Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 11

Masih ada yng nunggu cerita ini? Semoga masih ada ya
Maaf baru bisa post hari ini
Selamat membaca semoga suka


Meskipun Franz tahu menangis tak akan mengembalikan keadaan setidaknya bisa sedikit mengurangi rasa sesak dalam dada. Dengan pelan Franz terus mengusap bahu Alexi, membiarkan istrinya menangis hingga tenang. Alexi yang menangis lebih baik daripada Alexi yang mencoba tersenyum.



"Sudah lebih tenang?" tanya Franz lirih.



Sambil terisak Alexi mengangguk, meski begitu kesedihan tak hilang seluruhnya, "terima kasih."



"Terima kasih telah membuatmu menangis? Kau ini aneh Alexi, seharusnya kau marah padaku lalu memukulku," kata Franz.



"Aku ingin memukulmu sungguh tapi, aku tidak sanggup melakukannya," kata Alexi menunjukan tangannya yang terpasang selang infus.



Lagi, Franz terkekeh pelan lalu membaringkan Alexi setelah sebelumnya mengatur posisi ranjang agar lebih nyaman. Franz menarik kursi lebih dekat lalu duduk disana. Seharusnya ia memanggil dokter untuk memastikan kondisi Alexi, tapi diurungkan niatnya itu karena saat ini menurutnya bukan dokter yang Alexi butuhkan melainkan dirinya. Kedua tangan Franz bersamaan menggenggam tangan Alexi, mengusap perlahan bagian yang tersambung dengan selang infus. Dalam hati beribu ucapan syukur dia rapalkan, Alexi membuka matanya kembali.



Mendapati Franz yang hanya diam dan terus menerus mengusap tangannya, membuat perasaan bersalah kembali menghinggapi hati Alexi. Ia teringat betapa Franz sangat mendambakan sosok kecil yang akan menemani mereka. Tapi semua bayangan indah itu hilang karena kecerobohanya.



"Maafkan aku," kata Alexi membalas genggaman tangan Franz. Matanya tidak lagi mengeluarkan air mata akan tetapi jelas sekali kesedihan pada wajahnya.



Franz tersenyum masam, Alexi meminta maaf lagi, satu hal yang saat ini dibencinya. Kehilangan bukan saja karena kesalahan Alexi tapi dirinya juga.



"Kalau kau meminta maaf lagi aku akan menciummu," ancam Franz menatap tepat kedalam mata Alexi.



Alexi terkesiap mendengar ucapan Franz, suaminya terlihat serius dengan tatapan matanya, lalu satu ide muncul dikepalanya. Ia sudah sangat merindukan hal tersebut, hingga tangannya dengan komando otaknya meluncur menyusuri wajah Franz. Permukaan wajah yang tidak terawat dengan mata berkantung, padahal Franz pria yang selalu menjaga penampilannya hingga terkadang membuatnya jengah. Tapi kini wajah Franz terlihat kuyu jelas sekali Franz tidak mencuci muka dengan benar. Tangan Alexi masih betah menjamah seluruh permukaan wajah Franz, merasakan tangan Franz ikut mengengam tanganya membawa ke bibir pria itu lalu sebuah kecupan ringan ia terima. Sepertinya Franz sangat menikmati kegiatan tersebut.

"Maafkan aku," kata Alexi menatap Franz yang memjamkan mata.



Sontak Franz menghentikan kecupannya pada jemari Alexi, matanya mengarah pada istrinya yang sedang tersenyum menatapnya. Franz terlalu hapal tingkah Alexi yang selalu mencoba membuktikan setiap ucapannya. Hingga tanpa aba-aba Franz mencium bibir Alexi, pelan dan menuntut sampai Alexi menghentikannya.



"Lihat aku tidak berbohong, sayang," guman Franz, wajahnya belum beranjak dari wajah Alexi.



Wajah Alexi merona, meski sudah tahu Franz akan melakukannya tetap saja, jantungnya berdegub mendapati Franz berkata dengan wajah sedekat itu.



"Hanya memastikan," kata Alexi sambil menangkan dirinya.



"Kau selalu bilang seperti itu," kata Franz lalu beranjak dari wajah Alexi. "Tapi aku senang," lanjutnya. Franz merenggangkan sedikit otot-ototnya yang kaku, beban di pundaknya terangkat saat melihat Alexi tersenyum lagi.



"Aku mengilangkannya semudah aku mengilangkan baju itu, bukankah aku sangat ceroboh? Aku ini payah sekali," guman Alexi, teringat saat mengilangkan baju bayi yang baru saja dibelinya.


"Sangat ceroboh hingga membuatku hampir gila karenamu, aku tidak peduli jika baju atau bayi hilang karena dirimu asal jangan kau yang menghilang dari hidupku, jika itu terjadi bencana bagiku," kata Franz.



Tatapan mata Alexi menyipit pada Franz membuat pria itu menggaruk keningnya berpikir ulang apa yang salah dengan ucapannya. Tapi Franz tidak menemukan apa-apa hanya kebingungan.



"Kau kenapa menatapku seperti itu," tanya Franz akhirnya.



"Franz kau sadar dengan ucapanmu?" Alexi balik bertanya pada Franz.



Franz mengangguk mantap, tentu saja ia sadar dengan ucapannya.



"Kau menyakiti anak kita Franz, kau berkata seolah tidak apa-apa dia pergi asal aku tetap bersamamu dan kau menyamakan dia dengan baju? Kau ini ayah macam apa?" Geram Alexi.



"Hah?" Franz masih tidak paham dengan ucapan Alexi, "tunggu... aku menyamakan anak kita dengan baju," kata Franz menunjuk dirinya sendiri.



"Hmm kau mengatakannya," jawab Alexi cepat.



"Aku berkata seperti itu karena kau duluan yang memulai," bela Franz.



Alexi melotot pada Franz, kenapa Franz malah menyalahkannya? "Kau menyalahkanku?"



"Tidak."


"Kau baru saja mengatakannya."



"Itu karena kau bilang kau menghilangkannya seperti menghilangkan baju baru, aku hanya mengikutimu saja," kata Franz dengan menggebu.



"Seharusnya kau jangan bicara sepeti itu juga, kau tahu dia juga punya perasaan," lirih Alexi.



"Tapi aku tidak bermaksud seperti itu."



"Tetap saja!"



"Hei kalian! Berhenti bertengkar!" Carol berdiri di dekat pintu dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana bisa mereka berdebat setelah berciuman, dasar dua orang tidak dewasa decak Carol. Bahkan dua orang itu tidak menyadari kehadirannya sejak tadi, sungguh luar biasa.



"Ibu? Sejak kapan ibu di situ?" Tanya Franz bingung.



Carol berjalan mendekat, lalu menaruh barang bawaannya diatas meja, "sejak kalian mulai berciuman sampai saling adu mulut."



Franz dan Alexi saling berpandangan selama itukah ibunya berdiri disana? Lalu kenapa diantara mereka tidak ada yang menyadari?



"Ibu yakin jika Alexi tidak terbaring kalian pasti akan adu kekuatan," sindir Carol.


Carol hapal betul tabiat Franz dan Alexi, putranya orang yang tidak suka mengalah dan Alexi orang yang menjujung tinggi pendapatnya. Hingga setiap mereka beradu mulut akan berakhir dengan saling melempar barang, berlebihan memang. Mungkin karena itu juga Franz dan Alexi belum dipercaya memiliki bayi, mengingat itu membuatnya kembali sedih. Tapi sekali lagi carol sadar ia tidak boleh menampakan kesedihan di depan menantunnya.



"Kau sudah bangun sayang, ibu senang sekali melihatmu tersenyum lagi," kata Carol pada Alexi seraya mengelus rambut Alexi. Ia sangat menyayangi Alexi selayaknya anaknya sendiri.



Franz mendekat pada ibunya lalu memeluk wanita yang sudah melahirkannya itu dari samping, "aku juga senang," kata Franz menyandarkan kepalanya pada bahu ibunya.



Tangan Carol terulur untuk mengusap kepala Franz putranya yang tampak lebih hidup dari sebelumnya.



"Jadi bagaimana kondisimu? Apa dokter sudah memeriksamu?" Tanya Carol pada Alexi.



Alexi menggeleng, dia memang belum tahu kondisi tubuhnya secara medis, akan tetapi perasaannya sedikit banyak sudah lebih baik, berkat Franz.



Melihat gelengan Alexi, Carol langsung menarik Franz dari sisi tubuhnya, "jangan bilang kau belum memanggil dokter," katanya tajam.



Franz hanya menyengir, lalu detik berikutnya ia merasakan kupingnya panas dan dijepit oleh jari-jari ibunya.



"Panggil dokter, cepat!" Ucap Carol dengan wajah marah.



Franz sambil mengusap telinganya berlari memanggil dokter untuk memeriksa Alexi. Setelah ibunya kemarin mengkhawatirkannya sekarang dengan mudah menjewer kupingnya, sulit dipercaya guman Franz dalam hati.



***

Dokter yang memeriksa Alexi berkali-kali menyentuhkan stetoskop pada bagian tubuh Alexi, memastikan kondisi pasiennya memang sudah bagus.



"Bagiamana, dok?" Tanya Franz tidak sabar.



"Sabar sebentar, kau tidak lihat dokter sedang memeriksa istrimu," sela Carol.



Dokter tersenyum mendengar perdebatan tersebut, jika bukan dalam ruang perawatan VVIP mungkin mereka berdua sudah diseret oleh petugas keamanan.



"Kondisi nona Alexi baik-baik saja, tidak ada luka serius di rahimnya hanya saja untuk beberapa hari kedepan masih harus istirahat penuh," jelas dokter bernama Crish tersebut.



Franz menganguk senang, "terima kasih dok."



"Saya permisi, nona Alexi cepat sembuh, ya," kata dokter Crish.



Alexi tersenyum membalas ucapan dokter.



Setelah dokter dan perawat pergi, Franz kembali duduk disisi ranjang Alexi. Mengamati wajah istrinya, kondisi Alexi baik-baik saja membuatnya senang sekali. Bayangan-bayangan buruk yang sempat menghantuinya kini musnah berganti dengan ungkapan syukur.



"Ada apa?" Tanya Alexi akhirnya karena merasa terus diperhatikan.


Franz menggeleng lalu menggenggam tangan Alexi membawnya menuju bibirnya. Mengecupi satu per satu jemari Alexi menyalurkan betapa dia sangat menyangi Alexi. Melihat anak dan menantunya seakan mengabaikan kehadirannya membuat Carol berdehem dengan suara keras, Franz dan Alexi seketika menghentikan aksi bermesraannya.



"Ya ampun aku lupa jika masih ada ibu disini," kata Franz lalu merangkul bahu ibunya.



"Sudah lupakan ibu saja, anggap saja ibu seperti hiasan kamar," kata Carol pura-pura merajuk, sejujurnya ia bahagia melihat putranya kembali ceria.



"Oh...." Franz melirik ibunya lalu manatap Alexi dengan jahil. "Karena tidak ada siapa-siapa disini, ayo sayang kita buat baby disini," kata Franz merangkak naik ke ranjang Alexi.



Sedangkan Alexi hanya terkekeh saat Carol menarik kerah belakang kemeja Franz lalu meneriaki Franz dengan kata ketus khas ibu mertuanya.



"Dasar anak kurang ajar!"



Dan selanjutnya Alexi benar-benar tertawa melihat Franz menjadi bulan-bulanan ibunya sendiri.



***

Seminggu berlalu keadaan Alexi sudah lebih baik dokter pun sudah mengijinkan Alexi pulang. Kini Alexi ditemani oleh ibu mertunya sedang menunggu Franz di loby rumah sakit.



"Ibu... aku ingin ke kamar kecil," kata Alexi.



"Ayo, biar ibu temani," jawab Carol bersiap memapah menantunya.



Alexi menggeleng, sudah seminggu ini ibu mertuanya bolak balik rumah sakit untuk mengurusnya selama Franz bekerja, ia tak ingin merepotkan ibu Franz. Dan saat ini ia rasa tubuhnya sudah kuat untuk sekedar berjalan ke kamar kecil.



"Sudah ibu bilang jangan merasa sungkan dengan ibu," kata Carol.



"Bukan begitu, bu. Aku hanya tidak ingin Franz bingung saat tidak melihat kita berdua, aku berjanji tak akan lama," kata Alexi berusaha menyakinkan mertuanya.



Carol mengangguk, akhirnya Alexi melangkah untuk ke kamar kecil, bisa ia lihat wajah mertuanya yang masih ragu, namun ia tersenyum meyakinkan mertuanya itu.



***


Alexi baru saja keluar dari salah satu bilik kamar kecil rumah sakit, ia berjalan untuk mencuci tangannya. Saat sedang menyalakan kran ia melihat wanita disampingnya tampak menumpukkan kedua tangannya pada pinggiran tempat cuci tangan. Alexi tidak bisa melihat jelas wajah wanita disampingnya tersebut, karena posisinya menunduk. Wanita tersebut masih tetap pada posisinya semula hingga Alexi selesai membersihkan tangannya. Tiba-tiba wanita yang belum ia ketahui namanya ambruk ke lantai. Alexi refleks menjerit, lalu menghampiri wanita tersebut mencoba menyadarkan dengan menepuk pipinya.



Ditempat lain, Franz menghampiri ibunya yang duduk sendirian di kursi tunggu.



"Bu, Alexi kemana?"



"Dia ke kamar kecil," jawab Carol.



"Oh," jawab Franz lalu duduk disamping ibunya.



Lima menit berlalu, belum ada tanda-tanda Alexi kembali, Franz mulai gelisah takut sesuatu terjadi pada istrinya. Akhirnya ia memutuskan untuk menyusul Alexi.



"Ibu tunggu disini, aku mencari Alexi dulu," kata Franz.



"Cepat Franz, takut terjadi apa-apa dengan Alexi."


Franz berlari menuju kamar kecil, sampai di depan dia bingung sendiri, haruskah ia masuk ke dalam kamar khusus perempuan.



"Alexi," panggil Franz akhirnya.



"Alexi," panggil Franz lebih keras.



Alexi keluar, lalu cepat menarik Franz masuk. Ia lega Franz menyusulnya. Franz sedikit kebingungan untuk apa Alexi menariknya tapi Franz tetap menurut.



"Franz tolong wanita itu," kata Alexi sambil menunjuk seseorang yang tergeletak di lantai dingin.




"Ya Tuhan," pekik Franz begitu mengikuti arah telunjuk Alex lalu tanpa menunggu ia langsung mengangkat tubuh wanita yang begitu dikenalnya tersebut.



Sementara itu Alexi mengikuti Franz dari belakang, kedua tanggannya saling bertaut gemetar melihat darah merembes dari celana wanita asing tadi.



***

Franz berkali-kali mengetukkan sepatunya pada lantai rumah sakit, kedua tangannya saling bertaut kemudian pria itu beranjak bangun lalu duduk kembali. Hal tersebut tentu saja membuat Alexi jengah, karena Franz tampak begitu khawatir dengan wanita asing tersebut. Franz bahkan seperti melupakan dirinya.



"Franz, berhentilah mondar-mandir aku pusing melihatmu," kata Alexi dengan suara keras,ia tak peduli dimana tempatnya berada.



Franz seketika menoleh lalu duduk disamping Alexi, diusapnya bahu Alexi meminta maaf, karena terlalu cemas ia jadi melupakan istrinya.



"Maaf sayang, ayo kita pulang," ajak Franz.



"Lalu wanita itu?" Tanya Alexi, biar bagaimanapun ia tetap merasa kasihan pada wanita itu.



"Aku akan bilang pada perawat untuk menghubungi keluarganya."



Franz lalu mengandeng Alexi untuk membawa istrinya itu pulang.



"Jadi bagaimana kondisi wanita itu," tanya Carol begitu melihat Franz dan Alexi berjalan mendekat.



"Sudah ditangani dokter, sebaiknya kita pulang," kata Franz meneruskan langkahnya.



***



Sejak masuk kedalam mobil hingga mobil melaju dengan kecepatan sedang Franz tak banyak bicara. Pria itu hanya terlihat fokus pada jalanan dihadapannya. Namun tanpa Franz sadari helaan napasnya begitu kentara bagi Alexi. Wanita yang sudah menjadi istrinya itu heran dengan sikap Franz yang mendadak menjadi pendiam.



"Franz," panggil Carol dari jok belakang.



"Ya, bu? Ada apa?" Tanya Franz.



"Ibu baru ingat wanita yang kau tolong tadi, sepertinya ibu pernah melihatnya," ucap Carol sambil menerawang, karena usia yang tak lagi muda membuat ingatan Carol tak begitu tajam.



Alexi masih melihat-lihat sepanjang jalan melalui kaca namun, ia memfokuskan telinganya untuk mendengarkan pembicaraan ibu mertuanya dan Franz.



"Dia sahabatnya Shanne, bu. Apa ibu ingat sekarang?" kata Franz melihat wajah berpikir ibunya dari kaca depan.



Pantas dia begitu khawatir, ternyata sahabat Shanne batin Alexi bernapas lega.



"Ibu ingat," pekik Carol. "Tapi Franz apa kau sudah menghubungi suaminya," lanjut Carol.



"Aku sudah menyuruh pihak rumah sakit menghubunginya



mobil yang dikendarai Franz berhenti tepat dihalaman rumahnya. Ia segera membantu Alexi untuk keluar dan menggandengnya. Selama perjalaan tadi Alexi tidak terlibat percakapan, wanita itu hanya menatap keluar jendela. Franz pikir Alexi masih merasa sedih atas kehilangan bayi mereka jadi ia memutuskan tak banyak bertanya. Lagipula saat ini pikirannya sedang tertuju pada wanita itu, Joy. Entah bagaimana kondisi Joy saat ini, apa sudah sadar atau belum, lalu Ed kemana perginya pria culun itu? Memikirkan itu membuatnya ingin menyeret Ed dab menghajarnya.



"Franz aku ingin menganti bajuku, bisa kau lepas tanganmu?" kata Alexi.



Ucapan Alexi menyadarkan Franz dari dunianya sendiri, lalu ia melepaskan genggaman tangannya pada Alexi. Jika biasanya Franz akan senang hati melihat Alexi menganti baju dihadapannya namun, saat ini ia tidak tertarik sama sekali dan lebih memilih terbaring di ranjangnya. Pikirannya masih tertuju pada Joy karena biar bagaiamanapun wanita itu pernah mengisi ruang dalam hatinya. Sebenci dan semarah apapun Franz pada wanita itu takkan bisa menghapus rasa sayangnya. Sedangkan rasa cintanya, ia sendiri tak pernah tahu.

Setelah menganti bajunya Alexi bergerak naik ke atas ranjang, bergabung dengan Franz. tangannya mengusap rambut Franz dengan sayang. Entah hanya perasaanya atau memang Franz terlihat lebih lelah.



Mendapat usapan di kepalanya membuat Franz membuka matanya, ia sudah hampir jatuh tidur. Franz tersenyum lalu mendekap Alexi menjadikan Alexi sebagai guling tidurnya.



***



Suara ribut disampingnya membuat Joy terbangun, rasa pusing dan mual langsung menyapanya saat ia mencoba bergerak. Ia kemudian kembali memejamkan matanya lalu pelan-pelan ia membuka matanya.



"Joy, kau sudah bangun sayang." Itu suara Ed lalu samar-samar ia mendengar suara tertutup, siapa yang baru saja keluar?



"Apa kau haus?"



Joy menggeleng pelan, perutnya terasa mual dan sekujur tubuhnya lemas.



***

Alexi membantu Carol menyiapkan makan malam, walau sebenarnya Carol sudah melarangnya. Ia menyusun piring dan gelas diatas meja makan lalu mengisi gelas tersebut dengan air. Ada tiga gelas dihadapannya kini, tiba-tiba hatinya sesak saat menatap kursi yang biasa diduduki oleh neneknya.



"Sudah selesa-" ucapan Carol terhenti begitu melihat menantunya menatap kosong pada kursi nenek Haney. Ia tahu pasti saat ini Alexi teringat saat makan malam bersama, tak dipungkiri ia sendiri sudah terbiasa dengan kehadiran nenek Haney, kini merasa kehilangan.



"Sudah selesai, sayang?" Tanya Carol lembut, ia berusaha menghindari topik tentang nenek Haney.



"Ah? Sudah bu," jawab Alexi lalu cepat-cepat membantu Carol membawa sayur ke meja makan.



Namun, karena terlalu terburu-buru sayur yang dibawa Alexi tumpah dan kuah panasnya mengenai kaki dan tangannya. Alexi menahan panas yang menjalar di permukaan kulitnya lalu ia mengalirkan air agar kulinya tidak terbakar.



Carol hanya bisa mematung melihat apa yang baru saja terjadi, "sayang tanganmu?"



"Tidak apa-apa bu, aku ke kamar dulu," kata Alexi.


"Ibu obati dulu," ucap Carol.



"Aku akan mengotinya di kamar bu, maaf membuat makanan ibu berantakan," kata Alexi lalu masuk ke dalam kamar.



Diatas ranjang Alexi mengolesi jari-jari tangannya dengan salep anti bakar. Air mata yang berusaha ditahannya mengalir juga, harus menjadi lemah seperti ini. Ia membutuhkan Franz untuk menguatkanya tapi, pria itu entah pergi kemana saat ia bangun tidur tadi.



"Franz," lirih Alexi memanggil Franz.





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro