part 4
Pagi-pagi sarapan yang manis-manis enak kali *maklum efek laper
Saya datang bawa yang pasangan manis *eak
Prok... prok... prok..
Yuhu terima kasih yang udah vote dan koment dan buat yang cuma liat² *kalian nambah viewer/ sebenernya saya lebih suka komen.
Tapi yasudahlah teserah kalian mau komen mau vote atau mau tengok doang
Yup gk usah lama2
Cuz...
Pukul tujuh malam Franz kembali lagi mengunjungi nenek Haney. Seperti biasa setelah pulang bekerja Franz menyempatkan diri untuk ke rumah nenek Haney. Walau harus menempuh jarak yang cukup jauh, karena rumah nenek Haney tidak searah dengan rumahnya namun, tidak menyurutkan niatnya.
Yang berbeda dari malam sebelumnya, kali ini Franz datang dengan sebuah kantong berlabel nama restoran. Pria itu membeli beberapa menu makanan di restoran terdekat.
Saat memasuki halaman rumah Haney, Franz tidak melihat mobil Alexi terparkir. Keraguan mulai menggerogoti hati Franz, ia berpikir jika Alexi malas melihat wajahnya dan wanita itu berniat menghindarinya. Mengingat kedatangan Franz hampir setiap malam, dan kala itu Alexi akan bersembunyi di dalam kamar, wanita itu benar-benar tak memberi Franz kesempatan untuk sekedar menyapa. Namun bukan Franz jika langsung menyerah, sebelum Alexi sendiri yang mengusirnya.
Franz tetap pada tujuan awalnya, ia pun mulai berjalan mendekati teras rumah Haney. Saat Franz akan mengetuk pintu, terdengar suara mobil Alexi memasuki halaman rumah. Wanita muda itu turun dan berjalan semakin dekat kearahnya. Dapat Franz lihat raut lelah dari wajah Alexi.
Apa pekerjaanmu terlalu berat, apa harimu tidak menyenangkan.
Franz tersenyum menayambut Alexi yang sudah berada di dekatnya. Tanpa Franz duga Alexi tersenyum walau dengan wajah lelah.
"Kau baru pulang?"
Franz merutuki mulutnya yang begitu saja bertanya, bahkan pertanyaannya tak memerlukan jawaban. Karena bisa Franz lihat Alexi memang baru pulang.
"Hmm," jawab Alexi singkat sambil mendorong pintu.
Franz masuk mengikuti Alexi, lalu menutup pintu. Duduk di ruang tamu minimalis dengan sofa berwana pink, yang sempat membuat matanya sakit.
Franz melihat keadaan begitu sepi, sama seperti di rumahnya, yang juga hanya di huni oleh ibunya. Franz tak bisa membayangkan wanita setua Haney harus melalui hari seorang diri sambil menunggu cucunya pulang. Lalu bagaimana jika sesuatu terjadi dengan nenek Haney. Dan bagaiman jika hal itu terjadi pada ibunya yang juga sama seperti nenek Haney. Sejenak Franz sadar, sudah lebih dari dua minggu, ia mengabaikan ibunya hanya demi menemui Alexi.
"Franz."
Jari-jari mulus Alexi bergoyang di depan wajahnya. Ia terkesiap dan tersenyum canggung.
"Kau melamun?" Alexi mengamati Franz yang terdiam, hal itu cukup membuatnya heran, karena biasanya pria itu cukup pandai mengunakan mulutnya untuk berbicara.
"Alexi, aku membawa makanan," ucap Franz akhirnya.
Franz menghampiri Alexi, berdiri hadapan wanita itu sambil memberikan bungkusan.
"Aku tidak melihat nenek, apa dia tidur?" Lanjutnya lagi.
Alexi menganguk sebagai jawaban. Kemudian wanita muda itu meletakkan makanan dari Franz lalu mengambilkan pria itu segelas air putih. Ini tidak pernah terjadi selama Franz berkunjung. Namun, sepertinya malam ini Alexi mencoba berbaik hati pada Franz.
"Minumlah," ucapnya menyerahkan gelas air putih.
Franz tersenyum lalu meminum air hingga tandas, "terima kasih." Franz meletakkan gelas diatas meja.
Keheningan menyelimuti dua insan berbeda usia tersebut. Alexi yang biasanya tak pernah menyambut kedatangan Franz, merasakan aura kecanggungan yang luar biasa. Alexi tak pernah mengamati Franz dan malam ini ia tak sengaja mengamati setiap gerik Franz. Pria itu hanya duduk, tidak ada suara tawa atau sekedar rayuan yang sering ia dengar dari balik pintu kamarnya. Ya, selama ini dirinya memang selalu membiarkan Franz ke rumahnya namun bukan untuk menemuinya tapi sang nenek. Alexi hanya menunggu hingga Franz pulang, baru dirinya akan keluar dari persembunyiannya. Dan malam ini Alexi bermaksud menemani Franz karena nenek Haney sudah tidur, ia merasa tak enak hati jika membiarkan Franz begitu saja.
"Sore tadi aku pulang, dan sudah memasak untuk nenek lalu aku kembali lagi ke kantor," ujar alexi memecah keheningan.
Franz tersenyum, "jika seperti itu kau saja yang makan makanannya."
"Kau sering memesan makanan seperti itu?" Tanya Alexi terdengar penasaran.
Franz menyamankan duduk dengan bersender pada kepala sofa, "ya, terkadang jika aku harus lembur maka aku akan memesan makanan."
"Jangan terlalu sering memesan makanan di luar, itu tidak sehat. Kau tak tahu berapa takaran garam, gula dan penyedap dalam setiap menunya," jelas Alexi.
"Mau tidak mau harus kulakukan jika tidak, cacing di perutku akan semakin gila."
Alexi tampak berpikir kemudian sebuah ide muncul di kepalanya, ia pun menatap Franz ragu.
"Kenapa menatap ku seperti itu?"
Franz mengamati Alexi yang menatapnya seolah dirinya makhluk luar angkasa.
"Tidak," jawab Alexi singkat.
Franz bangkit dan berjalan ke arah pintu, "sudah malam, istirahatlah dan jangan lupa mimpikan aku," kekeh Franz.
Alexi ikut terkekeh, tanpa ia sadari merindukan rayuan Franz.
"Franz..."
"Ya?"
"Terima kasih," ucap Alexi tulus.
Franz tersenyum dan mengacak rambut Alexi, "sepertinya kau salah minum obat, hari ini kau terlihat lebih manusiawi terhadapku," kekehnya.
"Sial kau," gerutu Alexi.
Franz mengacak rambut Alexi sekali lagi sebelum berlalu masuk dalam mobilnya.
Alexi menunggu hingga mobil Franz menjauh dari area rumahnya dan menghilang di jalan raya.
Alexi masuk ke dalam rumah, setelah menutup pintu Alexi bersandar pada pintu dibelakangnya, tangganya tanpa sadar menyentuh kepalanya, ternyata rasanya berbeda, saat ayahnya dulu sering mengacak-acak rambutnya, hingga dirinya harus berlari kearah ibunya untuk membetulkan tatanan rambutnya yang rusak.
Alexi duduk di ruang tamu kemudian menyalakan televisi, membiarkan tanyangan telenovela malam menemani dirinya. Sedetik kemudian Alexi sudah kembali ke masa kecilnya, dimana masih jelas dalam ingatannya saat itu, minggu pagi di musim semi. Alexi kecil duduk nyaman dalam pangkuan sang ibu, yang sedang menyisir rambutnya lalu ayahnya datang dari arah belakang langsung mengendongnya dan membawanya terbang seolah sebuah pesawat terbang. Alexi tertawa tubuhnya melayang di udara, membuat beberapa helai rambutnya keluar dari tatanan sebelumnya. Jepit rambut warna pinknya bahkan jatuh saat tubuhnya terayun di udara. Saat sang ayah menurunkan kembali, Alexi cemberut menatap ayahnya karena rambutnya kini tak berbentuk lagi. Sang ayah mendekatinya dan mencium bibirnya.
"Kau semakin mirip ibumu jika tengah merajuk seperti ini," ucap sang ayah.
Alexi mengusap bibirnya dan berlari mendekati sang ibu yang duduk terpaku. Alexi melihat setetes air mata yang dihapus dengan cepat oleh ibunya. Saat sudah berada di pangkuan sang ibu, Alexi menatap mata sang ibu yang dipenuhi oleh embun. Ibunya tengah menahan tangis, tapi kenapa itulah dalam pikirannya. Lalu Alexi menatap wajah ayanya yang tiba-tiba mengeras, wajah ayahnya berubah tak seceria saat mengendongnya.
"Ayah...," panggilnya. Rambutnya kini sudah tertata rapi lengkap dengan jepit pink disisi kanan kepalanya.
"Iya sayang."
Sang ayah menghampiri Alexi, kemudian kembali mencium Alexi sebelum pergi meninggalkan dirinya dan sang ibu di ruang tamu yang mendadak sunyi.
Alexi terisak diatas sofa membiarkan televisi menyaksikan dirinya menangis. Alexi menyesali kenangan yang tiba-tiba muncul. Andai dirinya tidak merajuk saat itu, pasti semua akan baik-baik saja.
Lama Alexi terdiam diatas sofa, mulai mengontrol kembali dirinya. Dihirupnya oksigen dalam-dalam dan membiarkan berhembus secara perlahan melalui mulutnya, Alexi terus melakukan itu hingga dirinya benar-benar tenang. Lalu Alexi mematikan televisi dan masuk ke kamarnya. Tanpa Alexi tahu Haney menyaksikan dirinya menangis, Haney ikut menangis, wanita tua itu merasa dirinya punya andil besar dengan apa yang terjadi pada anak dan menantunya dulu.
***
Setelah membersihkan diri, Franz duduk di meja makan, menatap makanan yang disiapkan ibunya. Dengan cahaya lampu dapur yang tamaram, Franz mulai mengambil nasi dan lauknya, sebenarnya ia sudah kenyang, namun ia tak mau membuat ibunya sedih jika besok pagi makanan yang sudah di siapkan ibunya masih utuh.
Dikunyahnya perlahan nasi dalam mulutnya, hingga benar-benar halus lalu ditelan. Franz menalan susah payah nasi itu, tenggorokannya seperti tak mampu menelan dengan benar. Franz sadar, mengapa ia tak berselara makan, dan itu karena ibunya. Jika biasanya sang ibu menemaninya makan meski selarut apapun. Akhirnya Franz cepat-cepat menghabiskan makananya. Setelah membereskan meja makan dan mencuci piring, Franz langsung menuju kamar ibunya.
Dibukanya pintu kayu dengan perlahan hingga tak menimbulkan suara yang mungkin bisa membangunkan ibunya.
Franz mengamati sang ibu yang tidur diatas ranjang dengan posisi membelakanginya. Franz ikut masuk dalam selimut sang ibu.
"Sudah pulang?"
"Maafkan aku ibu," ucap Franz lalu memeluk ibunya, "maaf mengabaikan ibu akhir-akhir ini."
"Tidak perlu minta maaf," kata Carol melepaskan pelukan Franz, "sebenarnya apa yang kau kerjakan selama ini?"
"Tidak ada, aku hanya menyelesaikan berkas-berkas sialan yang diberikan Max padaku," jawab Max bohong.
Helaan napas Carol terasa berat, "Franz jangan pikir ibu tak tahu, kau tidak sedang mengurusi pekerjaanmu di kantor, jadi katakan pada ibu, siapa dia?"
Franz tidak bisa lagi mengelak, sebenarnya ia ingin memberi kejutan pada ibunya, jika nanti dirinya berhasil mengambil hati Alexi.
"Namanya Alexi," ucap Franz sambil membayangkan wajah Alexi yang tersenyum padanya tadi.
Carol tampak menimbang kemudian menepuk bahu putranya, Ia senang karena akhirnya Franz bisa melupakan masalalunya.
"Alexi, apa dia cantik?"
Franz mengangguk.
"Ibu selalu tahu seleramu," kekeh Carol, "bawa dia pada ibu ya."
"Tapi bu..."
"Ibu tidak mau tahu, kau harus mengenalkannya pada ibu, oke," ucap Carol.
Bukan tanpa alasan Carol melakukan itu, memaksa bertemu dengan Alexi, Carol tidak ingin mengulangi kesalahannya dulu, saat Franz menjalin hubungan hingga jatuh terpuruk, sampai saat ini Carol tidak pernah melihat seperti apa wanita itu.
"Baiklah bu," ucap Franz terdengar terpaksa.
"Tenang saja, ibu akan membantumu mendapatkan dia," ucap Carol sambil mengenggam tangan Franz.
***
Alexi menatap Franz dengan kening berkerut, setelah menjadi tamu setiap malam di rumahnya pria itu kini muncul di tempatnya bekerja. Dan kehadiran Franz berhasil mengundang perhatian setiap mata yang menatapnya.
Selama ini Alexi di kenal sebagai sekretaris yang cukup disegani oleh rekan kerjanya. Tidak pernah terlihat jalan bersama seorang pria. Dan tiba-tiba saja Franz datang menemuinya membuat Anne -teman Alexi- bertanya usil padanya.
"Hentikan senyum menyebalkan itu Anne," kata Alexi pada Anne.
Anne semakin tersenyum dan tidak bisa menahan tawanya dan hal itu membuat Alexi ingin segara pergi dari ruang kerjanya. Entah apa yang ada dipikirannya saat Franz mengajaknya keluar, ia dengan begitu saja menyetujui ajakan Franz.
"Aku sudah menyelesaikan berkas ini, kau tinggal menyerahkan pada Mr. Smith," ucap Alexi memberikan setumpuk kertas pada Anne yang menyebalkan, "jangan tersenyum lagi," ancamnya, "aku akan segera kembali setelah urusanku selesai," lanjutnya kemudian meninggalkan Anne yang tertawa di ruangannya.
***
"Apa aku mengganggu waktumu?" tanya Franz sambil memeperhatikan jalanan di hadapannya.
"Tidak, kebetulan pekerjaanku sudah selesai," jawab Alexi.
Franz mengemudikan mobilnya dengan santai sesekali pria itu bersiul mengisi keheningan dalam mobil. dirinya yakin Alexi sudah mulai tertarik padanya, terbukti dari Alexi yang tak menolak ajakannya.
Memasuki kawasan rumahnya, Franz memelankan laju mobilnya, sedikit melirik pada Alexi yang sedari tadi hanya duduk diam sambil memgang erat sabuk pengaman.
"Tidak perlu gugup seperti itu, ibuku tak akan memakanmu," ucap Franz seakan tahu kegugupan Alexi.
Alexi mendengus sebal, "siapa yang gugup," ucapnya tanpa sadar semakin mengenggam erat sabuk pengaman yang melilit tubuhnya.
"Tidak ku sangka seorang Alexi bisa gugup juga," kekeh Franz.
Alexi tidak menjawab, ia lebih memilih menenangkan diri dengan melihat deretan rumah yang terlihat sama. Dimana sebenarnya rumah Franz batinnya.
Mobil berhenti pertanda jika mereka telah sampai tujuan. Franz tersenyum melihat Alexi masih dengan wajah gugupnya.
"Sudah kubilang tak perlu gugup," ucap Franz sambil mencoba membuka sabuk pengaman Alexi.
Alexi menepis tangan Franz, "jangan mengambil kesempatan tuan Franz."
Franz terkekeh kemudian membiarkan Alexi melepaskan sendiri sabuk pengamannya.
"Ayo, ibuku sudah menunggumu," ajak Franz.
Franz keluar dan berjalan lebih dulu tanpa melihat Alexi yang sedang susah payah melangkahkan kaki.
"Franz..., "panggil Alexi cepat.
"Ya, Ada apa?" Tanya Franz bingung melihat Alexi masih berdiri tak jauh dari mobilnya.
Tak mendapat jawaban dari Alexi, akhirnya Franz kembali lagi ke hadapan Alexi. Tangannya digunakan untuk mengandeng tangan Alexu yang terasa dingin.
Dia benar-benar gugup.
"Franz." Alexi memanggil Franz sekali lagi
"Aku akan mengantarmu kembali ke kantor," ucap Franz sambil mendorong tubuh Alexi masuk ke dalam mobil.
Franz kemudian berjalan mengitari mobil lalu masuk dan duduk di belakang kemudi.
Alexi menatap Franz dengan wajah bingung, masih kaget saat dirinya dipaksa masuk kembali ke dalam mobil. Dan apa yang Franz katakan barusan, pria itu akan mengantarnya ke kantor lelucon macam apa ini, batinnya jengkel.
"Franz! Sebenarnya apa maumu? Kau mengajakku untuk menemui orang tuamu tapi kau sendiri yang membatalkannya, kau bahkan datang ke kantorku, lelucon macam apa yang sedang kau tunjukan padaku," ucap Alexi menatap tajam Franz.
Franz mengentikan mobilnya yang sudah setengah jalan kemudian menepi agar tidak menganggu penguna jalan lain. Sebenarnya tadi ia hanya mengertak Alexi, ia sendiri tak yakin dengan rencananya. Tapi Rencanya berhasil, Alexi menghentikannya.
"Kau yang kenapa? Kau bersedia ikut denganku tapi saat didepan rumahku kau seperti enggan untuk menginjak halaman rumahku. Aku tak mau saat kau menemui ibuku aku terlihat seperti seorang pemaksa," ucap Franz tanpa melihat Alexi.
Dalam hati Franz ingin menertawai ucapannya sendiri, yang terdengar berlebihan.
Mendengar ucapan Franz, Alexi terdiam memikirkan ucapan Franz yang tekesan menyudutkannya.
"Kau menyalahkanku? Tanya Alexi tak percaya, "saat kau mengajak untuk menemui ibumu, aku hanya berusaha menghormatimu dengan menerima ajakanmu. Aku dan kau tidak sedekat itu, jadi kau bisa membayangkan betapa canggungnya jika aku berhadapan dengan ibumu."
"Baiklah, aku minta maaf. Dan sebagai permintaan maafku akan kubuat kita menjadi dekat," ucap Franz yang sudah sepenuhnya menatap Alexi.
"Tidak perlu minta maaf, Franz. Sebaiknya kita segera temui ibumu dan kembali ke kantor. Aku takut Mr. Smith mencariku, " ucap Alexi mengalihkan pandangannya.
Franz tidak menyia-nyiakan keadaan yang sedang mendukungnya. Diambilah kedua tangan Alexi lalu digengam erat, tidak membiarkan Alexi pergi.
"Alexi... mau kah kau menikah denganku?" Tanya Franz dengan wajah serius, "aku tahu ini terlalu cepat, tapi aku yakin kau juga mengharapkan aku untuk segera melamarmu."
Mendengar ucapan Franz diawal Alexi cukup kaget, namun saat Franz melanjutkan ucapannya, ingin sekali Alexi memukul kepala Franz. Benarkah ia mengharapkan Franz melamarnya, yang benar saja, ini gila bisik hati Alexi.
"Ayolah Alexi buang semua gengsimu, aku sudah mendengar ceritamu dari nenek, kau diam-diam memperhatikan diriku dari jauh, " ucap Franz percaya diri dengan kebohongan yang baru saja dikarangnya.
"Ya Tuhan kau sudah gila, Franz," dengus Alexi namun ia membenarkan dalam hati ucapan Franz tapi ia tidak pernah menceritakan apapun pada neneknya. Dari mana pria ini bisa tahu lagi-lagi Alexi hanya bisa mambatin
Alexi menghirup napas dalam-dalam untuk menghilangkan semua kegilaan ini. Ditatapnya wajah Franz yang setia menatapnya. Demi apapun di dunia ini, Alexi tidak pernah membayangkan bertemu dengan Franz, yang sejak awal memang sudah gila.
"Franz kau yakin? Kita belum mengenal satu sama lain."
"Menikahlah denganku, kupastikan kita akan saling mengenal sepanjang hidup," ucap Franz.
Apa aku bisa mempercayaimu batin Alexi ragu.
"Jika suatu saat nanti kau menyesali keputusanmu, ku harap kau segera melepaskanku," bisik Alexi namun masih dapat di dengar oleh Franz, "kau harus berjanji, Franz," lanjutnya.
Walau tidak paham dengan ucapan Alexi, Franz menyetujui, "janji," sahut Franz menautkan jari kelingkingnya dengan jari Alexi.
"Baiklah besok kita menikah," ucap Franz.
"Kau gila," gerutu Alexi.
"Kau setuju bukan?"
"Apa aku boleh menolak?"
"Silahkan saja, kalau kau menolak kau boleh keluar sekarang."
"Kau menyebalkan, Franz," kata Alexi lalu menghadiahi Franz sebuah pukulan.
Bukan berteriak sakit tapi Franz malah tertawa puas. Rencananya berhasil tak sia-sia semalam meminta bantuan ibunya untuk meluluhkan seorang Alexi.
***
Ketika sampai di rumah Franz, Alexi melihat dua mobil lain yang terpakir di halaman. Ia mulai berpikir hal gila apalagi yang akan terjadi selanjutnya.
"Ayo turun," ajak Franz.
Karena terlalu asyik dengan pikirannya sendiri, Alexi tidak sadar jika mobil Franz sudah berhenti dan pria itu juga melepaskan sabuk pengamannya.
Kemudian tanpa Alexi duga, Franz mengandeng tangannya menuju pintu utama rumah pria itu.
"Selamat datang calon pengantin!"
Alexi tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, saat mendapat sambutan dari keluarga Franz.
"Ayo silahkan masuk," Carol langsung merengkul bahu calon menantunya.
Alexi tersenyum cangung, saat dia sadar sudah berada diantara kumpulan wanita-wanita yang mengelilinginya. Wajah mereka tampak asing, jelas saja karena ini pertama kalinya dia berada diantara keluarga Franz.
"Hai, Alexi... aku Shanne."
"Alexi,"
Alexi menyambut uluran tangan dari wanita yang tampak seumuran dengannya. Kemudian menyambut uluran tangan seorang wanita paruh baya yang ternyata ibu mertua dari wanita tadi.
"Maaf membuatmu bingung dengan penyambutan kami," ucap Shanne.
Alexi mengangguk menyetujui ucapan Shanne.
"Alexi, kau tampak tegang," ucap Carol, "minumlah, agar kau bisa relax," lanjut Carol seraya memberikan segelas minuman segar.
"Terima kasih bibi," ucap Alexi kepada ibu Franz.
"Sama-sama."
"Baiklah mari kita bicarakan tentang pernikahanmu," ucap Carol.
"Tenang saja Alexi, pernikahanmu nanti tidak akan terlihat kacau dan terkesan terburu-buru," timpal Shanne.
Dalam hati Alexi begitu kesal dengan Franz pria itu ternyata sudah menyiapkan semuanya lebih dulu.
"Jadi bagaimana kau suka tidak dengan gaunnya."
Untuk mempercepat Acara memilih gaun, Alexi hanya mengangguk menyerahkan semua pada keluarga Franz.
"Kau pasti akan terlihat cantik dengan gaun ini," ucap Carol bahagia.
Alexi kembali mengangguk lalu mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan.
"Kau mencari Franz?" Tanya Shanne.
"Iya," Alexi mulai nyaman mengobrol dengan Shanne yang terlihat begitu antusias dengan pernikahannya.
"Itu mereka."
Alexi mengikuti telunjuk Shanne yang mengarah pada dua pria yang baru saja turun dari tangga, mereka masin-masing membawa seorang anak.
"Anak-anak itu anakmu?" Tanya Alexi pada Shanne, karena saat masuk tadi ia tidak melihat dua anak tersebut.
Alexi mengangukan kepalanya, kemudian melihat Franz yang begitu dekat dengan anak perempuan dalam gendongan pria itu.
"Baby Nasya..., ayo liat ini mamih Lexi," bujuk Franz pada anak berusia lima tahun yang tampak nyaman merebahkan kepala di bahunya.
"Nasya sangat dekat dengan Franz, jadi kau jangan cemburu dengan anakku," ucap Max terdengar dingin.
Shanne menepuk bahu Max yang tidak bisa menjaga mulutnya. "Maafkan mulut suamiku terkadang seperti cabe," ucap Shanne pada Alexi.
Alexi tersenyum, "sepertinya mulut suamimu lebih mirip lada."
Semua orang dewasa dalam ruangan itu tertawa, sepertinya Max mempunyai rival baru selain ayah mertua ayah dua anak itu.
***
"Keluargamu sangat ramai, kau lihat wajah Max seperti lenyap saat Shanne menceritakan kebusukan dia," kekeh Alexi.
Mobil melaju dengan kecepatan pelan, Franz sengaja agar bisa lebih lama mendengarkan Alexi bercerita tentang keluarganya. Franz sangat bahagia melihat Alexi tertawa hingga membuatnya ikut tertawa.
"Alexi..., terima kasih kau mau menjadi pendampingku," ucap Franz.
Alexi menghentikan tawanya lalu menatap Franz. Ia sudah memutuskan untuk menerima Franz, ternyata perkataan neneknya waktu itu bukan omong kosong belaka, Alexi tersenyum mengingat itu semua.
*cie Franz kawin....
F : *plak
*adau
F : nikah!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro