Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[Ending] Bachira - STAGE 3 - Selamanya

Author's POV

Hatinya sepi nan hampa, meski senyum dan tawa selalu mewarnai harinya secerah sinar mentari.

Tak ada seorang pun ingin berada dekat dengan dirinya, hanya karena satu kepercayaan yang melenceng dari kepercayaan banyak orang disekitarnya.

Anak itu tak pernah menceritakannya. Jika pun dia memiliki secercah keberanian untuk membaginya, tak akan ada seorang pun yang memahami apa isi kepalanya--apa yang dilihat dua matanya.
Tak akan ada pula telinga yang ingin mendengarnya--tangisnya seorang diri.

Bachira Meguru.
Atau biasa disebut.... "anak aneh yang berteman dengan setan".

Kejam bagaimana dunia menyebutnya seperti itu, hanya karena dia mampu melihat apa yang orang lain tak bisa lihat.

Monsta, nama yang Meguru berikan pada Ayakashi berbentuk pasir dan tanah dengan wajah berseringai seram. Dia adalah sosok Ayakashi yang mampu dilihat oleh Meguru seorang. Satu-satunya makhluk yang menjadi teman bermainnya, meski tak terasa begitu nyata.
Dan bola Temari berwarna kuning, mainan favoritnya yang selalu ditendangnya kearah Monsta, sebelum memantul kembali pada dirinya.

Onmyoji jelas akan menyebutnya sebagai "Shikigami" atau "Roh Pelindung" milik Bachira.
Tapi, tempat itu tak mengetahui tentang makhluk halus yang bertugas melindungi--semua makhluk halus adalah musuh, itu yang mereka percaya.
Dan karena hal itu, Meguru dianggap sebagai sosok berbeda yang pantas untuk dihindari. Hanya ibunya yang masih bertahan disampingnya.

Suatu ketika, Meguru kecil mempertanyakan sesuatu pada sang ibu.

"Apa Meguru bakal terus main sendiri?"

Hati kecilnya mempertanyakan ruang hampa yang tak berujung dalam dirinya.

Sang ibu mengusap lembut ujung kepala putranya. Dengan lembut dia mengucapkan suatu harapan--sebuah doa.

"Suatu hari nanti, Meguru pasti menemukan teman. Teman yang akan selalu ada di sisi Meguru, dalam keadaan apapun dan tak akan pergi sampai kapanpun. Bahkan meski hanya dia saja."

Dia masih mengingat harapan itu hingga ajal menjemputnya...

Gempa bumi mengguncang daerah tempat tinggalnya. Tepat saat itu, Bachira muda yang berusia menginjak masa remaja sedang bermain di tanah lapang dekat hutan.

Kala tanah berguncang, orang-orang lari menyelamatkan diri. Tapi dirinya? Tidak, dia berlari ke rumahnya, untuk mencari seseorang yang begitu disayanginya.

"Ibu!!"

Pintu demi pintu dibukanya untuk menemukan sang ibu yang entah ada dimana. Sebelum sempat dia menemukan dimana wanita itu, langit-langit jatuh tepat diatas dirinya, meremukkan semua yang ada di rumah itu dalam waktu yang begitu cepat.

Tak seorang pun mencari Meguru.
Semua orang justru merasa lega dengan kepergian anak itu, kecuali untuk seseorang.
Seorang wanita jatuh terduduk di depan puing-puing rumahnya. Air mata membasahi tanah halamannya bak siraman hujan.

"Meguru!!" seru sang ibu histeris, menyebut nama anak semata wayangnya.

Namun, di telinga Bachira Meguru, dia masih mendengar panggilan ibunya. Kaki nya terus berlari, membuka pintu demi pintu dalam lorong remang.
Hingga dia menemukan secercah cahaya yang nampak bersinar di salah satu pintu, di ujung lorong pintu yang seakan tak ada habisnya itu.

Pintu bercahaya itu terbuka, menampakkan dunia luar--tempat dirinya mengejar suatu harapan--dia hanya ingin bertemu ibunya.

Tapi, dimana sang ibu setelah dia keluar dari sana?
Dia tak menemukan apapun selain halaman rumah yang terbengkalai. Puing-puing rumah dibalik punggungnya mengkhianati keberadaannya saat ini--yang berdiri baik-baik saja disini.

"Ibu?" Dia mencari-cari dimana sang ibu yang biasa mencarinya. Hingga Meguru tersungkur karena tersandung benda keras yang menancap diatas tanah. Setelah mengaduh dan bangkit, barulah dua netra kuningnya tak melihat sesuatu yang tak bisa diterimanya dengan mudah.

Dia jatuh terduduk, sama seperti ibunya saat itu, tapi bukan di depan puing rumahnya... melainkan di depan batu yang terukir suatu nama yang begitu dikenalnya.

"M-meguru... pasti lagi mimpi, kan?" tanyanya gemetar. Dia ragu ingin menyentuh batu itu atau tidak, meski pada akhirnya dia tetap menyentuhnya.
Kemudian, hujan turun secara tiba-tiba. Teredam semua suara yang ada disana. Sampai-sampai tak ada yang bisa mendengar serak tangis, maupun melihat air mata anak itu.

Meguru menatap dua tangannya yang basah, entah karena air mata yang diusapnya atau air hujan.
Dia bertanya-tanya... siapa dirinya sekarang?
Jika benar dia berhasil selamat dari gempa yang jelas-jelas meremukkan tubuhnya?

"Aku turut berduka cita, Bachira Meguru."

Suara astral itu seketika mengejutkan pundak Bachira, bahkan menjungkalkan anak itu ke belakang. Monsta yang semula tak berbicara, seketika mampu didengarnya.

"M-monsta? K-kok bisa?!"

Monsta yang awalnya tak mengerti, seketika memutarbalik seringainya jadi masam.
Bagaimana caranya dia menjelaskan bahwa Bachira selamat dari bencana, bukan berarti tanpa alasan?

Monsta menyelamatkan jiwa Meguru, tapi tidak dengan tubuhnya. Tanpa sengaja, itulah yang membuat Bachira menjadi Ayakashi yang tak mudah mati karena bencana alam.

Cepat atau lambat, seusai mendengar itu Meguru harus menerima siapa dirinya kini. Begitu juga dengan kematian ibunya.

Hanya untuk mengetahui penyebab kematian sang Ibu, Bachira berlarian kesana-kemari untuk bertanya pada siapapun.
Namun, orang-orang takut kepadanya. Menganggap kini dirinya adalah arwah gentayangan Meguru yang tak bisa beristirahat dengan tenang.

Hingga pada akhirnya, Meguru kembali ke puing-puing rumahnya, duduk menekuk lutut, dan menenggelamkan wajahnya dalam-dalam disana.

"Sepi nya," gumamnya. Hati kecilnya tak nyaman berada dalam kesendirian dan kesepian itu.

Monsta lantas datang membawa bola Temari yang digelindingkannya sampai ke kaki Bachira. Anak itu kemudian mengangkat wajahnya, meraih bola Temari itu, dan menatapnya dalam-dalam.

"Kok bisa ada disini? Oh, iya! Aku lupa masukin ke rumah pas itu."

Lantas pandangannya teralih kepada Monsta yang mengagguk dan berputar, seakan ingin bermain dengannya. Senyum Meguru kembali muncul. Seakan mampu memandang hari mendung dengan kemurnian keinginannya, dia bangkit dan kembali menjadi sosok Bachira Meguru.

Suatu hari, saat asik bermain dengan Monsta, bola Temari melenting jauh dan masuk ke dalam gerobak seorang penjual keliling. Dimana Meguru melompat ke dalamnya tanpa berpikir dua kali dan terbawa pergi sebelum sempat keluar dari sana.
Seakan hidup ingin membawanya menuju halaman cerita yang baru, Meguru pergi jauh dari rumahnya, bertinggal di suatu tempat yang tak jauh berbeda dengan tempat tinggalnya.

Bedanya, disana, anak-anak kecil dengan hangat menerima kedatangannya, bermain dengannya, bahkan menemaninya. Meski jatinya, tak ada yang pernah tau dimana Meguru tinggal dan darimana dia berasal.
Di tempat baru itu, dia memiliki julukan barunya--Bachira Meguru, si anak bola Temari.

Sayangnya, rongga hampa dalam hati Bachira tak juga merasa penuh dengan apa yang dimilikinya--teman dan anak-anak kecil yang bersama dengannya.

"Kak Bachira, aku harus pulang!"

Ujaran itu selalu didengarnya setiap langit senja muncul. Warna jingga yang menjadi kebenciannya--membawa pergi teman-temannya darinya.
Sampai akhirnya, dia memilih untuk membawa pergi temannya dari akhir berwarna jingga itu menuju suatu tempat dimana langit sore tak pernah muncul.

Amarahnya semakin tak terkendali jika anak-anak itu kembali pulang dan menyudahi permainan bola dengannya. Itu semua terjadi saat gadis Onmyoji muncul diantara kumpulan anak yang biasa bermain bersamanya.

Dia tak akan pernah bisa lagi pulang ke rumah. Tak ada siapapun yang akan menyambutnya. Tak ada rumah yang melindunginya. Dia akan kembali kesepian bersama Monsta dalam realm dunia pintu miliknya.
Dia tak menginginkan itu, maka dari itu dia terus melawan semua yang menghalanginya, melanggar apapun hanya untuk memiliki teman.

Hingga gadis Onmyoji itu memecahkan kepercayaannya yang salah. Uluran tangan dan kontrak sebuah nama menariknya keluar dari jurang rasa hampa.

"Aku ingin jadi Shikigami-mu, kak Onmyoji," ucapnya.

Lantas dua jari yang disatukan menautkan dirinya dengan tuan pertamanya. Sebuah janji... dan sebuah harapan yang pernah dituturkan ibunya kala itu.

"Suatu saat nanti, akan ada yang selalu menemanimu, meski hanya satu orang."

Kalimat itu melekat jelas dalam ingatan dan hatinya.

Di masa kini, dia yang menghadapi seberapa dahsyatnya makhluk malapetaka berbentuk raksasa bersama tuannya--(name). Tapi, dimana gadis itu kini?

"Hime-sama!!" Lantangan suara Rin seketika mengalihkan perhatiannya.
Sosok Shikigami yang selalu menghalangi perhatian (name) untuknya.

Kekuatan Pentagram upacara penyucian seketika tak seimbang setelah Rin pergi.
Sihir itu menyerap lebih banyak energi hanya untuk menahan Kunigami tetap berada di tempatnya.
Monsta pun menggeram tak kuat dengan perubahan yang signifikan, hanya karena kehilangan satu Shikigami dari formasi.

Kekhawatiran berdetak dalam pikiran Meguru. Satu nama yang begitu disayangnya seperti dalam bahaya, dia bisa merasakannya.
Tapi, bagaimana dengan ritual penyucian ini? Apa lebih baik meninggalkannya seperti Rin? Hatinya bergeming diantara dua pilihan itu.

Pipinya tiba-tiba saja basah. "Huh?" Dia kebingungan, kenapa tiba-tiba saja dia menangis?
Suatu rasa begitu pedih berdetak dalam dirinya. Dia merasakan tuannya. (Name), dia menangis sepertinya dahulu.
Entah apa yang sebenarnya terjadi pada tuannya, Meguru sudah memutuskan.

Pintu dunia realm-nya terbuka dibalik punggungnya. Dia menjatuhkan diri. Dan detik itu, dia menghilang.

Dia tak peduli lagi tentang ritual-upacara penyucian makhluk malapetaka.
Dia tak peduli bahkan jika dunia akan hancur lebur karena ritual itu gagal.
Dia tak peduli apapun, kecuali pada tuannya sendiri.

Tanpanya, dia bukan siapa-siapa.
Tanpanya, dia akan kembali kesepian.
Dan tanpanya, mungkin dia tak akan bisa hidup sebagaimana mestinya.

"(Name)! (Name)!"
batinnya terus-menerus memanggil nama itu.

Telapak tangannya meraih udara kosong, sebelum gravitasi realm dunia pintu berubah arah. Punggungnya kini terdorong ke depan, menuju suatu pintu di ujung lorong yang menyala jingga.

Saat pintu itu terbuka, dia melihat punggung (name) yang jatuh terduduk dengan air mata mengalir. Aliran darah menitik dari mulutnya, turun ke dagunya.

Tangan Meguru terbentang, memeluk punggung manusia berhati rapuh itu, sebelum kemudian cahaya menyilaukan datang melahap semuanya.
Di saat bersamaan, pintu realm Meguru melahap mereka berdua dari bawah.

Keduanya jatuh bersamaan melewati pintu demi pintu yang entah akan membawa kemana.

(Name) terbelalak perlahan, merasakan dia sedang terjatuh.
"Bachira?" tebaknya nyaris tak bersuara. Meguru hanya memeluk punggung (name) semakin erat, seakan dia baru saja hampir kehilangan sosok yang berharga--lagi.

Pintu terakhir lantas terbuka. (Name) mendarat dengan mulus karena Monsta menahannya dan Meguru dari gravitasi. Meski begitu, Meguru tak melepas dekapannya.

"Apa yang kau lakukan disana?" tanyanya dingin, suaranya kembali berubah begitu kontras. Ekspresinya sama sekali tak tertebak. Poni depannya menghalangi. "Kau membuatku takut. KAU TAU ITU, NGGAK?!"

Bentakan itu membuat (name) sesak. Pelukan erat Bachira terasa seperti ingin meremukkannya.

"Coba aja aku nggak datang cepat."

"Coba aja aku tetep disana, menunggumu."

"Apa kamu tau seberapa takutnya aku kehilanganmu?"

Kepalanya lantas menggeleng diatas pundak (name). Bisikan kekhawatiran Meguru terdengar begitu jelas di telinga kirinya.

Sesaat kemudian, (name) yang ingin membalas, tiba-tiba saja memuntahkan darah dari mulutnya, terbatuk sampai-sampai nyaris terjungkal ke depan kalau saja Bachira tak menahannya.

Meguru tau artinya itu. Dia sekarang memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Para Shikigami dan Ayakashi di tempat itu sudah tiada. Mungkin saja makhluk malapetaka itu sudah meratakan mereka semua.

Apa Meguru juga merasa kehilangan?

Apa dia akan sama terlukanya dengan (name)?

Kekehan terdengar semakin jelas dari seringainya yang mengembang kembali.

"S-semuanya..." ujar (name) dengan serak.
(Name) baru menyadari, dia kembali meninggalkan semua orang tenggelam dalam kubangan darah mereka sendiri.

Dua tangannya yang gemetar ditatapnya. Dia kembali membuat kesalahan yang sama.
Degubnya memburu, bersama rasa bersalah yang hendak menyergap tubuhnya--tidak sampai Meguru menarik wajahnya.

Meguru melumat mulut berdarah (name) sebelum sempat (name) berkomentar.

Setiap udara dihisapnya dari nafas tuannya. Setiap energi Onmyodo yang mengalir bersama degub jantungnya, seakan dia tak ingin sedikit pun tersisa sia-sia.

Jarak semakin dipersempitnya dengan pelukan erat, sampai-sampai kain mereka saling bergesekan. Tangannya mencengkram kuat lingkar pinggang tuannya sendiri.

Sementara (name) menolak keras, ingin melepaskan diri. Dorongan kuat dan pukulan kerasnya menolak keras Shikigami-nya. Namun, hasrat tak terkendali dari Meguru jauh lebih kuat. Perlahan-lahan melemahkannya. Perlahan-lahan memusingkan dirinya.

Sebelum dia terhuyung jatuh karena kehabisan energi dan kewarasan, tangan Meguru menahannya. Seringai dan tawa gila terdengar semakin jelas.

Tubuh tuannya dipeluk erat. Udara gelap yang sebenarnya adalah "energi kutukan" kembali mengitarinya seperti dahulu. Terbentuk dari keposesifan dan keinginan besarnya untuk memiliki seseorang.
Dia tak merasa aneh dengan itu. Justru sebaliknya...

"Semuanya baik-baik saja, (name). Kau punya aku sekarang, kan?~" Dagunya mendarat diatas pundak (name) yang tak berdaya dibawah kendalinya.
Kondisinya yang semakin melemah setelah kehilangan banyak nama membawa keuntungan untuknya--untuk memiliki (name).

Tak ada lagi yang bisa membatasinya.

Tak ada lagi yang menghalangi diantaranya.

Tidak ada Rin. Tidak ada lagi Isagi. Tidak ada lagi Nagi dan Reo yang merenggut perhatian tuannya darinya.

Senyumnya semakin terbentuk. Semakin jelas, semakin mengerikan garis yang tertarik lebar dari pipi ke pipi itu.

Ah ya, dia mengingat jelas ucapan ibunya kala itu. Bahwa suatu hari nanti, seseorang akan selalu menemaninya. Tak peduli apapun yang terjadi, sosok itu tak akan pergi darinya. Sosok itulah yang akan mengisi rongga hampa dalam hatinya. Dialah sebenarnya sosok yang dicari Meguru.

Meguru mampu merasakan degub jantung (name) begitu jelas didekat dadanya. Seakan dia merasa hidup lagi seperti dulu--dengan detak jantung (name) yang mewakili "kehidupan hati-nya".

Dia tak lagi merasa hampa. Dia merasa... hidup. Semua itu karena (name) seorang.
(Name), (name), dan (name) yang mengisi setiap bagian cacat dalam hidupnya. Sosok spesial yang memiliki hati dan hidupnya, hanyalah dirinya seorang.

"B-bachira..." Gadis itu tersenggal. Dia tak punya energi lebih untuk meladeni Bachira yang jelas-jelas mulai berubah menjadi makhluk terkutuk.
Kepalanya hanya menggeleng, sebelum tersandarkan di atas dada bidang Bachira secara sepihak. "Kita... harus kembali. Malapetaka--"

Jari telunjuk Meguru jatuh di depan bibirnya. Dagu (name) yang turun diangkatnya keatas, menatap hanya kepadanya.

"Tidak ada yang tersisa lagi, (name). Semuanya sudah hancur. Untuk apa kembali?" Senyumnya kembali tampak normal, tapi tidak dengan tatapan yang sudah tak memiliki kilapan cahaya itu. "Malapetaka sudah lepas dan kau gagal menjadi Onmyoji penerus Abe Seimei. Jadi apa gunanya memikirkan itu semua lagi? Kita sudah kalah telak."

Air mata (name) kembali mengalir.
Dan lagi-lagi, Meguru menyambar kesempatan bicaranya.

"Tapi, nggak apa!~ Chira masih ada disini buat Master. Master sayang Chira, kan? Iya, kan? Daripada mikirin yang udah nggak ada, mending kita hidup bahagia saja berdua! Lupakan saja semuanya~" Tawa manis nya kembali terdengar. Dia masih mendekap tubuh (name) seakan tak ingin segera melepasnya.

(Name) tau jelas itu semua salah. Tapi apa yang dikatakan Meguru ada benarnya. Dia tak seharusnya memikirkannya lagi. Lagipula, dia hanya melakukan kesalahan sama, entah di kehidupan yang keberapa lagi.
Dia menyerah. Kali ini dia benar-benar menyerah.

Meguru sedikit terkejut dengan (name) yang tiba-tiba bersandar kepadanya. Nafas gadis itu terhela sebelum dua manik indahnya terbuka pelan.

"Kau benar. Aku bukan siapa-siapa lagi. Semua orang... dunia ini... aku tak bisa melindungi keduanya. Dan sekarang, aku hanya punya dirimu." Wajahnya dibenamkan dalam kain baju Meguru.
Tangannya menangkap tangan Meguru, membungkusnya erat.
"Jangan tinggalkan aku, Bachira." Suaranya terdengar parau dengan nafas tersenggal diantaranya.

Andai (name) tau, ekspresinya kali ini benar-benar membuat Meguru jatuh cinta luar biasa. Dua lengan Shikigami yang melingkari (name), dia mengusap-usap punggung (name), sebelum meletakkan dagunya diujung kepala (name).

"Pasti. Chira nggak bakal kemana-mana kok. Chira bakal bareng (name). Bakal jagain (name) selama-lamanya!~"

Senyumnya tenggelam dalam aura gelap disekitarnya.

========================
[ Kutukan untuk "selamanya" ]



















Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro