Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 9

"Hari ini ada meeting dengan perusahaan Ox jam 11 dan dilanjutkan undangan makan siang, itu saja. Berkas meeting sudah saya persiapkan di meja silahkan diperiksa terlebih dahulu," ucap Alexi sambil menutup jurnalnya. Setelah mengikuti seleksi menjadi asisten dan berhasil lolos, Alexi kini sudah resmi menjadi asisten Franz.

Franz diam tak merespon, hanya menatap wajah Alexi yang semakin hari semakin manarik saja. Franz teringat kembali pertemuan pertama, sungguh saat itu ia ingin menerkam Alexi begitu saja.

"Franz!" Geram Alexi menepuk Franz dengan jurnalnya, "Anda tidak mendengarkan saya?"

"He... he..." kekeh Franz mengusap kepalanya, "coba ulangi," pinta Franz tanpa memperdulikan marah Alexi.

"Baca saja sendiri." Alexi meletakkan jurnalnya dan keluar dari ruangan Franz.

Sepeniggal Alexi Franz kembali tertawa lalu mengambil jurnal dan membaca jadualnya sendiri.

Asisten macam apa yang membiarkan bosnya membaca jadual sendiri. Sial!

***

Diluar ruangan Alexi mengipasi wajahnya yang tarasa terbakar. Padahal pendingin ruangan berfungsi sempurna, tapi kenpaa rasanya begitu panas. Masih dengan selembar kertas di tangannya seseorang tiba-tiba lewat di depan wajahnya tanpa menyapa, jangankan menyapa melirik saja tidak.

Dia memang seperti itu bukan.

Selesai dengan kegiatan kipas-kipas, Alexi mulai memeriksa berkas. Tiga bulan sudah ia bekerja sebagai asisten dan orang itu selalu seperti itu padanya.

Alexi menekan keybord dengan keras, menimbulkan suara yang menganggu siapapun. Tapi ia tak peduli sekalipun merusak komputer, ia akan melakukannya. Ia ingin melampiaskan kesalnya.

"Kau bisa menyakiti jarimu, sayang." Franz sudah berdiri di depan meja Alexi menatap wajah istrinya dengan bingung.

Alexi tersenyum kikuk, tidak seharusnya ia mencampuradukkan urusan pribadi dan pekerjaannya, "maaf."

Tangan Franz terulur untuk mengacak rambut Alexi, "makan siang bersama?"

"Seingat saya Anda harus mengahadiri meeting tuan," ucap Alexi sambil mengambil tasnya.

"Ah saya lupa, setelah meeting bagaimana?"

Alexi menimbang lalu mengangukkan kepalanya, "ide bagus."

"Good girl."

***

"Masih kesal dengan Max?" Tanya Franz sambil menyuapkan potongan udang untuk Alexi. Siang ini mereka memutuskan untuk makan seafood di restoran cina yang terkenal.

Alexi mengangguk, meskipun Max sudah memberikan alasan, tapi rasanya tak masuk akal, "ya ampun aku tidak mengerti bagaimana Shanne bertahan dengan suami pencemburu seperti Max sialan itu."

"Kau juga harusnya terbiasa dengan Nasya jangan menatap anak itu seperti kau ingin menguliti dia saja, hal itu membuat Max tidak suka padamu," jelas Franz.

"Sudahlah aku tak mau membahas dia lagi, lagipula kapan aku menatap Nasya seperti itu?" Bantah Alexi.

"Entahlah," ujar Franz mengangkat kedua bahunya. Sebetulnya ia merasa sikap Max tak masuk akal dan bisa dibilang gila.

"Jadi bagaimana kau setuju dengan hasil rapat tadi?" Tanya Alexi membahas meeting yang baru saja selesai sebelumnya.

Franz menghentikan makannya, hal ini yang tidak disuakainya dari Alexi. Membahas pekerjaan saat sedang berdua saja. "Di dalam kantor kau asistenku tapi sekarang kau istriku, mengerti," ucap Franz penuh penekanan.

"Ya... ya kau mengatakannya lebih dari sepuluh kali," balas Alexi sambil meminum jusnya.

"Bagus."

Setelah makan siang, Franz mengajak Alexi untuk berjalan-jalan di sekitar pusat perbelanjaan. Kebetulan tempat makan mereka tadi berada dalam sebuah mal besar.

"Tidak kembali ke kantor?" tanya Alexi meskipun sudah tahu jawabannya bibirnya gatal untuk bertanya.

Franz menggeleng, sebulan mempersiapkan cabang baru perusahaan Max membuat waktunya berkurang bersama Alexi. Saat malam tiba dirinya dan Alexi sama-sama lelah, hingga tak punya waktu untuk mengobrol.

"Ya sudah," jewab Alexi pasrah digandeng kemanapun oleh Franz.

Franz mengengam tangan Alexi sambil menyusuri tempat-tampat menarik dalam mal besar tersebut. "Coba lihat, lucu sekali," tunjuk Franz pada sebuah baju bayi yang tegelantung di depan toko perlengkapan bayi.

"Pink? Bukankah kau alergi dengan warna pink?" heran Alexi namun tetap mengikuti Franz yang membawanya menuju toko.

"Ini berbeda dengan pink kesukaanmu itu, ini terlihat lebih soft dan tidak melukai mataku," jelas Franz.

Alexi mangut-mangut lalu masuk ke dalam toko, "tapi ini bukan untuk ukuran Nasya, " kata Alexi.

"Siapa bilang itu untuk Nasya, itu untuk anak kita," jawab Franz merangkul Alexi.

Alexi tersenyum sambil mengelus wajah Franz yang sudah ditumbuhi bakal jambang. Entah kapan mampu bertahan dengan kondisi seperti ini. Ucapan Franz mungkin hanya terbawa suasana hati pria itu saja. Karena pada kenyataanya ia tak mau terlalu berharap dengan itu semua.

***

"Kau tunggu disini, aku ke toilet dulu," ucap Franz lalu bergegas menuntaskan pangilan alamnya.

Alexi memandangi kantong yang berjejer rapi di sampingnya, sambil mengulum senyum ia membuka salah satu kantong tersebut. Sebuah baju bayi warna pink yang akhirnya dibelinya juga, "lembut dan cantik," guman Alexi mengelus baju berbahan sutra tersebut.

"Alexi?"

Alexi menoleh untuk melihat siapa yang memanggilnya, "oh hai," sapanya pada seseorang yang berada disampingnya kini.

"Kau sedang apa?"

Alexi mengeser duduknya agar Shanne bisa ikut duduk, "sedang berjalan-jalan saja, kau sendiri? Atau-"

Ucapan Alexi terhenti saat dari jauh seorang ank kecil memanggil Shanne dan dibelakangnya muncul Max sedang mengikuti anaknya.

"Tidak perlu berlari, nanti kau bisa jatuh," ujar Shanne sambil mengusap keringat di dahi Nasya.

Nasya membenamkan wajahnya pada perut Shanne. Alexi mengalihkan matanya dari Nasya dan menatap wajah Max yang tak jauh darinya. Wajah itu sangat menyebalkan, jika saja Max bukan sahabat Franz, Alexi sudah lama ingin menendagnya.

Tak berapa lama Franz kambali, Alexi membuang napasnya lega, setidaknya kecangungannya berkurang saat Franz disisinya.

"Lama sekali," protes Alexi.

Franz tersenyum, "kenapa? Takut aku tinggal, hm.." ucapnya sambil mengacak rambut Alexi.

Max mendengus melihat pemandangan di hadapannya, "tak kembali ke kantor, malah asyik berduan di sini."

"Kau sendiri meninggalkan kantor," balas Franz tak mau kalah.

"Sudahlah kalian ini, jangan ribut disini," ucap Shanne menengahi dua pria kekanakan.

"Ah baby Nasya bagimana jika kita makan es krim, katanya disini enak sekali, ayo," kata Franz pada Nasya. Dan seperti biasa bocah itu langsung memeluk Franz minta digendong.

"Franz turunkan Nasya dia bisa jalan sendiri," tegur Shanne, mengurangi tingkat kemanjaan Nasya pada Franz.

Namun Franz tidak peduli, tetap menggendong Nazya dan mengandeng Alexi meninggalkan Shanne dan Max di belakang mereka.

"Stt... sudah biarkan saja mereka, kita pergi ke tempat lain saja," ucap Max lalu menarik Shanne lebih dekat dengannya.

"Ouchh.. " pekik Max kesakitan mendapat cubitan maut dari Shanne.

***

Alexi merebahkan dirinya diatas ranjang mengilangkan lelah yang mendera. Seharian menemani Franz dan Nasya bermain. Mulai dari masuk ke tempat permainan anak hingga ikut karoke anak, Alexi rasanya ingin menjerit tepat di wajah Max yang seenaknya meninggalkan Nasya begitu saja. Membuat Alexi mau tidak mau merelakan waktunya berdua dengan Franz.

"malam bu, ibu tidak tidur?"

Franz menghampiri ibunya di dapur. Entah apa yang sedang ibunya kerjakan hingga tengah malam masih berkeliaran. Ditariknya kursi meja makan lalu Franz duduk menatap ibunya.

"Nasya sudah tidur?" tanya carol ikut duduk disamping purtanya.

"Sudah," jawab Franz. Siang tadi selepas Max pergi begitu saja, Franz memutuskan membawa pulang Nasya bersamanya.

"Lalu kenapa kau tidak tidur?" tanya Carol mengamati wajah putranya dalam minimnya cahaya.

"Aku ingin tidur bersama ibu," ujar Franz memeluk ibunya.

Carol balas memeluk Franz, "kau ini sudah punya istri masih manja saja."

"Tidak boleh?" Franz pura-pura merajuk dalam pelukan ibunya.

"Dasar anak nakal! Bagiamana isrtimu bisa hamil jika setiap malam kau tidur bersama ibu," ucap Carol menyentil dahi Franz.

Franz terkekeh sambil mengusap dahinya, "dahiku bertambah lebar."

"Itu bukan urusan ibu, ngomong-ngomong apa benar belum ada tanda-tanda?" Carol memelankan suaranya, biar bagaimanapun yang dibicarakan serumah dengannya.

"Tubuhnya sudah penuh oleh tanda kepemilikanku, bu," ujar Franz dengan santainya.

Carol ingin sekali memilin daun telinga Franz, putranya yang satu ini seringkali memancing emosinya, "kau tahu bukan itu maksud ibu!" Pada akhirnya Carol menjewer telinga Franz.

"Ouch... ibu," rintih Franz kesakitan sambil mengusap telinganya yang memerah.

"Lalu untuk apa kau menikah cepat jika akhirnya ibu harus menunggu lama untuk mendapatkan cucu," gerutu Carol lalu beranjak menuju kamarnya.

Franz mengikuti ibunya dari belakang, ia tahu bagimana ibunya menginginkan cucu. Walau ia membawakan Nasya sekalipun rasanya pastinya berbeda.

"Aku mau tidur disini," sela Franz dan ikut masuk dalam selimut ibunya.

Carol membiarkan Franz tidur dengan lelap di sampingnya. Kapan lagi putrnya itu menempel padanya, "apa ibu perlu menina bobokan kau?" goda Carol.

"tidak perlu cukup peluk aku saja," ucap Franz diantara kantuknya.

Carol memeluk Franz dan menepuk punggung lebar milik putranya. Bocah yang dulu hanya sebesar lengannya, kini sudah lebih tinggi darinya dan lebih besar. Tidak terbayang ia masih bisa memeluknya dan mencium sesuka hatinya.

"Ibu?"

"Kau belum tidur? Besok kau ke kantor ayo tidur! Apa kau mau menyusu pada ibumu, heh?" kekeh Carol menepuk kepala Franz.

"Kepala tampanku bisa hilang jika ibu terus memukulku," keluh Franz masih dengan memeluk ibunya.

"Sejak kapan kepala bisa tampan, Franz. Kau ini, cepat tidur jika tidak bisa tidur kembali ke kamarmu dan menyusu pada istrimu sana," marah Carol.

Franz terkekeh, tahu jika ibunya tak benar-benar marah, "ibu?"

"Apalagi?"

"Apa aku sudah bilang, aku sayang pada ibu."

Carol hampir menitikan airmatanya, namun sekuat tenaga ia menahan agar tak terlihat oleh Franz, "setiap hari kau mengatakannya, ibu juga menyangimu, Franz. Ayo tidur," ujar Carol serak.

"Ibu?"

"Franz! Ibu bisa menendangmu dari sini sekarang juga," ujar Carol bersiap melaksanakan ucapannya.

"Bagaimana menjadi seorang ayah?" Tanya Franz pelan dan cepat.

"Kau bisa belajar dari Max, oh kau juga sedang belajar menjadi ayah untuk Nasya. Cepat tidur," ucap Carol sambil memejamkan matanya.

Franz ikut memejamkan matanya, meskipun ia tidak mendapat jawaban yang diinginkannya namun, setidaknya ia bisa sedikit lega.

***

"Apa kau suka roti isi strawberry?" tanya Alexi pada Nasya yang duduk disampingnya. Saat bangun tadi anak itu juga ikut membuka matanya.

Nasya mengangguk sambil mengunyah roti dipiringnya.

"Aku tidak tahu apa yang kau makan setiap pagi, jadi aku memberimu roti, syukurlah jika kau suka," guman Alexi.

Alexi beranjak dari duduk lalu mulai menyiapkan bahan-bahan untuk membuat sarapan. Sudah menjadi kebiasaanya untuk menyiapkan segala sesuatu untuk seisi rumah. Ia tak cangung lagi menguasai dapur Carol, seperti sekarang saat dua lengan melingkar indah pada perutnya. Ia sudah tak kaget lagi, karena Franz selalu melakukannya saat dirinya tengah memasak atau sekedar berdiri di halaman belakang.

"Halo baby Nasya." Franz menyapa Nasya meskipun posisinya kini sedang memeluk Alexi.

"Franz lepaskan tanganmu dulu, aku sulit bergerak," ucap Alexi, ia akan menuangkan jus tapi Franz membelenggu tubuhnya.

"Kau tidur nyenyak semalam," ucap Franz tanpa melepaskan pelukkannya

"Itu pertanyaan atau pernyataan, kenapa terdengar menyebalkan," sungut Alexi teringat semalam dirinya benar-benar tidur sendiri.

"Oh kau marah sekarang, semalam kau mengusirku," ejek Franz mencium pipi Alexi.

"Itu karena kau menyebalkan," sungut Alexi tak mau kalah, semalam itu bukan salahnya tapi salah Franz.

"Tapi kau menolakku," ucap Franz terdengar merajuk.

"Kau yang menyebalkan Franz, bagimana kau mengajakku bercinta sedangkan Nasya tidur bersama kita," jerit Alexi tanpa sadar.

Franz segera menutup mulut Alexi lalu melirik pada Nasya, beruntung anak itu masih sibuk dengan roti dipiringnya, kemungikan anak itu tidak mendengar ucapan Alexi.

"Maaf, kau duluan yang memulai," bisik Alexi ikut melirik Nasya.

"Aku hanya mengodamu tadi, jangan marah," ujar Franz lalu melepaskan pelukannya.

"Ramai sekali kalian ini," celetuk Carol lalu menghampiri Alexi.

Alexi tersenyum lalu melanjutkan menyiapkan sarapan. Tak lama ia selesai dengan pekerjaanya dan segera menuju meja makan untuk sarapan bersama.

"Alexi kau belum ada tanda-tanda?" Tanya Carol mengulang pertanyaanya yang diajukan pada Franz semalam.

"Sudah ku bilang seluruh tubuhnya sudah kutandai," sela Franz dengan mulut penuh.

"Kau ini, sudah lanjutkan makan jangan menyela ucapan ibu," delik Carol pada Franz.

"Oh iya Alexi, benar seperti ibumu bilang, apa belum ada tanda." Kali ini nenek Haney juga ikut menimpali.

Mendapat serangan pertanyaan dari dua kubu membuat Alexi kebingungan, belum lagi wajah-wajah penuh pengharapan dari kedua orang tua itu. Akhirnya Alexi hanya mengeleng sebagai jawaban, karena memang itu kenyataanya. Lagipula masih terlalu dini jika harus memikirkan itu.

"Coba konsultasi saja dengan dokter," ucap Carol selanjutnya.

"Iya bu," jawab Alexi tersenyum pada ibu Franz. Alexi lalu menatap Franz yang tidak membantunya sama sekali malah sibuk dengan Nasya.

***

Alexi mengaduk kantong belanjanya kemarin dengan kesal, sampai berhamburan dimana-mana. Ia kesal karena Franz, yang tak membantunya sama sekali. Saat melihat wajah penuh kecewa dari ibunya dan neneknya, ia merasa bersalah dan kesal pada dirinya lalu melampiaskannya pada semua baju-bajunya.

"Ya ampun dimana, aku tak menemukannya," jerit Alexi marah dan melampar kantong belanjaanya.

Franz masuk lalu menatap Alexi yang duduk disisi ranjang. Dilihatnya keadaan kamar yang seperti kapal karam, berantakan. Pintu lemari terbuka dengan baju yang sudah tak terbentuk lagi, sebagian terongok dilantai dan sebagian tersebar diranjangnya. Belum lagi Alexi yang duduk disisi ranjang dengan tubuh bergetar.

Franz mendekati Alexi lalu memeluknya, meski ia tak tahu apa penyebab Alexi tampak begitu tersiksa. Tangannya mengelus bahu Alexi yang bergetar.

"Sudah hilang, hilang aku menghilangkannya," jerit Alexi sesenggukan. "Franz aku ceroboh, kau seharusnya marah padaku jangan memelukku, aku menghilangkannya," racau Alexi lagi.

Franz melepas pelukannya dan memaksa Alexi agar menatapnya. Wajah Alexi merah dan basah oleh air mata dengan lembut Franz mengusapnya, "ada apa? Kenapa kau begini, hmm."

"Aku menghilangkanya, aku menghilangkannya apa kau dengar!"

"Apa yang kau bicarakan? Kau menghilangkan apa?" Franz tak sadar membentak Alexi.

"Pink, baby pink yang kau beli aku menghilangkannya," ucap Alexi susah payah menahan isakannya.

Franz tak mengerti apa yang diucapkan Alexi, dan baby pink, apa itu? "Hei bicara yang jelas, aku tak mengerti maksudmu dan tolong berhenti menangis, jika kau terluka karena perkataan ibu aku minta maaf."

"Bukan itu, aku menghilangkannya, baju itu kesukaanmu," ucap Alexi semakin tidak jelas diantara isakannya.

Franz menghela napasnya lalu kembali memeluk Alexi, "aku bisa membelinya lagi jangan menangis, aku akan membelinya beserta toko dan penjaganya."

Alexi mendongak dan menatap Franz, "kau mau membeli tokonya?"

"Jika kau mau."

"Lalu penjaga tokonya?"

"Aku beli juga."

"Gila," ucap Franz sambil memukul bahu Franz.

"Yang penting kau berhenti menangis," ujar Franz lalu melepaskan pelukannya. Franz mulai berjalan memunguti baju yang berserakan, ia jadi teringat dengan kegilaan Max dulu. Pantas saja Alexi dan Max tidak pernah akur, mereka sama-sama gila.

"Alexi," pekik Franz tiba-tiba.

Alexi menolehkan wajahnya yang semula tenggelam dalam bantal, "hmm?"

"Aku tahu yang menyebabkan kau dan Max tak pernah bisa akur, kalian sama-sama gila dengan mengamuk seperti ini," kekeh Franz.

Alexu melempar Max dengan bantal, dangan wajah marah Alexi bangkit dan menerjang Max, "kau mengataiku gila, ini rasakan, rasakan," jerit Alexi membabi buta menjambak rambut Franz.

Franz susah payah menangkis Alexi yang terus menyerangnya, dan dengan gerakan cepat saat Alexi mulai kehilangan keseimbangan, Franz menahan punggung Alexi agar tidak jatuh. Ia membawa Alexi duduk dipangkuannya. Dirapikannya anak rambut Alexi yang berantakan.

"Kau mengerikan," ucap Franz mencium pipi Alexi, "jangan lagi berbuat seperti ini, kau tahu menyusun baju-baju ini membutuhkan waktu lama dan itu artinya semakin lama aku membuang waktuku yang seharusnya untuk memeluk dan menyentuhmu," ujar Franz menyapukan bibirnya pada dahi Alexi.

"Mesum," protes Alexi namun tetap menerima perlakuan Franz. Sedikit menyesal karena membuat kamar Franz berantakan.

"Alexi apa aku sudah pernah bilang aku mencintaimu," bisik Franz ditelinga Alexi.

Alexi merinding mendengar bisikan itu, "apa aku salah dengar?" tanya Alexi ragu meskipun hatinya kini bersorak gembira. Sejak menikah dengan Franz kalimat itu yang ini Alexi dengar.

"Tidak, ku rasa aku sudah jatuh cinta padamu, jadi bagaimana apa aku mendapat hadiah?"

"Tentu saja, kau boleh mengeluarkannya di dalam," ucap Alexi dengan tawa lucu.

"Tenang saja, ini bukan karena ibu. Tapi aku benar-benar mencintaimu," ucap Franz mulai menciumi wajah Alexi dan merebahkannya di ranjang.

Alexi merasa dunianya melayang, mendapat cinta Franz pria aneh dengan segala kebaikan hatinya yang membuatnya bahagia lagi Franz sudah mencintainya dan itu artinya Franz seutuhnya miliknya. Tidak ada bayang-bayang wanita di masalalu pria itu.

***

Franz merasakan miliknya berkedut dalam lubang milik Alexi. Sebentar lagi ia akan sampai pada puncaknya. Tiba-tiba Alexi mendorongnya kuat sehingga cairannya tumpah bukan didalam tubuh Alexi seperti keinginannya. Franz menatap marah Alexi bisa-bisa wanita itu berbuat seperti itu, bukankah Alexi istrinya.

"Aku memang istrimu, tapi kau tidak bisa mengerluarkan milikmu padaku selama hatimu masih ragu," jelas Alexi diantara sisa-sisa tenaganya, bagian bawahnya sakit tapi hatinya lebih sakit mengetahui suaminya belum sepenuhnya miliknya.

"Kau?" Ucap Franz tertahan, "bagaimana denganmu, hatimu apa aku bisa percaya?" Sinis Franz. Alexi menikah dengannya dengan alasan konyol tak masuk akal sama seperti dirinya terdesak keinginan orang tua.

"Tidak ada wanita yang tidak jatuh cinta padamu, Franz. Termasuk aku dan saat aku sekuat tenaga membentengi diriku kau begitu gigih berusaha menerobosnya. Hingga akhirnya kau melamarku aku begitu senang tapi aku sadar hatimu bukan untukku," ucap Alexi teringat saat Franz menangis pilu dalam apartemen sambil meneriakan nama kekasihnya.

"Kau boleh bercinta denganku sepuasmu, tapi jangan keluarkan apapun milikmu pada rahimku selama kau belum mencintaiku," ujar Alexi manatap Franz berani.

Franz kaget mendengar penuturan Alexi, ia tak tahu lagi harus berbuat apa, dipeluknya tubuh polos Alexi, "buat aku mencintaimu dangan caramu, bila perlu pukul saja aku hingga aku pingsan," kekeh Franz.

"Jadi?" Tanya Alexi.

"Kita akan bercinta sampai malam dan aku berjanji tak akan mengeluarkannya di dalam sampai aku mencintaimu."

Alexi mengangguk lalu kembali tenggelam dalam buaian Franz. Biarlah seperti ini dulu batin Alexi.

***

"Rasanya aneh saat kau mengeluarkannya di dalam tubuhku," ucap Alexi pelan sambil menggumpulkan tenaganya.

Franz tersenyum lega, "aku mengeluarkan banyak sekali sampai lubangmu tidak muat menampungnya, " kekeh Franz.

"Jadi kau sudah mencintaiku?" Tanya Alexi takut-takut.

"Tidak, tapi aku sangat mencintaimu, aku akan mengatakannya setiap hari padamu," ujar Franz lalu kembali bangkit dan menindih Alexi.

Dan selanjutnya tidak ada pembicaraan hanya kata-kata cinta yang meluncur dari bibir Franz yang sanggup membuat Alexi melayang dan mengerang.

Terima kasih sudah menyempatkan membaca dan memberi voment. Dan jika tulisan saya tidak sesuai selera silahkan cari cerita lain, sekian dan terima kasih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro