Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

prolog

Franz berlari keluar menuruni tangga, membiarkan pintu tertutup berdebam di belakang tubuhnya. Kaki panjangnya melompati undakan tangga, hingga anak tangga terakhir kakinya tersandung kemudian badannya terhuyung ke depan, beruntung tangannya tak lepas dari kayu pegangan. Napasnya naik turun detak jantungnya berpacu seperti seorang pelari yang mengitari lapangan. Namun kenyataanya Franz tak sedang berlomba lari atau semacamnya.

Kedua tangan Franz terbuka lebar di depan sebuah mobil jeep yang menyala lampunya, dan suara mesin yang siap melaju. Franz tak peduli jika dia akan menabraknya, tanpa rasa takut sedikitpun Franz menghadang mobil tersebut. Dalam benaknya, mati pun ia rela asal dia mau mendengarkan ucapannya.

"Tunggu, tolong dengarkan aku!" Teriak Franz putus asa, peluh bercucuran dari kedua pelipisnya. Tangannya masih mengembang seperti burung yang siap terbang. Mulutnya tanpa henti berteriak hingga tenggorokannya sakit.

Usaha putus asanya akhirnya membuahkan hasil, dia keluar dari mobil dengan wajah ternoda air mata. Franz meringis pedih, ingin sekali ia menghapusnya.

"Tolong biarkan aku berbicara padamu."

Dia menggelang seraya menghapus air matanya,

"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Franz. Semua sudah berakhir, tolong biarkan aku pergi, atau aku akan membencimu selamanya."

"Tidak, kau harus mendengarkan penjelasanku. Apa yang kau lihat tak seperti yang terjadi. Bukan seperti itu kejadiannya aku bisa jelaskan."

Franz mencoba meraih tangannya, namun ditepisnya. Dia kembali masuk ke dalam mobil dan menguncinya.

Franz menggedor kaca mobil dengan kepalan tangannya. Berteriak seperti orang gila hingga menjadi tontonan pejalan kaki yang kebetulan melintas. "Tolong dengarkan aku!"

Saat Franz tak lagi menggedor kaca mobilnya. Dia menginjak gas mobilnya dan mendecit keluar ke jalan raya.

Franz menatap nanar mobil itu, terlambat. Franz gagal, dengan langkah gontai Franz kembali masuk ke dalan cafe lalu duduk menghabiskan sisa malam sebelum pagi menjelang.

Jika pun kau percaya, mungkin akan lebih indah. Karena terkadang matamu menipu hatimu...

***

Franz meminum jusnya dengan pelan. Sekelebat bayangan malam itu kembali berputar di kepala tampannya. Sungguh ingin sekali Franz melenyapkan kenangan yang membuatnya seperti makhluk menyedihkan yang pernah ada di bumi.

Rasa kesal dalam dirinya membuat Franz menjambak rambutnya, membuat beberapa bagian mencuat tak beraturan. Pekerjaan kantornya sudah ia tinggalkan namun bukannya merasa lega ia malah kembali teringat gadis itu, haruskah dia kembali tenggelam bersama berkas sialan agar bisa melupakan wajah penuh airmata itu.

"Apa aku terlihat kacau?" Tanyanya pada diri sendiri.

"Oh tentu saja, lihat saja ketampananmu akan hilang sebentar lagi."

"Hah, tak mungkin."

Franz menggelengkan kepalanya, mengusir suara-suara yang mengganggu pendengarannya. Seperti orang gila Franz berbicara dengan dirinya sendiri, membuat beberapa pelayan cafe menatap aneh pada kelakuan Franz.

"Disini kau rupanya."

Franz menatap seseorang yang begitu dikenalnya lalu sedetik kemudian Franz merasakan kepalanya dipukul dengan benda tumpul.

"Sialan! Kau Max!"

"Heh, sadarlah! ayo pulang. ibu mencarimu dan aku tak punya waktu untuk mengurus dirimu."

Max menarik bagian belakang kemeja Franz mambuat sang empunya meronta minta dilepaskan.

***

"Ibu, lihat anakmu menjadi gila, cepat hukum dia, sebelum lebih parah lagi," ucap Max begitu sampai di rumah ibu Franz.

Carol sang ibu hanya terseyum tipis melihat kelakuan anaknya, lalu di usapnya telinga anaknya yang suka membangkang.

"Kau mau ibu hukum seperti apa, Franz?" Ucap Carol penuh penekananan.

"Seminggu lalu ibu sudah menghukummu untuk membersihkan kolam ikan, sekarang apalagi?" Tanyanya geram usapan ditangannya berubah menjadi sebuah jeweran yang tak terelakan.

Franz mengusap kupingmya yang memanas akibat ulah ibunya, tidakkah ibunya sadar umurnya sudah tidak muda lagi untuk mendapat jeweran.

"Ibu berhentilah menjewer kupingku," rengeknya seraya mengusap telinganya yang panas.

"Hukum saja yang lebih berat ibu," kompor Max.

"Sialan kau Max, aku akan membalasmu nanti," gerutu Franz.

Carol kemudian kembali ke dapur untuk menyelesaikan masakannya, membiarkan kedua anaknya berdebat, ia malas mengurusi dua pria dewasa yang tak punya malu untuk berkelahi.

"Sudahlah lupakan dia yang sudah pergi, lanjutkan hidupmu Franz 'sang ahli cinta', bukankah kau yang menasihatiku dulu," ucap Max.

Carol tersenyum dari dapur, semenjak menikah memang Max berubah sedikit dewasa, ya hanya sedikit karena kenyataanya anaknya tidak akan pernah benar-benar dewasa kecuali menyangkut istrinya.

"Diam kau Max, kau memberiku banyak pekerjaan selama kau berbulan madu dan itu membuatku ingin melemparmu keujung dunia," keluh Franz.

Kali ini Carol tersenyum getir, Franz putranya yang terlihat begitu penuh pesona namun nyatanya hatinya sangat kosong, Carol tak pernah membayangkan bagaimana Franz menghabiskan waktunya dengan berdiam diri di kantor bersama berkas-berkas pekerjaan yang tak kunjung selesai. Carol tidak pernah menyalahkan wanita yang membuat putranya begitu gila bekerja hanya demi melupakan wajahnya. Carol tahu Franz sudah banyak melewati masa susah saat kecilnya dulu karena ketidakmampuannya. Dan hilangnya wanita itu mungkin menjadi hal terberat bagi Franz.

Lamunan Carol terhenti saat sebuah lengan memeluknya dari belakang.

"Ibu, aku pulang, maaf tidak bisa makan siang bersama, Shanne dan mommy sudah menyiapkan di rumah," ucap Max penuh penyesalan.

Carol mengelus tangan Max yang masih memeluknya, dia berbalik menatap wajah Max, putranya. Rasa sayang yang ia berikan tak akan mampu mengalahkan ibu kandung Max sendiri. Dan Ia tak akan sedih karena hal itu sebab sampai kapanpun Max adalah putranya dan akan selalu begitu.

"Berarti Franz akan memakan jatah makan siangmu hari ini," tawanya.

"Bukankah ibu sedang menghukumnya biarkan saja dia kelaparan. Jika dia tak pulang lagi, beritahu aku, akan kuseret dia hingga menangis," kekeh Max.

"Terus saja kau mempengaruhi ibu, akan kubuat bangkrut perusahaanmu itu," ancam Franz.

Carol dan Max tertawa bersama, "ancamanmu tak mempan Franz," ucap Max.

"Ibu aku pulang dulu ya, hati-hati dengan anakmu itu."

"Sialan kau Max!"

"Salam untuk ibumu dan Shanne dan untuk cucuku katakan nenek merindukannya, mainlah kemari," ucap Carol pada Max.

"Akan kusampaikan nanti, bye bu," pamit Max.

***

Franz menyelesaikan makan siangnya,

Perut kenyang, pikiran pun kembali segar,

Franz tersenyum kemudian menyambar potongan apel lalu memasukkan kedalam mulutnya. Mengunyahnya sedikit demi sedikit hingga sensasi segar buah apel memenuhi rongga mulutnya membuatnya memejamkan mata untuk beberapa saat.

"Cuci piringmu Franz, jangan malah tidur," tegur Carol.

Franz membuka matanya dan menghapus kata nikmat yang sempat tersemat dalam otaknya, dimana letak enaknya saat harus mencuci piring?

Ibu benar-banar menyiksaku, bisakah aku bersantai barang sejenak?

Tanpa kata Franz berjalan ke bak cuci untuk membersihkan bekas makannya, meski hanya sebuah piring lengkap dengan peralatan makan seperti sendok dan garpu, Franz malas sekali jika harus mencuci, itu sebabnya ia lebih suka tinggal di apartemennya dan menumpang makan di tempat Max. Namun sayangnya apartemen itu sekarang ditinggali oleh orang tua Shanne jadilah ia tak bisa menumpang makan.

Frnaz mengelap tangannya setelah mencuci piring. Ia kembali lagi ke meja makan dan menikmati apel potongan yang sangat sayang jika diabaikan.

"Jadi kapan kau akan mengenalkan kekasihmu pada ibu," ucap Carol.

Apel dalam mulut Franz meluncur tanpa kontrol membuat Franz tersedak, buru-buru Franz meminum airnya. Setelah berhasil meredakan sesak Franz menatap ibunya. Cukup kesal dengan pertanyaan ibunya.

"Adakah pertanyaan lain yang lebih bagus dari itu, ibu?" Tanya Franz menyunggingkan senyum.

Carol ternyum tak kalah sinis pada putranya, umurnya tak muda lagi, tulang-tulangnya sebentar lagi keropos dan ia ingin menghabiskan waktu bersama menantu dan cucunya.

"Oke, kau tak bisa menjawab pertanyaan itu, ibu akan memberimu satu pertanyaan yang sangat mudah, kapan kau membawakan ibu cucu?"

"Tunggu sampai aku meniduri seorang wanita," jawab Franz asal. Ia ingin segera mengakhiri bincang-bincang menyebalkan ini.

"Baik. Tiduri wanita siapapun itu dan nikahi dia," putus Carol

Sepertinya ibuku sedang demam

Franz menyentuh dahi ibunya dengan punggung tangan, "tidak panas," gumannya.

"Ibu aku masih normal jadi jangan buat anakmu gila dengan pertanyaanmu."

Franz mencium dahi ibunya kemudian keluar untuk kembali ke kantor.

Sedangkan Carol, hanya menggeleng tak mengerti dengan jalan pikiran putranya.

"Jangan lupa pulang, ibu menunggumu," teriaknya yang sudah pasti tak didengar oleh Franz yang sudah melaju dengan mobilnya.

***

Posisinya menjadi wakil direktur membuat Franz bisa dengan mudah keluar masuk kantor. Seperti siang ini setelah makan siang ia kembali ke meja kerjanya yang sudah dipenuhi kertas-kertas.

Franz mulai membaca berkas dengan teliti, ia tak mau terjadi kesalahan seperti bulan lalu dan berakhir dengan Max yang memarahinya. Meski Max sahabatnya dalam urusan kantor semua itu tak berlaku, setiap kesalahan pasti ada konsekuensinya.

Getar ponsel membuyarkan konsentrasi Franz. Dengan kesal Franz mencari ponselnya diantara tumpukan kertas, akhirnya benda pipih itu terlihat, lampu menyala-nyala pertanda sebuah email masuk, tanpa menunggu lama Franz membuka email tersebut, takut hal penting, dan ia pantang untul melewatkannya.

Franz membaca deretan kalimat di layar ponselnya dengan seksama, jeda sebentar Franz melihat jam yang melingkar di tangannya kemudian kembali pada layar yang masih menyala itu. Senyum tersungging di kedua bibir tipis Franz kemudian Franz melatakan ponselnya diatas meja. Dengan cepat dan tepat Franz menyelesaikan tugasnya sebelum jarum jam menunjuk angka lima nanti.

***

Franz terlihat merapikan kemejanya, mencium kedua ketiaknya takut bau yang tidak dinginkan menyebar keluar. Para karyawan yang kebetulan masuk dalam toilet tersenyum kearah Franz.

"Kenapa kalian?" Tanya Franz dari pantulan kaca.

"Mau pergi kencan, pak?" Tanya salah satu karyawan berkaca mata.

Franz tersnyum sinis pada karyawan berkaca mata tersebut, semenjak kejadian itu Franz sedikit membenci pria berkaca mata dan berpenampilan culun, mengingatkannya pada si kutu buku itu. Meski tak dipungkiri semua itu percuma, rasa bencinya tak akan mengubah keadaan.

"Tentu saja," jawab Franz bangga. Bagiamana tidak, siang tadi temannya mengirimi email dan mengajak berpesta tentu saja Franz tak menyia-nyiakan kesempatan langka itu. Apalagi ia tak perlu mengeluarkan biaya makan dan satu lagi ia tak perlu makan malam dengan ibunya. Bukan ingin membangkang hanya saja ia ingin menghindar dari pertanyaan sejenis dari ibunya.

"Apa sudah terlihat tampan?" Tanya Franz pada pantulan kaca yang menampilkan wajahnya.

"Kau terlihat luar biasa tampan," jawabnya kemudian.

Franz sedikit memberi sentuhan pada rambutnya agar terlihat lebih Sexy, tak dipedulikan karyawan pria yang melihatnya aneh. Dengan bersiul Franz keluar dari toilet dan langsung menuju lift.

Dalam lift yang membawanya ke lantai dasar gedung. Franz menerima tatapan memuja dari karyawan wanita yang kebetulan turun bersama. Sebetulnya tersedia lift khusus untuk para pimpinan namun Franz lebih sering mengunakan lift umum bersama karyawan. Agar terlihat lebih manusiawi dan untuk mengecek seberapa tampan dirinya.

Lift terbuka Franz pun mempersilahkan karyawan perempuan agar keluar lebih dulu. Tindakannya itu membuat karyawan wanita semakin terpesona pada Franz sedang karyawan pria hanya geleng kepala. Setelah semua keluar dari lift, giliran Franz paling terakhir. Bersama dengan itu lift khusus terbuka dan sosok Max keluar.

"Kenapa?" Tanya Franz menanggapi Max yang menatapnya dengan alis berkerut.

"Tidak," jawab Max singkat.

"Baguslah."

"Franz, mommy masak banyak malam ini, mau bergabung?" Ajak Max.

Franz mulai dilanda bingung, ajakan gratis lagi kenapa tawaran datang saat tak tepat,

"Aku ada janji malam ini, jadi bisa kau sisakan untukku besok," cengir Franz.

Max memukul sahabatnya dengan tas kerjanya, "dasar manusia macam apa kau? Kau mau kemana? Jangan lupa beritahu ibu aku tak mau mencarimu jika kau lupa pulang."

Max mengusap telinganya, Max menjadi cerewet melebihi wanita biang gosip di kantornya.

"Tenang saja, aku pergi dulu. Jangan lupa makanan untukku besok," ucap Franz kemudian pergi sebelum terlambat.

***

Franz memeluk beberapa teman yang sudah hadir, mereka datang bersama pasangan masing-masing, dan seperti pertemuan pada umumya, mereka semua menanyakan pasangan pada Franz.

"Aku sedang malas menjalin hubungan, aku lebih senang seperti ini," jawabnya.

"Aku tak percaya seorang Franz tak mempunyai kekasih," ujar salah seorang teman Franz.

"Dia pandai menyembunyikan kekasihnya," ucap sang pemilik pesta.

"Terserah kalian saja," jawab Franz santai. Ia mengabaikan semua celotehan tak berguna teman-temannya, lebih baik menghabiskan makanan enak ini pikirnya.

Setelah kenyang mengisi perut, sang pemilik acara mulai maju diatas panggung, dengan suara lantang nan bangga pemilik pesta mengumukan calon istrinya yang sebentar lagi akan dinikahinya. Sontak seluruh tamu undangan bertepuk tangan sebagian bersiul dan Franz cukup dengan senyum tipis, dan kembali menikmati desert sebagai pencuci mulut.

Pesta usai, tempat pun beralih Fungsi menjadi sebuah bar lengkap dengan lampu gemerlap dan musik yang semakin lama menjadi keras dan cukup membuat telinga sakit.

Franz tak tahu kapan para pelayan membereskan pesta, dia hanya duduk dipojok ruangan saat tersadar.

Musik terus berdentum, malam Semakin larut pengunjung bar pun semakin memenuhi ruangan gemerlap tersebut. Franz bergerak keluar dari pojok ruangan, tak ada salahnya bergabung dengan mereka bukan. Sudah lama aku tidak menikmati dunia ini.

Franz ikut menggerakkan badannya bersama puluhan orang di lantai dansa. Beberapa wanita mulai bergelayut padanya. Meminta perhatiannya dengan segala bentuk rayuan mautnya. Franz tentu saja dengan sukarela memberikan apa yang diinginkan wanita-wanita tadi.

Pegal berdiri, Franz bergerak menepi dengan wanita tadi masih menempel, Franz menyambar beberapa gelas alkohol dan berakhir hangover diatas meja bar.

"Nona, apa Anda mengenal pria itu," ucap seorang pelayan pada wanita muda yang sedang duduk.

"Tidak, saya tidak mengenalnya," bantah wanita itu.

"Tapi saya melihat Anda bersama orang itu di dalam pesta," pelayan mencoba meyakinkan wanita itu.

"Maaf, saya memang tak mengenalnya, mungkin kami satu undangan pesta tapi sekali lagi saya tidak tahu siapa dia."

Pelayan bar itu memutar otaknya, kemudian menarik wanita itu dan membawanya kepada pria yang sedang mabuk di meja bar.

"Hei... jangan menarikku seperti itu, kau akan ku laporkan kepolisi."

Pelayan itu tidak peduli, malah kini menarik pria mabuk itu, "ini aku sudah berhasil mendapatkan kekasihmu, pulanglah segera," ucapnya pada pria mabuk itu.

Wanita muda itu merasakan berat tubuh pria tak dikenalnya yang menempel pada tubuhnya.

"Hei... kau baru saja kehilangan kekasihmu ya..., pantas saja kau menjadi gila seperti ini. Tapi perlu kau tahu aku bukan kekasihmu jadi lepaskan tanganmu dari tubuhku," ucap wanita itu sambil mencoba melepaskan sang pria.

"Tidak lagi, aku tidak akan melepasmu..." ucap pria itu dengan sedikit tersengal.

"Tapi aku bukan kekasihmu, baiklah kau mengangap aku kekasihmu, sekarang kita pulang, dimana rumahmu?"

Tanpa diduga oleh sang wanita, pria mabuk itu mencium pipinya sambil mengumankan alamat rumahnya. Sedang sang wanita kaget luar biasa.

Untung hanya di pipi, jika dibagian lain aku akan melemparmu ke jurang, dasar pria mesum.

Hai.. hai... saya datang bawa cerita Franz *yeah....
Ada yang ingat Franz *enggak
Ya sudah gpp

Dari kemaren udah pengen post ini cerita dan akhirnya hari ini baru post
Ini baru prolog
Kalau enggak ada halangan besok saya post part 1
Semoga suka...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro