the meeting
___
"Draco," Suara tegas Lucius menggema seisi ruang keluarga.
"Para tamu akan datang sebentar lagi. Bersiaplah." Pemuda itu turun dari tangga tak lama setelah sang ayah bersuara.
Pertemuan rutin kali ini diadakan di Malfoy Manor. Well, seringnya memang diadakan di Malfoy Manor. Selain karena pengaruh keluarga itu cukup besar, melihat siapa yang mempekerjakan mereka, alasan lainnya mungkin karena letak yang strategis serta luas yang cukup menampung banyak orang.
"Permisi," Getaran suara lembut itu merasuki pendengaran sang penerima tamu. Volumenya pun tak terlalu keras maupun terlalu pelan, cukup terdengar sedikit orang namun tak sampai mengambil atensi orang-orang di dalam ruangan.
Laki-laki paruh baya itu menatap catatan kecil yang ia genggam, "Nama?"
"Yaxley, [name]."
Sang penerima tamu mengalihkan atensi yang semula berpusat pada secarik kertas di tangan kiri. Netra hitamnya menatap dalam, kedua alis diangkat pelan.
"Merlin, seorang Yaxley."
Senyum tipis tampak sangat manis, sementara lawan jenis menatap skeptis.
"Kau datang sendiri?"
[name] mengangguk pelan, "Iya, Kedua orang tuaku menitipkan surat saja. Aku pun tak bisa lama-lama."
Perempuan usia belasan itu kemudian diarahkan menuju ruangan penuh tamu undangan, tak lupa banyaknya jamuan yang disediakan. [name] tak terlalu terkesima, baginya pemandangan seperti ini sudah biasa. Netra hitamnya kemudian melirik sang tuan rumah, menghampiri dengan niatan memberikan amanah.
"Tuan Lucius," [name] menyela percakapan yang terjadi diantara para tetua.
Menarik perhatian, tentu saja. Apa yang seorang gadis berparas manis lengkap dengan gaun biru yang indah itu lakukan di tempat suram ini?
"Maaf?"
"Yaxley, [name]."
"Oh."
Sepucuk surat diberikan pada si tuan rumah, "Aku kemari hanya untuk menyampaikan surat ini."
"Uhm, baik. Terima kasih." Lucius menatap bergantian— dari sepucuk amplop ke figur gadis yang lumayan menarik perhatiannya ini dengan sorot menelisik.
"Tapi, Nona [name]. Kuharap kau bisa menikmati jamuan di rumahku ini terlebih dahulu." Seru laki-laki paruh baya itu rekata si gadis hendak berbalik badan.
[name] hendak menolak, ingin segera pulang namun tak enak. Kedua orang tuanya juga menitip agar dirinya tak berlama-lama, mengingat hubungan dua keluarga itu yang sudah buruk bahkan sebelum [name] terlahir ke dunia.
"Draco? Kemari."
Anak satu-satunya Lucius itu datang dari arah dapur. Bukan rahasia umum bahwa Draco lebih dekat dengan Narcissa ketimbang Lucius sendiri, makannya setiap kali kumpul begini ia lebih sering dekat-dekat dengan para ibu-ibu.
—Meskipun sering berakhir dengan mendapat godaan.
'Nak, mau menikah dengan anak saya ya?'
Draco menghampiri Lucius dengan kepala yang sedikit ditundukan. "Ada apa, Ayah?"
Lucius berdeham, telunjuk besarnya mengarah pada perempuan yang sedari tadi tak bersuara apa-apa. "Temani putri keluarga Yaxley ini sebentar. Ajak jalan-jalan keliling taman, atau kemanapun sekitar tempat ini."
Draco melirik dari ujung mata, setelah Lucius selesai dengan perkataannya, cowok itu mengalihkan pandangan sepenuhnya.
Dua pasang netra itu beradu, dingin dan hangat saling menghantam jadi satu. Keduanya sama-sama terdiam untuk beberapa saat, saling mengagumi indahnya kuasa para dewa yang terpahat pada paras manusia di depan mata.
Draco selalu sadar bahwa [name] itu cantik. Tak pernah luput dari pandangannya bagaimana kedua kelopak itu menyipit lucu setiap kali tawa keluar dari mulut manis, juga bagaimana jemari lentiknya mengusap helaian rambut yang jatuh di depan wajah.
Dan Draco tak sedang berdelusi, buktinya ia juga sering mendapati Harry melayangkan tatapan yang sama pada [name] setiap kali mereka berinteraksi. Man, jika saja Draco punya keberanian lebih, ia ingin sekali mengecup bibir manis itu tepat di depan si pemuda berkacamata.
Double hit.
Hingga tak lama kemudian, [name] yang merasakan pipinya memerah kemudian lebih dulu memalingkan wajah.
"Draco? Kau mendengarku?"
Cowok itu mengerjap, nafasnya sedikit ditarik lebih berat akibat terpesona lumayan lama. "Baik, Ayah."
"Bagus."
Draco maju beberapa langkah, mengulurkan tangan dengan tatapan penuh ajakan. Gadis itu membalas dengan kaitan lengan daripada gandengan. [name] secara tidak langsung menolak kontak fisik dengan pemuda itu, diam-diam tak mau terpesona lebih jauh— memikirkan kehangatan yang akan terbagi jika kedua tangan itu akhirnya saling menggenggam.
"Kudengar kau satu-satunya anak perempuan di keluarga Yaxley."
"Kita mau kemana?"
Kekehan kecil keluar dari mulut si pemuda, "Tak ada tempat menarik di bangunan ini."
Keduanya berakhir saling diam, Draco sudah sadar gadis itu tak suka diajak basa-basi apalagi dalam interaksi mereka yang terkesan formal ini. [name] kian menatap curiga, lehernya yang terekspos akibat gaun yang dikenakan mulai diterpa dingin karena suhu udara.
"Kemari."
"Ke mana?"
Draco melepas kaitan lengan itu dengan cepat, setelahnya buru-buru menggenggam tangan si perempuan. [name] mengerjap, setelah menaiki beberapa anak tangga tadi kini keduanya dihadapkan pada pintu ruangan yang cukup besar.
[name] tak menolak saat pemuda itu menarik genggaman tangannya dengan tujuan buru-buru memasuki ruangan. Tampak sebuah teleskop besar yang mengarah ke angkasa luar, dilengkapi sebuah sofa panjang serta selimut yang tampak belum dilipat.
Draco Malfoy biasanya tak menunjukan ruangan ini ke sembarang orang. Tempat ini adalah zona nyaman, serta pelarian rekata dirinya sedang butuh ketenangan. Mengamati indahnya semesta, memikirkan segala kemungkinan atas masalah yang tengah menguasai pikiran.
"Cobalah." Pemuda itu mempersilahkan [name] melakukan hal yang biasanya ia lakukan.
Gadis itu bergerak selangkah, mendekati teleskop yang berdiri di depan jendela besar yang terbuka lebar. Awalnya sedikit mengintip, namun kemudian badan yang sempat bergerak kaku itu mulai terbawa tenang. Seutas senyum terpatri setelah dilihatnya indah kurva bima sakti.
"Suka?"
"Cantik."
Draco memasukan kedua telapak pada saku celana, tersenyum tipis akibat lagi-lagi dikuasai pesona [name].
"Iya, cantik."
Draco kemudian teringat nasihat Narcissa. Sepintas, omongan sang Ibu tentang bagaimana seorang belahan jiwa bekerja tetiba memasuki kepala.
Narcissa bilang, jangan pernah pilih perempuan yang membuat pemuda itu merasakan kupu-kupu ketika berada pada atmosfir yang sama. Jangan pilih pendamping yang membuat netra hijaunya bergerak tak nyaman rekata mereka berada di tengah kebisingan. Sebaliknya, pilihlah seorang gadis yang mampu membuatnya merasa nyaman dan tak perlu banyak merasakan kekhawatiran.
'Draco, carilah perempuan yang mampu membuatmu lupa akan segala masalah yang kau punya, hanya dengan menatapnya saja. Carilah rumah, bukan tempat singgah.'
Mungkin, untuk saat ini, rekata galaksi bima sakti menampakan diri di langit Britania Raya, saat Draco masih menatap gadis itu lekat-lekat, melupakan Pansy yang belakangan mengisi kekosongan hatinya, tanpa memikirkan segala tekanan yang Lucius berikan selama hidupnya, kehilangan segala pertanyaan yang muncul di kepala tentang bagaimana kehidupan bekerja, [name] Shelby Yaxley adalah sosok yang Draco pilih menggunakan perasaannya sendiri untuk pertama kali.
Tangan yang sedikit menggigil itu lagi-lagi digenggam pelan, kali ini Draco membawanya mendekat diikuti kecupan singkat. "Jadi, selain membuat iri para konstelasi dengan figurmu yang sempurna ini, apa yang biasanya kau lakukan dalam menjalani hari?"
[name] mendengus, niat hati ingin menyembunyikan semburat merah berakhir dirinya sendiri salah tingkah. "Besok, jadwalku sedang kosong."
Gadis itu selalu berpikir kepribadian Draco yang flirty dan suka sekali menggodanya adalah karakter yang dibuat-buat, sebatas pertunjukan saja. Namun saat ini, rekata sedang berduaan saja, pertunjukan itu mau dipertontonkan untuk siapa?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro