
CHAPTER 8
Masih di keadaan yang sama (kemacetan padat), Julio dan Aileen memilih menonton drama lewat ponsel di bagian depan. Sedangkan David memanfaatkan kesibukan kedua temannya untuk mengotak-atik tablet, ia sedang fokus dan tidak mau diganggu. Hingga Aileen menarik paksa tabletnya secara tiba-tiba membuat David kaget.
"Tidak mau menonton bersama kami? Kata Julio drama ini bagus." Aileen menatap layar tab milik David tidak mengerti. "Kau mengerjakan apa?" tanyanya.
David buru-buru menyahut kembali tabletnya. "Hanya game Transformers, kau tidak akan paham," balasnya kesal.
"Hei!"
"Sudahlah, Alien. Dramanya sedang di puncak konflik, sedang seru. Jangan ganggu dengan ocehanmu." Julio menginterupsi membuat Aileen menoleh kembali pada ponsel Julio.
"Apa, sih! Si perempuan itu bego banget! Apa susahnya bilang kalau dia suka sama si laki-laki. Selesai, kan? Tidak perlu bertele-tele tidak jelas, menghabiskan dua jam hanya untuk mengungkapkan perasaan."
Julio berdecak kesal. "Justru itu intinya, Alien. Ini masalah perasaan dan keberanian. Sedikitlah berpikir realis. Kau tidak akan langsung bilang pada orang yang kau suka kalau kau menyukainya. Ayolah!"
"Tentu saja akan! Sudah kulakukan! Walau ditolak! Lagipula, bagian mana yang harus direalistiskan, Julio. Jelas-jelas itu hanya drama. Bertele-tele dan bikin bosan. Katamu seru! Mending nonton film The Farm atau Night Before Christmas. Itu lebih seru!"
"Apa susahnya, sih, menonton saja!?" kesal Julio. Aileen memang biang ajak ribut. Siapapun pasti kesal jika didekat Aileen.
"Aku sudah bosan setengah mati di sini, Julio. Dan aku tidak mau setengah itu bertambah menjadi sepenuhnya mati karena menonton drama bertele-tele itu! Ganti yang lain!"
Aileen mencoba merebut ponsel Julio, buru-buru lelaki itu menjauhkan ponsel miliknya dari tangan Aileen. "Pakai ponselmu sendiri, Alien!!"
"Ponselku habis baterai!! Berikan ponselmu!!"
Tuk, tuk, tuk!
Seseorang mengetuk kaca pintu mobil sebelah Julio. Ia seorang berseragam tentara serba hitam yang tadi Aileen teriaki. Pria itu mengisyaratkan untuk menurunkan kaca pintu.
Julio menoleh pada Aileen geram. "Kalau dia datang karena keributan yang kau buat. Kau yang harus tinggal. Mengerti." Julio menurunkan kaca mobilnya dan tersenyum ramah. Padahal, tadi dia menatap sarkas dengan kalimat mengancam. "Ada yang bisa kubantu?"
"Kalian semua harus turun," katanya.
"Untuk? Kami tidak salah apa-apa."
"Lihat sekelilingmu."
Mereka sontak menuruti apa yang pria itu titahkan. Orang-orang dipaksa keluar dari mobil mereka. Ada yang diancam dengan senjata juga. Para tentara itu sangat beringas saat sebelumnya mereka hanya berdiam diri mematung di sepanjang pinggiran jalan. Julio tidak yakin mereka tentara. Mungkin saja ini perampokan atau tindak terorisme, pikirnya.
"Aku meminta kalian secara baik-baik. Aku tidak akan menodongkan senjataku atau mengancam. Asalkan kalian menurut dan keluar dari mobil segera," katanya menjelaskan.
Julio dan David mengangguk bersamaan, tidak berani melawan. Rupanya, hanya Aileen yang tidak paham bahasa manusia. Gadis itu menahan Julio untuk membuka pintu mobil dan menatap pria tentara dengan geram.
"Ha!? Untuk apa!? Jika tidak ada alasan yang jelas, aku tidak sudi."
David refleks menggetok kepala Aileen, sedangkan Julio membungkam mulut lemesnya. "Diam atau aku yang akan menembakmu, Alien. Turuti saja apa maunya."
Mereka dipandu oleh tentara yang sama menuju kerumunan orang-orang. Cukup jauh dari jalan raya. Ke sebuah taman, terdapat air mancur dan patung kuda di tengahnya—monumen kota. Tidak ada komentar atau pertanyaan-kecuali teriakan Aileen yang meronta—, mereka berdiri bersama orang-orang asing. Sebagian pengemudi, mayoritas warga kota. David maupun Julio tidak banyak omong selain patuh. Mereka sudah diberi kebaikan untuk tidak diacungi senjata api atau pisau, tidak seperti orang lain.
"Gunakan ini." Tentara itu memberikan masing-masing penutup mata warna hitam. "Tetap di tempat. Dan jangan buka penutup mata apapun yang terjadi, apapun yang kalian dengar, apapun yang kalian rasakan. Kami tidak segan menembak siapapun yang tidak patuh."
"Apa yang terjadi? Apa kalian ingin merampok? Hebat sekali. Kukira kalian militer." Aileen berucap dengan nada merendahkan.
"Just shut the fuck up," balas pria itu. "Atau kau mati di tanganku, Nona Mulut Besar."
"Kau memanggilku apa!!?"
"Diamlah!!" Julio buru-buru membungkam Aileen. "Biar dia menjadi urusan kami. Kembalilah ke tugasmu, Sir."
"Aku tidak ingin mendengar atau melihatnya mengacau. Mengerti?"
"Mengerti, Sir."
🍁🍁🍁
Di kejauhan, Stevan melihat kejanggalan di sudut bangunan. Ia bersegera melirik ke arah lain. Mereka berdua, pasti utusan Maksim. Mari sebut saja bos mereka Oleksei. Stevan berjalan santai mendekati motor, dapat Stevan perhitungkan mereka bersiap menembak entah dengan pistol apa. Ia hanya bertahan dengan insting, sontak menyalakan motor membelokkannya cepat. Menghindari peluru panas yang langsung menghantam tanah.
Bersyukurlah karena Stevan memiliki pendengaran tajam melebihi batas normal,—walau tidak bisa disebut anugerah karena sangat mengganggu dan tidak bermanfaat di waktu tertentu—, ia dapat mendengar mereka mengumpat dan menyalakan mesin motor.
Stevan melajukan motornya menelusuri jalanan kecil dan sempit yang separuhnya tidak ia kenal. Di pikiran hanya cara untuk kabur dari orang-orang itu dengan selamat tanpa luka, mendapati fakta bahwa mereka membawa pistol. Stevan tidak berpikir itu ide yang bagus.
Di balik helm full face, telinga kiri Stevan berdenging hebat. Hingga terdengar suara tembakan membuat Stevan membelokkannya motor secara asal. Tidak ada satupun di otaknya untuk memilih jalan—yang bahkan asing. Stevan hanya ingin lepas dari mereka.
Tembakan terdengar sekali lagi. Meleset jauh dari tubuhnya pada aspal berlubang. Stevan berasumsi bahwa mereka tidak mengincar nyawanya, tapi ban motornya. Mereka memiliki motivasi yang jelas untuk menembak ban motor Stevan. Membawa Stevan kembali ke tempat semula untuk memancing SCP-096 tetap mengamuk di kota-kota.
Stevan menggenggam kuat stang motor. Telinganya semakin sakit dan menggila. "Si Tua Maksim. Pria sialan itu harus kubunuh dengan tanganku sendiri."
DOR!!
Motor Stevan oleng tidak terkendali dan menabrak kotak sampah besar di ujung gang. Mereka berhasil mengempesi ban motor Stevan dengan timah panas. Tubuhnya terlempar cukup jauh dari motor. Dapat Stevan rasakan, tulang lengan kanannya retak atau patah. Ia membuka helm dan melihat dua orang pengejar sudah berdiri di depannya.
"Mau diseret dengan motor atau menjadi anak anjing yang baik dan duduk di jok belakang dengan anggun? Anak Anjing manis?"
Stevan ingin menyerah. Tubuhnya benar-benar remuk berkat terpelanting dari motor yang melaju kencang. Berpikir saja dengan otak jika ia benar-benar bisa melawan mereka seperti dalam film aksi.
Stevan mencoba duduk di atas tanah berdebu, membuang napas berat dan mendongak menatap mereka. Menunjukkan puppy eyes andalannya dan raut wajah paling manis. Setidaknya, usia hampir kepala tiga tidak membuat baby face Stevan luntur. "Kau tidak lihat aku cedera? Berdiri saja tidak bisa. Kupikir kalian gentleman."
"Cih! Kau ini laki-laki bukan? Berjalan dengan kakimu, Anak Anjing Manja!" Salah satu dari keduanya menyepak kaki kanan Stevan membuatnya meringis. Yang benar saja, ia habis terjun bebas dan lemparan maut, dan seseorang menyepak luka yang bahkan belum lima menit tumbuh.
"Biar aku. Panggil yang lain untuk menjemputmu."
Yang lain. Otak Stevan sedikit berputar. Jadi mereka tidak sendiri. Musuhnya memang bukan orang sembarangan.
Preman wajah garang membopongnya sambil berdecih kesal, sedangkan Stevan mencoba untuk tetap tersenyum manis walau sangat ingin muntah melihat wajah preman sok keren itu terlalu dekat. Membawanya berjalan mendekati motor milik salah satu preman.
Yang membopong Stevan adalah pria pertengahan tiga puluh, cukup berantakan untuk disebut preman bayaran dengan tubuh kekar dipenuhi tato. Condet di wajahnya menegaskan bahwa ia sering dipukul dan memukul, atau disayat dan menyayat.
"Ada apa dengan wajahmu? Kau tahu, pria akan terlihat keren dengan bekas luka seperti itu. Menunjukkan kalau kau sangat tangguh. Aku suka." Stevan berbasa-basi sebelum perlahan menyembunyikan pistol di tangan kiri, yang sempat ia curi. Dan demi alam dan seisinya, ia ingin mengeluarkan sarapannya sekarang juga. Dalam bentuk sepiring mi instan atau apapun.
"Diam atau kupotong lidahmu," balasnya ketus membuat Stevan merengut. Dapat dilihat, pria itu sedikit percaya diri dan sok keren.
Oh, Tuhan. Ampuni Stevan karena telah berkata demikian.
Sedikit lagi, ia cukup dekat dengan teman si preman wajah garang yang membopongnya. Stevan enteng melingkarkan tangan kiri pada tengkuk si preman wajah garang. Mencoba membuatnya tidak curiga dengan melakukan kontak mata sesekali. Temannya—sebut saja preman tidak berperasaan—tengah sibuk dengan ponsel. Tidak menyadari bahaya yang mengintai nyawanya.
Stevan mengarahkan pistol yang ia curi dari si preman wajah garang pada preman tidak berperasaan, dan menembak tepat di kepala. Headshot! Stevan berseru dalam hati. Memanfaatkan keterkejutan si preman wajah garang, Stevan mengayunkan pisau dengan tangan kanan—yang sebenarnya terlalu sakit unuk digerakkan satu sentipun—pada lehernya. Pisau lipat tajam itu tidak pernah lepas dari jaket denim Stevan.
Bruk!
Mereka terjatuh bersamaan. Darah mengucur dari kedua mayat di depannya. Salah satu, mungkin masih hidup. Si preman wajah garang masih bergerak-gerak tidak beraturan mengeluarkan suara aneh. "Sekarang, aku bisa berjalan dengan kakiku sendiri, kan? Aku bukan anak anjing, Anak Anjing!"
Targetnya hanya satu. Mengacaukan rencana Oleksei. Enak saja, dia sudah memanfaatkan Stevan selama ini tanpa imbalan. Saat tugas Stevan hampir usai, Oleksei malah ingin menumbalkan Stevan pada tragedi berdarah yang diciptakannya sendiri.
Stevan meraih ponsel milik preman tidak berperasaan, sedang menelepon seseorang bernama Leonardo. Saat tersambung, Stevan masih berpikir untuk bicara apa agar ia terdengar keren. "Priston, di mana kau?" Suara dari seberang telepon.
"Di hatimu."
_____________
a/n: Mungkin up berikutnya bakal sedikit molor. Karena udah masuk konflik yg ternyata lumayan berat:v Jujur aja cerita ini mengalir tanpa plot yang jelas. Jadi agak susah ngarahin jalan cerita, plot hole bertebaran, typo nggak sempet direvisi, dkk. Nggak hiatus, cuma agak butuh waktu lebih buat nyusun alur yang masih ngalor ngidul nggak jelas.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro