Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 6

Stevan menghentikan motornya di depan sebuah restoran klasik. Menilik jam digital di pergelangan tangan kanan: pukul dua belas lewat lima belas. Jalanan ramai sejak keberangkatan, tidak seperti hari-hari biasa. Terhitung hari Minggu, jalanan seharusnya tidak sepadat itu. Stevan harus mencari jalan tikus sendiri dan hampir tersesat dibuatnya, demi menghindari kemacetan di tengah kota.

Perlahan melepas helm dan menstandarkan motornya sembarang, yang penting masih di barisan kendaraan lain, Stevan yakin tempat itu parkiran umum. Berdiri di depan restoran, mengindari teriknya sengatan matahari tepat di pucuk kepala. Stevan mengorek tas dan menemukan ponselnya, rentetan panggilan tak terjawab dari Si Tua Maksim (nama dari kontak yang tertera). Stevan tidak berminat menelepon balik si pemilik nama, tapi ia memilih 'ya' dan menelepon balik.

"DASAR BADEBAH CILIK!! KE MANA SAJA KAU!?"

Stevan refleks menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia merasa otaknya sedikit terguncang karena bentakan barusan. Sedikit mengorek telinga, Stevan menjawab kurang tertarik. "Untuk apa kau tahu? Suka-sukaku mau pergi ke mana. Aku ke Antartika juga bukan urusanmu, kan?"

"Hentikan omong kosongmu. Kembali ke tempatmu sekarang juga, Keparat!"

"Sedikitlah belajar sopan santun, Old Man. Cara bicaramu pada anak muda sangat memalukan."

"Dengar, Cecunguk Kurang Ajar. Kau hanya kelinci di sini. Berhenti bersikap sok manusia, dan kembali sekarang juga!!"

Stevan membuang napas jengah. Kenapa juga harus kembali, jika tempat yang ia datangi sekarang lebih bagus dari 'tempat kembali' itu. "Ada seseorang yang tidak boleh mati. Dan tempatku berada dekat dengan orang itu. Tidak bisakah kita pindah saja?"

"Siapa kau berani memerintahku, Kelinci Sialan! Aku tidak peduli bahkan dia anak presiden sekalipun! TETAP BERADA DI TEMPATMU SEMULA!!"

"'Panggilan sayang'mu padaku bertambah, Old Man. Aku senang. Tapi tetap. Aku tidak mau kembali."

"AKU TIDAK PEDULI! BUKAN URUSANKU DIA PERGI KE NERAKA BERSAMAMU!!"

Stevan memutus sambungan telepon sepihak, bahkan sebelum si penelepon selesai bicara. Ia menyandar pada tembok kayu, memegangi kepala yang berdenyut sebelah. Sepertinya ia memang diserang migrain. Beberapa minggu terakhir kepalanya hampir meledak karena itu. Melirik pada ponsel yang mendapat pesan masuk berupa sumpah serapah dari Maksim, Stevan tidak menyangka akan jadi seperti ini. Dulu, ia pikir saat seorang berjas putih datang ke eksekusi mati yang secara eksklusif diadakan untuknya, ia akan bebas.

Mengingat kembali. Itu sekitar enam tahun lalu. Saat Stevan masih menjadi anggota militer yang ditugaskan di sebuah pelosok pulau demi memberantas sarang teroris. Ia masih muda kala itu. Terhitung 22 tahun, dan menjadi tumbal politisi berkedok tugas negara. Timnya berangkat beranggotakan dua belas orang-yang secara logika mereka siap mati. Stevan menjadi anggota termuda dalam timnya. Menelusuri setiap jengkal tanah hampir tak tampak berkat dedaunan kering berguguran, gelapnya hutan karena rimbunnya pohon yang menghalau sinar matahari.

Stevan bukan cenayang, ia hanya bekerja pada insting bertahan hidup. Di hari ke tujuh, terjadi sebuah penyerangan pukul dua dini hari. Tim mereka benar-benar kacau karena terkepung sekumpulan teroris. Setidaknya tujuh orang berhasil kabur (termasuk Stevan), dua di antaranya ditangkap, sisanya menjadi mayat. Stevan tetap patuh pada sang kapten. Hingga hari ke tiga puluh, tak ada satu helikopter terlihat, bala bantuan nihil, pasokan makanan menipis, dan mereka terkepung oleh teroris haus darah. Insting bertahan hidup Stevan mulai pudar.

"Mau kutanya sesuatu, Kid?" ucap sang kapten saat pria lima puluh tahun itu memanggang tubuh kecil kelinci. Ia masih membawa sebilah pisau dari acara menyembelih kelinci dan mengulitinya.

Dengan tampang polos Stevan mendekat, ia penasaran dengan apa yang akan kaptennya tanyakan. Motivasi, kenekatan, atau kesetiaan. Stevan akan memuaskan setiap pertanyaan sang kapten yang diidolakan. Matanya berbinar kebiruan membingkai refleksi kobaran api kecil yang menyekat mereka berdua. Sungguh kepolosan yang menyeramkan, sang kapten tahu itu.

"Tidak banyak yang sudi bertugas denganku di sini. Kebanyakan dari mereka, menyebut jika ikut di timku hanya akan berjumpa ajal. Timku adalah tim kematian, pasukan bunuh diri, dan lain sebagainya. Lantas, kenapa kau masih ingin di sini?"

"Saya ingin bergabung karena saya sangat kagum pada Kapten! Saya yakin, kapten akan membawa kita keluar dari masalah. Tenang saja, saya akan menghapus semua julukan itu. Kita pasti berhasil!"

"Sebelum masuk tim ini, kau pasti sudah cek kesehatan mental, kan? Bagaimana keadaanmu? Baik?" tanyanya.

Stevan tersenyum dan mengangguk mantap. "Baik, Kapten. Saya sudah terlatih untuk hidup di belantara. Setidaknya ... dalam simulasi. Tapi saya yakin, saya bisa bertahan." Kalimat Stevan tertahan. Ia mengingat sesuatu yang sangat penting. "Bukan saya. Tapi kita. Kita semua. Pasti bisa bertahan."

"Aku tidak mampu lagi, Kid. Aku ingin tenang sebentar saja. Jadi, bertahanlah. Berjanjilah padaku untuk tetap hidup. Berjanjilah padaku untuk tidak sedikitpun memudarkan cahaya di matamu. Berjanjilah, Steve."

Sang kapten dengan sigap menghunuskan pisau pada lehernya sendiri. Stevan membelalak tajam. Ia sontak berdiri dan menerjang sang kapten demi menghentikan tindakannya. Tidak peduli api yang semakin memadam karena ia sempat menubruknya juga.

Terlambat. Stevan terlambat untuk menyelamatkan sang kapten yang sangat ia kagumi selama ini. "Tidak mungkin. Apa yang kapten lakukan! Kapten! Kapten!"

"Ka– kau ...."

Stevan menoleh cepat saat seseorang bersuara. Teman satu timnya mengarahkan senjatanya padanya. "Dengar. Bukan aku yang–"

DOR

Satu tembakan meleset membuat jantung Stevan hampir berhenti. Ia gemetar ketakutan menatap Stevan dengan mata memendarkan kebencian dan rasa tidak percaya.

Sebelum pria itu menembak sekali lagi—yang dipastikan tidak akan meleset dengan jarak sedekat itu—, Stevan memilih menubruknya. Membuatnya terjatuh. Namun, pria itu justru meninju kening Stevan membuatnya pindah posisi. Stevan tercekik, perutnya tertindih lutut, dan tangannya mencoba meraih pistol yang sempat terlempar. Stevan menembak langsung kepala rekannya. Stevan menyingkirkan tubuhnya.

Semua orang sontak mendekat mengarahkan moncong senjata masing-masing. Membuat Stevan semakin panik, ketakutan, dan putus asa. Tanpa pikir panjang, Stevan menembaki mereka semua. Tak ada yang tersisa. "Aku berjanji, Kapten. Aku akan bertahan hidup." Tinggal dirinya seorang, yang tiba-tiba pingsan dan diseret oleh seseorang.

"Aku tidak percaya. Ini pasti ada salah paham."

Stevan membuka mata, dan ia ada di ruangan serba putih. Rumah sakit, terkanya.

"Itu benar. Stevan sendiri yang membunuh rekannya, juga sang kapten. Dia sepertinya ... memiliki penyakit kejiwaan. Dia ditemukan pingsan di depan rumah penduduk, yang jaraknya sangat jauh dari tempat korban ditemukan. Dia benar-benar penghianat."

Korban? Penghianat? Stevan memekik dalam hati. Dia yang korban di sini. Mereka semua pelaku! Mereka semua yang penghianat!

Saat itulah, Stevan divonis hukum tembak mati. Tapi sebelum itu, ada seorang pria berjas putih yang mengenalkan diri. Membawanya pergi ke tempat paling asing—hingga rasanya Stevan seperti pindah dunia. Stevan pikir, dia penyelamat yang akan membawa ke kehidupan yang lebih baik. Tapi betapa naif pikirannya saat itu, pria tersebut justru membawanya ke makam yang lebih menyakitkan. Menjadikannya kelinci percobaan.

🍁🍁🍁

"Bocah sialan itu! Bisa-bisanya mengaturku."

Suara pintu dibuka jelas merasuk pada telinga Oleksei. Ia membuang napas berat dan mencoba merilekskan diri.

"Kudengar kau berniat memasukkan seseorang ke neraka, Oleksei?"

Oleksei menoleh, mendapati Daniel berdiri santai di ambang pintu. Cukup kontras dengan suasana ribut di site mereka yang kabur-kaburan. Telah didatangkan beberapa ilmuwan lain untuk membantu penangkapan anomali yang lepas. Mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

"Bukan urusanmu," balas Oleksei kesal. Ia sedang kalut saat ini. Dan Daniel dengan tampang tanpa dosa muncul menginterogasi.

"Bagaimana kelanjutan Scramble? Berhasil? Mungkin beberapa kamera online agak sulit menerimanya, tapi itu ide yang bagus untuk diterapkan ke kamera biasa, kan?" Daniel berjalan pelan menemui Oleksei. Membawa kakinya lebih dekat dengan meja, dan menjelajahkan matanya di layar komputer.

"Ini masih prototipe. Mungkin akan ada sedikit kecacatan. Dan itu sangat buruk jika memang ada."

"Dokter Dan! Dokter Oleksei!" Rhie menerobos masuk ruangan—yang pintunya sengaja tidak ditutup oleh Daniel—dengan panik. "Entitas berubah arah! Kecepatannya juga bertambah!"

"Menurut penelitian, ini seharusnya tidak terjadi, kan, Oleksei? Pasti ada yang salah. Pasti ada penyebabnya."

Oleksei mendelik marah. Menggenggam kuat bolpoin di tangannya. "Ya. Ada yang salah. Sangat salah hingga aku ingin meremukkan tumpukan tulang telanjang itu secara langsung."

_____

a/n: Sengaja banget ngasih flashbacknya Stevan:) Bakal kubuat ini nggak cuma pertarungan fisik dan otak, tapi juga hati dan perasaan //tawa jahat. Karena beberapa chara ada flashback biar nyambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro