part 2
Saya datang lagee...
Membawa bang Franz *prok prok
Ada yang nunggu *enggak
Yowes gpp, sabar aja bang Franz
Terima kasih yang udah baca, vote dan comen,
Yang belun koment ayo jangan malu-malu komen *edisi maksa hehehe
Ya udah enggak lama2 langsung baca aja
Cuz...
Faktor usia membuat Carol mudah lelah, seperti pagi ini, kepalanya pusing tulang-tulangnya juga ikut nyeri, badannya seperti habis dipukuli ribuan preman.
"Ibu," panggil Franz dari luar.
Franz mencari dimana ibunya, biasanya sang ibu sudah menyiapkan sarapan di dapur kesayangan wanita paruh baya itu.
Franz merasa ada yang tak beres, ia segera masuk ke kamar ibunya dan benar saja sang ibu masih tertidur dibawah selimut.
"Ibu," Franz menyentuh dahi ibunya.
Rasa panas menjalari tangan Franz, segera saja Franz membangunkan ibunya.
"Ibu ayo kita ke dokter," ajaknya lalu mengangkat tubuh ibunya.
Dengan cekatan Franz membawa ibunya ke mobil dan melaju menuju rumah sakit terdekat. Untung saja dirinya sedang di rumah, jika ia masih di apartemen, Franz tak tahu keadaan ibunya akan seperti apa.
***
Di rumah sakit Franz menuntun ibunya turun dari mobil, sebenarnya Franz sudah membujuk ibunya agar bersedia duduk di kursi roda, namun dengan bersihkeras ibunya menolaknya.
"Ibu biarkan aku bawa ibu dengan kursi roda," bujuknya lagi.
"Franz, ibu masih kuat berjalan jadi jangan membuat ibu terlihat renta."
Franz akhirnya mengikuti kemauan ibunya, setelah mendaftar Franz menunggu dokter memanggil gilirannya.
"Ibu, sudah ku bilang jangan terlalu lelah, kau jadi sakit seperti ini," ucap Franz sambil memijat tangan sang ibu.
Carol tersenyum, memahami kekhawatiran putranya, dari dulu Franz selalu ketakutan jika dirinya sakit.
"Ibu tak akan lelah jika kau menikah," ucap Carol menggoda putranya.
Franz berhenti memijat tangan sang ibu, mengapa permintaan itu lagi?
"Seandainya kau menikah ibu tak akan kesepian karena istrimu akan menemani ibu, dan masa tua ibu akan bahagia bersama anak-anakmu nanti," jelas Carol.
Franz diam tak membantah perkataan ibunya, sebenarnya ia ingin mewujudkan keinginan wanita yang sudah melahirkannya itu, hanya saja dia belum menemukan seseorang yang seperti dia.
"Nyonya Carol silahkan masuk," ucap seorang perawat.
Franz kembali menuntun ibunya masuk ke ruangan dokter.
Seorang dokter muda menyambut Carol dan Franz.
"Selamat pagi, nyonya Carol," sapanya.
"Pagi, dok!" Jawab Carol dan Franz.
Dokter meminta Carol untuk berbaring diranjang kemudian dokter tersebut memeriksa Carol.
Mulai dari suhu hingga tekanan darah Carol diperiksa dengan seksama oleh sang dokter. Sedangkan Franz duduk gelisah menunggu dokter selesai memeriksa Carol.
"Bagaimana dok? Apa ibu saya terkena penyakit serius?" Tanya Franz tidak sabar.
"Franz bantu ibu turun," ucap Carol.
Franz buru-buru membantu Carol turun dari ranjang pemeriksaan.
Dokter itu tersenyum melihat interaksi antara Carol dan Franz. Sangat jelas terlihat sang anak begitu khawatir dengan kondisi ibunya sedang sang ibu terlihat biasa saja.
"Jadi bagaimana dok, kondisi ibu saya?" tanya Franz kini sudah duduk dihadapan dokter kembali.
Dokter itu tersenyum dan mulai menjelaskan tentang kondisi Carol.
"Kondisi nyonya Carol baik-baik saja, hanya tekanan darahnya saja yang rendah dan untuk suhu tubuh yang meningkat itu karena sistem kekebalan tubuhnya terserang, jadi saya akan resepkan obat dan saya harap nyonya Carol istirahat cukup," jelas dokter tersebut.
"Kau dengar Franz ibu baik-baik saja," ucap Carol sambil memukul bahu Franz.
Franz meringis, dalam kondisi sakit saja pukulan sang ibu terasa sampai ke tulangnya, "iya, tapi ibu harus bayak istirahat."
"Bagaimana ibu bisa istirahat, lalu siapa yang akan mengurusmu nanti," Carol tak mau kalah.
"Aku sudah besar dan mampu mengurus diriku sendiri," jawab Franz.
"Kau yakin mengurus dirimu sendiri, kau saja masih sering lupa pulang, capatlah menikah agar ibu bisa tenang," katanya dengan semangat.
Dokter tersenyum mendengar percakapan ibu dan anak tersebut, ia jadi ingat salah satu pasiennya yang pernah ia tangani.
"Nyonya Carol, jadi putra anda belum menikah," tanyanya.
Franz tersenyum tidak enak, buru-buru ia ingin keluar dari ruang dokter yang mendadak berubah jadi ruang konsultasi yang memalukan. Namun ibunya justru asyik berbincang dengan dokter tersebut.
"Iya dok, putra saya belum menikah, apa dokter punya anak? Bagaimana jika dinikahkan dengan putra saya dok," ucap Carol pada sang dokter.
Dokter kembali tersenyum, "nyonya Carol anak saya masih kecil dan dia laki-laki tidak mungkin dinikahkan dengan putra Anda," kekehnya.
Franz yang semakin kehilangan muka pun segera berinisiatif untuk mengakhiri perbincangan ibunya.
"Dokter jadi obat apa saja yang harus dikonsumsi ibu saya, dok?" Tanya Franz.
"Ah, maaf saya terlalu asyik berbincang dengan nyonya Carol, saya sudah tuliskan resep silahkan."
Dokter menyerahkan resep dan cacatan kesehatan Carol pada perawatnya.
"Terima kasih, dok, saya permisi," pamit Franz sambil menyalami sang dokter.
"Sama-sama, semoga lekas sembuh Nyonya Carol," ujar dokter seraya tersenyum.
***
Setelah dari ruang dokter, Franz menyuruh Carol duduk di kursi tunggu sementara Franz menuju bagian Farmasi untuk membeli obat.
Menunggu adalah hal paling menyebalkan yang pernah Franz alami, termasuk menunggu obat diantara puluhan orang yang mengantre.
Franz mengutak-atik ponselnya, membuka aplikasi game untuk membunuh waktu selama menunggu.
Franz tenggelam dalam permainannya hingga melupakan dirinya yang sedang menunggu giliran mengambil obat, seseorang datang menepuk bahunya.
"Maaf, berapa nomor antrean Anda?" tanya orang tersebut.
Franz terkesiap, langsung ia memasukan ponselnya tanpa keluar dari aplikasi game. Franz menoleh untuk melihat siapa yang bertanya padanya. Dan sekarang Franz menyesal karena menatap wajah itu kembali.
***
"Kau lama sekali, ibu hampir tidur disini," gerutu Carol.
"Beruntung tadi ibu bertemu seseorang yang sangat baik, jadi ibu tidak bosan menunggumu," lanjutnya.
"Memang ibu bertemu siapa?" Tanya Franz sambil menuntun ibunya.
"Dia sangat cantik dan baik hati," ucap Carol seraya menerawang.
Sangat cantik, pasti perempuan semoga ibu tak menceritakan tentangku
"Sayang sekali dia sudah bersuami jika tidak pasti dia sangat cocok denganmu?" Ucap Carol penuh penyesalan.
Benar bukan.
"Sudahlah, bu," hibur Franz.
Mereka berjalan ke pintu rumah sakit, Franz menghampiri petugas yang membantu memarkirkan mobilnya.
"Franz," panggil Carol.
"Iya, bu." Franz menghampiri ibunya dan pandangannya bertemu dengan seorang wanita yang berdiri disebelah ibunya.
Dunia begitu sempit, bahkan setelah kau pergi, kau masih terlihat di depan mataku, sedang bayangmu masih dalam otakku.
Franz berhasil mengatur rasa kagetnya dan berjalan ke arah ibunya dengan tenang.
"Franz, ini perempuan yang ibu ceritakan padamu tadi, bukankah dia cantik?"
Ya sangat cantik...
"Hai... Joy," sapa Franz sambil merangkul ibunya.
"Hai..., sudah lama tidak bertemu, bagaimana kabarmu?" Tanya Joy, ia bahkan tak sanggup memanggil nama pria yang dulu sempat ada dalam hatinya.
"Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja," ucap Franz lebih kepada dirinya sendiri. Dia harus sadar posisinya kini tak mungkin ia merengkuh wanita yang sudah menjadi milik orang lain meksi ia begitu ingin.
"Kalian saling mengenal?" Bingung Carol terhadap interaksi putranya dan wanita yang baru saja dikenalnya.
"Kenalkan bu, dia Joy, sahabat Shanne, dia menjenguk Shanne saat di rumah sakit dulu, apa ibu lupa?" Ucap Franz pada ibunya, kisahnya bersama Joy memang tak banyak yang tahu, jadi lebih baik mengenalkan Joy sebagai sahabat Shanne.
"Oh, mungkin ibu tak begitu memperhatikan waktu itu atau mungkin ibu sudah tua jadi ibu lupa," kekeh Carol.
"Ah, Joy. Aku pulang dulu, selamat tinggal," ucap Franz kemudian menuntun ibunya masuk ke mobil.
Joy melambai pada Carol, sedikit terusik dengan ucapan selamat tinggal Franz. Pria itu banyak berubah dari terakhir yang dia lihat di pesta pernikahannya.
"Joy, apa yang kau lihat?" Tanya Ed begitu menghampiri istrinya dan melihat Joy terdiam.
"Ah tidak, kau sudah selesai?" Tanya Joy mengalihkan perhatian. Pertemuan dengan Franz membuatnya lupa kehadiran suaminya.
"Sudah, tadi aku bertemu dengan Franz, dia masih sama tarnyata. Franz sungguh ceroboh bermain game saat mengantre hingga melupakan antrean, beruntung aku segera menegurnya," jelas Ed.
"Oh." Hanya itu yang keluar dari bibir Joy untuk menanggapi cerita Ed. Rasa bersalahnya kembali memenuhi rongga dadanya membuatnya sesak, hingga ingin menangis, namun ia tak bisa menyalurkan tangisannya. Yang dia lakukan hanya menggenggam erat tangan suaminya, ia butuh penopang.
Ed tersenyum mengandeng tangan Joy tanpa tahu perubahan wajah istrinya.
***
"Nah sekarang ibu harus banyak istrihat," ucap Franz begitu sampai di rumah.
Franz membaringkan ibunya di kamar. Kemudian ia menuju dapur untuk membuat bubur.
Franz mencuci beras dan menuangnya dalam panci lalu mencapur dengan air. Diaduknya dengan perlahan.
Franz mulai berpikir untuk pindah ke rumah ibunya dan meninggalkan apartemenya. Ibunya sudah tua harusnya dia lebih menjaga ibunya dibandingkan hidup sendiri.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Carol.
"Ibu sudah kubilang istirahat kenapa pergi ke dapur?"
"Ibu tak tahan jika berlama-lama di tempat tidur," ucap Carol kemudian mengambil alih pekerjaan Franz mengaduk bubur.
"Ini sudah hampir matang, biar ibu mengambil sendiri nanti, kau tak pergi ke kantor?"
"Lalu siapa yang akan menjaga ibu?"
"Kau berpikir untuk menjagaku? Ku kira kau hanya berpikir untuk berpesta sapanjang malam, cepatlah menikah?"
"Ibu jangan mulai lagi, kenapa setiap ucapan ibu selalu mengarah ke pernikahan? Aku rasa aku belum terlalu tua ibu," bela Franz.
"Kau mungkin belum tua, tapi ibumu ini semakin tua, sampai kapan kau akan sendiri Franz?"
Franz mengabaikan ucapan ibunya, lebih memilih mengambilkan mangkuk dan menyendokkan bubur untuk sang ibu. Pikiranya sedang kacau, ia tak mau ibunya tahu, dan lebih baik mengalihkan semua perhatian ibunya, sebelum ibunya menyadarinya.
"Ayo ibu duduk lalu makan buburnya setelah itu minum obatnya," ucap Franz pada ibunya.
Carol menurut dan duduk, ia tahu Franz tidak suka membicarakan pernikahan, ia hanya mencoba membuat anaknya sadar. Ia tak mau Franz larut dengan kesendiriannya.
"Setelah minum obat ibu istirahat," perintah Franz.
***
Franz duduk di depan televisi, menyaksikan tanyangan berita dunia, namun jika diperhatikan bukan Franz yang sedang menonton, televisi lah yang justru menontonnya.
Wajah Joy kembali berputar setelah pertemuan siang tadi, Franz tak bisa memungkiri rasa yang ingin dihapusnya kembali hadir, wanita itu dengan segala kecantikan dan kesederhanaan mampu membuatnya tak bisa berpaling, berhasil membuat seorang Franz tunduk pada seorang perempuan. Bahkan ibunya mengatakan mereka cocok jika saja Joy belum bersuami, namun takdir berkata lain, dirinya dan Joy hanya bertemu sesaat kemudian masing-masing kembali pada hidup masing-masing.
Kenapa begitu sulit untuk melupakanmu
"Cinta tak akan hilang jika kau memaksa untuk melupakannya," celetuk Max yang entah datang sejak kapan.
Franz menggeser duduknya memberi tempat pada Max untuk bergabung.
"Sejak kapan kau masuk," tanya Franz.
"Sejak kau menjadi orang bodoh yang menatap televisi," ledek Max.
Franz mendengus tak suka, "seperti kau tak pernah mengalaminya, kau bahkan menghancurkan apartemenmu, dasar bodoh," cibirnya.
"Kau dan aku berbeda Franz, jika aku ditakdirkan bersama Shanne, walau aku meruntuhkan gedung sekalipun, sedangkan kau," tunjuk Max tepat pada dahi Franz.
"Takdirmu bukan bersama Joy, jadi berhentilah mengasihani dirimu sendiri, kau terlihat bodoh, kau tahu," lanjutnya.
"Terserahmu," jawab Franz tak peduli
"Bagaimana kondisi ibu?" Tanya Max, teringat tujuannya ke rumah Carol.
"Dokter bilang ibu baik-baik saja, hanya butuh banyak istirahat," jelas Franz.
"Aku lihat ibu dulu." Max masuk ke kamar Carol.
***
Carol membuka matanya saat merasakan pijatan pada tangannya, ia tersenyum menatap putranya.
"Max kau datang," ucap Carol sambil mencoba duduk dan bersandar pada kepala ranjang.
"Iya, dimana yang sakit, bu? Biar ku sembuhkan," kekeh Max.
"Ibu tidak apa-apa, kau sudah makan siang?" Tanya Carol
Max menggeleng, karena obat yang dikonsumsi membuat ibunya tertidur terlalu lama, "ibu, ini sudah hampir malam."
Carol berdecak, "obat apa yang Franz berikan pada ibu? Kenapa ibu tertidur hingga malam seperti ini?"
"Apa Franz sudah makan? Dia tidak membangunkan ibu, apa yang dia lakukan selama ibu tidur, hah anak itu," keluh Carol.
"Tentu saja aku memberikan obat yang dianjurkan dokter," sela Franz.
Franz ikut bergabung diatas ranjang ibunya, "ibu aku merindukanmu," ucap Franz sambil memeluk sang ibu.
Carol balas memeluk Franz, ia senang meski bukan anak kecil kedua putranya tak segan memeluknya.
"Aku juga merindukan ibu," timpal Max ikut memeluk Carol.
Mereka bertiga berpelukan, Franz merasakan kelegaan saat memeluk sang ibu, rasa sesak dalam hatinya sedikit demi sedikit menghilang.
***
Kondisi kesehatan Carol sudah lebih baik, Franz pun kembali ke kantor setelah beberapa hari absen. Tumpukan dokumen langsung memenuhi mejanya, sebagai konsekuensinya.
Franz mulai tenggelam dalam pekerjaanya, sekali lagi Franz melupakan makan siang, membuatnya merasakan sakit di bagian perutnya. Sakit itu sudah sering menyerang kala ia melewatkan makan, mual dan sedikit pusing lalu berkunang-kunang.
Tak mau berlarut-larut membiarkan sakitnya, setelah pulang dari kantor Franz langsung menuju rumah sakit untuk memeriksakan diri.
"Maaf, berapa nomor antrian Anda?"
Franz kembali melupakan antrean karena bermain game, "maaf nomor berapa seka..."
Franz mengatupkan mulutnya saat tahu siapa yang menegurnya, "sedang apa kau disini, apa kau bekerja disini juga?"
"Sekarang giliranmu mengambil obat," ucap wanita itu, "cepatlah banyak yang mengantre dibelakangmu," lanjutnya lagi.
Franz berjalan ke depan meja apotek untuk mengambil obat, kemudian kembali lagi duduk disamping wanita itu.
"Berapa nomor Antreanmu?" Tanya Franz tanpa melihat wanita yang sedang menatap lurus ke depan.
Tak mendapat jawaban, dengan kesal Franz kembali bertanya, "kau ini tak menghargaiku sama sekali, aku bertanya padamu nona, berapa nomor antreanmu?"
Kali ini Franz menatap penuh pada wanita yang menjadi rekan bisnisnya beberapa bulan kemarin. Ada yang berbeda saat mengamati wajah itu, wanita aneh itu memakai kacamata untuk membingkai wajah cantiknya dan untuk pertama kalinya Franz tak membenci kacamata yang bertenger dihidung bangir wanita itu.
Franz sibuk dengan pikiranya tentang kacamata hingga tak sadar lawan biacaranya sudah beranjak kedepan meja apotek.
Tak mau kehilangan kesempatan Franz segera menghampiri wanita itu.
"Alexi..." Franz tanpa sadar memanggil nama wanita itu dan menahan pergelangan tangannya.
Mereka terdiam untuk beberapa saat, Franz sendiri tak sadar dengan perbuatannya, Franz hanya penasaran dengan Alexi yang terlalu acuh berbeda saat berurusan bisnis wanita itu begitu pandai berbicara.
"Maaf... maaf aku tak bermaksud untuk bertindak tak sopan," ucap Franz tak enak hati.
"Tak apa-apa," jawab Alexi kemudian melepaskan tangannya dari cengraman Franz.
Franz tersenyum menatap punggung Alexi yang perlahan menjauh hingga hilang dari pandangannya. Franz menatap tangannya,
Apa yang kau pikirkan...
***
Alexi masuk ke dalam rumahnya dengan kantong obat ditangan kiri dan tangan kanannya menjinjing belanjaan.
Sebelum ke rumah sakit, Alexi berbelanja kebutuhan bulanan yang sudah menjadi jadualnya setiap akhir bulan.
Alexi tinggal bersama Haney sang nenek, semenjak kedua orang tuanya meninggal Alexi terbiasa hidup mandiri, bahkan sebelum umurnya genap sepuluh tahun, Alexi sudah mampu mencuci bajunya sendiri.
"Nenek aku pulang," ucapnya ceria.
Haney adalah satu-satunya keluarga yang Alexi punya, karena ayahnya adalah anak tunggal sedangkan ibunya, begitu rumit hingga membuatnya sakit kepala saat memikirkannya.
Haney bersama tongkat kayunya menghampiri Alexi. Dengan pelan dia menyambut kepulangan sang cucu. Meski beberapa kali nyeri kakinya sempat menganggu pergerakannya, Haney tak mau hanya duduk diam diatas ranjang.
"Nenek..." Alexi menuntun Haney untuk duduk di sofa kesayangan wanita itu.
"Bagaimana dengan kaki nenek, masih nyeri?" Tanyanya.
"Sudah tidak apa-apa, kau lihat nenek sudah bisa berjalan dengan benar," jawab Haney.
"Syukurlah..." ucapnya kemudian menuju dapur. Neneknya tak mau diperlakukan seperti orang sakit dan Alexi hanya mengikutinya saja, meskipun hatinya selalu merintih sedih saat melihat neneknya menahan sakit.
Alexi memakai apronnya, agar bajunya tak kotor. Ya, memasak sudah menjadi bagian hidup Alexi. Dengan keahliannya Alexi menyulap bahan mentah menjadi berbagai makanan lezat. Hidup berdua dengan neneknya membuatnya pandai dengan urusan dapur, karena sang nenek dengan tekun mengajarinya sejak kecil.
Setelah menyelasaikan masakannya, Alexi mengahampiri sang nenek untuk makan bersama.
"Nenek..." panggil Alexi.
Alexi mengusap bahu sang nenek yang tertidur. Alexi cukup heran karena tak biasanya neneknya tidur jam segini. Alexi memanggil lagi dan lagi sampai beberapa kali ia memanggil neneknya tak kunjung bangun.
"Nenek, bangun nek... jangan buat aku takut. Nenek ini tidak lucu, nenek aku sudah memasak untukmu," ucapnya gemetaran, rasa takut mulai menjalari hatinya.
Sadar neneknya pingsan, Alexi segera menelpon ambulance sebab tak mungkin mengangkat tubuh sang nenek seorang diri.
Tak berapa lama ambulance rumah sakit datang, para petugas segera mengangkat Haney dan memberikan pertolongan pertama.
Alexi ikut masuk dalam mobil ambulance menyaksikan sang nenek yang sedang berjuang dalam pertolongan petugas medis.
Melihat sang nenek, Alexi teringat kejadian tujuh tahun silam saat dirinya berdiri dipojok ruangan menyaksikan ibunya menangisi sang ayah yang tertutup kain putih.
Ambulance berhenti, membuat lamunan Alexi buyar. Beberapa perawat mendorong tubuh Haney diatas brankar.
Tubuh Haney sudah masuk dalam ruang perawatan gawat darurat. Tinggallah Alexi di luar. Menunggu yang dilakukannya, Alexi tak punya keluarga lain sebagai sandaran saat ketakukan melandanya, Alexi kemudian berdoa, karena itulah satu-satunya cara dia menghilangkan kegelisahannya.
Dua jam lamanya Alexi menunggu dengan cemas, hingga pintu terbuka dan seorang dokter menghampirinya.
"Nyonya Haney, terkena serangan jantung, kondisi beliau kini kritis, segera setelah beliau melewati masa kritisnya kami tim dokter akan melakukan operasi," ujar sang dokter.
Ucapan dokter bagai pisau yang menusuk jantung Alexi. Tidakkah dokter itu iba melihat kondisinya yang sudah berantakan seperti tak bernyawa. Begitu mudahnya dokter itu memberi informasi yang begitu mengejutkan, dan operasi satu hal yang Alexi tidak tahu, ia memang tidak mengerti dunia kedoteran, namun operasi dengan kondisi sang nenek yang sudah berumur akan sangat beresiko.
"Lakukan yang terbaik, dok," ucap Alexi pada akhirnya. Semua keraguan dalam benaknya dihilangkan demi kesembuhan sang nenek.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro