Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Action 2


Derap kaki berlarian masih bergema di ruangan. Kapten Zhang tiba-tiba berdiri kaku di tempatnya, mengawasi pintu keluar yang dilewati beberapa orang pengunjung yang tersisa.

“Kapten!” seorang petugas berlari ke arah kapten Zhang, membuat sang kapten tersentak dari keterpakuan.

“Ya?”

“Kami menemukan satu catatan kecil yang tergenggam di telapak tangan korban,” ujar si petugas melaporkan temuannya.

Kapten Zhang menautkan alis, dia mengambil lipatan kertas kecil bernoda darah dari tangan rekannya.
Di dalam kertas itu ada sebuah gambar burung kecil berwarna hitam.

“The Crow?” Kapten Zhang bergumam berat.

“Tidak diragukan!” si petugas mengangguk.

Kapten Zhang meremas kertas kecil itu di tangannya hingga berupa gumpalan kusut.

“Dia lagi..” ia mendesis.

Nampaknya The Crow  terlalu banyak menonton serial drama criminal di NetFlix, Kapten Zhang membatin, penuh emosi.

The Crow, The Crow, nama itu terdengar agak kasar untuk visual menakjubkan yang ia lihat dalam foto.

“Kita akan segera menangkapnya,” dia melirik tajam pada sang rekan.

“Kau sudah memikirkan cara?”

“Langkah awal, kita kumpulkan bukti dan petunjuk. Kita pasti akan menemukan sesuatu untuk bisa menjebaknya.”

“Kalau begitu kita bawa mayat korban ke laboratorium forensic,” sang rekan menyarankan.

Detektif Zhang mengangguk.
“Aku ingin melihatnya langsung. Apakah cara kematiannya sama dengan korban sebelumnya?”

Kapten Zhang berjalan diiringi rekannya menuju panggung. Dia ingin memeriksa mayat Rebecca secara langsung.

“Sayatan di leher, korban akan menuju panggung. Kemungkinan dia diserang oleh pelaku yang telah mengintainya di tempat gelap di salah satu sisi panggung.”

Mereka tiba di dekat mayat korban.
Darah menggenang seperti kolam. Di tengah noda berceceran menebarkan aroma kematian, wajah sang ballerina sepucat kertas. Matanya terbelalak seolah menyaksikan penampakan monster mengerikan di langit-langit teater.

Hati kapten Zhang terguncang.

Seharusnya, ya—seharusnya yang tampil saat ini bukanlah Rebecca.
Tetapi ballerina terkenal lain, Ju Jingyi.

Tunangannya.

Jika Rebecca tidak menggantikan Ju Jingyi malam ini, kapten Zhang khawatir bahwa yang akan tergeletak mati di tempat ini sekarang adalah sang tunangan.

Tiba-tiba kapten Zhang merasa kepalanya berputar dan mual. Dia menggoyang-goyangkan kepala, berbisik pada salah satu staff teater yang berdiri dekat mayat korban.

“Di mana toiletnya?"

~¤~¤~¤~

Kapten Zhang membungkuk di atas wastafel. Setelah memuntahkan sedikit isi perutnya, dia menyalakan kran, membasuh wajah hingga sebagian anak rambut, menyapunya ke belakang kepala. Dia menatap bayangan wajahnya sendiri di cermin besar. Matanya yang selalu cemerlang oleh kecerdasan dan juga menyala oleh semangat, terlihat redup malam ini.

Kapten Zhang sudah terbiasa menyaksikan pemandangan mengerikan dari korban-korban pembunugan selama kariernya sebagai petugas polisi. Sebenarnya kondisi Rebecca tidak lebih mengerikan dibanding yang pernah ia saksikan sebelumnya. Tetapi bayangan bahwa Ju Jingyi yang kemungkinan mati mencengkeramnya dengan kecemasan dan rasa waswas. Mengirimkan sensasi pusing ke kepalanya.

Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika Ju Jingyi tewas.
Mereka sudah setahun bertunangan dan sebulan lagi akan menikah.
Untunglah malam ini Rebecca menggantikan tempatnya.

Untung?

Kapten Zhang mengutuk dirinya sendiri karena merasa bersyukur.
Dia harus menangkap pembunuh sialan itu.

Organisasi pembunuh bayaran terselubung, bersembunyi di balik pakaian mewah dan dasi mahal para pengusaha dan pebisnis curang.

The Crow.

“Kapten Zhang..” tegur seseorang.

Kapten Zhang yang tengah menunduk di atas wastafel, membuka mata. Dia melirik ke samping kanan lewat cermin rias besar di depan wastafel.

Kapten Zhang mengangkat wajah, menatap bayangan seseorang dalam cermin. Dia mengerutkan kening.

“Ya? Anda siapa?" ekspresinya dingin dan sinis.

Pria misterius yang tiba-tiba berada di sampingnya itu membuka kran, menjawab santai sambil mencuci tangan.

“Kau tidak akan mengenalku. Aku Wen Yuan, salah satu dari penonton pertunjukan mengerikan barusan.”

Kapten Zhang menoleh acuh tak acuh.

“Lalu kenapa anda belum pulang? Kulihat semua pengunjung berlarian seperti semut.”

Wen Yuan mematikan kran, senyumnya terkembang.

“Aku sengaja menunggu kedatangan polisi. Tak disangka, detektif terkenal Zhang Zhe Han, dikirim kemari untuk memeriksa tkp.”

“Apa yang ingin kau bicarakan?’ potong kapten Zhang, pelipisnya mendadak berdenyut lagi.

“Aku memiliki sebuah petunjuk tentang pelaku pembunuhan,” Wen Yuan mengangkat sebelah alis.

“Benarkah?” Kapten Zhang bergumam, ekspresinya skeptis.

“Petugas handal seperti anda tidak akan melewatkan satu hal kecil untuk menemukan petunjuk dan bukti, aku yakin anda ingin mengetahuinya.”

“Bisa kah kau menjelaskan padaku?”

“Tentu,” Wen Yuan memutar badan, menghadap sang kapten.
“Tapi aku tak bisa menunjukkannya di sini, anda harus ikut aku ke pelataran parkir.”

“Kenapa?” kapten Zhang menggeram pelan, nyaris berupa desahan.

“Aku tidak bisa menjelaskannya di sini.”

Kapten Zhang mengamati Wen Yuan dari ujung kaki sampai kepala. Dia belum pernah melihat pemuda perlente ini, menilik dari penampilannya Wen Yuan tampaknya berasal dari kalangan kelas atas. Sikapnya juga cukup anggun dan sopan, instingnya sebagai polisi menangkap rona kepolosan di mata si pemuda asing. Mungkin memang orang ini berniat tulus membantunya.

“Anda takut?” Wen Yuan memancing.

Sang kapten melemparkan tatapan galak.

Apa? Takut?

“Tidak sama sekali. Ayo kita ke mobilmu, lekas jelaskan petunjuk apa yang kau miliki. Aku harus segera ke laboratorium forensic.”

Langkahnya tegap dan mantap, membuka pintu kamar toilet dan berlalu keluar.

Wen Yuan berjalan mengikuti di belakang.

Keduanya tiba di pelataran parkir teater yang sepi karena hampir semua pengunjung sudah pulang.

Wen Yuan menuju satu unit mobil Mercedez Maybach berwarna hitam mengkilat yang terparkir di sudut gelap.

Segelap dan sesunyi apapun, kapten Zhang tidak merasa takut. Kewaspadaannya justru semakin meningkat.
Wen Yuan menunjuk ke kaca mobil belakang.

“Di dalam sana petunjuknya,” ia berkata, tangannya diam-diam menyelinap ke balik saku jas.

“Maksudmu?” kapten Zhang sedikit membungkuk, dia menengok ke kaca mobil gelap yang sedikit terbuka. Dia menangkap bayangan seseoang duduk di dalam sana.

Pada saat lengah karena sang kapten berusaha mengenali orang di dalam mobil, Wen Yuan mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya.

Kapten Zhang mengetuk kaca mobil.
“Hai, siapa di dalam?” dia bertanya galak.

Saat dia menunduk, rasa pusing kembali mencengkeram. Dia meringis sesaat, dan dalam momen secepat kilat, sebuah tangan membekap mulutnya dengan kuat dari arah belakang.

Kapten Zhang mendelik. Disergap secara curang sudah bukan hal baru baginya, dan ia bisa meloloskan diri dengan mudah meskipun tengah sakit kepala. Tapi masalahnya kali ini , Wen Yuan membekap sang kapten dengan sapu tangan yang sudah ditetesi kloroform dosis tinggi.

Kapten Zhang lemas seketika. Tubuhnya menggelosor menimpa pintu mobil.

Wen Yuan segera menahan tubuh sang kapten, membuka pintu belakang mobil, kemudian mendorong tubuh kapten Zhang ke dalam mobil.

Srukkk!

Kepala kapten Zhang terkulai lemas di dada seseorang yang tengah duduk anggun di jok belakang mobil mewah itu.

Gong Jun mengembangkan senyum penuh siasat. Dia mengelus kepala yang menimpa dadanya, rambut kapten Zhang dingin dan basah sisa cuci muka barusan. Matanya tertutup rapat, siluet lengkung bulu mata yang indah jatuh di atas wajahnya.

“Menakjubkan,” Gong Jun mengulum senyum.

Wen Yuan masuk ke dalam mobil, duduk tegak di balik kemudi. Dia menstarter mesin seraya melihat pada Gong Jun melalui kaca spion tengah.

“Kemana kita pergi?” dia bertanya datar, menyeringai.

Senyuman licik Gong Jun masih belum sirna saat dia menjawab santai.

“Rumah pantai.”

To be continued

Uppss, mau ngapain Gong Jun nyulik  Kapten Zhang ke rumah pantai? 😛

Langlangding Family
Please vote 💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro