part 10
Franz berdiri menjulang di hadapan Alexi yang tampak kecil, tangan wanita itu masih saja membetulkan letak dasi yang sebenarnya sudah rapi. Alexi tampak tak rela melepaskan Franz yang akan pergi keluar kota. Padahal sudah seminggu lalu Franz memberitahukan, bahwa ada masalah di cabang perusahan barunya dan ia ditugaskan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
"Bukankah masih ada orang lain di kantor, kenapa kau yang harus pergi," rajuk Alexi untuk yang kesekian kalinya, ia merasa tak tenang dengan kepergian Franz.
Franz meletakan tangannya pada kedua bahu Alexi meremasnya pelan, menyakinkan bahwa ia tak akan lama, hanya sampai semua masalah selesai dan ia akan pulang. Franz lalu memeluk Alexi, sejak pernyataan cinta malam itu, hubungannya dengan Alexi berubah, semua, sudah pada tempatnya masing-masing, ia menjadi suami dan Alexi menjadi istri. Mereka terbiasa bersama, semua dilakukan bersama, dan tampaknya seminggu waktu yang sangat lama bagi Alexi melepaskannya.
"Ini hanya sebentar sayang, aku akan cepat kembali, kau mau oleh-oleh apa?" Bujuk Franz.
"Aku mau ikut, ya boleh ya?"
"Tidak."
"Tapi aku asistenmu," ucap Alexi dengan kedua tangan semakin memeluk Franz, mengunci pria itu agar tidak bisa melangkah kemanapun.
"Ya karena kau asistenku, ku perintahkan kau untuk tetap di rumah dan menjaga kesehatan, aku pusing melihatmu memaksakan bekerja."
"Tapi aku bosan jika terus di rumah," ucap Alexi mencoba memenangkan argumennya.
Franz mengusap wajahnya, se-jam lagi waktu keberangkatanya dan dirinya masih terjebak dalam pelukan istri manjanya.
"Kau bisa menemani nenek menonton atau kau bisa membantu ibu memelihara bunga di taman belakang," bujuk Franz lagi.
Alexi mencembikkan bibirnya siap untuk meledak, air matanya sudah terkumpul dipelupuk matanya, "aku tidak mau, aku hanya mau kau menemaniku, ayolah Franz, kau tidak kasihan dengan baby dan aku?"
"Jangan jadikan anak sebagai alasan kau menahanku, kau tahu aku pergi untuk bekerja kenapa kau tak mengerti juga?" ujar Franz menaikan nada suaranya, kesabarannya seakan terkuras sementara waktunya tak banyak untuk membujuk istrinya. Jika tahu kehamilan dapat membuat Alexi menjadi manja, ia akan menundanya.
Alexi melepaskan pelukkannya menatap Franz dengan mata basahnya, "ya sudah pergi sana, pergi kenapa masih disini?"
Franz menatap Alexi sebentar kemudian keluar dari kamar. Setelah Pintu kamar ditutup, Alexi duduk dengan perasaan campur aduk, ia hanya tak ingin Franz pergi, itu saja.
***
Sampai di bandara, Franz segera menelpon Alexi. Tapi istrinya itu tak menjawabnya, mungkin masih marah. Alexi menjadi sangat sensitif dan manja belakangan ini, karena kehamilannya. ia seharusnya mengerti serta menjaga perasaan Alexi, bukan membentaknya seperti tadi.
usia kehamilannya baru sepuluh minggu, dan Franz tak mau sesuatu terjadi pada Alexi dan anaknya. Jika Alexi masih ke kantor itu tak terlalu jadi masalah, tapi sekarang ia harus keluar kota, sangat rawan untuk berpergian membawa Alexi.
"Halo," ucap Franz pada ibunya.
"Hallo, kau sudah sampai di bandara? Alexi sedang hamil seharusnya kau membujuknya pelan-pelan." Franz masih mendengar suara terisak Alexi dibelakang ibunya, hatinya menjadi sakit tapi ia tak punya pilihan lain.
"Iya bu, aku tahu, aku tidak sengaja berbicara keras padanya, aku minta maaf tolong bilang padanya aku sangat menyesal."
"Hm, ya sudah kau hati-hati disana, ibu akan membujuk Alexi, jangan terlalu dipikirkan nanti kerjaanmu tidak berjalan lancar."
"Aku akan mengubungi ibu lagi nanti, pesawatku akan segera lepas landas bu, terima kasih bu dan tolong jaga Alexi untukku."
Dan setelah itu sambungan telepon ditutup oleh Franz. Carol menatap menantunya yang bersimpuh di lantai.
"Bangunlah, Alexi," ucap Carol sedemikian lembut pada Alexi yang duduk di lantai, "Franz bilang dia menyesal, dan setelah sampai dia akan menelponmu jadi ibu mohon jangan salah paham," lanjut Carol.
Tapi ucapan Carol tidak terdengar lembut di telinga Alexi. Ia kemudian bangkit lalu masuk dalam kamarnya tanpa mengucapkan apapun pada ibu mertuanya.
"Maafkan sikap Alexi," ucap Haney tak enak, bagaimanapun sikap Alexi tidak sopan pada Carol.
"Tidak apa-apa, pasti dia sulit mengontrol emosinya makanya dia seperti itu, tak perlu merasa bersalah padaku," jawab Carol lalu kembali masuk ke dapurnya.
***
Alexi duduk bersila diatas ranjang, kedua tanganya memeluk bantal yang biasa digunakan Franz. Ada rasa bersalah menghantuinya karena tidak mendengarkan ucapan Franz, sampai pria itu marah. Ia takut setelah ini Franz tidak mau memaafkannya, tapi satu sisi dirinya yang lain, hanya ingin dimengerti dan membenarkan semua tindakannya, bahwa seharusnya Franz lah yang bersalah.
"Alexi, boleh nenek masuk."
Alexi berjalan membuka pintu kamar untuk neneknya, satu lagi kesalahannya membuat neneknya khawatir.
"Masuklah, nek," katanya lalu kembali menutup pintu.
Nenek Haney mengambil duduk di tepi ranjang, sorot matanya begitu terluka melihat cucunya sepeti melihat masalalu anak-anaknya. "bagaimana perasaanmu? Sudah lebih baik, apa kau puas sekarang?" Ujar Haney pelan namun menusuk.
Alexi berdiri tak jauh dari sang nenek, ini kedua kalinya neneknya merah besar. Pertama saat dulu, ia memukul teman laki-laki dalam kelasnya dan membuat anak laki-laki itu harus diopname selama seminggu di rumah sakit. Semua itu ia lakukan karena anak laki-laki itu menghina kedua orang tuanya, terutama ibunya. peristiwa itu membuat neneknya harus memohon kepada kepala sekolahnya agar tidak mengeluarkan ia dari sekolah. Tapi ia tidak kembali bersekolah disana, meskipun kepala sekolah sudah memaafkannya.
"Alexi nenek tahu kau sudah dewasa, sudah mengerti tanpa harus nenek memberitahumu, tapi tindakanmu tadi bisa melukai hati ibunya Franz. Minta maaflah padanya," ucap nenek Haney lagi, rasa bersalah dalam dirinya seakan meletup hari ini juga.
Alexi mengangguk tanpa membantah ucapan sang nenek karena seberapa besarpun ia membela diri, ia akan tetap salah dimata sang nenek. Dan hal itu membuatnya malas untuk sekedar membuak mulut.
"Jangan menjadi seorang yang egois seperti ayah dan ibumu," ujar nenek Haney lagi.
Alexi mengepalkan tangannya, ia sangat menyayangi nenek dan kedua orang tuanya. Ia berusaha tidak mendengar saat orang lain menghina dengan mengatai kedua orang tuanya sakit jiwa. Ibunya gila karena terlalu mencintai suaminya dan ayahnya juga gila hingga berakhir merengang nyawa di lab tempatnya berkerja. Mereka menderita karena keegoisan mereka sendiri, dan Alexi tidak pernah menyalahkan kedua orang tuanya sebab ia yakin memang seperti itulah hidup yang harus dilaluinya. Ia berusaha menerima walau sulit, ia tidak menampakan rasa kecewanya pada neneknya karena tak mau membuat satu-satunya orang tercintanya khawatir. Tapi hari ini, rasanya semua pertahanannya hancur oleh orang yang paling dipercayanya, orang yang dia kira tak akan pernah mengucapkan kata-kata menyakitkan seperti itu.
"Mereka tidak egois, Nek," bela Alexi dengan air mata yang perlahan menetes.
"Tidak egois kau bilang, mereka meninggalkanmu untuk kesenangan mereka sendiri. Andai ayahmu jujur dari awal, nenek akan menyuruh ibumu menyerah saat itu, dan andai ibumu tidak egois dengan hatinya," jelas nenek Haney.
Telinga Alexi rasanya panas mendengar ucapan sang nenek.
"Nenek akan mengusir pecundang itu agar tidak membuat ibumu terluka," ujar nenek Haney dengan sinisnya.
Alexi ingin menjerit, ingin memaki tapi pada siapa? Tidak mungkin ia meminta pertangung jawaban pada manusia yang sudah tidak bernyawa.
"Nenek jahat, kenapa nenek membongkar semuanya, nenek membuat luka yang ku pendam kembali menganga, kenapa nenek tega?"
"Karena nenek tak mau kau egois, kau selalu menangis diam-diam, sama seperti ayah dan ibumu. Kau tidak pernah bilang kau kecewa dengan sikap nenek, kau selalu baik-baik saja dihadapan nenek," ucap nenek Haney dengan suara lirih.
"Nenek minta maaf, karena nenek kau terluka, maafkan nenek Alexi," lanjut nenek Haney sebelum terjatuh diatas ranjang.
Alexi terkesiap melihat neneknya jatuh begitu saja, ia segera menghampiri neneknya, mencoba membuat neneknya bangun dengan mengguncang bahunya.
"Nenek!"
***
Alexi maafkan mommy menggantikan posisi ibumu untuk merawatmu. Tapi ketahuilah ayahmu menyimpan baik seluruh hatinya hanya untuk ibumu. Ibumu berutung memiliki putri cantik sepertimu, walau dia tak sempat merawatmu aku yakin dia selalu menjagamu dengan caranya. Alexi sayang aku menyayangimu, ibumu dan ayahmu. Walau aku tahu ayahmu tak pernah melihatku, tapi aku senang hanya dengan berada di dekatnya, mengirup udara yang sama dalam rumah yang sama. Melihatnya setiap hari adalah hal terindah setelah dirimu. Aku mungkin terdengar seperti maniak, yang selalu mengejar ayahmu. Tapi ketahuilah cintaku padamu sama besarnya seperti cintaku pada ayahmu. Bahkan aku rela ayahmu tidak melihatku, asal aku bisa merawatmu seperti anaku sendiri.
Kupikir setelah sekian lama, ayahmu akan melihat diriku dengan tatapan yang lain. Tapi nyatanya aku salah, ibumu masih menjadi pemilik hatinya. Aku bebas melihat raganya tapi tidak dengan hatinya. Walau begitu aku tidak menyerah untuk berada disisi ayahmu merawatmu dengan seluruh kasih sayangku, memastikan kau tak kehilangan sosok ibu dipertumbuhanmu. Tapi aku gagal, hatiku menjerit, meronta agar dibebaskan dari rasa sesak setiap hari ku telan. Dan ujung dari semua itu saat ayahmu bilang aku wanita jahat yang memanfaatkanmu agar bisa bersamanya.
Aku menyerah, menyuruh ayahmu untuk pergi, dan saat itu adalah saat terakhir aku melihat ayahmu. Aku kehialangannya, dia pergi tanpa mengucapkan terima kasih padaku, aku kecewa, aku marah dengan diriku, dan aku kehilangan arah. Tapi itulah cinta aku yang memilih akulah yang menjalani, ketika cinta itu tak terbalas harusnya aku tak perlu kecewa, karena aku memilihnya.
Alexi saat ini kau mungkin mengerti dan bisa memafkanku, mommy sayang padamu, hiduplah dengan baik, pilihlah kebahagiaanmu, seperti mommy yang bahagia, walau akhirnya aku membuatmu menderita, maafkan aku.
Alexi meremas kertas ditangannya, dia memukul-mukul dadanya yang mendadak sesak. Semua pertanyaannya terjawab sudah. Wanita yang selama ini dia anggap ibunya ternyata bukan ibunya. Dan ayahnya telah membuat wanita yang begitu tulus menyia-nyiakan hidupnya dengan merawatnya. Alexi kembali menangis hingga jatuh pingsan.
***
Franz terus menggenggam jemari Alexi yang dingin, menyesal meninggalkan Alexi seorang diri. Alexi baru saja kehilangan neneknya harusnya ia tetap menemani saat Alexi menyuruhnya pergi. Ia tak menyangka kepergiannya ke luar kota ternyata menyisakan kejutan yang luar biasa. Ibunya mengabarkan bahwa nenek Haney terkena serangan jantung dan nyawanya tak bisa tertolong. Saat itu pula ia hanya memikirkan Alexi, ia segera meninggalkan tugas dan mengambil penerbangan paling awal agar cepat sampai.
"Bangunlah sayang, aku disini," ujar Franz, ia sangat khawatir dengan keadaan Alexi, saat proses pemakaman tadi Alexi tidak mengeluarkan air mata sedikitpun.
"Franz kau pulanglah dulu, biar ibu yang menjaga Alexi, kau belum istrirahat sejak kemarin," ujar Carol mengusap bahu putranya yang terlihat kacau.
Alexi belum membuka matanya sejak dua hari kemarin dan selama itu Franz tak pernah beranjak dari sisi Alexi. Carol sebagai ibu tentu sangat khawatir dengan Franz.
"Istirahatlah, jika begini kau akan sakit juga," bujuk Carol.
"Tubuhku kuat bu, jadi jangan khawatir sebaiknya ibu pulang, aku akan menyuruh Max untuk menamani ibu."
Franz mengantarkan ibunya keluar ruangan perawatan Alexi, didepan Max sudah menunggu.
"Temani ibu malam ini, Max."
"Kau tenang saja, ibu aman bersamaku. Dan aku ikut sedih untukmu dan Alexi. Aku pernah dalam keadaanmu, jika terjadi sesuatu ingat kami ada bersamamu," ucap Max bijak.
Franz tersenyum, lalu membalas pelukan Max.
"Sudah, jangan terlalu lama berpelukan, apa yang dipikirkan mereka jika melihat dua manusia tampan saling berbagi kehangatan seperti ini," kekeh Carol mengalihkan keadaan agar lebih santai.
Franz dan Max pun saling melepaskan diri dari kehangatan pelukan mereka lalu dengan kompak mereka membawa Carol masuk dalam pelukan.
"Pelukan hangat dua manusia tampan," ucap Franz dan Max bersamaan lalu tertawa bersama. Setidaknya Franz bisa sedikit mengurangi rasa sedihnya.
***
Cahaya silau perlahan menusuk matanya yang terbuka, memenuhi indra penglihatanya yang semula gelap tak berwarna. Bau khas obat-obatan menyapanya lebih dulu, dan saat tangannya akan bergerak menutup hidung, ia baru tahu sebuah selang tertanam ditangan kanannya.
Rumah sakit, kenapa ia sering mengunjungi tempat itu belakangan ini. Ah ya neneknya juga pergi di tempat ini. Apa ia juga harus berada di tempat yang sama dengan neneknya. Alexi menghela napasnya, menoleh kesamping pada pria yang sedang meringkuk di sofa. Tidur atau ketiduran dengan posisi yang sangat mengenaskan diatas sofa kecil. Pria itu yang diabaikannya karena terlalu fokus pada dirinya sendiri, dengan kesedihan kehilangan neneknya. Pria itu juga titik awal perdebatan neneknya, andai pria itu tidak pergi, andai ia tidak keras kepala. Dan akhirnya hanya menyisakan andai.
Franz merenggangkan otot-otot tubuhnya, tertidur diatas sofa yang ukurannya lebih kecil dari panjang tubuhnya, sangat membuatnya tersiksa. Tapi semua itu ia lakukan dengan senang hati demi menunggu Alexi yang belum membuka mata. Setelah cukup mengendurkan ototnya, ia menyeret kakinya agar lebih dekat dengan ranjang Alexi. Ditatapnya wajah itu, dibelainya dengan lembut seperti mengusap porselen agar tidak rusak.
"Kau belum cuci muka sudah berani menyentuh wajahku," ucap Alexi sambil membuka matanya.
Franz terdiam lalu detik berikutnya ia menubruk tubuh Alexi dengan pelukan. Alexi mengusap bahu Franz menenangkan pria itu dan menyuruhnya segera beranjak.
"Maafkan aku," ujar Franz, tangannya mengenggam tangan Alexi yang sudah menghangat, "kau sudah bangun, terima kasih Alexi."
"Hm."
"Bagaimana perasaanmu?"
"Baik."
"Jangan bohong."
"Aku tidak bohong."
"Menangislah dihadapanku Alexi."
"Kau menyuruhku menangis, apa dengan itu semua akan kembali? Tidak Franz."
"Setidaknya bisa sedikit mengurangi kesedihanmu."
Alexi diam, ia sedih, ia kecewa, ia marah, "lalu kenapa kau tidak menangis? Kau juga kehilangan bukan?"
"Aku seorang laki-laki Alexi, pantang bagiku untuk menangis."
"Walaupun itu demi anakmu?" tanya Alexi pelan.
Franz kehilangan kata-katanya, bohong jika dia tak menangis, sebelum Alexi sadar air matanya sudah mengucur deras.
"Maafkan aku," ucap Alexi seraya menghapus sudut matanya yang berair.
Franz ikut menghapus air mata Alexi yang perlahan turun tanpa bisa dicegah. Tangis wanita itu akhirnya pecah, memenuhi ruangan dengan isak tangisnya. Lagi-lagi Franz membuat Alexi menangis.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro