Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 1

Sepasang pintu gerbang besar berwarna emas berdiri sejajar dengan cahaya menyilaukan mata. Ketika pintu terbuka, pemandangan gedung sekolah yang berdiri megah memenuhi pandanganku. Disertai dengan latar fantasi bagai negeri dongeng, tampak menarik mata orang untuk melihatnya.

[Selamat datang di School of Elite]

Slogan itu sudah berkali-kali kudengar. Di manapun dan kapanpun aku berada, iklan yang menayangkan fasilitas pendidikan itu telah berkumandang di pikiranku. Ide yang baik untuk mengiklankannya, tetapi tidak perlu berlebihan sampai kertas iklan ditempel di wajah tampanku ini, 'kan?!!

Bagaimana ini bisa terjadi? Oh, ceritanya panjang. Kau akan mengantuk jika mendengarnya.

Sementara aku menyingkirkan kertas yang menempel di wajahku, suara klakson mobil mengalihkan perhatianku.

"Hei, boy! Cepatlah naik!"

Sopir taksi telah memanggilku. Segera aku menarik koper dan menaruhnya di bagasi, lalu memutari mobil dan duduk di kursi belakang. Pilihan untuk duduk di belakang dikarenakan raut wajah sopir taksi itu terlihat galak, seperti hulk! Oh, tentu saja warna kulitnya tidak hijau.

"Tujuanmu, boy?"

Aku tersenyum hingga mata menyipit.

"School of Elite."

°°°

Aku menghirup napas panjang, kemudian mengembuskannya dengan pelan. Udara di luar negeri memang berbeda, walau aku sudah melakukan hal ini berkali-kali sejak tiba di bandara.

Setelah berterima kasih pada sopir taksi yang tidak aku ketahui namanya, aku menarik koperku yang besar ini menuju suatu tempat. Tidak terlalu jauh, hanya perlu berjalan kaki beberapa langkah saja karena tempatnya berada tepat di depan mataku.

Sebuah gerbang emas berukuran besar dengan tinggi uhm ... sekitar sepuluh meter mungkin(?) berdiri di hadapanku. Aku terperangah melihatnya. Gerbang emas ... Ini terbuat dari emas asli! Bukan cat emas biasa!

"Luar biasa!"

Walau aku telah kenyang melihatnya di setiap iklan, rasanya berbeda dengan melihatnya secara langsung. Hatiku tidak sabar untuk segera memasukinya!

Saat aku berjalan satu langkah, terdengar suara keras dari belakang.

"Tunggu! Kau!"

Aku menoleh, mendapati seorang pemuda sebaya yang berlari ke arahku dengan menyeret kopernya. Kepalaku bergerak ke kanan dan kiri, kemudian kembali menatap pemuda itu. Tanganku menunjuk diri sendiri dan bertanya dengan ragu, "Aku?"

"Ya, siapa lagi?" balasnya setelah tiba di hadapanku. Ia terengah-engah, kemudian mengulurkan tangan dengan senyum di wajah. "Kau murid di School of Elite juga, 'kan? Namaku Alex, senang bertemu denganmu!"

Alisku terangkat sedikit mendengarnya. Aku mengangguk singkat dan membalas tangannya. "Aku Arkan, salam kenal."

Alex ... Rambutnya tertata rapi, membuat kesan pria keren ala ikemen[1] dari Jepang. Sayangnya, wajahnya bukan khas orang Asia.

[1] Ikemen : pria ganteng yang bikin hati para gadis cenat-cenut melihatnya :v #ngawur

"Dari mana asalmu?" Aku bertanya setelah melihat perawakannya. Tebakanku, dia dari Eropa.

Alex masih ternyum seraya menjawab, "Mari sambil berjalan."

Tujuanku yang semula menuju gerbang berubah menjadi kafe di pinggir jalan. Setelah memesan, Alex pun menjawab pertanyaanku sebelumnya.

"Aku dari Rusia. Ibuku dari Jepang. Jadi, aku berdarah campuran."

Aku mengangguk mengerti. Tetapi, dalam hati aku berpikir, apa tidak masalah menceritakan hal ini pada orang yang baru dikenal beberapa menit lalu?

"Bagaimana denganmu?" Alex pun bertanya. Matanya tertuju padaku dan aku tahu apa yang ia lihat dari diriku.

"Aku dari Indonesia."

"Indonesia?"

Matanya yang biru bergerak ke atas dan bawah, seakan melihatku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Apa aku seaneh itu?

"Orang Indonesia unik juga. Aku belum pernah melihat orang bermata merah sebelumnya."

Pesanan kami disajikan di atas meja. Aku menyeruput sedikit cappucino yang masih panas sebelum membalas, "Kau pernah mendengar albino[2]?"

[2] Albino : suatu kelainan pada produksi melanin yang membuat penderitanya kekurangan melanin atau tidak memiliki pigmen sama sekali.

"Oh!" Alex berseru seakan telah menemukan jawaban teka-teki. "Itu sebabnya kulitmu pucat dan matamu merah! Tapi ... rambutmu?"

"Aku mewarnainya."

Ya, rambut putih terlalu menonjol. Aku mewarnainya dengan warna hitam, sayangnya aku tidak bisa menyembunyikan warna mataku. Cara yang tersisa adalah memakai kacamata untuk membuatnya terbias cahaya sehingga tidak menarik perhatian.

Tentu saja, cara ini bisa digagalkan jika orang melihatnya dalam jarak dekat.

Seorang albinisme juga memiliki masa sulit, asal kau tahu.

Alex mengangguk mengerti, namun sedetik kemudian dia tersentak kecil. "Benar juga. Kau tahu? Kepala School of Elite juga seorang albino."

Kerutan muncul di dahiku. "Kepala Sekolah?"

"Ya. Aku punya kenalan yang alumni sekolah di sini.  Kepala Sekolah memiliki rambut seputih salju, mata semerah darah, dan kulit sepucat mayat!"

Aku mendengus kasar setelah mendengarnya. "Kau mengatakannya seolah beliau adalah mayat hidup."

"Benarkan? Aku pikir juga begitu! Mungkinkah Kepala Sekolah itu sebenarnya undead yang hidup untuk membalas dendam? Tetapi, setelah membalas dendamnya, ternyata dia tidak bisa kembali mati? Lalu—bla-bla-bla .... "

Woah ... Aku tidak menyangka kalau Alex punya kemampuan berimajinasi sebagus itu. Cocok jika dia mencoba untuk menulis novel fantasi ... Oh?

"Alex, apa kau seorang penulis?"

Alex terkejut sejenak sebelum terkekeh kecil. "Haha, kentara sekali, ya? Begitulah, aku seorang penulis amatir yang memiliki langkah panjang menuju ketenaran!"

"Hoo ... Kalau begitu, selamat berjuang untukmu. Jika bukumu dicetak, aku akan menjadi pembeli pertama."

"Omong kosong! Bisakah kau mengerti bahasa Rusia?"

"Aku akan belajar!"

Dan mulai sejak itu, aku dan Alex menjadi teman akrab.

°°°

Melalui peta kecil, kami menuju asrama sekolah. Asrama ini terdiri atas dua gedung; gedung untuk memisahkan anak laki-laki dan anak perempuan. Masing-masing gedung terdiri atas enam lantai yang setiap dua lantainya diperuntukkan untuk satu angkatan.

Karena kami murid baru—yang artinya angkatan pertama—tujuan berikutnya adalah lantai satu. Di depan pintu kamar, telah tersedia nama penghuninya. Satu kamar terdiri atas empat anak. Yah, pengaturannya adalah hal umum, walau aku berharap para murid bisa mendapat kamar pribadi.

Tapi, jika itu adalah kamar pribadi dibandingkan dengan jumlah seluruh murid sekolah, pastinya sangat banyak kamar yang tersedia. Semakin banyak kamar tersedia, maka semakin banyak gedung yang dibuat, dan semakin besar biaya yang diperlukan, kemudian ....

... Aku tidak mengerti pengaturan School of Elite ini. Jika sekolah ini mampu menampung kebutuhan hidup muridnya, mengapa tidak mengeluarkan biaya besar untuk membangun lebih banyak kamar pribadi?

"Arkan! Aku menemukannya!"

Seruan Alex menyadarkanku. Tanpa kusadari, aku mengikuti Alex hingga ke lantai dua! Kutatap Alex yang berdiri sedikit jauh dariku, di depan sebuah pintu kamar. Setelah aku mendekatinya, pintu itu memiliki nomor "203" di atasnya. Di samping, empat papan nama tepajang di sana.

"Alexander Nikolevich, Arkan Dzaky, Hassan Sa'id, William Kakugawa." Aku membaca setiap nama yang tertulis. Salah satunya adalah namaku, kemudian ... Alexander?

"Ini nama lengkapmu?" tanyaku dengan jari menunjuk nama pertama.

Alex memerhatikan arahku, lalu mengangguk. "Ya, Alexander Nikolevich itu aku. Arkan Dzaky ... itu pasti dirimu. Hebat! Ini pasti takdir! Sejak awal, kita ditakdirkan untuk bersatu dalam suka dan duka, sehingga—bla-bla-bla ...."

Aku mengabaikan Alex yang kembali mengoceh tentang fantasinya. Tanganku merogoh saku, mengambil kartu identitas yang telah kuterima bersama dengan surat pernyataan penerimaan murid beberapa minggu lalu. Kartu itu memiliki kode QR di belakang, terletak di sudut kiri atas. Cukup mengarahkan kode ke sensor pendeteksi di pintu, secara otomatis identitasku terbaca.

Karena aku mendahului membuka pintu, Alex tidak perlu mengikuti langkahku. Tetapi, dia diharuskan untuk mengarahkan kode QR-nya ke sensor pendeteksi untuk mengonfirmasi identitasnya.

Di dalam ruangan, aku disambut seorang pemuda dengan sorban putih melilit kepalanya.

"Halo."

Sebelum aku membalas, Alex telah menyusul. "Halo! Aku Alex! Senang bertemu denganmu!"

... Sepertinya ini memang sifat Alex yang lugas; langsung mengenalkan dirinya tidak peduli siapa itu.

Pemuda bersorban itu tersenyum. "Salam, Saudaraku. Aku Hassan, senang bertemu denganmu juga."

Oh, aku ingat. Pasti dia yang bernama Hassan Sa'id. Aku menoleh ke sekeliling, tidak ada siapapun selain kami bertiga. Jadi, tersisa orang yang bernama William Kakugawa, ya?

Kakugawa ... Nama ini terdengar seperti ... merujuk ke Jepang?

Dengan bantuan Hassan, lingkungan kamar dikenalkan dengan mudah. Tapi, menurutku desainnya seperti kamar apartemen kelas mewah?

Lihat saja! Kamar ini memiliki dua lantai! Lantai bawah adalah ruang tamu, dapur, dan satu kamar mandi. Lantai atas adalah empat kamar tidur yang terpisah ruangannya dengan kamar mandi di masing-masing ruangan.

Ini ... Aku tidak menyangka desainnya seperti ini. Kupikir akan menjadi empat ranjang bertumpuk, dengan dapur dan ruang tamu menjadi satu, serta harus berbagi kamar mandi.

Kenyataannya ... ini membuat prinsipku tentang "realita tak seindah ekspetasi" dihancurkan begitu saja!

"Kalian bebas memilih kamar. Aku berada di pintu berwarna putih itu." Hassan menjelaskan dengan suara bak pramugara. Kulihat tiga pintu kamar tersisa yang memiliki warna berbeda: merah, biru, dan hijau.

"Arkan, pintu mana yang kau pilih?" tanya Alex dengan tubuh bersandar di pintu hijau, seakan ada isyarat tersirat di dalamnya yang berarti "aku memilih yang ini".

Yah, aku bukan orang pemilih. Jadi, dengan acak aku memilih pintu merah.

"Setelah kalian berbenah, bisakah kita bersama-sama pergi ke Rest Area?" ajak Hassan di ambang pintu kamarnya.

Rest Area ... Seperti nama, zona beristirahat. Tempat hiburan dan kebutuhan tersedia di sana. Kupikir tidak ada salahnya ke sana.

"Okay."

"Tentu!"

Dengan begitu, tujuan selanjutnya telah dibuat.

°°°

"Bagaimana kabar mereka?"

Di ruangan dengan cahaya remang-remang, samar-samar figur seorang pria terlihat duduk dengan tegas di kursinya. Di seberang meja kerja, seorang pemuda berdiri dengan tangan memegang berkas yang masih tersegel.

"Semuanya terkendali," balasnya seraya menaruh berkas ke atas meja. Pria itu membuka segelnya, kemudian membaca setiap tulisan yang tercantum di atas lembaran kertas.

"Heh, lumayan."

Setelah membalik halaman yang kesekian kalinya, napasnya terhenti—atau lebih tepatnya, ia menahan napas.

"Orang ini .... "

Pemuda itu menaikkan kacamatanya, membuat kacanya terbias cahaya sehingga raut matanya tidak terbaca.

"Ya, dia di sini."

Mendengarnya membuat pria itu tertawa terbahak-bahak. Tawa itu menggema di ruangan yang dingin, membuat kesan menyeramkan.

Ia tidak melanjutkan bacaannya, tetapi merobek halaman itu, kemudian menaruh ujung kertas di atas api lilin yang menyala.

"Aku menantikan sosoknya."

Api perlahan membakar foto pemuda dengan mata berbeda warna.

•••

Arbi's Note :

[Chapter 1 telah di-revisi]

Aih! Akhirnya!!! >.<

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro