
CHAPTER 4
Klakson kendaraan saling bersahut di jalur utara. Mereka memprotes ingin segera meninggalkan tempat kemacetan. Mereka memaki satu sama lain. Gracia Alexander menyuruh seluruh pengendara untuk putar balik atau mencari rute lain dengan suaranya. Sedangkan Gamma Rodes tengah berdiskusi dengan kepolisian setempat. Deputi Pablo terlihat mengayunkan kedua tangan sesekali menaruhnya di saku celana.
Mobil Saab tua biru yang berhenti di dekat Gracia kacanya membuka. Seorang pria paruh baya mengeluarkan kepalanya dan bersandar pada pintu mobil yang kacanya terbuka. Gracia tidak sanggup menahan untuk tidak menoleh.
"Hey, ada apa di depan sana? Kecelakaan? Apa kau militer Rusia? Apa ini invasi? Perang dunia tiga?" tanya pria itu dengan suara serak.
"Tidak, Tuan. Ini hanya simulasi militer yang ditetapkan kepemimpinan periode baru. Tidak ada yang perlu dicemaskan," jawab Gracia. Mereka diminta menjawab demikian agar tidak membuat warga panik.
"Apa kau mau aku membuat simulasi memukul kepalamu dengan tongkat jalan?" Gracia menoleh tidak mengerti. Mungkin itu lelucon orang tua. "Aku sedang buru-buru! Dan mereka menghalangi jalanku! Aku hanya ingin lewat dan pergi ke makam! Kau tahu? Makam istriku! Beri aku jalan!"
"Tuan, bersabarlah. Kami sedang mengatur lalulintas, sebentar lagi juga pasti bergerak."
Pria itu memicing tidak suka. "Terserahlah! Orang-orang seperti kalian memang suka seenaknya. Mau sok keren saja menyusahkan orang lain!"
Mobil depan bergerak dua meter, dan Saab milik pria paruh baya itu juga ikut maju. Ia mengeluarkan kepalanya lagi, menoleh ke belakang menatap Gracia penuh marah. "Apa kami disuruh putar balik, nak!?" tanya pria itu sambil mengayunkan tangannya geram. Ia sepertinya sudah sangat ingin meninju Gracia.
Gracia mendekat. "Jalan di depan tidak dapat dilewati, Tuan. Untuk sementara waktu. Kami hanya menyuruh mereka putar balik, bagi yang mau. Jika ingin melanjutkan perjalanan, bisa menunggu."
"Waktuku terlalu berharga untuk disia-siakan di sini, dasar tidak waras!" Pria itu masuk dan menaikkan kaca mobil. Membunyikan klakson kencang-kencang hingga Gracia mundur karena kaget. Terlihat dari kaca gelap Saabnya, pria itu nyengir tanpa dosa melihat Gracia kaget.
Gracia juga sudah geram ingin menembak kepala pria itu, jika saja membunuh warga sipil tidak dilarang. Ya, itu memang hampir tidak dilarang bagi mereka. Di situasi tertentu.
Sedangkan Gamma Rodes berhasil mengambilalih tugas untuk mengatur lalulintas. Deputi itu memang agak rumit tentang perizinan dan asal mereka. Logo organisasi mereka yang dianggap ilegal, pendaratan helikopter tanpa izin, dan memasuki kawasan dengan paksa. Hingga akhirnya ia pergi setelah pengalihan tugas dari serif kota.
"Dua kilometer! Konfirmasi! Dua kilometer!" teriakan itu muncul membangunkan atensi seluruh pasukan.
"Lapor, Kapten!"
Gamma menoleh. Terlihat pasukannya menegang beberapa saat. Padahal, mereka cukup jauh entitas. Ia mengangguk, menerima laporan.
"Warga sipil berada di jarak aman, dua kilometer menuju entitas. Laporan selesai, menunggu perintah!"
Gamma menatap sekeliling. Semua telah ia lakukan. Setidaknya, memberi ruang jalan yang luas untuk amukan SCP-096 memang keputusan yang baik. Mereka tidak tahu apa yang akan entitas itu lakukan selanjutnya. "Perintahkan untuk menggunakan penutup mata. Setidaknya, orang yang dekat dengan jalur. Sedikit saja melihat makhluk itu, misi ini akan gagal. Mengerti?"
"Laksanakan!"
Terdengar gemuruh dari kejauhan. Entitas mulai mendekati jalurnya. Gamma mengeratkan pegangan pada senjata, menahan gugup yang sedikit saja dapat mengacaukan pikiran. Suara entitas semakin jelas, bersama teriakan besar yang seakan menggema memenuhi gurun. Hingga pendengarannya menangkap debuman besar berkali-kali. Ia mencari-cari anggota yang tahu situasi di depan sana. Hingga seseorang datang dengan berlari-lari panik.
"Kapten Rodes! Lapor! Entitas tergelincir di pasir! Benda itu jatuh!!"
🍁🍁🍁
Dari bagian depan helikopter yang masih berangin, dokter Daniel keluar dengan tangan kosong. Beberapa orang membantu menurunkan barang bawaannya dari bagian belakang helikopter. Kebanyakan alat mendaki. Pria itu berlari menghampiri Oleksei yang menunggu.
"Bagaimana situasinya?" tanya Daniel. Tangan kanannya masih agak sibuk menghalau angin dari helikopter yang bisa saja menerbangkan kacamatanya.
"Sangat buruk, Dokter. Hanya tersisa aku dan dokter Rhie Ölaf. Aku tidak yakin, tapi mungkin saja di dalam sana masih ada yang hidup," jelas Oleksei.
Daniel menatap Rhie, kemudian beralih ke gedung penahanan yang kacau. "Aku baru pergi kurang dari empat bulan, dan ini yang terjadi? Aku berusaha untuk percaya padamu, Oleksei! Dan kau malah menghancurkannya!!"
"Tu– tunggu, dokter." Rhie membuka suara dengan kikuk. "Ini tidak akan selesai jika kita bertengkar. Jadi ... mari kita pikirkan bersama cara penanganan terbaik."
"Penanganan terbaik, katamu!?" bentak Daniel sekali lagi. Ia membuang napas gusar dan memijat keningnya pelan. "Kita bahkan tidak bisa mendekatinya. Bagaimana cara kita melawan?"
"Ada banyak cara, Dokter Dan! Pasti ada!" ucap Rhie.
"Dan," panggil Oleksei membuat Daniel mendongak menatapnya. "Bukankah kita ilmuwan? Kita tidak hanya meneliti, kita juga menciptakan. Kau ingat peralatan Scramble yang pernah ditolak O5? Kita hanya perlu pemutakhiran dan itu akan berhasil."
"Scramble?" Rhie membeo tidak mengerti.
"Ikutlah, akan kutunjukkan." Oleksei berbalik dan berjalan menjauh.
Mereka sampai di ruang kerja Oleksei sendiri. Sedikit berantakan dengan pintu yang rusak karena keributan beberapa jam lalu. Ia masuk dan membuka lemari peralatan, mengeluarkan sebuaj kotak berangkas dan membukanya dengan enam digit kode angka.
Oleksei mengeluarkan sebuah kacamata inframerah yang biasa digunakan tim militer saat malam hari. Benda itu dapat mendeteksi panas dan melihat tubuh manusia walau dibalik tembok sekalipun dengan bantuan suhu panas tubuh mereka sendiri.
Telah dimodifikasi dan terlihat berbeda dari sebelumnya. "Kami memberi nama benda ini Scramble. Benda ini dapat membantu untuk melihat tubuh SCP-096, dan mengacak rupa wajahnya dengan otomatis."
Rhie terperangah. "Bagaimana Dewan-O5 dapat menolak alat secanggih ini? Ini bisa membantu penelitian, dan saat-saat mengerikan seperti sekarang. Andai tim militer menggunakan Scramble, mereka bisa menghentikan makhluk itu, kan? Semua ini tidak perlu terjadi. Teman-temanku tidak perlu terbunuh!"
"Ya," balas Daniel kesal. Ia memang telah kepalang marah pada Dewan-O5 yang selalu menjegal. Mereka mengerti betapa berbahayanya entitas itu, dan mempercayakannya pada Daniel. Tapi mereka sendiri yang selalu menghalangi Daniel untuk menetralisir entitas itu. "Mereka tidak mengerti. Makhluk itu adalah bom waktu, yang dapat meledak kapanpun tanpa bisa diprediksi. Tapi mereka selalu menghalangiku untuk membunuhnya."
"Tidak memutus kemungkinan, mereka ... ingin hal ini terjadi." Oleksei menimpali dan tersenyum miring. Di antara raut marah kedua rekannya.
🍁🍁🍁
Dengan tenang, Aileen menaruh cangkir kopi hangat di meja. Matanya tak beralih dari siaran televisi yang menayangkan berita cuaca esok hari. Sedangkan Julio memilih bersantai di ruang tamu dengan puzzle anjing pudel raksasa.
Mereka memutuskan untuk tinggal hingga tengah malam dan merayakan ulang tahun Rigel. Lauren sendiri tengah menjahit di sofa single ruang keluarga, sedikit-sedikit melirik apa yang Aileen tonton di televisi. Berganti pada Tom and Jerry yang hampir tidak pernah akur. Aileen menikmati kopinya dengan tenang.
"Di mana David?" tanya Rigel yang baru saja keluar dari kamar dengan piama merah muda. Ia menatap sekeliling dan berhenti di orang-orang yang saling mendiamkan dan sibuk dengan tenangan masing-masing. Namun, matanya tak menemukan David di sana.
"Oh, dia di luar," jawab Aileen cepat setelah meneguk sedikit kopi hangatnya. "Katanya, sih, mau memotret bintang. Kau tahu, lah, di kota cukup sulit menemukan yang seperti itu. Ingin membuat kenangan alibinya."
Rigel mengangguk dan berjalan keluar rumah. Melewati Julio yang masih fokus menyelesaikan puzzle Dengan tenang di karpet. Di luar, ia tak mendapati siapapun termasuk David dan kamera—yang katanya akan memotret sesuatu untuk kenangan.
Rigel mendongak, semburat jingga telah luntur beberapa waktu lalu. Langit gelap menyerbu seolah enggan membiarkan bumi bersinar barang sejenak sehabis senja. Bulan menampakkan wajah di antara bintang-bintang yang mulai bertebaran. Di bawah bintik bersinar langit, Rigel menengadah. Sudah lama ia tak merasakan kesunyian, ketenangan dan hangatnya udara di malam hari.
Kota besar sumpek seperti New York terlalu sulit mendapatkan ketenangan. Orang-orangnya seakan bisa mempercepat waktu dan gerakan mereka. Kebisingan dan polusi kendaraan, tetangga yang suka marah-marah bahkan 'people upstairs' yang sering berpesta dengan musik keras. Rigel merasa cukup tinggal di apartemen dan memiliki tetangga gila.
Di bawah temaram, David mengawasi rumah tetangga. Bersekat tiga rumah dari kediaman Lauren. Ia melihat dengan kameranya. Bukan kamera biasa, itu adalah kamera khusus yang dirancang untuk melihat dari jarak jauh dengan jelas. Semacam teropong, namun lebih ringkas dan simpel. Pria yang tinggal di rumah itu tidak melakukan apapun selain merokok dan menonton televisi. Berjalan pelan mendekati kulkas dan mengambil cup es krim besar rasa stroberi. Tidak ada yang mencurigakan dari rumah maupun gelagat pria yang tinggal di dalamnya.
David memilih mengakhiri sesi mengawasi dan kembali ke rumah Lauren. Ia masih tidak mengerti dengan pria yang tinggal tiga rumah dari rumah Lauren. Apa yang aneh darinya? Ia tampak normal seperti orang-orang kebanyakan. Di perjalanan, David bertemu Rigel. Seperti tengah mencari sesuatu, ia celingukan menatap kesana-kemari.
"Rigel, kenapa di luar? Kau tahu, gurun juga bisa dingin di malam hari. Kau bisa sakit. Tubuhmu belum terlalu menyesuaikan diri dengan gurun, kan?" David datang dengan kameranya. Ia tersenyum diterpa lampu emperan rumah.
"Ya ... soal itu ...." Rigel menjadi gugup sekarang.
"Oh, tetangga tiga rumah sebelah sana." David menyela. Ia menunjuk rumah yang berdiri bersekat tiga rumah lain dari rumah Rigel. Itu kediaman keluarga Anthony. "Aku bertemu dengan pemiliknya saat berjalan-jalan, dia orang yang ramah, ya? Namanya Stevan, kau pasti mengenalnya."
"Ya, aku mengenalnya. Sangat baik. Kau benar, dia orang yang ramah dan tidak mudah marah. Hanya saja, dia tidak terlalu suka rahasia."
"Rahasia seperti apa?" tanya David.
"Kamera yang kau pegang itu? Bukan seperti kamera untuk memotret sesuatu." Rigel mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia memang sangat ingin menanyakan hal itu pada David. Kamera yang dipegangnya, memang mirip seperti kamera pada umumnya. Namun terlihat aneh saja, Rigel juga hanya iseng bertanya.
"Kujelaskan juga tidak akan tahu," balas David lalu tertawa pelan.
"Hei, hei. Aku lebih paham dari kameramen!"
Dari balik rumah, Stevan mengawasi pergerakan Rigel dan teman kerjanya—David. Instingnya terlalu kuat untuk tidak merasakan bahwa seseorang tengah mengawasi. Saat melihat ke luar, matanya bertemu David dan Rigel. Ya, mungkin instingnya sedikit meleset. Mereka hanya saling mengobrol dan melempar tawa. Tapi tetap saja. Stevan akan menguatkan perhatian pada sekitar. Ia tidak boleh kecolongan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro