Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

An dan Xie

Pegunungan dalam panorama menjadi puncak dari samping.

An tidak bisa beralih, meski sadar mereka sudah beradu tatap. Bukan sedetik-dua detik, atau mungkin waktu yang berhenti, An terperangkap. Sorot dari dua bola mata itu serupa pagi, memenuhi dada An dengan hangat matahari yang masih mengintip dan sejuk embun yang tersisa. Baru kali ini, An dapati senyum ramah. An tidak perlu menengok hanya untuk memastikan ditujukan pada siapa senyum siswa itu, di belakangnya hanya deretan rak buku yang berdebu.

Siswa itu menganggukkan kepala, membuat An tersentak. Lantas gadis itu membalas sedikit kikuk, menunduk malu, dan mencoba kembali tenggelam dalam buku.

Pertemuan ini bukan pertama kali. An pernah melihatnya di lapangan. Penat hari itu mengantar An duduk di perpustakaan, samping jendela. Padahal langit biru jernih dan angin berembus pelan, hiruk-pikuk ada di setiap sudut sekolah, semua larut dalam festival tahunan, kecuali An. Pikiran yang selalu kusut dan semakin semrawut membuat An ingin menyendiri. Tidak ada yang menarik dari bisik-bisik tawa dan kata di luar sana. Namun, baru dua paragraf buku dibaca, gema gong menarik wajah An untuk melongok ke bawah.

Dari jendela di lantai dua, di tengah lapangan berkumpul beberapa siswa yang memakai kostum. Sebagian mengenakan pakaian zaman dulu yang sederhana dengan beberapa alat musik disusun di hadapan mereka. Sedang seorang yang lain berpakaian dengan hiasan dan aksesoris lebih mewah, ada tombak panjang dalam genggaman Si Lakon. An tidak tahu akan ada pertunjukan opera. Musik khas Tiongkok dimainkan, bersama dengan gerak Si Lakon yang tangkas mengayunkan tombak, dan dendang syair dari celah bibir Si Lakon yang nyaris tampak tidak bergerak, opera dimulai. An terpana.

An tahu wajah di balik riasan tebal itu adalah lelaki, meski terlihat cantik dan suara yang terdengar seperti perempuan. An sering menonton yang seperti ini, tetapi dia belum pernah melihat sorot itu. Si Lakon menatapnya yang duduk di samping jendela lantai dua, mengunci dalam kesan tegas dan lembut secara bersamaan. Hati An mulai kocar-kacir.

"Hai."

An terlonjak, sejak kapan ada di situ? Namun, cepat An menguasai diri. Sekilas melihat wajah dari seseorang yang berdiri di samping meja, kaku dia membalas sapaan itu. Tangannya tergerak otomatis melambai, secepat mungkin dia turunkan, disembunyikan dalam genggaman di atas paha. Tawa kikuk terlontar.

An mulai berkeringat dingin. Apa tindak-tanduknya terlalu mencolok? Selepas pementasan itu, gairah An yang sudah lama menguap memang terisi kembali. Sangat penuh, hingga turut meningkatkan semangat mencari tahu. Tidak disangka, mereka satu angkatan. Tidak disangka pula, sosok yang memancarkan ketenangan itu mengulurkan tangan.

"Aku Xie, siapa namamu?"

Jauh, dekat, tinggi, dan rendah tiada duanya.

An tidak lagi sendiri. Kali ini Xie menemani dengan banyak cokelat di meja mereka. Awal-awal mereka membuat janji bertemu di perpustakaan, Xie kesusahan membawa banyak amplop merah muda. Xie tidak keberatan dan malah meminta An turut membaca.

"Bisa kau berhenti pamer?"

Xie tertawa sembari membuka bungkus cokelat. Sejauh mengenal Xie, An jadi lebih leluasa meluapkan apa yang dirasa. Intonasi Xie yang ramah, ekspresi tulus yang jujur, dan tatapan lembut yang selalu menyajikan kenyamanan, An jadi lupa apa itu sungkan. Memang, dibanding bersama para otak encer di kelas, An lebih membutuhkan sosok yang tidak pernah melihat nama keluarganya.

Silsilah keluarga An memang tidak perlu diragukan. Kesohor akan otak cemerlang dan rupa memikat. Namun, An lahir tidak dengan kedua hal itu. Seumpama ayam dalam kawanan angsa, sekeras apa pun sayapnya mengepak, akan jatuh jua. Mudah bagi An sekadar jadi siswi di sekolah ini, yang membuat kedua kakinya tidak dapat menopang adalah menjadi penghuni kelas unggulan. Jalannya tidak semudah mendaftarkan nama, dia harus terbang dengan keringatnya sendiri. Ketika semua berhasil, undakan di hadapan semakin tinggi dan curam. Dia takut sayap ayamnya tidak mampu lagi bergerak.

Orang tua An tidak pernah secara gamblang menuntut, tetapi An tahu mereka malu dan berusaha mendongkrak kemampuan An dengan banyak mendatangkan guru les privat. Hidup An bertambah redup. Rutinitasnya tidak lebih dari belajar. Namun, pencapaiannya belum menyentuh prestasi anggota keluarga yang lain. Kepercayaan diri An semakin terkikis. Otaknya mulai menanyakan, bagaimana kalau berujung sia-sia?

An pernah berada di ambang antara terjun bebas dari lantai paling atas sekolah atau membiarkan telinga panas dengan kata-kata perbandingan. Dia tahu opsi kedua lebih menyakitkan, tetapi mati belum tentu ada yang meratapi. An mencoba kembali berdiri, meski tertatih dan dunianya sudah hitam-putih, dia mencoba peruntungan.

An merasa usaha bertahannya disambut. Walau ada sedikit penyesalan, kenapa baru saling mengenal sekarang, An lebih bisa menikmati waktu. Awal perkenalan yang canggung, kini mereka terbiasa bersama di perpustakaan lantai dua, entah itu menghabiskan makan siang atau sekadar melepas lelah setelah jam sekolah.

Jenuh masih tidak bisa dihindari, tetapi sekarang An punya teman berbagi. Pada Xie dia tumpahkan semua. Perihal opera, puisi klasik, sampai orang tua.

"Hasilnya sudah keluar, ya?" Xie yang tengah membuka lagi bungkus cokelat menatap mata An.

An mendengkus. Disandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Ada banyak bungkus cokelat di meja mereka. Beruntung, tidak ada penjaga perpustakaan.

"Selamat, peringkatmu naik!"

"Tapi belum masuk sepuluh besar."

"Jangan terlalu dipikirkan," Xie berujar dengan mulut yang penuh cokelat, "Apa kaulihat namaku di urutan tiga besar?" lanjutnya, lebih seperti bergumam.

An tersenyum mendengar suara Xie. Dia menyodorkan botol minum yang sengaja dibawa untuk Xie, takut remaja lelaki itu tersedak.

"Tidak." An baru menyahut saat mulut Xie sudah tidak lagi mengunyah.

"Namaku bahkan tidak tertera di lima puluh besar. Itu bukan karena aku atau kau bodoh. Kita hanya kurang beruntung. Satu hal yang pasti," Xie mengangkat tinggi jari telunjuknya, "Kita sudah berusaha."

An mengangguk. Banyak yang lebih menyorot hasil, pun An pernah seperti itu. Betapa An sangat bersyukur mengenal Xie yang lebih menghargai proses. An tahu, Xie tidak bodoh. Xie mampu mengerjakan soal sulit, ketika mereka belajar bersama. Xie juga mampu memainkan piano dan xianzi (kecapi tiga senar yang biasa digunakan dalam Opera Tiongkok). Akting dan suara Xie pun bisa disandingkan dengan para aktor layar kaca. Xie juga tidak pernah kekurangan surat beramplop merah muda dan cokelat. Dengan berbagai hal luar biasa dalam diri Xie, mudah bagi Xie menghakimi sebagaimana mereka yang punya kemampuan lebih.

"Ingat puisi Ditulis Di Dinding Kuil Hutan Barat? Su Shi menulis puisi itu agar kita memiliki perspektif yang luas soal kehidupan ini, tidak terpaku pada prasangka pribadi."

An bisa merasakan ketegasan sekaligus kelembutan dari sorot mata Xie. Sudah sering detak jantungnya berlomba, tetapi tatapan itu selalu membuat batinnya menggila.

"Bagaimana kalau besok kita bermain opera lagi? Aku akan memainkan xianzi dan mengajarimu lakon baru. Bagaimana?"

"Oke!" Hal yang sudah lama dikubur, bersama Xie bisa dia lakukan lagi.

"Cokelat?"

Belum sempat menjawab, cahaya senter dari arah pintu menyilaukan mata An. Gadis itu menggunakan telapak tangan untuk menutupi wajah.

"Kau lagi. Sekarang, apa yang kau lakukan?"

Saya tidak tahu wajah asli Gunung Lushan.

Mudah bagi An untuk menyelinap keluar rumah. Pembicaraan saat mereka menyantap hidangan penutup dianggap selesai; An mengerti dan akan introspeksi diri. Tidak. Dia tidak merasa harus berkaca hingga menyesal tiada kira. Apa yang salah dari menemukan teman yang baik?

An menyeka keringat di pelipis. Lajunya masih kencang. Tidak hanya ponsel yang terbawa dalam jaket, suara-suara ketika makan tadi turut serta di kepala. Suara-suara itu ramai, saling bersahutan dengan langkah larinya. Ada nada ayah yang menghardik, ibu yang menimpali tidak kalah tinggi, kakak pertama dan kakak kedua yang heboh memberi respons, sedang suaranya sendiri kecil tak bernyali.

"Kau tahu? Ini bukan pertama kali pihak sekolah mengadukan sikapmu."

"Berhentilah seperti itu."

"Aku rasa, An butuh konseling."

Hentikan! An menutup telinga. Siku yang terangkat membentur tiang lampu trotoar, larinya oleng, keseimbangan hampir runtuh, dan tidak sengaja menubruk seorang pejalan kaki. Dia menerima caci maki karena lanjut berlari. Gemuruh dalam batinnya semakin besar, menyamarkan lebih dari satu klakson mobil yang protes lantaran menyeberang sembarangan. Gejolak dalam dadanya membuncah dan sesak mulai dirasa.

"Kalau memang benar, buktikan! Tapi aku rasa, kau tidak bisa."

An nyaris terjatuh lagi. Gemetaran sekarang kedua kakinya dan terengah-engah luar biasa. Area sekolah sudah di depan mata, tetapi dayanya meluap begitu saja. Tidak perlu mendekat, matanya sudah bisa menangkap yang kontras. Gedung lama sekolah gelap, sedangkan yang baru terdapat cahaya lampu .

"Apa yang kau bicarakan?" Tajam suara ayahnya kembali mengisi telinga. "Gedung lama sekolahmu sudah setengah tahun tidak berfungsi. Semua sudah dikosongkan, apalagi perpustakaan!"

Ingatan An dihantam. Ada rasa tenang yang menyelinap kala gambaran dia menikmati waktu di perpustakaan lantai dua sembari membaca buku, bersandar pada dinding samping jendela. Tidak ada rak-rak kusam, kipas di langit-langit yang berputar lambat, pun bangku dan meja panjang di tengah ruangan.

An bersimpuh. Tangisnya menjadi. Dia biarkan air mata bercampur dengan keringat. Dia biarkan napasnya tercekat akibat sesak dan isak.

"Renungkan semua ini. Besok kita mulai konsultasi ke rumah sakit."

An sudah bisa terlepas dari meringkuk di celah antara lemari dan meja belajar. Sudah bisa bangun pagi dengan pikiran bugar. Sudah bisa menelan makanan tanpa merasa mual. Sudah bisa berangkat sekolah dengan semangat penuh. Hidup An yang hitam-putih mulai memiliki warna, berdenyut menyenangkan karena Xie ada. Namun, semua semu?

Hanya karena saya sendiri berada di gunung tersebut.

Sayup telinga An menangkap instrumen tradisional yang dimainkan, membawa tatapnya pada sekelompok pemain opera. Nyanyian Si Lakon melantun dari celah bibir yang nyaris tidak terbuka dan tombak yang dimainkan dengan tangkas. An tidak lagi mengira-ngira siapa di balik riasan tebal itu. Tatap yang terpancar dari Si Lakon adalah sorot yang selalu dinantikan An.

"An, mau main bersama?" Xie mendekat.

An tersenyum kemudian tertawa. Dia menengadah, melihat kelam langit tanpa bintang, dan menatap lagi ke arah Xie yang sudah mengulurkan tangan di depannya.

An tidak ingin kembali pada monoton yang stagnan. Jadi, biarkan kali ini dia melawan; mempertahankan warna dan denyut yang mendatangkan gairah.

Tanpa kata An menyambut uluran tangan Xie.

*****

Pada semua kalimat miring yang terpisah dari paragraf, saya ambil dari bait puisi karya Su Shi yang berjudul Ditulis Di Dinding Kuil Hutan Barat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro