Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 1

Siang itu begitu terik. Jalan-jalan seolah meleleh dengan pembiasan sinar matahari, bergelombang seperti air mengalir. Namun hanya ilusi semata. Mobil Uber berhenti di depan sebuah rumah bercat biru, berada di tengah permukiman kecil. Anjing golden retriever menyalak dari rumah tetangga, seakan minta diguyur air hanya untuk meredam panas. Sedikit menyapu pandang, Rigel—yang baru turun dari mobil—telah bersua dengan padang sabana.

Hamparan kecoklatan luas dengan sedikit air, ditumbuhi rerumputan tandus, berdiri pagar kayu bersanding dengan pagar jaring besi. Rigel hampir menyamankan diri dengan salju di Amerika, dan ia harus kembali ke perkampungan tempat ia dilahirkan. Baru menginjak tanah coklat itu saja, Rigel seakan bisa mendengar jeritan gitar yang dipetik bergemuruh seperti dalam film-film.

Burung Hering bertengger di puncak rumah biru tersebut. Mungkin kenyang setelah memakan bangkai ternak warga. Celotehan kecil ia dengar dari sebelah, orang-orang dengan kaus oblong putih—yang biasanya gemuk dan memiliki humor sangat tinggi—tengah menikmati bir bersama di halaman rumah. Bercanda seperti pria tua yang kelebihan komedi.

"Hey!" pekikan itu muncul membuat Rigel hampir terlonjak dan menjatuhkan koper beratnya. Rigel menoleh ke arah sumber suara, pria-tua-yang-kelebihan-humor dengan rekannya mengacungkan botol bir. Masih tersenyum ramah dalam pesta kecil-kecilan, atau apapun itu yang tengah mereka lakukan.

"Terimakasih, Tuan." Rigel hampir masuk sebelum ia memgingat sesuatu. Ia memundurkan langkah dan kembali pada sekelompok pria di halaman rumah tetangganya. "Permisi, apa ibuku ada di rumah?" tanya Rigel agak mengeraskan suara.

Namun, pendengaran pria itu sepertinya sudah agak berkurang dari normal. Ia menaruh gelasnya dan berjalan ke arah pintu pagar, berniat menghampiri Rigel dan mungkin melakukan percakapan singkat. Rigel hanya bisa menunggu pria itu sampai dengan menumpukan beban tubuhnya pada satu kaki, dan kaki lainnya terlihat mengetuk-ngetuk pada lantai kayu depan rumah.

"Tunggu, tunggu. Apa kau Abigail Lauren? Astaga, kau sudah sangat dewasa dan sangat cantik. Berapa usiamu? Sudah menikah?" Pria itu seolah memeta tubuh Rigel dari bawah sampai atas, pakaian fancy Rigel sempat mengambil perhatian. Apalagi dengan boots beludru hitam semata kaki yang menyatu dengan ujung jeans biru. Menganggap bahwa Rigel gadis kota yang tersesat.

"Maaf, Tuan Stephan. Namaku Rigel. Dan, yah. Aku sudah memiliki sesuatu untuk dibanggakan sekarang. Juga, aku belum menikah." Rigel membalas dengan senyum lebar. "Aku hanya bertanya, di mana ibuku? Bukan seharusnya dia di rumah?"

Pria itu nampak berpikir sejenak sebelum membawa perut buncitnya pada jalanan dan luasnya sabana. Ia menunjuk satu bangunan—yang juga berdiri berkat susunan kayu—di seberang jalan sebelah kanan. Tidak terlalu jauh. "Biasanya Lauren mengurus nenek tua di rumah itu. Ah! Dan cucunya yang sedang hamil besar. Suaminya pergi ke kota, dia hanya mengirim uang lewat pos seolah dia tidak dibutuhkan. Cek saja, ibumu orang yang sangat baik."

"Terimakasih, Tuan."

"Bukan masalah. Kami mengadakan acara pensiunan pekerja tambang di rumahku. Ada daging, sosis, dan semacamnya di sana. Kalau kau bisa, datanglah. Kami juga mengajak Lauren, jika dia mau." Pria yang sama menunjuk kerumunan di halaman rumah sebelah, beberapa dari mereka melempar senyum lebar membuat pria itu mengayunkan tangan dan mengacungkan jempol dari depan Rigel. Lalu kembali pada Rigel.

"Terimakasih atas tawarannya, Tuan Stephan. Tapi sepertinya tidak. Sebelum berangkat, aku sempat makan. Dan aku kenyang sekali. Biar nanti kusampaikan pada ibu. Lagipula, aku juga sangat lelah. Perjalanan dari New York sangat jauh."

Stephan menggaruk perut buncitnya tiga kali, dan mengangguk. "Yah ... kau pasti sudah belajar banyak di sana. Manfaatkan itu dengan baik. Aku akan kembali. Jika kau butuh sesuatu, bilang saja padaku atau Sarah. Dan, datang atau tidak, kami menunggumu di acara. Istirahatlah, Carel." Pria itu berjalan pergi, kembali ke habitat aslinya. Halaman rumah tetangga yang sangat riuh dengan beberapa orang, menenggak bir atau makan daging setelah membakarnya.

Rigel juga tidak menginterupsi, tidak masalah pria itu salah menyebutkan namanya. Lagi. Ia sudah hampir terbiasa. Gadis itu memasuki rumah yang tak terkunci, menuju kamar lamanya yang telah dibersihkan dan ditata ulang oleh ibunya. Rigel menaruh baju-baju dan benda lain, mengeluarkannya dari koper dan tas besar yang ia bawa dari kota. Terdengar pintu dibuka lebih lebar, itu pasti Lauren. Rigel berlari ke arah ruang tamu.

Bertemu Lauren tengah membawa sekeranjang Opuntia*. Perempuan paruh baya itu segera menaruh keranjangnya di meja dan mendekat pada putrinya. Memeluk Rigel tanpa sepatah kata, dan melepasnya dengan senyuman kerinduan. Lauren menangkup pipi Rigel dengan kedua telapak tangan. "Akhirnya, putriku kembali. Aku sangat merindukanmu. Duduklah, ceritakan padaku tentang apapun yang terjadi di kota."

"Ya, aku berhasil menjadi reporter lapangan. Untuk saat ini, aku akan menikmatinya dulu. Mungkin setelah itu, aku akan lebih sering muncul di televisi. Aku pulang karena aku rindu tanah kelahiran, juga Ibu. Dan aku bertemu dengan Tuan Stephan yang tengah mengadakan acara pertemuan perserikatan pensiunan tambang di rumahnya. Ibu diundang, apa tidak mau datang?"

"Aku sudah memasak untuk mereka sebenarnya. Pie apel. Dan lihat, aku dapat Opuntia dari Deniah. Kau tahu, aku agak khawatir dengan kandungannya. Dia akan melahirkan sebentar lagi. Aku semakin gelisah, sedangkan suaminya belum juga bisa kembali. Astaga .... Apa yang dia lakukan sebenarnya?"

Rigel tersenyum geli. Ibunya terlalu peduli pada orang lain, hingga lupa untuk peduli pada diri sendiri. Itulah Lauren. "Bu. Deniah baik-baik saja."

Bermenit melepas rindu, Rigel memutuskan untuk membantu Lauren memasak. Setelahnya, tertawa bersama di rumah tetangga yang kian dipenuhi orang-orang selain para pensiunan pekerja tambang. Memasak daging hingga tandas, menghabiskan beberapa botol bir dan anggur.

Sore hampir menjelang, dan orang-orang mulai meninggalkan rumah mungil tetangga dengan tawa menyenangkan. Sibuk melambai dan mengucap berbagai kalimat selamat tinggal sebelum benar-benar pergi. Termasuk Rigel, ia memilih kembali dan meninggalkan Lauren di sana untuk berbenah dengan kekacauan.

Rigel membawa kakinya menjelajah sabana. Di atas aspal—yang masih lumayan panas—Rigel menemukan seseorang yang sangat tidak asing tengah membawa kotak kardus menyeberang jalan. Rigel berhenti sejenak untuk mengamati langkah lebar itu membawa kotak kardusnya. Berhenti di depan sebuah tempat sampah besar—biasa dipakai untuk pembuangan akhir—, lalu membuka tutup lebarnya.

Rigel menghampiri sebelum kotak itu dilempar pada kotak paling bau sejagat. Orang itu menoleh, wajah kagetnya kurang sepadan dengan aktivitas yang ia hentikan. Kulit putih hampir kecoklatan—terlihat dari lamanya ia tinggal di daerah gurun setelah berlama di daerah empat musim, rambut pirang madu dan mata birunya benar-benar mempesona. Lelaki itu sedikit mendekat masih dengan kotak kardus.

"Rigel?" Ia tersenyum lebar seolah tak lagi pernah melakukannya sejak terakhir bertemu. Rigel menunduk canggung. Ia bingung hendak mengawali perjumpaan mereka seperti apa. Segera matanya bertemu pada kotak kardus yang dibawa sang lelaki.

"Hai, Steve. Lama tidak bertemu." Rigel menyeimbangi senyum Stevan De Anthony—mantan kekasih yang dulu telah menginjak masa pertunangan. Senyum yang dapat menyembunyikan luka paling sakit di hatinya. Dan menyiratkan bahwa ia tidak apa-apa. "Apa yang akan kau lakukan dengan kotak itu? Membuangnya?" Rigel menunjuk kotak yang dibawa.

"Ah, ini." Stevan agak mengangkat kotaknya, namun tak juga berniat menunjukkan isinya pada Rigel. "Begitulah. Ini hanya benda-benda rongsokan tidak terpakai. Memenuhi gudang. Tidak ada yang menginginkannya juga."

Rigel mengangguk dan hampir kehilangan topik. Ia tahu Stevan terbebani dengan kotak kardus berat mengganggu yang ia peluk sejak tadi, tapi Rigel ingin mengobrol dengannya lebih lama. Rigel tidak sengaja melirik kotak yang lebih kecil di dalamnya, mencuat sebuah kertas putih mengilap. "Apa kau juga akan membuang sebuah foto?" tanya Rigel mengambil kotak merah kecil dari dalam kotak kardus.

"Foto? Tidak, isinya hanya perkakas lama yang sudah rusak. Dan rongsokan. Aku yakin itu." Stevan ingin merebut kotak itu dari Rigel, namun gadis itu menjauhkan tangannya. Stevan menyerah dan membiarkan Rigel membukanya. "Itu pasti ada di sana saat aku beres-beres. Aku tidak sengaja menaruhnya."

Rigel melihat-lihat beberapa polaroid yang hampir luntur. Stevan mendekat, ikut bernostalgia dengan foto-foto lama yang menunjukkan kesenangan. Stevan tengah mendaki, pria itu suka mendaki. Terutama gunung bersalju. Dan sepertinya, Stevan tak lagi melakukan hobi itu sejak beberapa tahun lalu.

Rigel dengar bahwa Stevan telah memiliki pekerjaan tetap yang bagus setelah lulus kuliah. Banyak yang telah berubah sejak mereka berpisah dua tahun lalu. Begitupun Rigel, ia tak pernah tinggal diam untuk meraih impiannya.

Jemari Rigel sampai di salah satu foto Stevan berdiri di hamparan luas salju. Rigel tidak bisa mengira-ngira Stevan tengah berada di gunung apa, tempat itu sangat asing di mata Rigel. Hingga Stevan menyahutnya cepat, sebelum Rigel meneliti foto tersebut. "Hey!"

"Terimakasih sudah menemukannya, Rigel. Foto-foto ini sangat berkesan. Aku tidak percaya aku akan membuangnya." Stevan memasukkan semua foto ke dalam kotak. Ia juga mengambil kembali kotak kardus yang sempat ia taruh di bawah. "Sepertinya, aku akan memilah ulang benda-benda ini. Aku takut ada benda berharga lain yang terbuang. Dan ... aku pikir kita bisa menjadwalkan hari untuk bertemu lagi?"

"Tentu. Aku di sini untuk liburan, jadi aku bebas setiap waktu. Atur saja."

Stevan menggidikkan sebelah bahunya dan tersenyum canggung. "Ya, aku agak sibuk untuk sekarang. Kau tahu. Aku harus pergi." Rigel mengangguk pelan dan membiarkan Stevan pergi.

Sampai kembali di kursi depan rumah, Stevan kembali membuka kotak merah berisi foto klasiknya. Melihat satu foto yang sangat asing. Ia bahkan lupa pernah berfoto di tempat seperti itu. Ia berdiri, menggunakan jaket tebal khas pendaki gunung salju, dan difoto oleh seseorang. Stevan menelisik background tempat ia berfoto, luasnya salju dan beberapa pohon cemara.

Dan benda putih lain yang seolah berdiri lebih tinggi dari pohon-pohon di sana. Mungkin salju yang menunpuk atau benda seperti itu. Stevan memutuskan untuk menata ulang barang, memilah kembali dan menata foto-foto tersebut ke dalam album. Mereka sangat berharga.

———
Opuntia*: Buah kaktus yang dapat dimakan langsung, atau dimasak. Biasa dijadikan kuliner. Bertekstur lembut dan memiliki banyak biji di dalamnya. Mirip seperti buah naga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro