Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tiga

Iko merasa hajatnya tidak bisa ditahan lagi. Antrian masih panjang untuk dapat memasuki kamar kecil, tempat bertelur ratusan orang di sini. Dengan membawa termos nasi dan gelas plastik, karena timbanya entah sedang dipinjam siapa saat ia ingin pergi mandi tadi. Iko keluar dari antrian panjang sesama perebut hak untuk buang air kecil. Sedikit berlari naik menuju belakang kamar mandi terbuka di sebelah WC buatan tempatnya berdiri.

Sudah tanggung dengan perutnya, ia memasuki hutan dan menyusuri aliras sungai yang terlihat samar dalam pandangan. Untungnya ia dbantu sinar rembulan malam. Meski rangkaian kegiatan sudah berakhir, namun kesibukan di bumi perkemahan tak kunjung berkurang. Selesai melakukan kegiatan, sudah pasti setiap orang akan berebut mandi meski malam menjelang.

Menyusuri aliran sungai sedikit menjauh dari perkemahan, akhirnya Iko menemukan tempat yang agak tersembunyi untuk mengurangi sakit perutnya. Dengan jongkok dan berpegangan pada rumput yang bergoyang, iko mengeluarkan segenap usaha. Diiringi peluh yang mulai menetes sebesar jengkol di dahi, turun ke pipi hingga ke leher. Matanya memejam sempurna seakan menghayati. Handuk yang melingkar di leher ditutupkan ke hidung.

Selesai dengan usaha kerasnya, Iko mendekat ke arah sungai kemudian membersihkan diri. Kaus lengan pendek ia letakkan di pinggir sungai. Hanya mengenakan celana pendek, Iko mengguyur tubuhnya dengan air sungai.

"Lumayan juga nggak antri panjang," gumamnya sambil menggosok badan dengan sabun cair yang dibawa dalam termos nasi.

Krrukk.

Srreek.

Telinga Iko menangkap suara ranting yang diinjak, daun kering yang tertiup angin juga langkah kaki. Iko menoleh mencari-cari siapa yang membuat malamnya sedikit terganggu. Tanpa ada cahaya yang ia bawa karena hanya mengandalkan sinar rembulan, Iko mulai mawas diri. Segera diakhiri kegiatan mandi. Memakai baju dan berjalan hendak kembali ke perkemahan.

"Tolong!"

Langkah Iko berhenti seketika begitu mendengar suara seseorang meminta tolong. Ditolehkan pandangan menyapu semua bagian hutan dan sungai, sepanjang penglihatan yang dapat dijangkau matanya.

"Hush! Hush! Pergi, hush!"

Iko kembali menajamkan pendengaran dan berusaha menelusuri sumber suara. Matanya memicing pada seekor monyet yang sedang tarik menarik dengan seorang perempuan memperebutkan baju. Iko berlari sambil membawa ranting, membantu si perempuan mengusir monyet.

"Hush!" Monyet tersebut lari terbirit-birit begitu Iko mengarahkan ranting untuk mengusirnya.

"Kamu nggak papa?" tanya Iko pada seorang perempuan yang membelakanginya, begitu monyet tersebut sudah pergi.

Shit!

Umpat Iko begitu mata perjakanya melihat punggung polos yang basah, meski hanya terlihat samar lewat semburan sinar sang malam.

Matanya membelalak. Susah payah menelan ludah, begitu satu-satunya kain yang melapisi tubuh gadis tersebut merosot. Usianya sudah dua puluh dan ini pertama kalinya ia melihat punggung polos yang langsung membangkitkan sesuatu hingga bergejolak.

"Kamu balik badan, aku mau pakai baju." Meski rasa penasaran menguasai dan matanya yang melirik sedikit demi sedikit, namun lemparan kerikil pada kepalanya membuat Iko mengaduh dan langsung mengurungkan niat.

"Kalau kamu coba mengintip, bukan cuma kerikil yang aku lempar tapi timbaku juga!" peringat si gadis dengan galak, membuat Iko menghela napas berat.

*******

"Makasih udah bantu ngusir monyetnya," ungkap Thifa pada laki-laki yang kini berjalan bersamanya melewati rimbunan pohon dan jalan menanjak untuk kembali ke perkemahan.

Laki-laki yang menolong barusan, ternyata orang yang tadi pagi duduk di sampingnya saat di bus.

"Sama-sama."Iko tersenyum. "Kamu mandi di sungai tadi?" tanyanya.

"Iya, aku malas antri sedangkan tubuhku sudah gatal karena keringat," terang Tifa. "Kamu sendiri kenapa ada di sana juga?" Iko menoleh ke arah Tifa sambil tersenyum. "Aku juga sama kayak kamu." Tifa hanya mengangguk-anggukkan kepala.

"Nama kamu siapa? sepertinya kita sudah ketemu beberapa kali tapi belum kenalan."

"Nicko, panggil saja Iko, kalau kamu?" tanya Iko balik. "Tifa"

Sreekk.

"Aww!" Tifa kaget karena seekor monyet melompat ke tubuhnya. Tangan monyet tersebut langsung mencengkeram saku depan seragam cokelat muda yang dipakai Tifa. Tanpa pikir panjang, Iko langsung menggerakan tangan ke saku depan Tifa. Tanganya tumpang tindih dengan si monyet. Setelah mendapatkan tangan si monyet dengan mencengkeram---sesuatu di balik saku tersebut---Iko menarik lepas monyet dari tubuh Tifa dan menurunkan ke tanah sedikit keras. Mengusir dengan kaki dan dengan gerakan cepat diraihnya pergelangan tangan Tifa untuk lari bersama.

"Hah ... hah ... hah!" Napas keduanya memburu dan jantung terasa bekerja lebih cepat. Tifa dan Iko berhenti dari lari dikejar monyet, dan beristirahat di belakang tenda Tifa.

"Sialan! Kenapa masih ngikutin aja tuh monyet!" maki Tifa kesal seakan monyet tersebut tak lelah mengejarnya.

Iko yang masih sama ngos-ngosannya melirik ke arah saku baju Tifa. Tanganya bergerak menarik sedikit bungkus biskuit yang menyembul keluar. "Dia mau ambil ini," tunjuk Iko dengan telunjuknya tepat di ...

Baik Iko maupun Tifa menoleh ke sumber pembicaraan. Ow ... ow ....

"Busyet, kurang ajar!" Tifa langsung memiting tangan Iko kemudian mendorong tubuh tersebut hingga tersungkur ke tanah.

"Sialan, cari kesempatan seenak jidat!" maki Tifa sambil berlalu meninggalkan Iko yang meringis menahan sakit. Tak lupa Tifa menendang termos nasi hingga benda itu melayang ke arah tubuh Iko yang masih terduduk.

Haduh..., niat hati menolong malah kena sial. Lagian kenapa juga tanganku pegang-pegang pabrik ASI nya?

Iko merutuki tangannya yang sudah lancang memegang, sedikit meremas dan menekan dengan telunjuk pada benda berharga seorang gadis.

Namun rasa kenyal di telapak tanganya masih terasa. Dengan mengulum senyum, ia mengingat saat tangannya tanpa sengaja memegang benda kesukaan kakak ipar. Benda yang sering direbutkan bersama keponakan kembarnya.

Pantas saja kakak ipar selalu berebut, baru disentuh saja efeknya seperti ini apalagi dirasakan?

**********

"Ya, Pa," jawab Tifa melalui ponsel yang baru bisa diisi daya saat malam tiba. Karena aliran listrik baru didapatkan saat magrib menjelang, sampai esok paginya jam tujuh.

"Kenapa nggak hubungi papa dari kemarin-kemarin, mama nangis terus nanyain kamu."

Tifa merasa bersalah tidak langsung menghubungi kedua orangtuanya begitu sampai. Apalah daya jika ponselnya baru bisa menyala sore tadi dan ia tinggal di dalam tas.

"Sayang, kamu sehat, kan?" Rere merebut ponsel Abi karena ingin berbicara dengan anaknya.

"Sehat, Ma, udah ... tenang saja aku baik-baik saja di sini. Maaf buat Mama khawatir."

"Hati-hati di sana, apalagi sama embek muda yang bisa saja menggodamu," pesan Rere membuat Tifa tersenyum masam.

"Iya, Ma, tenang aja."

Embek muda? yang ada malah monyet yang menyerangku dan juga buaya celana dalam yang seenaknya menyentuh 'milik' ku. Yah ... meskipun nggak sebesar punya duo serigala, tapi tetap saja ini berharga. Khusus kupersembahkan buat embek pilihan yang bakal jadi suamiku nanti.
------------------------------

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro