part 8
Acara makan malam selesai, keluarga Max juga sudah pulang. Carol dan nenek Haney sudah masuk ke dalam kamar untuk beristirahat, begitu pula Alexi.
Masih jelas dalam ingatan Alexi tatapan tidak suka dari mata Max yang di tunjukan padanya. Alexi tidak tahu apa salahnya sehingga Max seakan sedang menghakiminya. Padahal dirinya tidak sedang menatap Nasya, tapi sepertinya Max selalu mengawasinya.
"Ada apa denganmu?" tanya Franz penasaran karena sejak makan malam tadi Alexi kelihatan gelisah.
"Aku tidak apa-apa," jawab Alexi. Ia tak mau membuat semua menjadi salah paham, biarlah ia mencari tahu semuanya sendiri.
Franz menarik Alexi lebih dekat dengannya kemudian memeluknya, "kita akan saling mengenal jika kau selalu terbuka denganku," bisik Franz mencium pucuk kepala Alexi.
Alexi terdiam sejenak, haruskah ia menceritakan ketidaksukaan Max padanya tanpa alasan yang jelas. Tapi belum tentu Max tidak suka padanya, bisa jadi hanya perasaannya saja.
"Hei, malah melamun," tegur Franz menangkup wajah Alexi dengan kedua tangannya, "ada sesuatu yang menganggumu?"
Alexi melepas tangan Franz lalu kembali bersandar pada dada Franz. Berpikir sejenak lalu ia teringat malam itu, saat pertama kali bertemu dengan Franz.
"Franz...."
"Hm,"
"Kenapa malam itu kau mabuk?" Akhirnya Alexi mengungkapkan rasa penasarannya.
"Kapan? aku tidak pernah mabuk, ibu bisa menghukumku."
Alexi menegakkan punggungnya bersender pada kepala ranjang. Jika ingin saling mengenal maka harus terbuka, mungkin inilah saatnya. Tapi kenapa Franz pura-pura lupa?
"Malam itu, saat setelah pesta Rocky," jelas Alexi. Malam itulah pertama kalinya ia melihat Franz dan membawa pria itu ke apartemen.
"Aku tidak tahu kau teman Rocky," sahut Franz menatap Alexi. Mata Alexi mengingatkan Franz akan gadis itu, "kau ada di pesta itu juga."
"Anne mengajakku, jadi sebagai teman yang baik aku setuju saja, setelah pesta usai dia langsung pulang dan saat aku akan pulang, salah satu pelayan menarik diriku padamu yang terkapar, kau mengenaskan sekali," ejek Alexi. Malam itulah Alexi melihat Franz menangis sebelum pria itu tidur, karena kasihan Alexi akhirnya menemani Franz, tapi justru ia yang dibuat tak bisa tidur hingga hampir pagi.
"Oh malam itu, itu adalah kebodohanku untuk yang sekian kali," kilah Franz serata menerawang.
"Jadi bertemu denganku adalah suatu kebodohan," ucap Alexi tak bisa menutupi rasa terkejutnya.
"Bukan bagian saat aku bertemu denganmu, tapi bagian saat aku mabuk dan ya seperti yang kau bilang aku sangat mengenaskan," kekeh Franz, "malam itu aku tak menyakitimu kan? Asal kau tahu aku jika tengah mabuk bisa berbuat sesukaku," lanjut Franz.
"Sebenarnya hampir saja, tapi aku langsung memukul kepalamu sampai pingsan. Maaf ya," ujar Alexi merasa bersalah.
"Pantas kepalaku pusing, ternyata kau yang memukulku ya?" Franz memicingkan mata dan langsung mendekap Alexi kembali. "Lalu kenapa saat di kantor kau menjadi wanita menyebalkan," tanya Franz tanpa melepaskan Alexi yang meronta dalam dekapannya.
"Soal itu, karena aku teringat kau menciumu saat mabuk aku jadi malas melihat wajahmu," ucap Alexi susah payah karena Franz menghimpit tubuhnya.
"Dasar gadis nakal, kena kau." Franz mengujani Alexi ciuman tanpa henti membuat Alexi kehabisan napas.
"Franz hentikan," kata Alexi dengan napas terengah-engah.
"Apa aku masih menyebalkan dimatamu?"
Alexi menggeleng, "sedikit."
"Kau ini, seharusnya berbohong sedikit agar aku senang."
"Aku tidak suka kebohongan, walau jujur itu menyakitkan tapi aku bisa terima dan kau Franz kebohongan apa yang sedang kau lakukan saat ini?" Tanya Alexi.
Franz terkejut dengan pertanyaan Alexi, wanita itu memang aneh sejak awal jadi Franz seharusnya tak perlu kaget. "Ku ini bicara apa, aku tidak sedang berbohong."
"Sungguh?" Desak Alexi.
"Sungguh." Franz mengangkat tangannya ke udara pertanda ia benar-benar jujur saat ini.
"Kau menikah denganku bukan untuk menganti sakit hatimu, bukan?" Tanya Alexi lagi kali ini berhasil membuat Franz diam dan melepaskan pelukannya.
"Darimana kau tahu? Kau ini titisan cenayang?" Kekeh Franz.
"Tadi itu aku hanya menebak, jadi benar ya. Kasihan sekali diriku ini," ucap Alexi terlihat sedih.
Franz segera memeluk Alexi lagi, "awalnya memang seperti itu. Kau dan dia hampir sama saat pertama kali bertemu, tapi aku sadar kalian dua orang yang berbeda," Franz menjeda ucapannya untuk melihat wajah Alexi, diciumnya wajah yang sangat mengemaskan milik Alexi, "kau tidak marah atau ingin memukulku?"
Alexi balas mencium Franz, "untuk apa? Itu adalah masa lalumu aku tidak bisa merubahnya. Dan aku senang kau mau membaginya denganku."
Franz terkekeh semakin membenamkan wajahnya pada lekukan leher Alexi. Ternyata hatinya tak salah saat mengamumi seorang Alexi dari pertemuan kedua mereka. Alexi wanita yang baik. "terima kasih sudah mau mengerti diriku, tapi percayalah saat aku sudah memilihmu berarti hanya ada kau dihatiku."
"Kau mau melupakan ibumu? Kau kan sangat manja dengan ibumu bahkan pada nenek juga," kekeh Alexi.
Franz mengigit bahu Alexi karena gemas, saat serius seperti ini Alexi malah bercanda dan hasilnya Alexi mendorongnya hingga menabrak kepala ranjang. Franz tertawa hingga perutnya sakit melihat wajah Alexi marah karena gigitannya.
"Maaf, kau menggemaskn jadi aku ingin mengigitmu," ucap Franz sambil berusaha meraih Alexi kembali padanya.
Alexi mendekat dan memukul wajah Franz dengan bantal, "Franz tadi itu sakit kau tahu," sungut Alexi.
"Maaf, tubuhmu mengundangku sayang." Franz mengusap bekas gigitannya. Alexi mengunakan kaos tanpa lengan yang membuat bagian itu mengodanya.
"Ya... ya... kau jangan dekat-dekat aku mau tidur, nanti kau lupa dan mengigitku lagi. Kau ini seperti tokoh film yang suka mengigit saja," dengus Alexi mulai menaikan selimut hingga leher.
Franz tidak mengacuhkan Alexi dan masuk bersama dalam selimut. Alexi ingin mengomel lagi tapi Franz sudah membungkam mulut Alexi dengan ciumannya. Dan kegiatan selanjutnya hanya mereka yang tahu.
***
Alexi sudah rapi dengan kemeja berlapis blezer dan celana panjang, siap untuk memulai harinya, mencari tempat kerja baru. Alexi melangkah keluat kamar dan menemukan Franz masih duduk di meja makan.
"Kau belum berangkat?" tanya Alexi, padahal ia sengaja berangkat lebih siang agar Franz tak mengetahuinya.
"Aku sedang menunggumu," jawab Franz santai sambil meminum jusnya.
"Menungguku? Kantor kita berbeda arah." Dalam hati Alexi tertawa kantor mana? Bahkan ia sudah diberhentikan, mengingat itu hatinya kembali sedih.
Franz menarik kursi meja makan agar Alexu bisa duduk. Tanpa disuruh Alexi duduk lalu mulai mengambil roti dan memakannya begitu saja.
Melihat Alexi makan dengan tidak semangat seperti itu membuat Franz merasa kasihan, namun ia tetap melanjutkan makannya.
"Aku tidak melihat ibu, kemana ibu?"
"Ada, itu ibu," tunjuk Franz pada ibunya yang baru saja memasuki dapur.
"Ibumu baru bangun?" bisik Alexi pada Franz.
Franz mengangguk, "kenapa?"
"Jadi kau menyiapkan jusmu sendiri?"
"Siapa lagi? Aku sudah terbiasa."
Alexi mengeleng, "kenapa tidak membangunkanku, aku bisa membuatkan untukmu," protesnya.
"Kalian ini bicara saja bisik-bisik," ucap Carol kemudian bergabung di meja makan bersama anak dan menantunya.
"Sudah rapi kalian berangkat bersama?" Tanya Carol.
"Tidak."
"Ya."
Carol menatap curiga anak dan menantunya, "kalian tidak berangkat bersama, bukan kah Franz bilang...,
"Ibu, kami berangkat bersama, tenang saja," sela Franz cepat.
Alexi melirik Franz disampingnya, "tapi kantor kita berbeda arah Franz," ucap Alexi.
"Berbeda arah?" Kali ini Carol tidak dapat menyembunyikan rasa kagetnya, ditatapnya wajah putranya meminta penjelasan.
"Ibu tenang saja, semua beres. Ayo sayang, kita berangkat."
Franz menarik tangan Alexi agar bangkit mengikutinya, "ibu aku pergi, hati-hati di rumah," pamitnya.
Alexi hanya diam mengikuti Franz untuk masuk dalam mobil. Hingga mobil sudah melaju kencang dijalan raya, Alexi masih saja sibuk dengan pikirannya sendiri. Sesekali melirik pada Franz yang sedang fokus menyetir.
"Tidak perlu mencuri padang padaku, kau tampak seperti pencuri, jika begitu," ucap Franz tanpa melihat Alexi, sedari tadi ia sadar Alexi terus melirik padanya tanpa berkata apapun, dan hal itu cukup menganggunya, "kau kenapa? Tidak suka jika suamimu mengantarkan ke kantor, atau kau takut pria yang suka padamu jadi berkurang karena mengetahui kau sudah menikah."
Ucapan datar Franz mungkin tidak berpengaruh bagi orang lain, tapi tidak bagi Alexi yang merasa tertuduh, "kenapa kau berbicara seperti itu? dan tentang pria yang menyukaiku memang banyak tapi aku tidak berpikir untuk menyukai mereka, jadi jangan pernah berpikir seperti yang ada di kepalamu," ucap Alexi dengan napas naik turun, wajahnya sudah merah karena menahan amarah yang bisa meledak kapan saja, ia benci dicurigai.
Tanpa Alexi sadari Franz tersenyum dibalik kemudinya, dan tetap melajukan mobilnya menuju kantor Mr. Smith.
"Franz," panggil Alexi panik karena sebentar lagi sampai.
"Kenapa?" Tanya Franz.
Pertanyaan Franz tak dijawab oleh Alexi yang sudah pasrah bersandar pada jok mobil. Terlambat, mobil sudah berhenti tepat di pintu utama gedung kantornya.
"Kau tidak mau turun?"
Pertanyaan Franz menyentak Alexi dan mau tidak mau ia harus turun. Alexi berjalan tanpa semangat, membanyangkan mejanya sudah ditempati oleh orang lain membuatnya tak bertenaga. Selama tiga tahun ia menempati posisi itu, dan suka duka saat bekerja terukir jelas diotaknya, dan dalam sekejap posisi itu sudah diambil orang tanpa sepengetahuannya.
"Tanganmu dingin sekali," ucap Franz menuntun Alexi masuk dalam lift.
Alexi tidak tahu kapan Franz mulai mengenggam tangannya karena terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.
Sampai di lantai yang dituju, Franz membawa Alexi menuju ruangan Mr. Smith.
"Pagi, paman Smith." Ya sejak hari pernikahan Franz membiasakan dirinya memanggil Mr. Smith dengan sebutan paman.
"Pagi, Franz dan Alexi, wow kalian tampak serasi," puji Mr. Smith lalu pandangannya menatap pada Alexi yang sedari tadi mengalihkan tatapan, "Alexi?"
"Ya, Mr," jawab Alexi.
Franz mengacak rambut Alexi karena saat ini Alexi terlihat mengemaskan. "Ah paman, istriku sejak kemarin bersedih, paman bisa jelskan kenapa?"
"Oh, mungkin dia terlalu mencintai pekerjaannya."
"Tapi aku tak mungkin membiarkannya jauh dariku, jadi aku terpaksa memutuskan agar dia meninggalkan pekerjaanya."
Alexi terdiam mencerna ucapan Mr. Smith dan Franz yang rasanya sangat aneh. Mereka tidak membicarakan kontrak kerja melainkan sedang membicaraknnya. Alexi mengerti sekarang, kenapa tiba-tiba dia dikeluarkan itu semua karena ulah Franz.
"Alexi, terima kasih telah bekerja dengan perushaan paman, kau sangat pintar dan berbakat, sejujurnya paman sulit melepasmu tapi suamimu mengancam melepaskan kontrak kita jadi paman terpaksa melepasmu," kekeh Mr. Smith.
Alexi mengangguk mengerti, "seharusnnya paman mengikatku bukan menyerahkanku pada pria bodoh disampingku," ucap Alexi melirik Franz.
Franz dan Mr. Smith tertawa mengangapi ucapan Alexi. Kemudian acara berlanjut dengan bincang-bincang Franz dan Mr. Smith mengenai perusahaan. Alexi duduk sambil memikirkan bagaimana memberi pelajaran pada Franz yang telah membohonginya.
***
"Kenapa kau melakukan itu tanpa membicarakannya lebih dulu denganku," tanya Alexi ketika sudah sampai di ruangan Franz.
Franz melepas jas dan mengulung lengan kemejanya, sudah ia kira sebelumnya Alexi pasti marah. Tapi mau bagaimana lagi ia hanya ingin berada dekat dengan Alexi. Jika meminta persetujuan Alexi lebih dulu, pasti wanita itu akan menolak idenya.
"Franz!"
"Oke aku minta maaf, aku hanya ingin memantaumu. Dengar Alexi, aku melakukan ini untuk kita, aku ingin lebih bisa mengenal dirimu."
"Kita bertemu di rumah, kau bisa bercerita apapun tanpa memaksaku untuk berhenti kerja," ucap Alexi mengeluarkan emosi yang sudah ditahannya sejak tadi.
"Kau tidak berhenti kerja sayang," ujar Franz mendekati Alexi lalu mengurung istrinya dalam pelukannya, "kau hanya berpindah tempat kerja, kau sekarang menjadi asistenku," ucap Franz dengan suara gembira yang tak bisa ditutupi.
"Aku tidak mau!"
Franz melonggarkan pelukannya dan menatap wajah Alexi, "kenapa kau tidak mau bekerja denganku?"
"Kau tidak bisa seenaknya seperti itu, aku tak mau karyawan lain iri karena aku dengan mudahnya masuk dan menjadi asistenmu, aku merasakan bagaimana susahnya untuk mendapatkan perkerjaan Franz," jelas Alexi.
"Jadi?" Tanya Franz dengan alis bertaut keatas, ia masih belum paham dengan ucapan Alexi. Menurutnya tidak salah mengangkat alexi menjadi asistenya karena Alexi istrinya.
"Kau ini bodoh atau apa? Kenapa bisa menjadi wakil pemimpin di sini," ejek Alexi.
"Hei kau menghinaku ya." Franz mengigit pipi Alexi hingga menimbulkan bekas disana.
"Franz!" bentak Alexi sambil mengusap pipinya.
"Maaf, kau yang mulai, sayang. Menurutku tidak akan ada yang iri denganmu karena kau istriku jadi sah-sah saja kau menjadi asistenku."
"Karena aku istrimu, aku tidak mau."
"Jadi aku harus bagaimana?"
"Aku akan mengikuti seleksi jika aku memenuhi syarat untuk menjadi asistemu aku akan menerimanya, tapi jika tidak aku menerima ditempatkan dibagian lain," jelas Alexi lagi.
"Hm begitu ya, tapi kau pintar pasti kau bisa memenuhi syarat itu," ucap Franz lalu kembali memeluk istrinya.
"Sejak kapan kau membutuhkan asisten?" Ucap Max diambang pintu.
Alexi segera melepaskan pelukannya namun ditahan oleh Franz jadilah ia bertahan dalam pelukkan suaminya.
"Kau tidak mengetuk pintu Max," ucap Franz.
"Sejak kapan kau butuh seorang asisten?" Tanya Max tanpa memperdulikan ucapan Franz sebelumnya.
Franz terpaksa melepaskan pelukannya pada Alexi, "mulai sekarang Alexi asistenku, Max. Jika kau mau Shanne juga bisa menjadi asistenmu," jelas Franz.
"Terserah kau saja, dan jangan selalu berpelukan seperti itu jika karyawan lain lihat apa jadinya," dengus max lalu kemudian pergi.
"Bilang saja kau iri, kau tidak bisa memeluk istrimu saat bekerja," teriak Franz sambil tertawa.
"Franz,"
"Ya."
"Max sepertinya tidak suka padaku," ucap Alexi akhirnya.
"Memang terlalu curiga pada orang, kau tenang saja dia pria baik."
"Hm, begitu ya."
"Alexi," panggil Franz dengan suara serak.
Alexi menatap Franz bingung, lalu selanjutnya badannya melayang karena Franz mengendongnya dan merebahkan dirinya di sofa.
"Kita belum mencobanya disini bukan," ujar Franz usil.
Alexi menggeleng, lalu menarik leher Franz, "kau sudah menguci pintunya?" Bisiknya.
Franz beranjak dari tubuh Alexi dan bergerak menuju pintu tepat saat itu pintu kembali terbuka.
"Meeting lima menit lagi," ucap Max lalu pergi begitu saja.
Franz mengacak rambutnya frustasi, lalu menghampiri Alexi, "sepertinya harus ditunda, sayang. Kau tidak papa?"
Alexi mengangguk, lalu Franz memberi kecupan pada bibir Alexi sebelum pergi. Franz bertekad menyelesaikan meetingnya dengan cepat.
Terima kasih vomentnya...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro