Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chigiri • STAGE 2 • Aku akan melindungimu

Master menghela nafas, seperti biasanya setiap aku pergi tanpa pamit dan kemudian kembali pulang.
Kami semua berkumpul dan duduk bertekuk lutut di ruang tamu. Mulai dari Bachira, Isagi, Nagi, Reo, Anri, Aku, dan Rin--kini tertuju kepada master Chigiri.

"Aku sudah mencari kalian kemana-mana, ternyatanya sudah ngeluyur duluan. Sehubung Rin sudah siuman, aku mencari-carimu (name)."

Ujung bibir kugigit, agaknya merasa bersalah karena pergi tanpa pamit. Ajakan Nagi kemarin benar-benar tak bisa membuatku tinggal diam. Aku ingin mengetahui soal ayah, tentang apapun yang tertinggal darinya, dan rasa itu sulit untuk kubendung.

"Maaf, master. Aku pergi bersama Nagi dan Reo. Kemarin kami menemukan gerbang menuju Heian-Kyo, tempat mediang ayah sebelumnya tinggal."

Semua mata langsung menyorot kearahku. Jelas mayoritasnya tak percaya dengan ucapanku kecuali Reo dan Nagi.

"Aku." Nagi angkat bicara agar tak hanya aku yang menompang beban tatapan itu. "Yang menemukan gerbang itu kemarin. Sei dan Shiro sebenarnya yang lebih dulu, aku hanya memastikan lokasinya."

Reo kemudian melanjutkan kalimat Nagi.

"Kondisi Heian-Kyo bersih dan rapi karena dirawat oleh Shikigami milik Abe Seimei. Makhluk itu bertinggal di tempat itu setelah Abe Seimei pergi menghilang."

"Tempat itu masih layak huni. Luas dan memiliki banyak ruang. Sihir yang mengelilinginya juga kuat, aku percaya itu Heian-Kyo sungguhan."

Manik ungu miliknya melirik padaku, memberi isyarat untuk mengutarakan permintaanku yang satu itu kepada master.

Aku mengangguk. Tubuhku membungkuk pada master.

"Terima kasih untuk kebaikan master selama ini. Sungguh, aku tak ingin berpisah sebenarnya."

Seketika aku mulai berusaha mengingat berapa lama sudah aku tinggal di tempat ini. Tempat yang tak luas ini, selain halamannya. Ini adalah tempat terbaik yang mempertajam pengetahuan dan kemampuan ku sebagai Onmyoji.  Rasanya ucapan terima kasih saja tidaklah cukup.

"Tapi, aku tak ingin terus memberatkanmu, master. Maka dari itu, aku memohon izinmu untuk memperbolehkanku dan Shikigami -shikigami ku untuk berpindah ke Heian-Kyo."

"Aku ingin mengetahui lebih banyak tentang ayah. Jika memang takdir ku adalah menjadi Onmyoji sepertinya dan bertinggal di Heian-Kyo, maka biarkan aku menerimanya."

Aku masih mempertahankan bungkukan mendalam ku padanya. Bisa kurasakan energi Onmyodo dalam diri Rin entah kenapa berkedip-kedip dengan terang, seperti dia melihat sesuatu yang begitu menakjubkan.

"Chigiri," panggil Reo memancing lirikan master.
"Sudah saatnya kau meluluskan (name). Dia sudah mengenal dirinya sebenarnya, menjadi Onmyoji yang layak karenamu, dan mempelajari Onmyodo darimu--itu semua lebih dari cukup. Sekarang dia harus melanjutkan kehidupannya sendiri."

Master, di lain sisi, masih diam terpaku. Hingga saat yang agak lama, dia menyuruhku untuk kembali bangkit dengan satu jawaban.

"Baiklah. Jika itu adalah pilihan yang (name) percaya baik untuknya, aku tak ingin menghalangi. Kau mendapat persetujuanku. Malam ini, kita akan merayakan pelepasan (name) sebagai Onmyoji."

Wajahku bangkit dari menatap lantai. Kudapati mimik master begitu tenang tersenyum padaku, seperti... merasa bangga.

Aku bingung bagaimana mengekspresikan rasa senang yang bergejolak dalam dada ini, selain mengatakan terimakasih padanya sambil menahan tangis haru jatuh dari mataku.

"Kalau begitu, Anri, Isagi, Bachira. Kalian carikan segala bahan untuk perayaan nanti malam," perintahnya.

Anri mengangguk, sementara Bachira kegirangan bersama Isagi. Entah kenapa aku merasa Bachira tampak begitu senang dengan Isagi.

Seusai pertemuan itu, semua orang kembali ke ke kesibukannya masing-masing. Aku menghampiri Isagi yang hendak mengikuti Anri, mereka hendak pergi entah kemana untuk mencari bahan.

"Bachira kelihatannya senang bersamamu, ya, Isagi? Dia tampak lebih riang."

Isagi berhenti berjalan dan menoleh padaku. Senyum khasnya terangkat.

"Oh, (name). Kau benar. Dia bilang dia nyaman denganku kemarin. Kurasa dia tak seburuk yang kukira. Dia mungkin saja bisa tak terkendali, tapi sekarang aku mengerti."

"Syukurlah, aku tak bisa selalu ada disampingnya. Aku jadi tak bisa berhenti mengkhawatirkan kondisinya," balasku yang menunduk dalam rasa bersalah.

"(Name)." Kepalaku mendongak pada panggilannya. Dua manik birunya menatapku lekat-lekat, seakan apa yang akan dia katakan hanya ada kebenaran dan aku harus mempercayainya.

"Tugasmu adalah mempelajari Onmyodo dan menjadi Onmyoji yang baik. Mengetahui Shikigami mu baik-baik saja, itu sudah cukup. Sisanya, biarkan orang lain yang memastikan dan mengurusinya."

Dia meletakkan tangannya diatas dada. "Aku juga Shikigami, tugasku adalah melayani Onmyoji, termasuk dirimu. Tenangkan hati mu dan fokuskan saja pikiranmu pada pendalaman Onmyodo, itu sudah tugas yang berbobot untuk Onmyoji."

Aku tak bisa menahan tawa kecil ku yang bercampur dengan hela nafas lelah. Rasanya aku seperti sedikit diceramahi olehnya, seperti Nagi malam kemarin.

"Kau tak salah. Tolong jaga Bachira saat aku tak ada di sampingnya, ya?"

Isagi mengangguk mantap.

"Kalau begitu, aku pergi dulu."

"Hati-hati di jalan."

"Kau juga nanti."

Lantas kami berdua berpisah arah. Dia mengejar Anri dan aku kembali ruanganku, melewati lorong kayu cukup panjang.

Sengaja kuperlambat langkah untuk melihat tempat ini yang terakhir kali sebelum berpindah di esok hari.
Dari lorong ini pula, aku bisa melihat halaman yang kini sepi--biasanya tempat itu menjadi tempatku berlatih atau Bachira bermain.

Berjalan agak jauh, aku melewati dapur, tempat Anri biasa akan memasak makanan sebelum pergi menghidangkannya.
Aku biasa menyapanya saat cahaya mentari masih segar menyingsing dari ufuk timur, jika aku tak kesiangan karena belajar larut malam. Dia pasti akan bertanya soal hidangan apa yang harus dia buat agar tidak itu-itu saja macamnya.

Berjalan lagi, aku melewati ruang dengan pintu setengah terbuka dimana kudapati Nagi dan Reo sedang mengemasi barang-barang mereka.

"Sudah bersiap-siap? Tidak besok saja?" tanyaku dari bibir pintu.

Dua kitsune itu menoleh padaku dengan tangan dan kaki yang sibuk memindah dan mengemasi barang.

"Lebih baik sekarang. Besok pasti Nagi telat bangun. Bisa makin lama mengemasnya."

Nagi melirik pada Reo yang tanpa sadar mengomel.

"Aku tidak bangun setelat itu, Reo," ujarnya lesu.

"Dan sampai sekarang aku masih tak bisa mempercayainya, Nagi. Kau pasti akan tidur lagi nanti," bantah Reo.

Nagi mengunci mulutnya, tak bisa menjawab. Dia tak melawan, seperti menerima hal itu atau tak ingin lanjut bertengkar saja karena malas. Meski begitu dia tetap sibuk bekerja--mengemasi barang, membawanya ke gerobak yang dibawanya kemarin, menata dan memastikan tak ada yang terlupakan.

Manikku tersenyum melihat mereka berdua. Ah ya, soal Nagi.

"Kau akan ikut tinggal di Heian-Kyo, Nagi?"

Dia menoleh padaku, begitu juga Reo yang mengingat kalau Nagi adalah bagian dari Shikigami ku juga.
Aku menyadari kalau mereka berdua bagai dua makhluk yang tak bisa dipisahkan, makanya kulanjutkan kalimatku.

"Aku tak keberatan jika kau memilih tinggal di dunia Ayakashi. Bukan berarti kita akan terpisah hanya karena berbeda tempat."

Nagi termenung sejenak. Dia menoleh pada Reo, sebelum kembali padaku.

"Kalau Reo ikut, boleh?"

Reo terkejut dengan idenya. Sudah kuduga dia akan mencari garis tengah dimana Reo tetap bisa bersamanya kemanapun dia pergi.

"Tentu. Aku tak menolak siapapun meskipun bukan Shikigami-ku."

Aku menghadap pada Reo yang masih belum mengatakan apapun. Bibirku melengkung hangat padanya.

"Kau tak perlu menjalin kontrak Shikigami denganku, Reo. Tetaplah menjadi Ayakashi yang bebas, seperti apa yang kau inginkan. Pintu Heian-Kyo tetap akan terbuka untukmu jika kau membutuhkan tempat untuk pulang."

Entah mengapa Reo seperti mengusap matanya kemudian. Dia membuang wajahnya kearah yang lain, alih-alih merapikan barang sambil mengangguk dan berbisik, "Terima kasih untuk tawaran itu."

Kembali lagi pada Nagi, aku nyaris melompat terkejut karena dia tiba-tiba saja berdiri di belakangku.

"Besok berangkat pagi-pagi buta?"

"Tidak terlalu pagi juga. Saat sinarnya menyingsing, kita berangkat."

Dia mengangguk. "Baiklah. Barang-barang mu juga jangan lupa. Taruh saja sekalian di gerobak, aku yang akan membawakannya."

Lagi-lagi aku tak bisa tak merasa senang karena bantuan darinya.

"Aku akan mengemasinya setelah ini kalau begitu. Aku harus kembali ke kamar dulu. Kalian berdua jangan terlalu lelah, masih ada perayaan nanti malam."

Reo membalas dengan "Ya, tenang saja!" sementara Nagi hanya mengangkat ibu jarinya padaku. Sempat bibirku meringis, lantas aku beralih dari ruangan mereka ke lorong lagi.

Sebelum mencapai pintu kamar, aku melewati ruang kamar tamu yang kemarin hari digunakan Rin untuk beristirahat.
Cubitan menyakitkan terasa dalam dada, seingatku yang membayangkan kembali saat-saat itu.

Aku tak pernah ingin Rin menderita, tidak juga kepada dua Itoshi itu. Sebaliknya, aku yang ingin bergantian melindungi mereka sebagaimana mereka juga melakukan itu padaku.
Kalau saja aku tak mati hari itu atau aku lebih sadar akan bahaya kala itu, mungkin... mungkin saja Rin tak akan pernah melewati penderitaan itu.

"Memikirkannya lagi?"

Pundakku menegang mendapati suara Sae yang tiba-tiba muncul dari arah lorong.
Sosoknya berdiri di sampingku tanpa kusadari, menyandarkan punggung di bibir pintu. Seperti... dia tau kapan harus muncul dan kapan harus menghilang.

Aku tak menjawab apapun selain menghela berat. Dia pun tak mengatakan apapun selagi melirik ke ruangan itu.

"Kalau kau hidup di masalalu, mati saja di masa sekarang."

Seperti biasa ucapannya setajam lidah ular. Tapi dia ada benarnya. Tak ada gunanya memikirkan masalalu, itu hanya akan membuatku mati rasa di masa sekarang.
Aku mengerti maksudnya.

"Aku tak ingin memikirkannya, hanya saja... bagaimana cara memperbaikinya?"

Sae memejamkan matanya, seakan tau jawaban yang hendak dia ucapkan hanya akan membuatnya lelah.

"Kau sudah lebih baik daripada dirimu yang hari kemarin. Apa itu tak terlihat jelas?"

Aku mendegus tawa sarkas. "Kau berniat tampil baik di depanku?"

Untuk sekilas aku melihat senyuman kecil di ujung bibirnya. Cukup singkat dan cepat setelah maniknya kembali terbuka itu.

"Heian-Kyo--kau ingin lanjut sebagai Abe Seimei selanjutnya." Katanya yang kemudian menghadap lagi padaku.
"Aku tak mengira kau masih ingin mengemban beban berat itu lagi."

Aku mengangkat dua pundakku. "Mau bagaimana lagi? Seingatku dulu, tujuanku menjadi Onmyoji adalah untuk membuat tempat yang damai untukmu tinggal, bukan?"

Kini giliran Sae yang mendegus tawa, entah sarkas atau tulus, aku masih tak bisa membedakannya hingga kini.
Sedikit... tulus mungkin kali ini?

"Jadi hanya aku yang jadi alasanmu?"

Ah, aku tau kemana permainan pertanyaan ini akan pergi.

"Kau ingin aku menyebutkan Rin dan umat manusia lagi agar kau tak merasa spesial?"

"Kukira kau yang ingin tampak begitu di mataku."

"Aku tak terlalu mengharapkan itu. Standar mu terlalu tinggi untuk manusia fana sepertiku."

Senyum itu seketika menghilang, dia kembali senyap dalam sunyi. Garis matanya menajam.

"--Kau sudah lebih dari itu."

Suatu suara terbisik di telinga ku.

"Apa?"

Kukira dia yang bicara, sampai dia berkata...

"Aku tak mengatakan apapun. Kau mendengarkan sesuatu?"

... dengan santainya.

Kurasa aku tak sengaja mendengarkan suara Shikigami lain yang kebetulan lewat di telingaku.

Tanganku mengusap telinga.

"Sepertinya aku salah dengar."

"Dan sepertinya kau memang salah dengar," ujarnya menggarisbesarkan apa yang dia katakan.
"Perjalananmu memahami kemampuan Onmyoji masih jauh. Terlebih, kau Onmyoji yang berbeda dari yang lainnya."

"Apa maksudmu?" tanyaku kembali dengan bingung. "Selain karena aku Abe?"

Dua manik Sae melebar, seperti dia melihat sesuatu yang baru dia dapati, sebelum menatap datar seperti memaklumi.

"Kau melupakannya."

Lalu menghela dengan meletakkan satu tangan di pinggangnya, menatap kearah lantai sebelum kembali melihatku.

"Ibu mu, jika dia orang biasa, apa kau pikir tinggal jauh dari manusia lainnya tak terdengar janggal?"

Itu... ada benarnya. Rumah lama ku bertempat di desa kecil dekat hutan bambu. Untuk pergi ke pemukiman yang terkesan lebih ramai pun, aku harus berjalan agak jauh sampai menemukan pintu yang seakan menyapa kedatanganku.

"Dia manusia yang mampu menggunakan telepati dengan siapapun yang terhubung dengannya. Orang bilang, dia semacam penyihir, tapi dia bukan. Itu hanya berkat nya. Mungkin saja dia sebenarnya memiliki darah Onmyoji atau Ayakashi."

"Karena kau terlahir darinya dan sudah menjadi Onmyoji yang harus berhubungan dengan Shikigami, kau pasti memiliki kemampuan itu sekarang. Bedanya, bukan hanya kau yang akan memiliki telepati, tapi Shikigami-shikigami yang bersama denganmu juga mendapatkannya. Hanya butuh pengendalian lebih, kalian akan segera mengerti."

Sekarang semuanya terdengar jelas. Sebagaimana Nagi seperti bisa mendengar suara jawabanku meski belum kuucapkan. Dan saat Bachira hilang kendali, aku bisa mendengarkannya juga.

"Bagaimana dengan melihat memori masalalu?" tanyaku lagi.

Seakan Sae sudah hidup lebih lama dariku, dia mengetahui banyak hal untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

"Itu salah satu kemampuan Onmyoji tingkat tinggi, untuk menyelami dunia memori yang menjadi cikal bakal kutukan dan energi Yin Yang. Ayahmu pasti juga bisa melakukan itu untuk memahami Shikigami, Ayakashi, atau orang lain. Hal itu masih bisa dipelajari," jelasnya.

Berangsur-angsur tatapku bergerak turun mendengar semua penjelasannya.
Sae menyadari itu, makanya dia bertanya.

"Kau takut?"

"Tidak," jawabku lugas.
Jelas itu kebohongan karena aku tak ingin tampak tak siap di depannya. Bisa saja dia berusaha mempermainkanku, mentang-mentang dia Ayakashi tingkat teratas--Daishoku.

Sae menutup rapat bibirnya. Hanya langkahnya yang menjawab dengan jarak yang semakin dekat. Hingga bibirnya nyaris menyentuh daun telinga ku.

"Jangan khawatir, ada aku," ucapnya sekali.

Senyap sebentar.

"...dan Rin," tambahnya.

Suhu hangat menjembatani dua telingaku. Hanya kepala mengangguk yang jadi jawabanku untuk mengunci ucapannya, sebagai bentuk penerimaan.

Aku sempat mendengar dengusan tawa kecil begitu samar di sampingku, sebelum hawa keberadaannya menghilang secara cepat tanpa jejak. Dia pergi.

Alih-alih menenangkan diriku dengan menggeleng kepala, aku masih tak percaya dia melakukannya sedekat itu. Entah dia bensr-benar mempermainkanku atau bicara serius. Aku tak pernah mengerti jelas motif sebenarnya.

Beralih dari ruangan itu, aku mencapai ruang kamar ku. Tempat dimana aku belum mengemasi apapun, semua barang masih di titik biasa kutempatkan.

Tak ingin membuang waktu, aku mencari kain untuk membungkus barang-barang. Hitung-hitung aku juga merapikan kamar ku yang sering kutinggalkan akhir-akhir ini.

Mengambil satu demi satu barang, tanpa sengaja aku menemukan tumpukan kertas menyerupai buku yang tampak familiar di mata ku.

"Ini kan."

Aku mengamati buku itu.

"Pemberian Hio hari itu."

Yang katanya isinya tentang masalalu Master dan teman lamanya yang menjadi Oni. Tanpa sadar aku lupa untuk membacanya. Sudah berapa lama benda ini kusimpan, ya?

Mungkin masih sempat untuk kubaca sebentar sebelum lanjut mengemas barang.

Karena rasa penasaranku sedang tinggi-tingginya, aku membuka buku pemberian itu.

Di awal halaman pembuka, aku melihat lukisan dari tinta tradisional yang menggambarkan Master Chigiri dengan begitu indah.
Surainya dibuat mengalir seperti arus sungai di halaman kosong yang menggambarkan langit cerah. Sekujur pahanya terbuka, terlepas dari cengkraman kain yukata-nya.
Dia duduk bersandar kepala diatas tempurung lututnya, seperti menunggu seseorang. Mimiknya diterpa kesedihan dengan titik-titik air mata yang jatuh dari pipinya.

Lantas dibalik halaman itu, lukisan sosok pria bertubuh kekar berdiri menatap langit.
Satu tangannya seperti ingin menangkap helaian bunga Sakura yang dibawa angin kearahnya.
Pria itu memiliki rambut yang ujungnya tampak tajam. Dia mengenakan hakama hitam, sementara Master Chigiri sebelumnya mengenakan yukata putih.
Untuk sekilas, helaian bunga yang ingin ditangkap pria itu menyerupai rintikan air mata Master dari halaman sebelumnya.

Baru dari sana saja, rasanya aku bisa merasakan kepedihan yang tak terutarakan.
Seperti... seseorang yang ditinggalkan sosok yang mereka sayangi, tapi tak bisa melakukan apapun untuk itu.

Membuka halaman baru, aku melihat gambaran Master Chigiri yang masih muda(karena rambutnya lebih pendek) duduk di teras lorong sambil mengusap pahanya yang tertutup kain celana.
Dia seperti menahan rintih kesakitan sambil mencengkram kain itu. Hingga sosok lain menemukannya disana.

Itu pria tadi!

Master menoleh dengan memanggilnya sebagai...

"Kunigami?"

Kunigami--pria itu tampak khawatir. Dia berjongkok di sebelah master sambil memandangi paha yang master coba sembunyikan darinya.

Kunigami mempertanyakan kondisi master, tapi master berbohong dengan memalingkan wajahnya semakin Kunigami berusaha memojokkannya untuk menyatakan kebenaran.
Namun, master tak juga mengatakannya. Dia seperti mati-matian menutupi itu.

Seperti lebih mengetahui kondisi, Kunigami tanpa berbicara banyak langsung mengangkat master Chigiri dalam gendongan ala tuan putri.
Wajah master seketika penuh dengan semburat rona merah, dia masih menyangkal kalau dia baik-baik saja.

"Iya, tuan putri, kau sungguh mengatakan yang sebenarnya, aku percaya itu." ujar Kunigami.

"Kau tak mempercayaiku, Kunigami!" balas Master.

"Jangan banyak bergerak." Kunigami melirik pada Master Chigiri yang mengejutkannya jarak mereka terasa begitu dekat.
"Kau tak ingin kita tertangkap basah, kan?"

Lenggang untuk sejenak.
"Kecilkan suaramu. Kau bisa mengomeliku nanti," lanjutnya agak berbisik.

Tatapan Master tiba-tiba melembut dan terkesan intim. Dia menarik dagu Kunigami yang hendak pergi darinya, membuat pria itu terkejut dengan gerak-geriknya yang membuat wajahnya mendekat dan--

"(Name)?"

JANTUNG KU HAMPIR COPOT!!

"Y-ya?! Ada perlu apa, Master?" Dengan gesit kusembunyikan buku itu.

Master yang muncul tiba-tiba di ujung pintu mengerjapkan matanya. Alisnya terangkat bingung. "Apa aku... semengejutkan itu?"

Kepala ku menggeleng. "Tidak, tidak. Aku hanya terlalu fokus membersihkan barang-barang tadi."

Master membulatkan mulutnya sambil mengangguk-angguk. Dia mengamati sekitar yang dilihatnya masih banyak barang belum terkemas.

"Aku hanya ingin memeriksa kondisimu. Barang-barang mu masih banyak yang harus dirapikan. Aku bisa--"

"Aku bisa sendiri kok, Master!" Ku potong ucapannya sambil menunjukkan jempol, menyembunyikan kepanikanku. "Master tak perlu merepotkan diri."

"Sungguh?"

"Sungguh!"

Mengesampingkan kebingungannya, bibirnya melengkung.

"Kalau begitu, aku akan membawakanmu cemilan saja. Kau sudah sarapan?"

"Di Heian-Kyo, Ayakashi penjaganya sudah memberiku sarapan. Aku baik-baik saja."

"Baiklah. Kalau begitu lanjutkan pengemasan barang mu, aku akan segera kembali."

Barulah setelah master pergi dari ruanganku, nafas beratku terhela. Aku baru sadar pintu kamarku tak tertutup tadi, makanya tak ada suara geseran!

Semoga master tak buru-buru kemarinya. Lama-lama kan saja. Itu lebih baik!

Baiklah, sepertinya ini bukan waktu ideal untuk lanjut membaca buku tadi lagi. Aku simpan saja dulu. Mungkin setelah perayaan, sebelum tidur aku akan membacanya.
Memang apa yang dikatakan Hio ada benarnya...

Bacanya sebelum tidur. Agar apa?
Agar aman dari siapapun yang berniat 'mengganggu'.

Mana lagi, kenapa buku ini kesannya agak tebal, ya?
Adegan tadi saja masih halaman perawalan. Kalau setebal ini... isinya apa saja?!
Aku jadi semakin khawatir kalau isinya malah yang tidak-tidak. Pantas saja master membencinya.

Kembali menyembunyikan buku itu dibalik bayangan, kugunakan waktu ku untuk mengemasi barang kembali.
Hingga tak terasa, warna langit sudah berganti saja.

+ + + +

"Bersulang!!" seru semua yang memegang gelas kecil berisi Sake.

Aku masih tak menyangka perayaan ini dipersiapkan begitu cepat tapi terkesan lebih tertata dari yang kubayangkan.
Memang tak ada yang bisa meremehkan kemampuan memasak Anri, dia juga pandai menyiapkan makanan dan minuman dengan cepat. Semua seperti sudah tertata dalam waktu singkat.

Bachira tertawa kencang setelah meneguk Sake. Aku baru ingat, usianya sudah memperbolehkannya untuk meminum minuman keras walau tingkahnya tampak seperti anak kecil.
Dia mengangkat gelasnya tinggi-tinggi, sebelum merangkul leher Isagi--nyaris saja Shikigami milik master itu tersedak dibuatnya.
Barulah sesi mengeluh dan mengomelnya dimulai, terbalas dengan cekikikan Bachira.

Nagi, Reo, dan Master di sisi lain, mereka berbincang-bincang sambil menyantap hidangan buatan Anri. Jelas Nagi lebih kearah mengantuk karena kelelahan daripada menikmati perayaan. Dia nyaris jatuh ke piring kudapan, sebelum akhirnya memilih untuk bersandar ke dinding.

Anri yang tak bersama Master tengah menuangkan Sake ke gelas kecil milik Sae.
Tak biasa saja Sae menerima perjamuan yang ramai begini, entah apapun alasannya.

Sae menerima pemberian itu dan meneguknya. Dia tak berkata banyak kepada Anri. Justru Anri yang memancing pembicaraan sambil membalas kembali dengan penuh tata krama agar tak menyinggung Orochi itu. Mereka berbincang seputar Sake yang dipilih Anri.
Sesuatu-sesuatu yang berhubungan dengan bunga sakura, dari yang kudengar samar-samar.

Sementara itu, aku menikmati apa yang ada di depanku. Setelah menyesap Sake sekali, aku tak meminumnya lagi, memilih untuk mengambil Ocha.

"Alkoholnya terlalu kuat?" tanya Rin yang ada disampingku. Sedari tadi dia curi-curi untuk memandangku.
Dari aliran energinya, aku merasa dia sedang khawatir dengan ketahananku dengan alkohol.

Kepalaku mengangguk sambil tersenyum miring. "Biasanya aku bisa minum yang seperti ini beberapa gelas--maksudku dulu."
Aku mengamati bekas sedikit di gelas ku yang menimbulkan efek mengkilap dari pencahayaan hangat di ruangan itu. "Sepertinya yang ini cukup kuat untuk memabukkan Ayakashi."

Rin tak mengatakan apapun selain terus melihat kemana tanganku mengambil sesuatu. Dia seperti anak kecil yang penasaran.
Dan karena itu tawa lepas dariku.

"Kau membuatku teringat saat awal kita bertemu."

Ucapanku itu membuatnya terkejut. Kepalaku miring sedikit, menatap kearahnya yang kini sudah sebesar ini--masih saja bertingkah seperti dulu.

"Mata mu selalu membulat seperti itu. Mulutmu sedikit terbuka saat melihat benda baru di tanganku. Makhluk bersayap kecil itu, kau tampak seperti anak kecil yang penuh dengan keingintahuan."

Rin sejenak membuang pandangnya ke depan.

"Aku bukan anak kecil lagi, hime-sama."

Aku mendengus tawa kecil. Seberapa keras dia berusaha menyangkal, buktinya dia masih tampak sama seperti bagaimana aku mengenalnya.

"Ya... terus katakan saja seperti itu," balasku dengan sedikit bercanda.

Baru disana aku menyadari Rin tak mengambil Sake lagi seperti yang lainnya.
Aneh, bukannya sosok sepertinya itu lebih tahan dengan alkohol? Harusnya dia menikmatinya, kan?

Tunggu. Kecuali....

Aku baru teringat sesuatu.

"Rin." Aku memanggilnya, dia menoleh.
"Kau tak perlu merasa tidak enak denganku, sungguh. Jangan buat aku jadi penghalangmu untuk bersenang-senang."

Aku ingat dia tak pernah ingin meninggalkanku sendiri. Entah dalam bentuk atau kondisi apapun itu. Bahkan jika dia harus mengkhianati dirinya sendiri hanya untuk menemaniku, dia pasti akan melakukannya tanpa berpikir lama.

"Hime-sama?" Dia balas memanggilku untuk memastikan. Aku mengangguk dan melirik-lirik botol Sake, mengisyaratkannya untuk mengambil itu.

"Kau mau aku menuangkannya?"

Mulutnya terbuka dan tertutup seperti Ikan Koi yang bernafas. Maniknya berulang kali berkedip, seperti sedang bertarung dengan hatinya sendiri.

Aku menggeleng kepala, lantas meraih botol Sake. "Mana gelasmu?"

Dia melirik padaku sejenak, malu-malu dari balik poni depannya sambil memberikan gelas miliknya, tempatku menuangkan Sake untuknya hingga nyaris penuh.

Rin menarik gelas itu ke depan bibirnya, mengamati riak airnya sebelum menghisapnya perlahan.

"Kau menyukainya?" tanyaku. Dia mengangguk-angguk. Senyum manisnya muncul kemudian, seperti mengucap terima kasih. Manikku ikut tersenyum dengannya.

Selang agak lama, suasana jadi terasa agak mabuk. Aku bisa melihat dari bagaimana Bachira yang tiba-tiba saja melompat-lompat dan mendarat diatas Rin.
Rin mengerang kesal sebelum melempar Bachira ke luar, ke arah halaman, melewati Sae yang duduk di bibir pintu--dia tampak begitu santai dengan segala kekacauan itu, seakan bukan sesuatu yang harus diurusinya.

Rin berjalan keluar dengan setengah mabuk. Jelasnya dia ditahan oleh Isagi yang masih memiliki kesadaran karena tak meminum Sake secara berlebihan.

Reo di lain sisi, sudah mulai mengantuk dengan Nagi. Dia berpamitan untuk kembali ke kamar sambil membopong Nagi di punggungnya. Meninggalkan Chigiri yang terkejut dibuatnya.

Aku yang melihat itu semua seakan seperti melihat sesuatu yang tak seharusnya kulihat sebelum perpisahan besok hari.

Kebetulan juga Master Chigiri tertinggal sendiri, jadi aku bisa mendekatinya.

"Master?"

Dia menoleh padaku.

"Apa aku bisa berbicara denganmu?"

"Tentu, (name). Kemarilah."

Dia mengisyaratkanku untuk duduk di sampingnya, tempat Reo tadi berada.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanyanya.

Aku masih agak terganggu dengan sekitar yang terdengar ramai. Sulit sekali untuk bicara di saat Rin ribut sendiri dengan Bachira.

"Ini soal pria yang bernama... Kunigami. Master yakin bisa bicara soal itu disini?"

Pandangnya langsung terlempar kearah yang lain. Dia juga sempat memandang keributan di luar. Kaki nya perlahan memutuskan untuk bangkit.
Dia memiringkan kepalanya, mengisyaratkanku untuk pergi dengannya.

+ + + +

"Apa yang ingin kau tanyakan tentang Kunigami?"

Master memilih lorong dekat kamarnya, menghadap ke halaman kecil seperti taman yang mengarah pada hutan.

Pandangku jatuh. "Sebelumnya, aku minta maaf jika ini menyinggung Master. Aku mengenal nama itu dari Hio."

Master tak mengatakan apapun dan membiarkanku untuk melanjutkan.

"Hio bercerita padaku, dulunya Master memiliki teman dekat bernama Kunigami. Rumornya, dia menjadi Oni karena ulah para Onmyoji. Apa itu benar?"

Mata Master seketika menatap tajam. Dia mengangguk.

"Itu benar. Dia menjadi Oni karena para Onmyoji memojokkannya. Mereka tak peduli dengan perasaan Kunigami saat itu, tak memedulikan alasannya, dan menganggap dia sosok paling bersalah tanpa berpikir secara mendalam."

Alisku mengerut, atmosfer pembicaraan ini seketika terasa berat.

"Dimana... dia sekarang, jika aku boleh tau, Master?" tanyaku secara hati-hati.

"Di tempat yang aman, jelasnya. Jauh dari jangkauan dan pengetahuan para Onmyoji." jawab Master tanpa sedikit pun merasa gentar.

Senyum kecil ku terangkat, nafasku terasa sedikit ringan. "Aku senang dia baik-baik saja. Dia seperti kenalan Master yang... sangat berharga. Aku tak pernah melihat Master dekat dengan orang-orang selain Anri, Hio, atau Kenyu-san."

Master menoleh padaku dengan lensa melebar. Sadar sepertinya aku mengatakan sesuatu yang salah, gelagat ku langsung panik.

"M-maksudku, dari cerita Hio! Dia menceritakan Kunigami seperti itu--berhubungan begitu dekat dengan Master, seperti dia memahami Master lebih dari siapapun!" Mulutku malah mengeluarkan ringisan yang semakin membuat suasana jadi aneh.

Master tak berkata apapun. Agak lama setelahnya, dia menebak dari tingkah laku ku.

"Kau membaca buku temuan Hio, kan?"

Habis sudah aku.

Master menghela saat mengetahui tebakannya benar. Tapi dia tak menampakkan emosi marah atau kesalnya. Seperti... pasrah karena terlalu lelah.

"Anak itu selalu ingin mencari orang untuk jadi teman sefrekuensinya. Sepertinya dia melihat potensimu untuk menyukai hal-hal seperti itu."

Wajahku langsung merona, mengingat adegan terakhir dari buku pemberian Hio yang terpotong karena kemunculan Master tadi.

"Jadi... kau benar membacanya tadi? Pantas saja kau terkejut sebegitunya saat aku datang."

Aku menutup wajahku dengan dua tangan. Tak kuasa menahan malu yang jelas kentara oleh sosok yang bahkan ada di buku itu sendiri.

"M-master jangan membuatku semakin tampak memalukan. Aku tak berniat ingin melihat Master dengan aneh. Itu sungguh hanya rasa penasaran!"

Kini Master menyilangkan dua tangannya diatas dada. Bibirnya menekuk keatas dengan tatapan datar.

"Hio juga berkata begitu sebelum dia tergila-gila dengan buku semacam itu."

"Aku bukan Hio!!" pekikku yang kemudian langsung menutup mulut.

"Lalu? Kenapa kau gugup begitu? Sampai bertanya padaku tentang Kunigami. Kau... jangan-jangan..." ucapnya melirikku dengan sengit seriusnya.

Kalau aku bisa menangis sekarang, mungkin aku akan melakukannya. Tapi entah mengapa aku masih ingin menahan segala kepanikanku, meski rasanya sudah tinggal sedikit lagi rasanya seperti akan terlepas dan jatuh ke jurang yang begitu dalam.

Master meringis, tiba-tiba saja suasana hati nya berubah.

"Aku hanya mempermainkanmu, (name). Jangan terlalu dibawa serius."

Di saat itu aku terdiam. Terdiam seribu bahasa.

Jantung ku sempat berhenti.
Kaki ku dingin, Master.
Rasanya seperti berkenalan dengan malaikat maut. Masih perkenalan.

Master di sisi lain, malah tampak santai meski semua tentang dirinya seperti terekspos padaku, tentang dirinya ataupun Kunigami.
Kaki nya turun dari lantai lorong, duduk dan berayun tanpa alas kaki. Seketika itu juga mengingatkanku pada kondisi kaki nya yang diceritakan entah dari buku itu atau Hio.

"Apa kakimu sakit, Master?" tanyaku berterus terang.
Aku tak bisa mengabaikannya jika hal itu mengganggu Master, bahkan kalau sampai menyangkut kesehatannya.

"Ini Hio... atau buku itu yang memberitahumu?"

"Dua-duanya."

"Hmm.."

Master perlahan menghentikan gerakan kakinya, tapi tatapannya masih kearah yang sama.

"Ya. Sejak aku kecil, kakiku rapuh."

"Dari lahir?" sahut ku. Master menggeleng.

"Saat itu aku masih menjadi Onmyoji muda dibawah arahan para senior. Aku terkenal karena cekatan saat bertarung. Bahkan dengan samurai seperti Isagi pun, aku bisa melampauinya."

"Katakanlah... aku terlalu sempurna di dua bidang sekaligus--sihir sebagai Onmyoji dan fisik sebagai petarung. Kelebihan itu membuat para senior dan teman seperguruanku merasa iri."

Master mendongak melihat kearah langit. Dimana kini fase bulan sabit telah tiba dari pintu tirai para awan.

"Suatu ketika, aku menyelesaikan misi dimana para senior tak bisa mengusaikannya. Karena hal itu, banyak guru dan para Onmyoji tingkat atas yang memujiku, mereka mengistimewakanku sebagai Onmyoji muda yang berbakat."

"Sampai kebencian dari segala arah tertuju padaku. Mereka ingin aku lenyap, atau setidaknya... kehilangan sesuatu yang kumiliki."

Pukulan keras jatuh di dada ku. Perasaanku tidak enak, tapi ceritanya masih berlanjut.

"Suatu malam, senior membangunkanku sambil membawa kabar, kalau salah satu Ayakashi yang disegel di ruang penahanan baru saja lepas kendali. Mereka memohon pertolonganku karena tak bisa menanganinya sendiri."

"Dan naifnya diriku saat itu, bangga dan terlalu percaya diri dengan kemampuanku sendiri, aku menghadapi Ayakashi itu. Awalnya... kami bersama-sama."

Manikku melebar. Kengerian mulai merayap menyentuh kulit, menaikkan bulu kudukku.

"Itu jebakan?" ujarku memotongnya.

Master mengangguk dengan senyum pahit yang berusaha dia bangkitkan.

"Aku ditinggalkan disana untuk diremukkan Ayakashi. Ayakashi itu sengaja dibuat begitu mengamuk agar memburu ku. Makhluk itu nyaris menghabisi ku."

"Para senior dan orang-orang yang terlibat sengaja merencanakannya. Sebelum Ayakashi itu meremukkanku, mereka membuatku berlari kearah titik dimana suara mereka paling terdengar dari sisi luar dinding--seakan memberiku harapan untuk keluar."

"Tapi saat aku hendak mencapainya, salah satu kaki ku tertimpa runtuhan langit-langit. Dimana saat itu juga, Ayakashi itu menemukannya sebagai kesempatan emas."

"Dia menghabisi dua kaki ku sekaligus hingga aku nyaris tak bisa merasakan keduanya."

Tangan Master mengusap-usap kain baju yang menutupi area kakinya. Seakan menunjukkan padaku, disanalah dia merasakan kesakitan hari itu.

"Tapi tidak sampai seseorang merusak dinding ruang penahanan dengan sihir Onmyodo miliknya. Dia menahan Ayakashi itu dan menyegelnya begitu kuat agar tak kabur lagi."

"Anak itu... dia adalah Kunigami. Onmyoji muda dari kelompok didik sebelah."

Nafasku terkesiap membayangkan bagaimana sosok Kunigami ini muncul saat kejadian yang nyaris merenggang nyawa. Jujur, aku takjub dengannya yang mampu membaca waktu--entah lagi jika hanya kebetulan.

"Dia muncul seperti pahlawan. Ahaha~ setidaknya itu nama panggilannya diantara teman-temannya."

Master melepas tawa yang... jika dia menyadarinya, kurasa itu bisa membuat siapapun jatuh hati padanya.

"Setelah mengamankan Ayakashi itu, dia mengangkat puing-puing yang menimpa kaki ku. Aku masih ingat seterkejut apa wajahnya saat itu. Tapi..."

Tatapan master melembut dengan kilapan cahaya yang seakan menari-nari dalam netranya.

"Dia tak takut. Dia mengangkatku yang bersimpuh darah dan membawaku menuju ruang kesehatan di kediaman Onmyoji."

"Dia bahkan berkata, Jangan takut, aku ada disini, tahan sebentar lagi. Seperti dia sendiri yang terdengar takut kehilangan orang yang bahkan baru dikenalnya saat itu."

Saat aku melihat seberapa dalam Master menceritakan hal itu, pandanganku seketika berubah.
Semua cerita yang dinyatakannya muncul dan hidup, bergerak di depan mata ku seperti cuplikan gambar masalalu.

Seorang anak berlari di lorong. Cuacanya begitu cerah, sepertinya siang hari.
Anak itu berlari seusai pelatihan rutinnya, menuju ruang kesehatan tempat sosok anak lain duduk termangu dengan dua kaki yang tak berdaya.

"Permisi!" pekik anak itu, memastikan adanya perawat disana.

"Ah, Kunigami-kun. Ada apa? Apa kau butuh obat?" tanya perawat muda yang tampaknya masih remaja.

"O-oh, bukan, kak. Aku kemari untuk menjenguk Chigiri, kalau... aku boleh masuk?" Sebentar dia berusaha mencuri-curi pandang, mencari tempat dimana Chigiri berada.

Perawat itu tertawa kecil, dia memperbolehkan Kunigami untuk masuk menjenguk kawannya.

"Chigiri!" Suaranya memancing perhatian Chigiri yang awalnya termenung dalam keputusasaan.

"K-kunigami? Kenapa kau disini?" Chigiri yang tampaknya agak canggung.

"Menjengukmu, apalagi? Kaki mu masih sakit?" tanyanya setelah duduk di kursi yang ada di sebelah Chigiri.

"Uhh... sudah tidak, tapi..." Chigiri menatap kaki nya dengan sedih lagi.

"Ano... Kunigami-kun. Luka di kaki Chigiri-kun sudah diobati." Ucapan kakak perawat itu membuat Kunigami menoleh. Tapi apa yang didengarkan setelahnya justru hal terburuk yang pernah dia dengar.

"Tapi kaki Chigiri-kun tidak bisa bergerak bebas seperti dulu lagi. Luka kemarin memberinya cidera parah pada tulangnya. Bisa dibilang... dia nyaris cacat."

Kunigami menoleh pada Chigiri yang menundukkan kepalanya, tinggal sedikit lagi air akan tumpah dari matanya karena tak kuasa menerima kenyataan.

"Chigiri-kun tidak boleh memaksakan kaki nya terlalu sering. Bahkan untuk berjalan pun, dia memiliki batasannya. Mohon pengertiannya, Kunigami-kun."  Perawat itu ikut sedih saat menjelaskannya.

Barulah isak tangis terdengar dari Chigiri. Dia mencengkram kuat selimut yang menutupi dua kaki nya.

"Aku sudah tak berguna. A-aku sudah tak berguna... Aku tak bisa menjadi Master Onmyoji. Kaki ku sudah tidak bisa berjalan!" pekiknya sambil mengusap air matanya.

"Chigiri? Oi, Chigiri! Jangan menyerah dulu!" Bahkan panggilan dari Kunigami tak didengarnya.
Kunigami berusaha mengguncang pundak Chigiri, tapi malah terbalaskan tepisan dari lawan bicaranya.

"Jangan menyentuhku!!"

Kunigami terdiam dalam ketidakpercayaannya. Sementara itu, kakak perawat berusaha membujuk Kunigami untuk pergi membiarkan Chigiri beristirahat.

"Sebentar lagi. Bisa beri aku dan Chigiri waktu sendiri, kak?"

Kakak perawat itu sebenarnya enggan, tapi Kunigami berkata...

"Kumohon. Untuk sekali ini saja."

Barulah dia mengangguk kaku sebelum berjalan keluar ruangan untuk memberikan ruang pada dua anak itu.

Chigiri masih berusaha menahan isaknya, tapi yang ada justru semakin terdengar menyesakkan, menyakitkan.

Di saat itulah, Kunigami mengepalkan tangannya keras-keras, sebelum melingkarkannya untuk mendekap Chigiri.

"Dengarkan aku dulu, Chigiri. Kau masih bisa cepat dalam merapal mantra, kan?"

Chigiri mengangguk, meski tak ingin, tapi itu memang kebenarannya.

"Kau masih berguna. Hanya kau yang bisa merapal secepat itu diantara Onmyoji-Onmyoji lain."

"Kau masih bisa menjadi Master Onmyoji, lupakan dulu soal kaki mu."

"Kau... hebat. Aku percaya, suatu saat nanti, kau akan menjadi Master Onmyoji yang disegani banyak orang. Kau harus yakin dengan itu."

Kunigami berniat untuk menguatkannya. Jadi ini kebenarannya? Semenjak insiden itu terjadi, Kunigami adalah alasan kenapa Chigiri sekarang menjadi Master Onmyoji.

"... Kalau kau menangis, menangis saja. Disini, pakai saja pundakku. Menangislah sepuasmu."

Kalimat itu memicu air mata Chigiri untuk mengalir semakin deras. Segera dia memeluk sosok penyelamat harinya, membenamkan wajahnya yang basah ke pundak Kunigami. 

"Aku takut, Kunigami," ucap Chigiri yang gemetar, dia masih sedikit terisak di pundak Kunigami. "Aku takut tak bisa menjadi apa yang kuinginkan."

Mendengar kalimat itu keluar dari mulut master membuatku yang menyaksikan memori itu ikut menangis juga. 

Kunigami mengusap surai Chigiri. Jarinya bergerak dari ujung kepala sampai punggung master.

"Kalau kau takut, kau bisa berlari padaku. Aku akan mengusirnya sampai kau tak merasa takut lagi." Senyumnya muncul dengan simpul, sembari membisikkannya untuk menegarkan master. Kepalanya menengadah sedikit.
"Itu yang diucapkan seorang samurai yang menjadi pahlawan dari era perang dahulu. Saat dia meyakinkan sosok tuan putri di kehidupan mereka yang takut dengan api peperangan."

Chigiri mengembangkan senyum kecilnya. Mendengar cerita itu menenangkan hatinya untuk sedikit. Seperti master pada biasanya, dia selalu mendapat ide untuk menggoda lawan bicaranya.

"Memangnya kau siap melindungi tuan putri?" tanyanya sambil bercanda.

Nafas Kunigami yang melambangkan senyumnya terdengar. "Kalau itu bisa membuatnya kembali tersenyum, aku tak akan pernah keberatan."

Seketika itu semburat warna merah muda menyebrangi wajah Chigiri seperti gejolak musim semi. Rasanya dia baru saja mendapat balasan setimpal dari niat buruknya.

"Kau bisa pegang kata-kata ku, Chigiri," ucap Kunigami yang melepas pelukan itu secara perlahan, hanya untuk menemukan Chigiri yang sudah dilanda rona hangat yang tampak jelas dari dua pipinya.

Chigiri menunduk untuk sesaat. Bibirnya tertutup rapat sebelum bertanya. "Kita baru saja bertemu kemarin. Kenapa kau seperti sudah mengenalku begitu lama?"

Kunigami buru-buru mengusap tengkuk lehernya. Dia juga ikut menunduk seperti Chigiri sebelum malu-malu melihatnya lagi.

"S-soalnya, nama mu ada dimana-mana. Aku jadi berpikir... Ah, siapa anak bernama Chigiri ini? Apa benar dia bisa berlari gesit, sambil merapal juga?... Aku selalu mencari tau tentangmu sejak saat itu. Aku sudah menemukanmu begitu lama, tapi..."

Ketidaknyamanannya kini muncul didalam dua matanya, sebelum memilih untuk mengalihkan pandangnya ke arah yang lain.

"Aku tak punya keberanian untuk mendekatimu. Atau hanya sekedar menyapa."

Rupanya perasaan itu tak muncul hanya dari satu sisi, tapi dua. Dua anak yang saling mengetahui satu sama lain semenjak itu.

"Kau malu bertemu denganku?"

Tebakan Chigiri--maksudku, Master--ternyata jarang meleset sejak dulu. Bahkan Kunigami saja sampai dibuatnya gelagapan begitu.

"Tidak! M-maksudnya, m-maksudku... Agh! Sial!"

Kunigami menjatuhkan pukulannya tepat di sebelah tempat Chigiri terduduk. Dia sendiri sempat tersentak karena takut mengenai sesuatu milik Chigiri. Tidak lucu jika itu kakinya.

"K-kau... Itu karena..."

Kata demi kata seperti tersangkut di mulutnya. Bukan hanya aku tapi Chigiri juga dibuatnya bingung.

"Kau... menawan. Sangat menawan--bagaimana aku bisa menjelaskannya?"

Dalam kepanikan Kunigami itu, Chigiri tersenyum simpul. Dia meletakkan satu tangannya diatas tangan Kunigami yang membuat anak berambut jingga itu terkejut. 

"Aku mengerti, tuan pahlawan."

Dengan dua maniknya yang lembut menatap, dia menerima sosok pahlawan itu untuk menjadi pelindungnya, Chigiri tanpa sadar mengaitkan tali merah miliknya kepada Kunigami. Kedua tali itu terikat bersamaan sambil bergandengan tangan--berangsur-angsur, bertahun-tahun, hingga tak terlihat lagi.

"....me)..."

"...(Name)?"

Kepalaku menggeleng keras dengan suara yang memanggilku. Bayangan dua anak yang tadinya bersama seketika melunak menjadi sosok master yang kini menatapku dengan tegang dan lekat-lekat untuk beberapa saat.

"Kau menggunakannya untuk melihat masalalu ku?"

Menyadariku yang menyelam tanpa izin menuju ingatan seseorang, tatap ku mulai berlari kemana-mana, bingung harus mengatakan apa. Aku sudah lancang. 

"M-maaf, Master!" Aku membungkuk cepat. "Kemampuan itu selalu muncul setiap aku merasa terlalu penasaran. Aku belum bisa mengendalikannya dengan benar."

Rasanya aku tak berani melihatnya. Mungkin saja dia akan kecewa atau ingin melampiaskan amarahnya. Nyatanya, master hanya mengerang dan menghela berat, seperti dia pun tak bisa menyangkalnya.

Tapi tunggu, bagaimana dia tau aku punya kemampuan ini?

"Master," ucapku memanggilnya, dia menoleh. "Bagaimana kau bisa tau soal ini?"

Aku tak pernah mengatakan hal itu pada siapapun sebelumnya, kecuali Shikigami ku yang pernah merasakan hal yang sama.
Mungkin saja Master hanya tau bahwa kemampuan Onmyoji yang menyerupai ini--yang mana pemilik masalalu dapat menampilkan memorinya.
Tapi karena kondisiku yang berbeda, kemampuan itu justru mampu membuat sebaliknya--seperti membuka buku tanpa harus meminta izin pada pemiliknya dan membacanya begitu saja.

Untuk sejenak Master terdiam, tatapnya kini berubah menjadi serius. "Aku melakukan pencarian tentang ayahmu dan kemungkinan siapa sebenarnya ibumu. Dari sana aku menemukan, kau adalah pengecualian dari segala Onmyoji, seperti ayahmu."

"....Kurasa aku sekarang tahu kenapa kediaman Onmyoji menginginkanmu, selain karena Orochi yang bersemayam dalam tubuhmu," lanjutnya.

Seperti gong yang dipukul begitu keras, menggema dalam dada, dan menjalar hingga telinga--aku membeku.

"Apa itu?" tanyaku, berusaha untuk tak terdengar gemetar.

Tatapan Master menggelap, lurus dan tajam menusukku, seakan memberi aba-aba bahwa apa yang akan diungkapnya adalah sesuatu yang tidak bisa dianggap remeh.

"Kau adalah anak dari ayah dan ibumu--Abe Seimei dan sosok wanita yang memiliki kemampuan telepati tingkat tinggi. Gabungan dari dua kemampuan hebat itu mampu mengambil sesuatu dengan mudah dari orang lain, mengikat mereka dengan hidupmu, dan membuat semua tunduk dibawah kendalimu--atau bahkan... dari ancamanmu, jika kau sampai berpikir sejauh itu, (name)."

"Kau adalah anak dengan kemampuan terlarang. Dan Kau tak seharusnya hidup."

"Untuk keseimbangan kekuatan dunia, kau seharusnya dieksekusi mati bersama Orochi."

Nafasku terkesiap menyadari ketakutan yang seperti itu menjalar dalam pembuluh-pembuluh darah ku, mengalir dan membawa kekuatan energi besar ke tiap organ dalam tubuhku.
Berdetak dan berdetak, tak berhenti--bahkan sempat hidup kembali setelah lepas dari panggilan kematian untuk sekali.

Tusukan hawa dingin terasa menembus ujung-ujung jari yang kini kutatapi.
Gemetar semakin lama semakin terasa hebat. Isi kepala ku seakan mulai jatuh berantakan, tak kuasa menerima kenyataan yang hari demi hari berdatangan tanpa jeda henti.

Air mata ku menitik, membasahi telapak tangan yang hanya mampu membiarkan kematian dan tumpah darah terjadi.
Hanya karena aku tak mampu melakukan hal benar sejak dulu--membiarkan malaikat-malaikat m berpesta-pora diatas tumpukan mayat yang bergelimpangan dalam kubangan merah.

Satu demi satu nama yang muncul dalam sejarah hidupku...
Senyum demi senyum, nafas demi nafas mereka yang terhapus... semua hilang.

Ingatanku semakin menggila dengan menampakkan ingatan pada hari dimana langit terpecah dengan kepala Orochi yang membelah di tengah barisan awan.
Perang tumpah ruah, malapetaka tiba, dan kukira Orochi lah yang patut disalahkan. Dari sana saja, aku seharusnya mengetahui, aku sudah membodohi diriku sendiri.

Bukan. Ini bukan hanya karena Orochi.

Ini semua karenaku.

Ancaman yang hidup dalam diriku bernafas dengan hembusan harapan dari tiap orang. Mereka mengira aku akan merubah dunia menjadi tempat dewa mentari akan tersenyum dan bersinar hangat. Namun aku justru membawa yang sebaliknya.

Aku menipu semua orang. Aku membunuh semua orang. Apa itu juga satu alasan kenapa hanya aku yang mampu hidup bersama dengan Orochi? Karena jatinya aku tak berbeda dengannya?

"Tenangkan dirimu, (name)!"

Sontak Master saat dirinya bangkitdan  ingin menepuk pundakku.
Tamparanku yang menepis tangannya membuatnya terkejut. Sama hal-nya denganku yang secara refleks melakukan itu padanya.

Aku merasa jantung milikku yang biasa terasa hangat, perlahan merasa kedinginan.
Aku tak merasakan apapun selain darah yang ada dalam tubuhku mengalir seperti air beku di musim dingin. Tubuhku gemetar, sembari mengambil langkah mundur.

"A-aku."

Kepala ku menggeleng pelan. Aku mulai tak bisa melihat apapun dengan jelas--antara kenyataan dan pikiran yang berkecamuk. Mereka semua seperti memberi ku hukuman yang pantas atas kejadian masalalu, sebagai rasa bersalah tak terbendung.

Nafasku semakin pendek, sesak untuk kutarik kembali. Aku berusaha keras mengingat siapapun, nama siapapun, wajah siapapun yang bisa kugunakan sebagai distraksi.
Tapi semua bercampur dalam guyuran merah darah, gelap, dengan teriak-teriakan kematian yang menggema disana dan disini--menyebut namaku.

Aku merasakan sakit luar biasa dari kepala ku. Rasanya aku ingin bisa melepasnya begitu saja, melemparnya jauh-jauh, dan tak pernah berkeinginan untuk memungutnya kembali.
Aku tak menginginkan ini. Tak pernah.

Apa benar dunia begitu tak menginginkanku untuk hidup, untuk lahir, untuk berada disini?
Karena jatinya aku adalah sebuah pelanggaran?

"Ayah..." rintihku dengan serak.

Kaki ku mulai terasa lemah. Aku ingin menyudahi hidup ini. Aku tak ingin melanjutkannya lagi. Aku tak ingin melakukan kesalahan yang sama kembali. Aku--

Sesuatu yang nyata tiba-tiba melingkariku. Suara detak jantung seseorang terdengar di telingaku.

Degub, degub...
Dan terus berdegub.

Suara itu memiliki ketukan, seakan berbisik untuk perlahan mengikutinya.

Perlahan-lahan pula nafasku yang terputus-putus menyesuaikan ketukan suara itu. Hingga sesuatu yang lembut menjadi tempatku untuk bersandar.

Hangat.
Aromanya menenangkan.

Seperti kuntum-kuntum bunga yang merebak luas di padang bunga.
Padang bunga yang pernah kulewati di masalalu.

Seseorang mengusap-usap punggung ku. Dia mengatakan sesuatu, tapi suaranya terdengar terbenam seperti tenggelam dalam lautan di telingaku. Ucapannya mengusap lembut disana, membisikkan sesuatu yang samar.

Mataku terpejam perlahan, membiarkan diriku terlelap dengan satu kalimat terakhirnya.

"...Aku akan melindungi mu..." katanya.

Pandanganku berangsur-angsur tak lagi berada di tempat itu lagi--terbang menuju suatu tempat dimana dua sosok pria dewasa berhadapan satu sama lain.
Salah seorang menggigit bibirnya, menahan isak tangisan yang begitu pedih.
Seorang yang lainnya berjalan maju, membenamkan wajah lawan bicaranya di depan dada bidangnya.

"Jangan takut, Chigiri."

"Aku akan melindungimu. Tak akan kubiarkan satu pun dari mereka menyentuhmu, sebelum mereka melangkahi mayatku."

Kain baju yang menutupi pria itu teremas hingga kusut.

"Lalu, bagaimana denganmu? Aku tak bisa membiarkanmu pergi sendiri seperti ini."

Mudah bagi pria yang diajaknya bicara itu. Kecupan lembut jatuh diatas kening lawan bicara yang terisak, seakan mengikat janji yang tak akan pernah dikhianatinya.

"Jika kau baik-baik saja, aku juga akan baik-baik saja."

"Tidak ada akhir untuk kita, akan kubuat kau percaya itu, akan kubuat mimpi kita menjadi kenyataan untukmu dan aku."

"Maka dari itu.... percayalah padaku, Chigiri."

Sehelai bunga sakura terbawa angin, gugur dari pohonnya, mendarat diatas surai Chigiri.
Tangan pria itu mengambil helaian bunga yang gugur, kemudian menunjukkannya kepada Chigiri yang baru saja bangkit dari dekapan singkat.

"Ini akan mengingatkan janjiku padamu."

Chigiri menerima bunga itu sebagai pemberian sang pria. Potongan kecil bunga sakura itu terjepit diantara jarinya yang lebih ramping daripada pria itu.

"Tidak adil jika hanya kau yang berjanji," ujar Chigiri.

Sakura itu di dekatkan pada bibirnya. Dia berbisik, namun cukup untuk terdengar.

"Berjanjilah kau juga akan kembali padaku, Kunigami."

Pria bernama Kunigami itu tersenyum lembut. Tangannya membungkus tangan Chigiri yang membawa helaian bunga Sakura itu.

"Aku berjanji. Padamu dan musim semi."

Dua orang itu perlahan menghilang seperti siluet. Suasana lantas berganti menuju suatu tempat yang ramai dengan orang-orang yang berjalan sambil berbincang.

"Kabarnya Rensuke dijodohkan dengan wanita bangsawan, ya? Apa melaporkannya seperti itu akan baik-baik saja?"

"Hah! Bukannya itu layak untuknya? Sudah mengotori nama Onmyoji dengan romansa sesama jenis. Menjijikkan. Kalau dia menikah dengan wanita, bisa tenang hidupku."

"Seminggu lagi, kan, acara menikahnya? Cepat sekali prosesinya."

"Semoga saja tak ada yang mengganggu. Biar cepat sedikit masalahnya selesai."

"Kau benar. Dengan begitu, nama kediaman Onmyoji akan kembali bersih!"

Disamping tempat ramai itu, dari tembok pembatas milik suatu rumah berdiri, di salah satu lorong, seseorang duduk bersandar kepala di lututnya yang tertekuk.
Tatapnya gelap, tak ada kilapan cahaya harapan yang terpancar disana.
Air matanya jatuh saat angin menghembus rambutnya, terbang seperti helaian bunga Sakura terakhir di penghujung musim semi.

Sementara di sisi tembok yang lain, sosok pria berhakama hitam berjalan tanpa sepatah kata.
Hanya suara gemerisik dari pepohonan yang datang dari kebun halaman suatu bangunan membuatnya menoleh.

"Sebentar lagi musim semi usai, ya?"

Hanya tersisa satu dahan yang menahan bunga Sakura terakhir--sebelum gugur terhembus angin kencang dari tempatnya.

Bunga Sakura yang tersisa sedikit itu terbang kearahnya.
Tepat saat itu, pria berhakama membuka tangannya, berniat menangkap meski seandainya hanya satu helai saja yang ingin mendarat di telapaknya.

Tapi tak ada satupun. Semua pergi darinya. Melewatinya. Dan hilang.

Pria itu tak mengatakan apapun. Dia menyembunyikan dua matanya dibalik poni bersurai tajam dengan kepala menunduk. Perlahan tangannya mengepal erat. Bibirnya tertutup semakin rapat.

Bekas kepalan erat di tangannya sebentar di tatapnya dalam-dalam, sebelum mengayun, menjatuhkan tangannya dengan lemas kesamping.
Lantas langkahnya beralih pergi dengan teropah kayu yang menggema di sepanjang jalan.

"Aku tak pernah menginginkan ini, Chigiri."

"Kalau saja musim semi bisa kembali..."

Suara hati miliknya untuk sejenak terdiam. Seakan suatu sihir memberi kejutan, dia melihat siluet sosok yang dia pikirkan tengah mengenakan Yukata berkain indah sambil membawa dahan pohon sakura di tangannya. Dia berdiri, menunggu di depan gerbang suatu rumah yang terbuka--mirip sekali seperti Chigiri.

Hatinya berdecak bersama kakinya yang berlari mendekat. Hingga dia mengetahui, bahwa itu bukanlah kebenaran--hanya pikirannya yang menyamakan sosok wanita tunangannya, yang sengaja dimodel seperti Chigiri.

Nafasnya gemetar bersama ketakutannya yang terus mendorongnya maju, tak peduli seberapa tak inginnya dia untuk melanjutkan.

"Aku ingin pergi." Gemetar dalam dadanya.

"Aku ingin pergi bersamamu, Chigiri."

Desiran angin memainkan udara kosong yang menghembus pada Chigiri yang masih duduk termenung dengan air matanya.

"Aku ingin berlari padamu, Kunigami."

"Jika saja musim semi bisa kembali..."

"Aku ingin kita pergi ke tempat jauh, bersama-sama. Menuju tempat dimana tak ada seorang pun mengejar kita."

Kepalaku tiba-tiba merasa kesakitan setelah Chigiri mengatakan keinginannya.
Aku melihat energi gelap menggumpal dan membuntal darinya.
Warna gelap itu kemudian meliar dan seketika meredupkan langit yang awalnya berwarna biru menjadi gelap gulita. Hingga satu-satunya cahaya muncul sebagai lampu lentera.

"Disana! Dia pergi kesana!"

Hawa mencekam yang muncul tiba-tiba seketika menaikkan bulu kudukku. Aku tak mengerti apa yang terjadi sekarang.
Kumpulan orang berpakaian menyerupai Onmyoji berlari melewatiku dan menembusku. Masing-masing dari mereka membawa lentera dengan cahaya biru. Lentera yang terbuat dari api arwah.

"Bisa-bisanya Kunigami membunuh wanita calon istrinya. Apa yang dia pikirkan?!"

"Baru juga tiga hari, sudah muncul saja malapetaka nya!"

"Apa jangan-jangan... dia memang sudah terkutuk dari awal? Dia saja tidak menyukai wanita seperti pria normal."

"Dia itu pria gila! Tidak salah jika dia mengamuk dan berubah menjadi Oni."

"Jangan banyak omong, hey, kalian berdua! Setelah ini siapkan mantra penyegel kalian!"

"Baik!"

Keramaian itu membawaku menuju suatu titik di kediaman Onmyoji. Sosok Oni berbentuk raksasa mengamuk diluar kendali. Auranya membara dalam lingkaran api yang dibuatnya. Panas dan menyesakkan.

Di depannya, seseorang berusaha menenangkannya menggunakan mantra pengendali dan pelindung secara bersamaan.

"CHIGIRIIII!!" teriak Oni itu.

Suaranya yang keras itu mampu meretakkan tanah disekitarnya. Tanah yang menjadi tempat mayat-mayat bergelimpangan. Mereka yang tak mampu bertahan hidup melawan sang Oni, kecuali satu sosok yang kini berusaha keras menahan sihirnya.
Orang itu tak lain adalah Chigiri.

Tompangan kakinya tiba-tiba terguncang, menghancurkan rapalannya secara langsung. Disaat itu juga, sang Oni melihatnya sebagai kesempatan untuk menyerang kembali.
Sebelum sosok lain datang untuk melindungi.

"Master!"

Sosok itu melindungi sang Master, sebelum hendak mengayunkan pedang panjang yang tajam. Dia berniat untuk menggunakannya untuk memberikan serangan kembali pada sang Oni.

Tapi Chigiri menolak.

"Jangan menyerangnya! Aku akan menenangkannya!"

Menuruti perintah, sosok itu mengangguk dan memilih untuk mengalihkan perhatian sang Oni selagi Chigiri kembali merapal sihirnya dengan cepat.

Strategi serangan itu sudah tertata dengan bagus... hingga sekelompok Onmyoji yang membawa lentera api arwah melemparkan serangan sihir diantara mereka.

"Jangan melukainya!" bentak Chigiri yang masih bersikeras mempertahankan sihirnya.

"Apa-apaan ini, Chigiri?! Kau ingin melepaskan Ayakashi itu?" sahut salah satu Onmyoji.

Untuk kali ini suara Chigiri melantang dengan darahnya yang mendidih.

"Kalian yang sudah membuatnya seperti ini!!!"

Sekelompok Onmyoji itu menggertak, merasa nama mereka sengaja dikotorkan Chigiri.

"Dasar kau pengkhianat!! Lenyapkan Ayakashi itu dan Chigiri!" perintah pimpinannya.

Tanpa memandang bulu, sekelompok Onmyoji itu merapal sihir yang kemudian dilentingkan ke udara untuk menghujani Chigiri bak bintang-bintang yang berjatuhan dari langit.

Tapi... hal yang tak diduga terjadi.

Sosok bayangan muncul melindungi Chigiri, menahan segala serangan yang dimuntahkan, hingga suara retak dan pecah terdengar cukup lantang.

Pria pengguna pedang itu gugur.

"ISAGIIII!!!" teriak histeris Chigiri.
Rapalannya yang awalnya hanya untuk menahan sang Oni, seketika diubahnya menjadi mantra teleportasi untuk menghilangkan keberadaan Oni itu.

Dia kemudian berlari menuju sosok bernama Isagi, sebelum kemudian sekelompok Onmyoji bersiap kembali untuk serangan sihir selanjutnya.

"Lenyapkan mereka semua, termasuk samurai itu!"

Namun sebelum serangan itu dilayangkan, cahaya kehijauan muncul dan menyala membutakan satu tempat itu.

Di saat itulah...

Sosok Shikigami bertopeng Oni terlahir.

Sekelompok Onmyoji tak percaya. Mereka mengira Chigiri menggunakan sihir Onmyodo terlarang bernama "Sihir pembangkit".

Karena hal tersebut, pertarungan hebat pun terjadi. Namun, karena jumlah yang tak seimbang, Chigiri dan Isagi menghilang dengan sihir teleportasi.

Tempat itu tiba-tiba berubah menjadi lubang hitam pekat. Gravitasinya menarikku turun dengan gerakan yang cepat, seperti jatuh kedalam jurang kegelapan.

Dan dari dalam kegelapan itu, aku menemukan denyutan suatu energi yang terasa begitu lemah. 
Dia berbisik dalam pedih, perih, dan sedih.

"Chi.... giri..."

Seakan dia menangis dalam kegelapan yang mendekapnya.

"Bebaskan aku... Chigiri..."

"Aku tak ingin...  menderita lebih lama lagi..."

"Sudahi aku disini..."

Mata ku perlahan terlelap, seakan suara itu menginginkanku untuk membebaskannya.

Siapa...
Siapa kau?

Suaramu... terdengar familiar..

+ + + +

Nafasku mengerang sambil perlahan membuka mataku. Aku mulai menyadari sudah tak ada lagi di lorong itu, tapi diatas futon yang empuk dengan...

"Oh? Kau terbangun."

Kepalaku menoleh pada sosok yang merebahkan surai merahnya diatas bantal tepat di sebelahku.
Dia berbaring dengan satu tangan menahan kepalanya, sementara yang satu lagi berniat menyentuh kepala ku, tapi tangannya kembali ditariknya.

"Mas...ter..?"

Untuk sejenak aku tak menyadarinya, saloai kesadaranku kembali terkumpul.

"Master??!!"

Dia berbaring begitu dekat denganku!!

"Ssshh! Hey, aku tak melakukan apapun padamu. Tarik nafasmu... ikuti aku."

Dia memperagakanku tarikan dan hembusan nafas dengan hitungan yang konstan. Setidaknya caranya itu berhasil menenangkanku meski sedikit.

"Kau tadi pingsan. Apa kau minum terlalu banyak Sake tadi?"

Bukannya mengingat apapun, kepalaku malah terasa sakit saat aku berusaha mengingat apapun yang terjadi sebelumnya.

"Entahlah, master. Ingatanku buram."

Master terdiam sejenak sebelum arah tatapnya jatuh kebawah.

"Maaf." ucapannya itu membuatku bingung.
"Sepertinya aku terlalu membebanimu tadi. Seharusnya aku tak mengatakan semuanya sekaligus. Tapi aku harus, karena besok kau sudah pergi."

Kepalaku berguling kembali membenamkan setengah wajah dalam bantal.
Dia benar, semua yang dia katakan tadi terlalu banyak untuk kuterima dalam sehari. Belum lagi sebelumnya di Heian-Kyo, tentang ayah yang tak bisa lagi kutemukan.

"Rasanya berat. Aku tak ingin berbohong, tapi semua itu menyakiti kepalaku," ujarku sambil mencengkram rambut ku untuk sesaat. "Berapa lama aku tak sadar, Master?"


"Kurang lebih dua jam."

"Cepat juga."

Master sekarang jadi tak banyak bicara, sepertinya dia mengetahui kalau dia melakukan kesalahan.

"Ucapan maaf ku mungkin tidak akan pernah cukup, (name). Tapi apa yang kukatakan memang benar adanya."

"Soal kenapa kediaman Onmyoji menginginkanku?"

Dia tak mengatakan apapun lagi. Aku pun begitu. Kenyataan itu terlalu pahit, sampai-sampai tadi aku tanpa sengaja menepis Master. Aku mengingatnya sedikit demi sedikit.

"Soal tepisan tadi--"

"Tidak. Aku mengerti, (name)." Dia menatapku lagi. "Itu salahku, aku mengakuinya. Jangan membebani pikiranmu lebih jauh lagi."

Perlahan meski agak tak yakin, Master meraih ujung kepala ku. Dia jatuhkan usapan lembut yang mengikuti garis suraiku. Perlahan juga senyum tipisnya bangkit.

"Rupanya kau ditakdirkan menjadi muridku karena kita memiliki kesamaan--dibenci oleh dunia."

Aku tak tau harus merasa sedih atau senang mendengarnya.
Sedih karena posisi ku saat ini seperti di ujung tanduk. Dan senang karena aku tak merasa sendiri.

"Aku akan melindungimu, (name). Sebagai Master mu, itu sudah tugasku. Maka dari itu... jangan khawatir. Kau juga punya Shikigami-shikigami yang menjadi pelindungmu. Kau tak akan menghadapi masalah ini seorang diri."

Air mata ku kembali menggenang, sebentar kuusap karena aku tak ingin itu terjatuh lagi.

"Terima kasih... Master." Bibirku dengan gemetar membuat senyum sepertinya.

Master tak memaksakan itu. Tubuhnya mendekat, mendekapku dengan dua tangannya, kecupan lembutnya jatuh diatas dahi ku seraya memberikan ketenangan yang hangat sebelum kembali terlelap dalam kegelapan malam.

"Oyasumi, (name)."

Hela lemah bercampur tawa kecil tak bertenaga dariku terlepas sebelum mata terpejam kembali karena terasa berat.

"Oyasumi, Master."

+ + + +

To be continued...

(Astaga, arc nya makin berat.)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro