon, Isagi. Kita tak tau apakah Ayakashi itu berniat menyerang master saat kondisi seperti ini atau tidak. Kau harus melindunginya lebih dulu sebagai tugasmu menjadi Shikigami nya. Aku akan membawa Bachira untuk pergi kesana."

Isagi ingin sekali menolak permintaanmu itu, tapi permohonan mu yang tulus, juga prediksi mu yang bisa jadi benar membuatnya mengalah dan menerima. "Baiklah."

Kau berusaha tersenyum meski perlahan padanya. "Terima kasih." "Tapi apa Bachira pernah ke dunia Ayakashi sebelumnya?" Pertanyaan Isagi itu seketika membuat Bachira menjadi pusat perhatian.

Bachira menyadari itu dan dengan santainya berkata. "Kalau belum dicoba, nggak pernah tau, kan?" Sambil menekuk dua tangannya dibalik kepala. Ketiga orang selain dirinya seketika kecewa. "Lho?" Dia malah bingung dengan reaksi itu.

"Kalau begitu, aku akan menyiapkan peta dan petunjuk untuk perjalanan kalian. Tunggu sebentar." Isagi kemudian berlalu.

"Maaf merepotkan. Aku minta tolong, ya, (name)," ucap Anri. Kau berkata kalau itu bukan apa-apa dan menganggap itu sebagai penembus kesalahanmu.

Anri hanya tersenyum melihat kalimat itu terucap darimu. "Tidak. Master pasti tak menganggap itu salahmu." Kau tak percaya dengan itu, tapi Anri meyakinkan hal itu padamu. "Master bukan orang yang pendendam pada pengikutnya. Kejadian yang menimpa kita juga pasti memiliki maksud tersendiri, jangan diambil hati. Kau juga sudah berjuang melawan Ayakashi itu bersama Isagi. Itu saja sudah cukup untuk master."

Kau nyaris menangis lagi, tapi kau gigit bibirmu untuk menahannya. Tak lama kemudian Isagi kembali dengan gulungan kertas dan kantung kecil untukmu. Jelas itu adalah peta juga benda berguna untuk pergi ke dunia Ayakashi.

"Dunia Ayakashi tidak menggunakan mata uang milik manusia. Pakai saja koin yang ada di kantung ini," ujarnya. Kau menerima isi kantung itu dan mendapati koin-koin berbentuk aneh, berbeda sekali dengan yang biasa kau gunakan.

"Hati-hati di dunia Ayakashi," ucap Anri. Kini alisnya mengerut dengan kewaspadaan yang tersulut dari matanya. "Jangan mendengarkan siapapun selain Shikigami mu. Kau hanya kesana untuk membeli penawar dan segera pulang, mengerti?"

Kau mengangguk padanya. Dengan begitu, kau juga Bachira berpamitan untuk pergi ke dunia Ayakashi bersama. Gulungan kertas kau gunakan untuk memasang koordinat titik pergi mantra teleportasi. Seketika kalian lenyap dari tempat.

Sementara itu, Anri dan Isagi melihat kepergianmu. Anri mendengus nafas khawatirnya. "Aku harap mereka akan baik-baik saja disana."
Isagi melihat tempat terakhir dirimu pergi. "Mereka pasti baik-baik saja. Aku percaya dengannya." Sambil mencengkram sarung pedang miliknya dengan erat.

+ + + +

Akhirnya mantra teleportasi mendarat di suatu jalan pegunungan tinggi. Kau bisa melihat ada gerbang tori di ujung sana, kesanalah kau akan pergi. Bachira di sampingmu, mengikuti langkahmu.

Dalam langkah kalian yang bersampingan menuju gerbang itu, suatu tanda tanya datang dalam pikiranmu. "Bagaimana Isagi bisa ada disana saat itu?" gumammu itu terdengar oleh Bachira. "Master Chigiri manggil dia pakai kertas sihir," jawabnya. Kau baru sadar suaramu cukup terdengar olehnya.

"Kertas sihir yang untuk memanggil Shikigami itu, ya?" Pertanyaanmu dibalas anggukan Bachira. "Kukira dia kemana. Pas itu kami lagi jalan-jalan nyari kudapan. Habis dapet mochi, dango, terus gulali..." Kau mulai merasa kalau Bachira di hari itu belanja dengan Isagi justru menyusahkan Shikigami master itu. Pikiran Bachira masih seperti anak kecil, jelas dia bukannya mencari bahan belanja tapi malah ke yang lainnya.

"Terus tiba-tiba ada lingkaran nyala dibawah Isagi. Habis itu.. poof! Isagi hilang! Chira bingung dia kemana. Chira takut Isagi ngambek gara-gara Chira. Terus karena lama nggak ketemu, Chira balik deh."

"Baliknya nggak nyasar, kan?" tanyamu memastikan.

"Eeeh? Master se-nggak percaya gitu sama, Chira?"

"Barangkali."

Tangannya disilangkan di balik kepalanya. "Nggak kok." Lama dia terdiam, sampai dia mengaku. "Agak sih, ehehe~"

Kau menghela. Sudah kau duga itu pasti terjadi. "Tapi Chira berhasil balik kok! Ada burung baik yang ngarahin Chira pulang."

"Burung baik?" Kau merasa makhluk itu seperti bukan makhluk biasa. Bachira mengangguk. "Dia nganterin Chira sampai gerbang! Pas itu Chira baru liat master duduk bareng Isagi di teras. Chira kira master sedih karena Isagi ngadu ke master soal Chira. Jadi Chira nggak nemuin master. Chira langsung cabut ke kamar. Sampai Chira tau ternyata masternya master lagi sakit. Terus Chira mikir, mungkin kemarin Isagi dipanggil pakai kertas sihir."

Sejenak kau menjadi hening. Bisa jadi master mu sempat memanggil Isagi saat kau sedang bertarung dengan Ayakashi api biru saat itu. Mungkin saja master mu khawatir kau tak bisa mengalahkan Ayakashi itu sendirian.
Rasa bersalah kembali mengusapmu, mengingat master mu melakukan hal itu demi melindungimu dan kau malah memberikan yang sebaliknya.

"Master." Panggilan Bachira membuat menoleh padanya. Senyum dan suaranya barusan lebih lembut dari biasanya. "Aku juga ingin bisa melindungi master seperti Isagi. Kau berjanji kan, soal kita yang akan terus bersama."

Bachira baru saja mengingatkanmu soal janji yang kau berikan padanya saat membuat kontrak Shikigami saat itu. Entah kau lupa memanggilnya atau belum terbiasa dengan kertas sihir pemanggil masihan--seakan kau melupakan ucapanmu sendiri hari itu.

Shikigami mu itu tiba-tiba berdiri di depan menghalangi jalan. Dua tanganmu ditangkapnya bersama dan tatapnya lurus kepadamu beserta senyumnya yang tak hilang. "Kalau master dalam bahaya, panggil aku, ya? Mau bagaimanapun, aku juga Shikigami mu, kan? Aku juga ingin bisa menjadi Shikigami yang baik seperti Isagi. Aku ingin berguna untukmu, master."

Lensamu melebar perlahan, kau termenung sejenak sebelum mengangguk padanya. Dua matanya lantas terkatup, melengkung seperti bulan sabit.
Mulai saat itu kau berjanji akan mengingat Bachira sebagai Shikigami yang siap untukmu kapanpun. Itu sudah tugasnya dan dia ingin melakukannya. Sisanya hanya ada pada dirimu sebagai pemanggilnya.

Setelah percakapan singkat itu, kalian sampai di sebuah gerbang tori yang berujung hutan berkabut tebal.
Kau merogoh tas kecil pemberian Isagi tadi dan menemukan kertas sihir yang memiliki arti "Pembuka". Bibirmu komat-kamit membaca mantra yang tertulis begitu kecil disana.

Tiba-tiba saja kertas itu melayang di tanganmu dengan warna kebiruan, kemudian terobek menjadi dua. Tanah seketika terguncang, sesuatu yang kuat jadi penyebabnya.
Benar saja, Tori di depan kalian seketika membelah diri menjadi banyak. Seperti gerbang yang berbaris menjulur jauh sampai ke ujung.

Kau dan Bachira saling menatap saat cahaya-cahaya kecil melayang, berderetan di gerbang-gerbang Tori yang seakan mempersilahkan kalian masuk.
Cahaya kecil menyerupai api itu adalah api jiwa atau biasa disebut roh. Itu juga yang menjadi jantung Ayakashi gagak biru yang pernah menyerangmu saat itu. Hanya saja yang kau lihat kini hanya bertugas untuk menerangi jalan Tori.

Hanya terdengar gema tapak kaki juga kabut dingin yang membuat dirimu menggigil. Sebelum kemudian kalian berdua mulai menemukan secercah cahaya di ujung sana yang terang dan semakin terang.

Saat kalian mencapai ujung rentetan Tori, pemandangan bak pasar malam yang ramai menyapa kalian. Riuh sekali disana, seperti keramaian manusia, tapi bedanya disini makhluknya aneh-aneh. Ada yang berbentuk seperti ikan, berekor kucing, bertubuh besar, sampai yang paling kecil sekecil katak pun ada.

Bukannya takut, kau malah terpesona dengan pemandangan tak biasa itu. Tempat ini seperti distrik lampu merah karena lelampuannya yang dominan dengan warna merahnya.
Banyak juga penjual disana menjual banyak hal, walau yaa... tak begitu manusiawi. Bayangkan saja, sup bola mata dan potongan daging manusia. Kalau dari sisi kuliner, mungkin kau bisa saja mual. Tapi di lain sisi, pernak-pernik mereka tampak mengkilap dan menarik--bahkan lebih indah daripada hiasan seorang Geisha.

Kau dan Bachira tak jauh berbeda reaksinya. Bagai anak kecil yang diajak jalan-jalan ke tempat baru dan tak sabar untuk menjelajahi sampai ke sudutnya. Hanya saja kau teringat apa yang sedang kau cari sekarang, ini demi master mu!

"Bachira, kita harus mencari--" kau menoleh ke kanan dan sudah tak menemukan Bachira disana. Mulailah kau panik dimana Shikigami mu itu berada. Jalanan itu seketika menjadi ramai, banyak Ayakashi yang menatap mu aneh, dan melewatimu. "Wah wah~ Bagaimana bisa anak manusia kemari?" sosok bersurai panjang dengan lehernya yang panjang pula bertanya padamu. Kulitnya pucat seperti orang mati. Senyumnya merah berdarah dengan rentetan gigi tajamnya.

Bukan hanya dia, sosok Ayakashi berkepala ikan dan bertubuh besar juga mendekatimu seperti melihat sesuatu yang baru. "Anak manusia? Mana?" "Bisa dimakan, kah?"

Kau merasa keramaian itu semakin menjadi dan memusatkanmu di tengah-tengah mereka tanpa jalan keluar. Saat kau mulai mengkhawatirkan keselamatanmu dari ancaman yang muncul dari tiap tangan mereka yang hendak meraihmu, suara gongggongan terdengar.

Dua anjing putih--bukan, itu bukan anjing. Itu rubah! Rubah berbulu putih dengan alis bulat juga ujung telinga mereka yang berwarna jingga, mereka masuk membelah keramaian dan menggonggong pada siapapun yang ingin menyentuhmu.
Para Ayakashi langsung menarik tangan mereka, seakan mereka lah yang melihat ancaman saat hendak meraih dirimu.

"R-rubah putih kembar?!" ucap salah satunya terkejut sambil menitikkan keringat.

"Disana kalian ternyata." Suara yang terdengar lemah kemudian muncul dibalik kerumunan yang membulati mu itu. Tubuhnya begitu tinggi. Dua lensanya tampak mengantuk seperti orang yang belum sempat bangun dengan benar. Di ujung kepalanya kau melihat dua telinga yang mirip sekali dengan dua rubah yang ada di sisimu kini.

"Jangan bilang, dia Nagi, Kitsune Penjaga?!" ujar wanita berleher panjang.

Sosok tinggi bernama Nagi itu melirik padanya juga Ayakashi yang lainnya. Dalam diamnya, dia mampu mengusir mereka semua. Tersisa dirimu dan dua rubah putih itu.
Manikmu dengannya bertemu, dua orang yang saling mempertanyakan kenapa kalian ada disini.

"Anak manusia," katanya. "Ada perlu apa kau kemari? Bukan cari mati, kan?"

Rasanya dia baru saja mengsarkasimu. Kembali serius, kau menyalahkan tebakannya dan menyatakan kalau kau kemari untuk mencari sesuatu. Tapi kau tak mengatakan untuk apa itu kecuali untuk "orang yang sedang sakit dan obatnya hanya bisa ditemukan disini.".

"Oh." Nagi mengerjap dan termenung sejenak sebelum dia memutar badan sambil memanggil dua rubahnya. "Aku tau tempatnya. Ikut aku."

Kau sudah ingin mempercayainya, tapi perkataan Anri tadi menahan kaki mu untuk berjalan mengikutinya. Nagi menoleh padamu yang tak juga bergerak. "Kenapa?"

Bibirmu masih diam sambil terus melihatnya. "Maaf, aku bisa mencarinya sendiri." Saat kau hendak berjalan pergi, sekali lagi ucapan Nagi menghentikanmu. "Dunia Ayakashi tak seaman dunia manusia. Kau mau jadi makan malam?"
Kau melirik lagi pada Nagi yang kini melipat dua tangannya. "Ditambah lagi, sepertinya temanmu hilang, kan?"

Nagi seakan tau kau membawa Shikigami bersamamu. Jangan bilang dia tau aku Onmyoji? batinmu.
"Sulit menemukannya kalau sudah ngeluyur disini. Kalau kau ikut aku, akan kubantu nanti. Gimana?" tanyanya.

Kau jadi dibuatnya mempertimbangkan pilihan. Sebentar kau merogoh tas kecil dari Isagi, mencari sesuatu, dan mengambil koin yang kau sodorkan pada Nagi sebagai imbalanmu.

Nagi mengangkat alisnya. "Buat apa itu?" Kau bingung sendiri. Bukannya Ayakashi yang seperti ini minta imbalan pada akhirnya? Kau bahkan menyatakan padanya kalau kau memberinya imbalan itu. Tapi Nagi membalas "Yang begitu aku punya banyak. Aku nggak butuh itu lagi. Ayo." kemudian berjalan pergi.

Mau tak mau rasanya kau mengikutinya, mana dua rubahnya melompat kegirangan saat kau mengikuti Nagi. Entah apa yang akan Nagi lakukan padamu nanti, semisal dia punya niat jahat, kau tau apa yang harus kau lakukan saat itu.

+ + + +

"Sudah sampai," ujarnya. Kau mendongak keatas dan melihat suatu bangunan berbentuk toko dengan palang lempengan emas diatasnya. Toko Serba Ada - Mikage.

Rasanya yang seperti ini sering kau temui di dunia manusia. Tak jauh berbeda rupanya. Kau dan Nagi melangkah masuk ke tempat itu. Pintunya cukup tinggi juga, bahkan Nagi tak perlu menunduk saat memasukinya, berbeda dari toko lain yang mungkin saja Nagi kesulitan untuk masuk ke dalam.

"Selamat datang!" seru sosok yang ada didalamnya dengan senyum riang setelah meletakkan suatu kotak berisi barang-barang. "Oh! Nagi toh?"

Nagi mendekati langsung sosok itu.

"Reo, kan aku sudah bilang kalau mau angkat-angkat panggil aku saja."

"Tapi kan kau tadi masih istirahat jalan-jalan."

"Tinggal panggil apa sulitnya. Ada lagi?"

"Nggak, itu yang terakhir, ringan juga kok. Aman, aman."

Pundak Nagi langsung bergerak turun, kau juga sempat melihat telinganya menekuk sedikit. Kitsune bisa dengan mudah ditebak emosinya ya ternyata?

"Ngomong-ngomong, siapa anak yang kau bawa ini?" Sosok yang kau tebak bernama Reo ini melihat mu dari bawah sampai atas. Perawakannya mirip dengan Nagi, sosok Kitsune, bedanya yang ini berwarna ungu dan tidak ada rubah peliharaannya saja.

"Anak ilang," jawab Nagi yang membuat urat di pelipismu berdenyut kesal. "Katanya dia nyari obat buat orang sakit."

"Ooh, obat. Silahkan, silahkan! Kami punya banyak dan beragam, anak manusia. Toko ini serba ada untuk apapun. Aku pemiliknya, namaku Reo Mikage, kitsune api ungu," tuturnya begitu ramah padamu. Kau hanya mengangguk-angguk sambil ikut memperkenalkan diri tanpa menyebutkan dirimu sebagai Onmyoji, hanya orang biasa katamu.

Reo melipat tangannya. "Orang biasa bisa kemari? Gimana caranya?" "Dia punya peta juga koin Ayakashi, Reo," timpal Nagi.

"Hah? Itu kan cuma bisa dipunya Ayakashi. Oh, apa jangan-jangan..." Dia berpikir sejenak. "Kau yakin nggak dijebak sama Ayakashi yang memberimu itu, (name)-san?"

Lagi-lagi kau harus menutup mulut soal ini. Jebol sedikit saja mereka bisa tau kau siapa. Kau berlagak tak tau dan panik, berkata kalau kau kemari hanya untuk mencari obat untuk menyembuhkan gurumu yang sedang sakit keras, dimana obat manusia sudah tak mempan lagi.

Reo mengangkat alisnya dan melepas lipatan tangannya. "Hey, sudah sudah, jangan nangis. Aku punya obatnya kok. Obat apapun ada. Kau cari yang mana biar Nagi carikan."
Nagi mengangguk padanya. Baru saja kau seperti melihat dejavu Kenyu dan Hio.

"Uhm, i-itu... sebentar." Kau merogoh tas kecilmu dan membuka kertas yang berisi apa saja yang dibutuhkan Anri. Ada beberapa bahan, salah satunya adalah mutiara laut bulan sabit.

"Wah, itu barang langka," jawab Reo. Kau langsung terkejut, selangka itu kah untuk menyembuhkan master mu?

"Cuma beberapa Ayakashi saja yang bisa nemuin itu di pantai bagian barat. Rumor bilang itu sudah tidak muncul lagi di pesisirnya, kecuali bisa membuat naga laut menangis saat bulan sabit muncul. Sampai sekarang yang mencoba itu belum pernah kembali sih," jelas Reo. Rasanya cukup aneh kau mendengar harus membuat naga laut menangis, sampai sebegitunya.

Nagi berjalan kesana-kemari mengambil barang yang kau cari, kemudian meletakkannya di meja kasir milik Reo saat kau sedang berbincang dengan pemilik toko itu.

"Barang yang kau cari lainnya masuk harga murah, lho. Tapi kalau kau cari sebanyak ini juga bisa mahal harganya. Itu belum ditambah mutiara yang kau cari itu," ujar Reo. Seketika kau memeriksa tas kecilmu lagi, kau menunjukkan berapa koin yang kau bawa dan bertanya apa segitu cukup.

Reo menghitung koin yang kau bawa. Cukup banyak kalau kau lihat, tapi kau tak tau itu berapa nilainya. Hela nafas Reo selanjutnya membuatmu semakin khawatir. "Segini sih, masih kurang banyak," jawabnya. "Kurang?! Kurang berapa?" ujarmu tak percaya.

Dia mengangkat pundaknya. "Lebih banyak dari yang kau bawa sekarang, mungkin? Aku takut kau harus melepas mutiaranya kalau mau pas."

Yang seperti itu mana bisa! Itu semua sudah bahan untuk obat master mu. Hilang satu saja obatnya tidak bisa jadi berarti? Master mu sedang bahaya dan dia butuh obatnya segera.

"Bagaimana ini?" bisikmu. Apa kau harus kembali ke Isagi untuk meminta lebih?

"Kalau kau mau mencari koin lagi juga tidak apa. Kau bisa kembali lagi lain kali, kalau barangnya masih ada. Atau kau mau menawar denganku?" tanya Reo. Kau langsung mendongak padanya. "Bisa?"

Reo tersenyum, sebuah kipas tiba-tiba muncul di tangannya dan terbuka menutupi bibirnya. "Aku ini penjual yang baik hati. Tidak mungkin kan, aku tak melayani pembeliku yang kesulitan? Kau bisa pegang kata-kata ku."

Kau bisa merasakan keberadaan Nagi meninggi dibalik punggungmu. Suara pintu toko lantas tertutup membuat suasana menjadi lebih privat dari sebelumnya.

"Ada yang ingin kau tawarkan dulu padaku, (name)?" tanya Reo. Sepertinya dia tampak menikmati ini.
Tas kecil kau rogoh, untungnya Isagi juga meletakkan beberapa barang tak kau kenal disana. "Ini."

Reo melihat benda yang baru saja kau keluarkan itu. Sayangnya dia menggeleng. "Kurang. Ada lagi?"
Alismu mengerut. Kau mengeluarkan satu benda menyerupai jimat. "Kalau ini?"

Reo mengamatinya lagi. "Wow? Ini jimat pelindung kuil senja. Hanya bisa didapat dari kuil suci yang runtuh di daerah selatan saja. Cuma bisa diambil saat matahari beberapa derajat saja tenggelam di bagian barat." Dia kemudian melihatmu. "Tapi masih belum cukup."

Kau mengerucutkan bibirmu. Hela nafas beratmu mewakili emosimu. Kau raih lagi sesuatu dalam tas itu, pokok selain peta kemari untuk saja dan kertas sihir pemanggil.
"Bagaimana kalau yang ini?"

Reo melihat benda yang kini keluarkan menyerupai pisau kecil yang tersemat dalam sarungnya. Dia mengambil benda itu dan menariknya keluar. Ukiran tulisan menyala diatas lapisan pisau itu saat beresonansi dengan elemen milik Reo--membara berapi.

"Aku belum pernah lihat yang ini. Ini bukan pisau legendaris, tapi bagus. Pembuatnya pasti ahli bertarung dan membuat senjata juga. Tempaannya ini bisa dialiri elemen yang besar walau sumbernya kecil sekalipun, lho. Kestabilannya bagus, desainnya juga lumayan," jelasnya sambil memuji pisau itu. Seketika kau mengingat Isagi. Deskripsinya mirip sekali seperti apa yang Reo katakan. Apa Isagi yang membuat itu untukmu?

"Hey, (name). Barang-barang ini sepertinya berharga sekali ya untukmu?" tanya Reo. "Rasanya semua ini dipersiapkan untuk manusia sepertimu di dunia Ayakashi."

Kau baru menyadari itu saat Reo mengatakannya. Sebelumnya kau tak memeriksa dulu isi tas kecil itu apa dan sepertinya semua itu dipergunakan untukmu membela diri di dunia Ayakashi, terlebih jika kau tak sedang bersama Bachira. Tunggu, apa Isagi sudah tau kemungkinannya?

Reo meletakkan semua barang itu di mejanya. "Begini saja. Karena ini masih tetap kurang." Dia mulai menatap matamu dengan serius. "Aku yang akan memberimu tawaran."

"Kau bisa mengambil barang-barang yang kau butuhkan dan benda-benda yang kau bawa ini kembali, dengan satu syarat." Reo menampakkan telunjuknya. Yang kemudian mengarah ke dadamu. Lensamu melebar saat bibirnya menyungging lebar.

"Kau berikan aku tubuhmu."

Kalimatnya barusan membuatmu mundur selangkah dan menabrak tubuh Nagi yang menjadi dinding penghalang.

"Mudah, kan? Aku masih berbaik hati tidak meminta jiwa. Jiwa itu paling mahal disini lho harganya. Kalau kau berikan itu, kau bisa menyembuhkan master mu~"

Udara tak mengenakkan menjawab dirimu yang sedari tadi sudah menebak yang tidak-tidak. Reo tau soal mastermu. Dia seperti sudah mengetahui alasan kau kemari. Ditambah Nagi, dia juga tadi bilang soal Bachira yang menghilang tanpa menyebut namanya.

Kau dijebak mereka!

Dua jari kau rapatkan sambil merapal mantra dengan cepat. Tapi Reo menghempaskan api dari kipas yang ada di tangannya, menghanguskan pusaran mantra mu itu. "Nagi!" sahutnya.
Nagi yang berdiri di belakangmu itu langsung mendekap dirimu, kau meronta dan menggigit tangannya hingga berdarah. Dia mendesis dan melepas salah satunya. Saat itulah kau menarik satu tanganmu dan melepas mantra penyegel mu yang sudah lama tak kau gunakan itu.

"Segel!"

Sihir berbentuk rantai mengarah padanya dan mengikat tubuh besar milik Nagi. Dari kulit yang terikat rantai itu, tulisan-tulisan kaligrafi mulai muncul untuk mengekang gerak-gerik Nagi.

"Nagi?!" pekik Reo, seketika dia memantik banyak bola api di sekitarnya yang diluncurkan padamu. Mantra pelindung kau gunakan dan membuat api-api itu menabraknya menjadi asap gelap.

Mantra pelindungmu menghilang dan saat kau bisa melihat sekitar lagi, dua ekor rubah menyerangmu bersamaan. Mereka mengoyak pakaianmu, menggigitmu ganas hingga merona merah. Kau menjerit kesakitan, tapi kau bangkit dan menghempaskan dua rubah yang menggigitmu itu.

Menoleh ke belakang, kau sudah melihat Reo mampu melepas segelmu dari tubuh Nagi. Mereka berdua melihatmu bersamaan seperti makhluk buas yang hendak memojokkan mangsanya.

"Lumayan juga mantramu, (name). Kau pikir itu akan sulit untuk dilepas Kitsune? Kau mempermalukan darah Kitsune yang mengalir dalam dirimu," ujar Reo.

Ucapan Reo sama sekali tak bisa kau pahami. Darah Kitsune dalam dirimu? Apa maksudnya? Kau manusia, jelas manusianya! ... Iya, kan?

"Kita tangkap dia, Reo?" tanya Nagi. "Ya. Dia jenis langka. Jangan biarkan kabur, harganya pasti mahal," jawab Reo. "Baiklah," balas Nagi.

Nagi memanggil dua rubahnya yang melolong, kau melihat tubuh dua makhluk itu membesar dan tampak lebih buas daripada sebelumnya.

Alis Reo mengerut khawatir. "Jangan sampai toko ku berantakan total, lho." "Hm. Aku tau," sahut Nagi yang memerintahkan dua rubah itu untuk mengejarmu. Waktu agaknya membeku saat dirimu terserang segala arah seperti itu. Bisikan terdengar melintas di telingamu.

'Hanya ini yang kau bisa, manusia? Pasrah begitu saja menunggu ajal. Payah.' bisikan itu muncul bersamaan dengan desisan ular.

'Aku tidak payah!' balasmu dalam hati.

'Lalu? Apa yang akan kau lakukan di masa begini?' tanyanya.

Kesadaranmu ditenggelamkannya dalam air gelap yang membawamu begitu dalam. Bayangan suatu makhluk raksasa berputar mengelilingimu. Kepalanya muncul dari kegelapan di depanmu. Dua lensa tajam yang selalu menusuk jiwamu itu kembali mendekatimu dengan juluran lidahnya.

'Berikan aku kendali tubuhmu, manusia.' ucapnya.

Kau seketika mengingat kembali bagaimana kau nyaris membunuh Isagi dengannya yang menguasai dirimu. Kau tak ingin hal itu terjadi juga pada Nagi maupun Reo, meski kau tau mereka sudah menjebakmu.

'Tidak! Aku tak akan memberikan diriku padamu!' serumu. Tanganmu menarik kertas pemanggil yang bersinar semakin terang.

"Aku memanggilmu, Bachira!"

Kertas sihir terbang lepas dari tanganmu dengan tulisannya yang menyala. Bachira muncul dari angin kosong bersama dengan monsta di sisinya--mereka menghajar setiap rubah yang hendak menerkammu.
Kesadaranmu seketika kembali.

"Akhirnya.. kau memanggilku, master," ucapnya yang berdiri di depan mu dan tersenyum. "Aku senang sekali~"

Reo dan Nagi terdorong mundur. Mereka menatap tak percaya kau memanggil Bachira. "Rasanya sekarang jadi semakin asik. Benar kan, Nagi?" tanya Reo menyiapkan kipas sebagai senjatanya.
Hawa tak mengenakkan terasa dari Nagi. Dua lensa monokromnya itu terpancing kearah Bachira dengan kebuasan. "Ya.."

Bachira memanggil bolanya dan memantulkannya dengan kaki yang kemudian mendarat di tangannya. "Jadi kamu toh yang misahin aku dari master tadi? Trikmu oke juga, ya."

Reo menutup bibirnya dengan kipas. "Hanya anak kecil bodoh yang akan tertipu oleh itu."

Bachira menyeringai. "Jangan panggil aku anak kecil, Kitsune. Aku bisa lebih parah daripada anak kecil yang kau tau!" ancamnya.
Monstra tertawa berat disampingnya. "Kalian sudah melukai masterku. Berarti kalian sudah siap terima akibatnya!" seru Bachira mulai bergerak maju.

Bola milik Bachira lepas dari kakinya, dia memulai pertarungan. Begitu pula di sisi Nagi dan Reo yang menyerang bersamaan kearah Bachira. Serangan berbagai arah muncul daei kubu musuh, ditambah dua rubah putih besar pun menyasar Bachira.
Bachira mendegus tawa, seakan dia sama sekali tak merasakan semua itu sebagai ancaman--malah seperti dia "tertantang" oleh kondisi itu.

Pintu-pintu kertas terbuka dari berbagai arah. Saat bolanya berhasil terhindarkan musuh, bola itu masuk ke satu pintu dan muncul di pintu lainnya--menabrak dua rubah yang hendak menerkamnya.
Sementara Nagi dan Reo mengejar Bachira yang masuk ke dalam satu pintu. Mereka jelas terlibat dalam permainan kejar-kejaran lewat kemampuan dimensi ruang Bachira itu.

Dari tempatmu berada, kau mendengar suara berat yang begitu kau kenal. Itu Monsta!
Makhluk besar itu pasti tersenyum jika Bachira sudah memanggilnya dan ikut serta mengikuti temannya ke dalam pintu yang tiba-tiba dibukanya.
Tapi dia berhenti di depannya, lalu melirik padamu sambil memberikan isyarat untuk dirimu ikut bersamanya.

Kau mengangguk dan mengikutinya. Dia berubah menjadi bentuk pasir melayang yang menempel di punggungmu.

'Dia sedang asik bermain--Bachira maksudku.'

Barulah kau sadari Monsta juga bisa berbicara padamu. Mulai bisa kau simpulkan kalau Monsta hanya bisa berbicara jika dia menempel di seseorang saja.

'Anak itu ada di ujung sana dengan dua anjing liar? Rubah? Cukup sengit sepertinya.'

Wajah menyeringainya itu mengarah pada suatu sudut yang terdengar bising.

"Dua kitsune dan dua rubah. Apa kau mengenalnya, Monsta?" tanyamu sambil bergerak mendekati tempat Bachira berada.

'Tentu. Aku sudah berkeliaran lama di dunia Ayakashi sebelum bersama dengan Bachira. Umur dua Kitsune itu cukup panjang. Mereka terkenal seperti pasangan terkuat di distrik perdagangan. 'Anjing Penjaga' dan 'Pemilik Toko Serba Ada'. "

Sekarang nama itu mulai masuk akal saat kau nyaris dikepung Ayakashi dan mereka langsung berlari ngeri. Rupanya mereka penguasa tempat ini.

'Kau cukup unik ya, Onmyoji?'

"Huh?"

'Sepertinya kau tak pernah kemari, tapi aku merasa darahmu sudah sering tercium disini. Jangan bilang kau punya hubungan darah dengan Ayakashi?'

Monsta melirik padamu. Kenapa dia malah mempertanyakan soal dirimu secara tiba-tiba? Apa yang dia katakan seperti ada hubungannya dengan yang Reo katakan sebelumnya, soal darah Kitsune yang katanya ada dalam dirimu.

"Aku... tak tau. Aku tak ingat seperti apa aku dulu," jawabmu nyaris berbisik.

Kau hanya ingat dirimu adalah anak kecil yang dibesarkan dalam suatu keluarga angkat. Meski kau dianggap anak oleh mereka, entah kenapa kau selalu merasa kau tak berada disana--kau tak sama seperti mereka, berbeda dari mereka, meski kau sadari dirimu adalah manusia yang sama seperti mereka juga.
Dan soal masa kecilmu? Kau tak begitu bisa mengingatnya jelas.

Monsta terdiam sesaat, dia melihat ke depan kembali.

'Hahaha! Menarik. Kau pasti akan segera tau misterimu, Onmyoji! Bachira dan aku bisa membantumu.'

Sedikit kau bisa tersenyum padanya sambil mengutarakan terima kasih. Monsta rupanya sosok yang ramah, meski dia tak bisa berkomunikasi dengan baik, ditambah lagi tubuhnya yang besar dan mengerikan.

Akhirnya sampai juga kau di tempat Bachira. Nyaris saja kau tertabrak bola milik Bachira kalau Monsta tak menahannya untukmu.
Bachira muncul dari suatu pintu yang menyala merah oleh api yang membakarnya.

"Oh, Monsta!~" Dia sempat-sempatnya melambaikan tangan meski nyaris tersayat kunai yang melayang. Tepat di depannya, Nagi tiba-tiba muncul dengan katana di tangannya.

"Mati." bisik Nagi yang melepas tebasannya. Tak terduganya Bachira menekuk punggungnya ke belakang, menghindari serangan itu dengan elegan, lalu menjatuhkan serangan siku yang ditahan dengan mudah oleh Nagi. Lantas keduanya mundur mengambil jarak.

"Monsta kemari!" Saat seperti itu Bachira memanggil Monsta untuk ikut membantunya, tapi anehnya makhluk itu tak merespon apapun.
Saat itu Nagi mengambil kesempatan untuk menyayat pundak milik Bachira secara vertikal, membuat Shikigami mu itu memekik kesakitan.

"Bachira!!" Suaramu melantang. "Monsta cepat bantu Bachira!"

Monsta pun tak mengindahkanmu pula. Ada apa dengannya? Kenapa dia seakan tak peduli dengan temannya sendiri?

Kau melihat Bachira semakin terpojok setelah terluka. Nafasnya mulai memburu, tapi Nagi tak berhenti menyerang kearahnya.
Dua jari langsung kau rapatkan, bibirmu merapal mantra pelidung. Lingkaran sihir muncul diantara Bachira dan Nagi--dia melentingkan serangan Nagi ke belakang, membuat Kitsune putih itu mundur beberapa langkah.

Saat itulah kau berlari kearah Bachira. Dia merintih kesakitan saat kau merangkul dua pundaknya. "Bertahanlah, Bachira, aku akan menyembuhkannya cepat."
Mantra penyembuh kau berikan diatas lukanya. Dia sedikit memekik perih saat kau melakukannya. Luka itu cukup dalam juga.

"Hey, hey.. kau mengabaikanku?" ujar Nagi. Kau masih ingat Nagi disana bukan untuk menonton tapi melawan Shikigami mu. Kalau sudah begini pihakmu yang dipojokkannya!

"Monsta, aku perintahkan kau," ujarmu yang mampu menolehkannya. "Untuk melindungiku!"

Monsta lantas kembali melihat kearah Nagi. Dia sempat berbisik. 'Aku sudah melakukannya daritadi. Tapi apalah katamu--aku tak bisa menolaknya.' kemudian dia lepas dari punggungmu, membangkitkan tubuh raksasanya yang meraung keras di depan Nagi. Nagi seakan tak terkejut, dia menghunuskan senjatanya lagi untuk melawan Monsta.

Sementara kau memulihkan Bachira sekuat tenagamu. Kau fokuskan konsentrasimu secara penuh padanya seperti bagaimana master mu saat itu lakukan. Hal itu dapat memicu energi sihir agar keluar lebih besar dan stabil daripada sebelumnya, tapi kau tak boleh diganggu dari apapun--semua hanya terfokus pada aliran energimu.

Suatu suata tiba-tiba mendengus terdengar di telingamu. "Bodoh." Mata mu terbuka salah satu dan menemukan bahwa yang sedang kau pulihkan saat ini bukanlah Bachira yang kau kenal--dia memiliki dua lensanya ungu!!

Belum sempat kau mengucap apa-apa, tubuhmu lemas dan jatuh ke pelukannya. Dia mengangkat dirimu, kemudian menghilang menjadi api keunguan.

+ + + +

Sementara itu di sisi lain, Bachira yang sesungguhnya sedang bertarung dengan Nagi yang benar. Kitsune putih itu tak menahan bolanya dengan senjata, malah dengan kakinya saja.

Dalam pikiran Bachira, dia sudah menebak kalau Ayakashi satu ini setingkat lebih tinggi darinya. Mana lagi seakan Nagi bisa mempermainkan kembali semua teknik milik Bachira, dia tau jelas kemana Bachira akan menyerang, dan kapan Bachira akan bergerak.

Bachira dibuatnya kewalahan, tapi anak itu tak juga menyerah. Kalau dia bisa mengalahkan Nagi disini, dia akan bisa segera menemukan Reo yang tiba-tiba menghilang. Saat Bachira hendak mengejar, Nagi malah terus menghalanginya seperti ini.

Bachira bisa saja memanggil Monsta, tapi akan lebih baik Monsta bersama dengan masternya saat ini. Karena kemampuan Kitsune adalah ilusi, posesi, dan adaptasi.
Bisa jadi Reo sedang menjadi dirinya atau Monsta saat ini untuk menipu master nya. Dia yakin Monsta tau mana dirinya yang asli dan bukan. Monsta akan menjadi mata kedua milik masternya. Itu saja sudah cukup untuk Bachira melindungi temannya--tuannya.

Kemampuan Nagi masih terus bertumbuh besar, sementara Bachira seakan tak bisa melakukan banyak hal tanpa Monsta disampingnya. Dia tak bisa melakukan apapun seorang diri, tapi apa dia akan seperti itu selamanya?

Tiba-tiba suatu pintu terbuka, seekor rubah muncul dan membuat jarak antara dirinya dengan Nagi. Dia menggonggong pada Nagi.

"Udahan katanya? Sayang sekali, padahal aku masih mau main dengan anak ini," ujar Nagi. Tapi anjing itu seakan menyuruh Nagi untuk segera pergi dari ruang dimensi itu. "Iya, iya. Aku akan kembali."
Nagi kembali menatap kearah Bachira yang sudah bernafas singkat itu. "Lain kali kita main lagi." Dengan malasnya, kemudian berlari melewati suatu pintu sebelum pergi menghilang. Bachira pun tak bisa merasakan keberadaannya di ruang dimensinya itu.

Saat dideteksinya lagi kemana dia pergi, dia baru menyadari kalau siapapun yang bertarung dengan Monsta saat ini ikut menghilang. Dan masternya tak ada disamping Monsta!

+ + + +

Kembali kemana dirimu berada saat ini. Kau tak bisa melakukan apapun selain setengah terbangun ataupun tertidur. Kau bisa melihat Reo merebahkanmu di suatu tempat, hanya saja entah dimana itu berada.
Gonggongan rubah kembali terdengar. Reo mengusap kepalanya dengan lembut.

"Kerja bagus, Sei. Kau pintar sekali berlagak jadi Nagi," pujinya. Rubah itu terdengar senang.

Reo kembali melihat kearahmu yang setengah sadar. Dua jarinya yang dirapatkan jatuh diletakkan diatas dadamu, seketika kau merasakan sengatan panas mengalir dari sana, membuatmu ingin memekik perih tapi tak bisa.

"Sudah kuduga. Dia wadah," ucapnya, lantas melepas jarinya darimu, menyisakanmu yang sedikit lega telah dilepasnya. "Tapi sudah terisi... dengan apa?" gumamnya.

Beberapa saat kemudian tapak kaki muncul, itu Nagi. Kitsune putih yang berjalan bersama rubah putih lain disampingnya. "Aku kembali. Shiro daritadi cerewet sekali sepertimu, Reo."

Reo menoleh pada Nagi. "Itu karena kau masih sibuk saja padahal semua sudah selesai. Aku sudah bilang kan tadi, kita dapatkan Onmyoji ini, lalu pergi. Shiro nggak akan ngomel kalau kau langsung ndengerin."

Nagi mengerucutkan bibirnya, lantas dia bergerak mendekatimu. Kau juga dirinya saling menatap dalam diam.

"Dia punya darah Abe," ujar Reo membuat Nagi menoleh.

"Abe? Dari Abe Seimei?" tanya Nagi.

"Siapa lagi memangnya?"

"Kukira dia sudah menghilang."

"Aku juga berpikir begitu. Siapa sangka penerusnya ada."

"Manusia berdarah Kitsune yang kemudian menikah dengan manusia biasa untuk keturunan, begitu kah?"

"Aku kurang tau jelasnya. Pria itu bisa memikirkan dan melakukan apapun, jarang yang bisa tau isi kepalanya. Tapi anggaplah begitu. Dia membuat keturunan selanjutnya... tapi untuk apa?"

Perbincangan Reo dan Nagi membuatmu bingung. Abe Seimei, itu adalah nama Onmyoji yang tertulis dalam gulungan sejarah Per-onmyoji-an. Dia adalah manusia berdarah Kitsune yang memiliki kekuatan Onmyodo luar biasa. Ada yang bilang dirinya adalah orang baik, ada juga yang sebaliknya.

Abe Seimei memanglah berpihak kepada manusia karena dia adalah manusia, dia membatasi dunia manusia dan Ayakashi agar bisa hidup damai.
Tapi dibalik kebaikan itu, dia pernah membuat hubungan gelap dengan Ayakashi yang menjadi musuh umat manusia maupun dewa--Ayakashi ular yang bernama Orochi.

Akhir dari kisahnya tak pernah jelas. Ada yang bilang dia musnah saat perang Ayakashi dan manusia usai. Ada yang bilang dia meninggal karena usia tua. Ada juga yang bilang dia menghilang begitu saja.

Apa hubungannya dia denganmu? Kenapa kau memiliki darahnya dalam dirimu? Mungkinkah itu ada hubungannya dengan masa kecilmu yang tak dapat kau ingat itu?

"Lalu, mau diapakan dia sekarang?" tanya Nagi. Reo menyentuh dagu, dia berpikir. "Aku bisa saja menyimpannya di tempat penyimpanan harta berharga. Dia terlalu mahal untuk kujual."

Nagi mengerjapkan matanya. "Kau jadi dirimu yang biasanya, Reo. Menupuk harta ini dan itu."
Reo melepas tawanya sambil mengipas dirinya dengan kipas yang muncul di tangannya. "Yah, gimana ya? Tanpa harta kita tak bisa bertahan hidup, kan, Nagi?"
Nagi tak mengatakan apapun selain mengangguk begitu saja.

Reo berjalan mendekati Nagi, tangannya mengusap pipi Kitsune putih itu sebelum meluncur turun ke pundaknya. "Kau tak terluka karena anak kecil itu kan?"

Nagi menyandar pada usapan itu. Telinganya sedikit bergerak, menandakan dia nyaman dengan sentuhan itu. Dia menggeleng. "Dia masih setingkat dibawahku, tidak mungkin dia bisa melukaiku. Mungkin hanya Onmyoji itu yang mampu."

Reo seketika mengingat bagaimana rantai sihir mengikat Nagi dan mampu membuatnya tak bisa bergerak. Untuk sejenak itu tampak mengerikan di mata Reo. Dia bersyukur sihir Onmyodo milik (name) belum sekuat yang dia bayangkan.

"Aku tak bisa membayangkan dia menyegelmu dengan kekuatan Abe miliknya." Matanya menutup rapat. "Aku tak ingin kehilangan dirimu, Nagi." Suaranya nyaris berbisik.

Nagi menyadari itu, maka dari itu dia memanggil namanya. "Reo." Seketika Kitsune ungu itu kembali ke kenyataan, tempat Nagi masih berdiri di sisi nya. "Kau tak akan kehilangan diriku. Aku kuat. Aku masih disini denganmu," ucapannya berhias senyum tipis.

Kau yang tak bisa berkutik itu, mampu merasakan atmosfer sekitar terasa hangat. Dua energi yang kau rasakan itu terajut indah seperti ikatan dua tali merah yang menjadi syal hangat pengusir musim dingin.
Hati mu berdegub-degub mengikuti dua sinergi indah itu. Tapi kemudian kau merasakan sesuatu menusuk begitu menyakitkan dari jantungmu.

'Jangan bilang kau menerima dirimu menjadi koleksi mereka.'

Lilitan ular melingkar di lehermu. Dua lensanya kembali membekukanmu.

"T-tidak.." balas batinmu.

'Kau membodohi dirimu sendiri dengan perasaan manusiawi itu. Aku tak ingin jadi koleksi siapapun.'

Lilitan itu semakin kencang mencekikmu. Tanganmu tak bisa bergerak untuk melepasnya, keduanya masih terjebak dalam sihir milik Reo.

'Suka atau tidak, aku mengambil alih sekarang.'

Mulut ularnya terbuka lebar menampakkan taringnya yang menusuk tajam ke kulitmu. Tubuhmu melonjak sebagai reaksinya. Reo sadar dirimu sempat bergerak tadi, tapi kemudian kembali lemas.

"Ada apa, Reo?" tanya Nagi. Lensa milik Reo menegang saat menyadari tubuhmu berubah perlahan-lahan. Dimulai dari dua tanganmu yang memerah dan menajam, hingga tiba-tiba dua matamu terbuka lebar dan kau bangun terduduk.

"Cukup berduannya, Kitsune." Mulutmu bergerak. Kau menatap dua Kitsune itu dengan jijik. "Kalian membuatku muak."

Mau Reo ataupun Nagi melihatmu seakan tak mengenal dirimu. "Siapa kau?!" pekik Reo.
Bibirmu mendengus tawa. "Kau akan segera tau kalau aku melakukan sesuatu pada temanmu." Lirikmu jatuh kepada Nagi.

Nagi tiba-tiba terjatuh dan merintih kesakitan di kakinya. Reo bergegas kearahnya. Dia menemukan kaki milik Nagi terinfeksi oleh racun yang berasal dari bekas gigitan ular disana. Tubuh Nagi gemetar hebat, dia pun berkeringat deras menahan efek racun itu.

"Apa yang kau lakukan pada Nagi?!" teriak Reo.

"Apa yang kulakukan?" ucap bibirmu. "Hanya sedikit berkenalan."

"Itu melukainya namanya!" Reo mengangkat kipasnya, bersiap menyerangmu.

Manikmu memicing. "Kau bilang ingin tau siapa aku. Aku sudah memberimu petunjuk dan begini caramu berterimakasih?"

"Ayakashi ular?" desis Reo. Tapi yang mana? Reo mengenal jelas marga-marga Ayakashi, dari yang sering datang ke tokonya sampai yang jarang sekali.

Namun sosok yang kini menjadi dirimu tak sepenuhnya menampilkan dirinya. Dia setengah dari tubuhnya dan setengah dari dirimu. Reo kesulitan untuk mengidentifikasi Ayakashi ular jenis mana yang kini ada di depannya.

Kau mendegus. "Masih belum juga? Kitsune macam apa yang punya otak dangkal sepertimu?" Kalimatmu itu memprovokasinya yang melempar serangan api padamu. "Aku tak peduli!"

Serangan api itu jatuh padamu, membakar pundakmu, tapi kau tak merespon apapun. Kulitmu seakan dilindungi oleh suatu sisik pelindung yang mampu menetralisir serangan itu. "Hm. Kalau begitu aku juga tak akan peduli dengan temanmu yang sekarat itu."

Nagi kini menggeliat dan berguling kesakitan. Akar berwarna merah keunguan mengalir di pembuluh darahnya--racun itu sudah mencapai lehernya begitu cepat. Nagi tak bisa mengatakan sepatah kata, tangannya berusaha mencengkram apapun, tapi tak ada satupun mampu membuatnya terus bertahan dari racun itu.

"Nagi?! Nagi! Bertahanlah, Nagi!" Dia kembali pada Nagi. Air matanya menggenang, tak kuasa melihat kawannya menderita sebegitunya. Kuku nya dia tajamkan, dia menyayat urat nadi yang ada di tangan Nagi. "Ini agak menyakitkan, tahan ini sedikit."
Dari ujung kuku itu muncul api keunguan yang dialirkannya dalam pembuluh darah Nagi. Kitsune putih itu melepas desah pedihnya. Api itu membakar isi tangannya dan mulai merambat untuk mengalahkan akar racun yang bergerak cepat itu.

"Temanmu itu bisa mati cepat kalau kau begitukan," ucapmu.

"Tidak akan! Aku tak akan membiarkannya mati!" bentak Reo yang percaya dengan kemampuannya untuk menyembuhkan Nagi.

"Hmph, menyedihkan. Aku tak suka pemandangan ini." Tanganmu bergerak mengayun lembut diatas udara. Desisan terdengar dan tanpa Reo sadari seekor ular cukup besar langsung melilit sekujur tubuhnya--mengangkatnya keatas selagi dia memberontak disana. "Perhatikan saja kematian temanmu yang sudah dekat. Untuk apa menyelamatkannya? Dia sudah tak punya harapan."

"TIDAK MAU!!" pekik Reo yang membuat dirinya diliputi api ungu membara, membakar ular yang melilitnya--ular itu menjerit, tapi tak juga melepas lilitannya dari Reo.

Bibirmu berdecih. "Keras kepala sekali." Ular lain kau panggil untuk berdiri lebih tinggi di depan Reo. Lidahnya menjulur saat tatap mematikannya membuat mangsanya tak bisa melepas kontak mata.

"Hm, kurasa dua nyawa belum cukup untuk kebangkitanku. Tapi kau yang membuatku melakukan ini. Sesali hidupmu sepuasmu setelah ini."

Kepala ular itu menjeritkan suaranya, dia maju dengan dua taring tajamnya yang menyasar Reo dalam lilitan.

Waktu kembali melambat. Jantungmu seakan berhenti melihat semua yang ada di depan matamu kini adalah perbuatan darimu. Hatimu menolak ini. Ini bukan kau. Ini juga bukan keinginanmu sesungguhnya. Kau tak pernah ingin hal ini terjadi. Kau tak ingin lepas kendali lagi. Tak ingin siapapun kembali merasakan apa yang nyaris kau lakukan pada Isagi.

"Bachira!" Mulutmu menjeritkan nama itu. Nama yang pernah mengatakan padamu jika dia akan melindungimu. Dia yang ingin melayanimu. Dia temanmu yang akan menolongmu saat terjebak dalam masalah.

Tanpa kertas sihir, energi Onmyodo darimu membuka lingkaran teleportasi yang membuat anak itu muncul dan menendang keras kepala ular yang hendak menerkam Reo. Sukses dibuatnya ular itu berhenti sesaat diatas tanah.

"Master!" dia memanggilmu, tapi dia pun tak percaya siapa yang memanggilnya. Dari refleksi matanya, kau bukanlah kau, tapi kau adalah kau. Siapa dirimu?

"Hentikan ular itu, Bachira!" perintahmu menjadi aksinya. Bachira langsung membebaskan Reo dari lilitan ular. Kitsune ungu itu akhirnya terjatuh dari sana--namun tubuh berpasir Monsta berhasil menangkapnya.

Kini Bachira berhadapan dengan ular besar yang tadinya tertendang olehnya. Desisnya berubah menjadi jeritan, tubuh bersisik itu bergerak memutari Bachira, ingin mendominasi teritori lawannya.
Sayangnya kelincahan fisik milik Bachira menyulitkannya untuk menangkapnya. Bachira berkali-kali melompat dan menyerang berbagai titik tubuh ular itu. Ular itu memekik, tapi dia pun tak mengalah pada Bachira. Hempasan ekornya mampu menghempas Bachira ke dinding sekitar.

Anak itu mendesis perih, tapi sesegera mungkin dia berpindah sebelum ular itu kembali menyerangnya di dinding itu. Bola miliknya lantas dipanggil saat dia melompat tinggi.
Tepat setelah ular itu menabrak dinding, menarik tubuhnya, dan membuka mulutnya kepada Bachira yang melayang di udara--Bachira memberikan tendangan terkuatnya masuk ke dalam mulut ular itu.

Dentuman kencang menghancurkan lantai pijakan. Ular besar itu hancur menjadi asap kemerahan. Dari balik asap itu, ular kecil melata pergi--namun Monsta menginjaknya hingga lenyap.

Sosok dalam dirimu menatap tajam Bachira yang baru saja mendarat dan berhadapan denganmu.

"Aku sudah mengalahkan anak buahmu. Sekarang kembalikan tubuh master ku," tagihnya.

Bibirmu terbuka. "Suatu saat nanti, aku yang akan menghancurkanmu." kemudian dia melepas kendalinya darimu. Tubuhmu terhuyung. Dengan gesit Bachira menangkapmu.

"Kau membuatku khawatir, master," bisiknya. Peluknya dia eratkan sedikit. "Tapi aku senang kau baik-baik saja."
Untuk kali ini kau mendengar suara Bachira yang tak kekanakan. Justru dia terdengar begitu jujur, serius, khalayak sosok dewasa yang terpantul dari dua lensa kuningnya kini.

Setelah itu dia melonggarkan peluknya agar kau bisa bangkit. Kalian berdua melihat kearah Reo bersamaan. "Nagi! Oi, jangan mati Nagi! Nagi!!!"

Kau mengangguk pada Bachira. Dia mendekati Reo bersamamu. Reo seketika terkejut saat melihat bayangan kalian berdua. Kipasnya sudah disiapkannya lagi. "Kalau berani mendekat selangkah lagi, kubunuh kalian!" geramnya.

"Reo. Aku ingin membantumu."

"Bohong!! Kau yang membuatnya seperti ini!"

"Hey! Master beneran pengen bantu malah ditolakin." Bachira seperti biasa kembali ke balasan kekanakannya. Dua tangannya yang diletakkan diatas pinggul itu semakin memperjelasnya.

"Menjauhlah!!" ujar Reo masih melawan.

"Tolong, Reo. Kalau kau tak mengizinkanku, Nagi bisa tak tertolong. Biar aku mencoba. Dia sudah tak punya banyak waktu," jelasmu padanya.

Reo seketika melemah, tapi was-wasnya masih ada. "Sampai dia mati, akan kubawa juga kau dengannya," ancamnya. Kau mengangguk padanya. "Kau bisa melakukan apapun padaku jika aku gagal."

Bachira sempat melirik padamu dengan khawatir, tapi kau mengisyaratkan padanya bahwa semua akan baik-baik saja. "Cukup jaga aku dari lepas kendali," bisikmu padanya.

Lantas kau mendekati Nagi. Lensa Kitsune putih itu bukan hanya menampakkan penderitaan hebat tiada henti, tapi dia seperti terjebak dalam mimpi buruk yang panjang.

"Berikan aku kertas sihir yang tertulis mantra pengusir," ucapmu. Bachira jelas tak memiliki apapun. Reo berdecih, kemudian memanggil suatu kertas untuk datang ke tangannya yang kemudian diberikan padamu.

Bibirmu mulai membisikkan sutra untuk mengaktifkan mantra lebih kuat dari biasanya. Saat energi Onmyodo berayun di kertas itu, kau meletakkannya diatas dada milik Nagi.

"Tolong jaga itu. Jangan sampai lepas."

Reo menurut, dia mampu beresonansi dengan sihirmu dan meneruskannya. Lantas kau beralih ke kaki Nagi yang berbekas gigitan ular tadi. Aliran sihir sudah mulai mendorong racun itu keluar dari sana.
Kain baju panjang di lenganmu itu kau gunakan untuk menutupi daerah itu. Untuk menutupi pemandangan yang mungkin Bachira maupun Reo tak sukai. Dan kemudian kau menghisap racun itu dengan mulutmu, menelannya dalam tenggorokanmu, sampai habis racun itu keluar dari pembuluh darah milik Nagi.

Bachira ingin bergerak, tapi dia mengingat perintahmu hanya untuk menjaganya bila lepas kendali. Jujur, dia tak ingin melihatmu melakukan ini. Dia takut terjadi hal buruk pada dirimu. Yang rupanya hal itu terjadi benar.

"G-guhh!! Uhuk!!" Kau terbatuk keras sambil menutup mulutmu kuat-kuat. Debaran kencang menggoyahkan punggungmu. Pandanganmu sesekali menjadi dua, tapi kau berusaha mengendalikannya.

"Master!" panggil Bachira. Dia menyaksikan bagaimana tubuhmu itu terguncang menderita bersama suara-suara aneh berbisik samar dari sana. Kau sedang bertarung dengan siapapun yang ada dalam tubuhmu itu. "Kau bisa mengalahkannya, master! Aku disini! Aku disini denganmu!" Bachira menggenggam satu tanganmu erat.

Kau menoleh padanya dengan gemetar, setengah sadar dan tidak. Kau berusaha untuk mengingatkan dirimu bahwa kau tak sendirian. Bachira ada disampingmu sebagai Shikigami mu.

Tepat saat itu, Nagi kembali ke kesadaran penuhnya. "...Reo?" Suaranya kembali terdengar. "Nagi?! Nagi, kau pulih?" Reo segera mendekati wajah Nagi. Air matanya kembali menitik. "Syukurlah... Syukurlah!"

Nagi yang baru saja tersadar itu seketika melihatmu dan Bachira. Kini kau yang tampak begitu menderita.
"Nagi?" tanya Reo. Nagi bangkit dari tempatnya dan mendekatimu yang sedang berjuang menahan diri. Dia menatap matamu untuk sesaat sebelum melirik ke satu tanganmu yang sedang Bachira pertahankan. "Boleh aku pinjam itu?"

"Untuk apa?" tanya Bachira yang enggan memberikannya pada Nagi. "Apalagi? Membantunya lah. Dia kesakitan. Dia sudah membantuku tadi, kan? Sekarang gantian."

Setelah berpikir dua kali, Bachira melepas tanganmu. Dia tentu masih waspada dengan Nagi yang mungkin saja bisa berniat jahat padamu. Tapi tidak, kali ini Nagi tak melakukan hal buruk padamu. Dia menekuk tanganmu agar dua jarimu merapat.

"Jangan-jangan... Nagi." Reo tak sempat menyelesaikan perkataannya saat Nagi sudah mengucapkannya.

"Aku, Nagi Seishiro, akan melayani dan melindungimu seumur hidupku. Aku tak akan berkhianat sampai kapanpun."

Suatu simbol muncul diatas dahinya--kontrak Shikigami yang beratas namakan dirinya lantas tersegel dengan tulisan kaligrafi. Tulisan itu muncul diatas permukaan besi katana dan kunai miliknya.

Kau merasakan energi milik Nagi terjalin denganmu ikut meringankan rasa sakitmu, selain energi Bachira yang ada bersamamu.
Perlahan rasa mengerikan itu terusie pergi. Racun itu berhasil kau kembalikan pada pemiliknya dengan baik.

"Master? Kau udah baikan?" tanya Bachira yang melihatmu perlahan mendongakkan wajah. Mimiknya langsung menegang saat melihat dirimu. "Kenapa?" tanyamu saat mendapati Nagi juga Reo merespon nyaris sama seperti Bachira.

Reo menghela, dia menyuruh Bachira menepi saat dirinya berjongkok tepat di depanmu. Telapak tangannya menutup mata kananmu, kemudian suatu sihir diusapkannya. Baru kau bisa mengedip lagi.

"Reo. Yang tadi itu," ujar Nagi yang langsung disahuti Reo. "Ya. Kurasa siapapun tadi, sudah nyaris mengklaim tubuh (name)."

"Master dalam bahaya?!" pekik Bachira yang panik. Kau tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Ada apa dengan matamu?

"Matamu tadi.." jawab Reo dengan jeda. "Bukan milikmu yang muncul."

Bachira menimpali. "Yang sebelumnya serem! Kayak pas master kesurupan ular tadi. Tapi cuma sebelahnya aja."

Kau langsung menyentuh matamu yang baru disihir Reo. Mengetahui kau yang penasaran sekali, Reo memanggil suatu cermin di tangannya yang disodorkan untukmu melihat refleksi bayanganmu.
Kau melihat dirimu baik-baik saja, tidak ada apa-apa sekarang.

"Mau kulepas sihirnya?" tanya Reo. "Biar bisa lihat yang tadi kayak gimana."

Kau mengangguk padanya dan memohon untuk diperlihatkan. Reo mengusap matamu lagi. Di saat kau melihat cermin kembali, kau terkejut benar dengan apa yang kau lihat.
Mata kananmu--bagian putihnya menjadi hitam dan netramu berubah agak... hijau?

Reo menutupnya kembali. "Seperti itu," katanya. Pikiranmu melayang pada sosok ular dalam tubuhmu, mungkin Ayakashi ular. Sosok yang ingin kau sembunyikan dari siapapun kecuali Isagi. Tapi kini? Malah Bachira, Shikigami mu ikut mengetahuinya juga.

Kau langsung meminta maaf pada Bachira soal barusan. Bahkan pada Reo dan Nagi juga. Kau sungguh tak berkeinginan untuk menyerang siapapun tadi. Kau juga tak tau siapa yang sebenarnya mengendalikan dirimu.

"Master.." Bachira tampak kecewa. Seperti kau masih belum mempercayainya sepenuhnya. Namun senyum pahitnya muncul. "Tapi yang penting sekarang master sudah baikan, kan? Nggak ada ularnya lagi, kan?"

Kau menggeleng. Mungkin untuk sekarang saja kau aman, entah kalau sudah kumat lagi, entah kapanpun itu nantinya.

"Kau tak tau siapa tadi? Kau--jangan bilang Ayakashi itu memaksa masuk ke dalam dirimu tanpa sepersetujuanmu?" Reo bertanya-tanya. Dan kalimat itu semakin memperburuk suasana menyulitkan saat ini.

Kain baju kau remas. Kau tak ingin membicarakan detailnya, tapi kau berkata "Mungkin." untuk Reo. Reo kembali pada pikirannya yang penuh kemungkinan.

"Hee?! Apa maksudnya? Memang dia maksa masuk ke master lewat mana?" Pertanyaan Bachira membuat nyembur. Dia sungguh anak-anak yang polos.

"Darimana saja bisa, pokok ada lubang kan?" Nagi malah semakin memperparah pikiran Bachira.

Kau menghentikan mereka berdua dengan ingatanmu soal tujuanmu kemari. Kau ingin menyembuhkan master mu dan jelas Reo pun Nagi sudah tau soal itu. Sepertinya mereka memata-matai gerak gerik master dan dirimu.

"Bukan mata-mata. Nagi dan aku membag kenal master mu. Kemarin kami tak sengaja menemukan master mu sedang bertarung dengan Ayakashi liar," jelas Reo. "Gagak mungkin? Tapi dia punya tanduk."

"Kayak Tengu(Ayakashi gagak). Dia juga punya tanduk Oni," sambung Nagi.

"Masa' campuran?" tanya Reo. "Yang seperti itu sekarang sering kan, Reo? Persilangan antar Ayakashi," ujar Nagi. Reo menerima pernyataan itu sebagai kemungkinan terbesarnya.

Bachira melipat tangannya. "Oooii! Kami nunggu bahannya, lho!" dengusnya kesal.

Reo dan Nagi yang asik diskusi akhirnya menyadari itu. Reo memunculkan barang bawaanmu dan bahan yang hendak kau beli itu. "Kau bawa saja semuanya."

Kau mendongak pada Reo yang tiba-tiba jadi baik hati itu. "Ini bukan apa-apa dibanding kehilangan Nagi. Kau sudah menyelamatkan Nagi, walau kau juga yang melukainya. Anggaplah balasanku untukmu. Ambil."

Kau menerima semua barang itu dari Reo dan berterima kasih. Reo membuang wajah sambil mendengus. Walau begitu, dia kembali membaik saat melihat Nagi.

Lantas kau berpamitan dengan Reo sebelum pergi dengan Bachira, tapi--

"Tunggu." Nagi memanggilmu.

Kau berhenti di bibir pintu bangunan itu dan menoleh padanya. Perawakannya yang tinggi mengharuskanmu untuk mendongak padanya.

"Biar aku antar. Kau bisa tersesat kalau jalan sendiri nanti."

Ucapan Nagi membuatmu terkesima. Kau mengangguk malu sebelum akhirnya Nagi menjadi pemandu jalan juga penjaga mu agar terjauh dari jamahan tangan Ayakashi yang penasaran.

Sesampaimu di gerbang, kau membungkukkan diri pada Nagi. Bachira melompat-lompat senang seperti biasa, dia suka sekali mengunjungi tempat baru. Sementara Reo daritadi hanya diam sambil mengikuti kemana Nagi pergi.

"Sampai jumpa, Nagi, Reo. Maaf sudah sangat merepotkan," ucapmu. Bachira melompat-lompat riang. "Chira suka ngerepotin orang!--oomph!!" Tanganmu langsung menutup mulutnya.

"Hati-hati di jalan," ujar Nagi. "Iya," balasmu. Lantas kalian terpisah oleh dua dunia yang terbataskan gerbang Tori itu.

Reo mengerut kesal. "Kau serius jadi Shikigaminya, Nagi? Jelas kau tau sifat seorang Abe, kan? Itu beresiko tinggi."

Nagi masih melihat dimana terakhir kali punggungmu menghilang dari jajaran Tori itu. Bibirnya yang suka terdiam kemudian terbuka. "Justru... karena itu dia butuh perlindungan tinggi. Aku rasa siapapun yang ada dalan dirinya bisa lepas kapanpun dan membawa bencana besar. Kalau aku tak ikut membantunya, malah makin parah nantinya."

Dia berbalik pada Reo. "Aku khawatir... itu Orochi."

Lensa Reo menegang.

+ + + +

Sesampaimu di rumah, Isagi langsung menghampirimu. Sesuai perintahmu, dia berjaga untuk master sampai kau datang. Bachira langsung melompat kearahnya tepat saat menemukannya.

Kau memberikan bahan-bahan itu pada Anri. Dia segera membuatkan obat penawar yang ditegukkan di mulut master mu. Tubuhnya sedikit melunjak sebentar sebagai reaksi. Anri bilang itu pertanda bagus.
Tak lama setelahnya, master mu membuka mata. Kau yang berhiaskan air mata itu langsung memeluknya sambil melepas segala kata yang bermaksud meminta permohonan maaf.

Chigiri tersenyum tipis sambil mengusap-usap punggungmu yang menahan sengguk tangismu.

"Tidak. Kau malah menyelamatkanku, (name). Tidak perlu menyalahkan dirimu seperti itu. Kau tidak salah," jawabnya.

Nafasmu perlahan tenang sebelum akhirnya melepasnya. Dia menatapmu dengan katup matanya yang melengkung tersenyum.

"Bagaimana kalau kita buat perayaan?" ajaknya.

Malam itu, ruang makan terasa hangat. Anri memasak sup rebusan yang enak, lengkap dari sayur ke lauknya. Jelas Bachira yang lebih dulu mengambilnya. Monsta juga mendapat bagiannya. Para Kappa pun di undang di teras, mereka suka kudapan buatan Anri.

Isagi duduk bersebelahan dengan Bachira, dia yang mendapat dampak kebercecerannya Bachira saat menyantap makanan. Sementara kau bersebelahan dengan master mu, kalian mengangkat minum bersamaan sebelum meneguknya. Hela nafas lega datang dari kalian berdua secara bersamaan.

"Kau tadi pergi ke pasar Ayakashi?" tanya Chigiri. Kau mengangguk. "Tidak ada yang mengganggu, kan?"
Kali ini kau bingung harus menjawab apa. Kebenarannya, kah? Atau kebohongan?

Mendengar itu Bachira menjawab, tapi mulutnya masih penuh dengan makanan. Master tak bisa mendengarnya dengan baik.
Langsung saja kau timpali kalau kau bertemu dengan dua Kitsune yang menjual barang di toko serba ada milik mereka. Kau mendapatkan bahannya disana dan pulang dengan selamat.

Chigiri mengangkat alisnya. "Toko Serba Ada milik Kitsune Mikage?" Kau nyaris tersedak dengan tegukan minum mu. Chigiri tertawa kecil melihat reaksimu. "Mereka langgananku. Barang milik mereka memang banyak, tapi perlu taktik untuk menjatuhkan kelicikan mereka."

Mulutmu menganga mendengarnya. Pantas saja dua Kitsune itu seakan tau sekali soal master mu! Mana lagi master mu seperti sudah lebih tau soal mereka.

"Ada masalah, (name)?" tanya master mu. Sedari awal sekali kau bertemu dengannya, dia peduli sekali denganmu. Rasanya kau seperti punya orang tua kedua atau biasa disebut sebagai wali.

Kau menggeleng dan tersenyum manis padanya. Kau senang master mu sudah baikan, itu sudah cukup untuk sekarang. Meski pemikiran soal Ayakashi dalam dirimu itu masih membebanimu, kau tak ingin master mu tau dulu.

Mungkin nanti.

+ + + +

Dibalik ranting pepohonan hutan yang lebat, angin malam berderu mematahkan daun dari tempatnya berada.
Sebelum daun itu terbang lebih jauh dari asalnya, tangan seseorang menangkapnya. Dia berdiri setara dengan letak daun itu terhembuskan--diatas ranting lainnya, bersembunyi dibalik bayangan.

Teriakan gagak lewat diatas kepalanya, berputar sesaat sebelum mendarat di pundaknya. Sayap gagak itu mengibaskan bulu hitam yang langsung lenyap saat terlepas darinya.

"Dia sudah kembali," gumamnya. Daun dalam genggaman itu terlepas dari tangannya yang cerah dalam kondisi terlahap api biru--lantas padam dan hanya bersisakan abu.

"Tinggal sedikit lagi."

+ + + +

Glossary Ayakashi!

Sc : Manga 'Jurnal Mukai Usagido', seri 1

Ini adalah gambaran tingkat kemampuan Ayakashi. Ayakashi yang dianggap kuat dan memiliki banyak teknik rumit berada diatas tingkatan "Daishi".

Dibawah itu, mereka tak memiliki banyak teknik, mungkin hanya satu dua, tapi berguna untuk diri mereka. Karakter mereka juga beragam, begitu juga tingkat pengetahuannya! Sama seperti manusia.
Ayakashi tingkat Daishi keatas mampu menghancurkan mantra atau sihir dari Onmyoji.

Sementara dari pihak Onmyoji, mereka bisa menjadikan Ayakashi tingkat manapun untuk menjadi Shikigaminya.

Sampai sini qpa bisa dimengerti, Onmyoji-sama?

Sampai jumpa lagi di pembelajaran Ayakashi lainnya! (kalau author nya sudah mampu beli manga lanjutannya.)

+ + + +

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro