School: a Letter From You
"Sai!"
"Tugas kelompoknya gimana?" tanya gadis berambut pirang diikat ekor kuda pada laki-laki yang ia sebut 'Sai'.
"Hah? Tugas kelompok apa, Ino?" Laki-laki yang dipanggil Sai itu mengingat-ingat kembali. Pandangannya terarah ke atas, entah apa yang ia lihat. Ia juga mengepalkan tangannya. Katanya, kalau mengepalkan tangan selama 30 detik, bisa mengingat sesuatu. Hasilnya nihil. Sai sama sekali tidak menemukan folder "tugas kelompok" di otaknya.
Ingin sekali gadis yang dipanggil 'Ino' berkata kasar. Dia sudah berlari mengejar Sai demi tugas, dan laki-laki pucat sama sekali tidak ingat. "Pikun!" ejek Ino jengkel. Akhirnya keluar juga kata-katanya.
"Maaf saja ya, saya ini tidak pikun. Saya ini lupa. Lu-pa," Sai mengerjakannya untuk Ino.
Ino punya firasat kalau ini akan dilanjutkan dengan kuliah singkat dari Sai.
"Melupakan merupakan cara otak manusia untuk menghapus memori yang dianggap tidak penting agar kita dapat menaruh informasi baru di otak agar otak kita tidak menaruh terlalu banyak memori," jelas Sai panjang lebar. Untung saja sebelum ini dia menemukan video tentang penyebab lupa di YouTube.
Tuh kan! batin Ino.
"Nge-gas banget, sih," kata Ino malas. Gadis itu semakin jengkel dengan makhluk di depannya ini.
"Saya tidak nge-gas. Karena saya ini manusia, bukan kendaraan bermotor. Saya hanya berbicara dengan Anda," balas Sai datar lagi. Nah, yang ini dia mengarang sendiri.
"Kalau itu aku udah tahu, Pintar!" kata Ino. Emosinya semakin meningkat hanya karena seorang makhluk hidup--yang sialnya punya senyum menyebalkan.
Senyum palsu mengembang di wajah Sai. Laki-laki itu tampak menahan sesuatu di mulutnya. Tak lama, tawa Sai lepas. Ia tertawa terpingkal-pingkal sambil memegang perutnya sendiri.
"Apanya yang lucu, hah?" tanya Ino tidak terima bak preman.
"Kamu," jawab Sai di tengah-tengah tawanya.
"Hah? Aku?"Ino menunjuk dirinya sendiri. Emosi dan kekesalannya hilang seketika, entah kemana.
"Ah, udah udah lupakan." Saj menghentikan tawanya. Ia kembali seperti sediakala, tapi dengan senyum terukir di bibirnya.
Ino merenggut kesal. Sai selalu saja bersikap begitu. Untung Ino masih punya stok kesabaran cadangan untuk makhluk yang satu ini.
"Katakan, tugas mana yang kamu maksud?" tanya Sai lembut, dengan tambahan senyum manis pula.
"Itu lho... Tugas seni budaya yang presentasi unisono atau apalah itu," jawab Ino setelah mendengus. "Deadline-nya hari Senin depan. Sekarang ingat kan?"
"Setahuku satu kelompok empat orang. Sama Choji dan Shikamaru, kan? Mereka gimana?" Ino bersyukur akhirnya Sai ingat sesuatu tentang tugas itu.
"Dih, dasar pikun--maksudku lupa. Choji ke Iwa buat event makan. Shikamaru olimpiade matematika di Suna," kata Ino. Hampir saja gadis itu salah bicara. Bisa-bisa ia diceramahi Sai lagi dengan versi lebih lama.
"Mau mengerjakannya mau kapan?" tanya Sai, mulai mendalami topik. "Kerjakan dimana? Sama siapa? Ngapain aja?" tanya Sai beruntun dan gerakan tangan yang aneh.
Entah kenapa, Ino tidak asing dengan kata-kata itu. Ditambah lagi dengan gerakan tubuh Sai. Saat ia ingat, ia menatap laki-laki itu tak percaya sekaligus jijik.
"Itu kan lagu yang lagi viral! Kamu fans-nya Lusayang Luna? Sumpah?!" kata Ino berlebihan. Gadis pirang itu langsung menjaga jarak aman dari Sai.
"Meskipun dia transgender, tapi kamu juga jangan terlalu... terlalu...," Sai mencari kosakata yang tepat untuk melanjutkan kalimatnya. "Terlalu begitu."
"Hah? Begitu maksudnya?" gumam Ino bingung.
"Dan ada satu kesalahan lagi. Saya bukan fans dia. Lagu itu terlalu terkenal dan selalu mengiang-ngiang di kepala saya," Sai mengakui dengan jujur.
"Lagipula, saya lebih suka cewek tulen yang tidak transgender," tambah Sai acuh tak acuh. Enak saja dirinya dikira begitu. Dia ini masih laki-laki yang waras dan lurus.
"Berarti aku juga gitu? Aku kan cewek," ucap Ino sambil memasang tampang imut.
Sai tersenyum dan terkekeh. Senyuman yang menyiratkan makna dalam. "Yaaa, bisa saja kan saya suka kamu."
Seketika Ino merasakan pipinya memanas. Pipi gadis itu merona samar-samar. Entah kenapa, jantung Ino berdetak lebih cepat daripada biasanya. "Y-ya, terserahlah! Gimana yang tadi?" Ia berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
"Oh? Maksudmu yang tugas kelompok presentasi itu?" tanya Sai memastikan. Ino mengangguk mengiyakan dengan mantap.
"Di rumah saya saja bagaimana, Ino? Tidak apa-apa kan?" tawar Sai ramah.
Ino mengangguk lagi. Lidahnya masih terlalu kelu untuk sebatas menjawab 'iya'.
"Kamu maunya kapan? Yang pasti jangan sepulang sekolah, saya ada les Senin sampai Jumat. Saya hanya bisa hari Sabtu atau Minggu," Sai memberi 2 pilihan kepada Ino.
"Mendingan Minggu aja, deh. Jam 9, hari Minggu di rumahmu. Kamu bisa nggak?" usul Ino. "Laptopnya sekalian punyamu aja Sai."
"Saya bisa kok, asal kamu jangan terlambat saja," kata Sai bercanda.
"Ih, dasar. Mentang-mentang anak rajin," gerutu Ino. Sementara itu, Sai terkikik.
Mereka, dua remaja itu, sudah lama memendam rasa, namun belum punya keberanian yang cukup untuk mengungkapkannya. Mungkin, suatu hari nanti.
⛅⛅⛅
Hari Minggu akhirnya tiba. Sesuai janji, Ino datang ke rumah Sai tepat waktu berkat ojek online yang melaju kencang. Kini, gadis berambut pirang itu berada di depan pintu rumah Sai. Ia menggeleng nafas panjang, lalu mengetuk pintu kayu itu.
Ketukan pertama. Tidak ada balasan.
Ketukan kedua, dengan salam. Sama, tidak ada balasan.
Ketukan ketiga, dengan salam yang lebih keras. Masih tidak ada balasan.
Ino mendengus. Lalu gadis itu mengambil smartphone dari kantung jaketnya. Jari jemari gadis itu mulai mengetikkan pesan untuk si tuan rumah.
Sai Shimura 👻
P
P
Aku udah sampai woy!!
Tolong buka pintunya 😘
*😡
Sori, salah emot :U
Entah kenapa, jari Ino meleset, memencet emoticon yang salah. Ia berani bersumpah, ia sama sekali tidak bermaksud untuk mengirim emoticon itu! Pasti ada yang salah dengan dirinya sekarang. Apa karena berkunjung ke rumah Ino? Tidak tidak tidak!
Sementara itu, Sai masih asik menggambar di halaman belakang. Tampak sketsa seorang gadis menghadap samping dengan rambut diikat satu dan bunga-bunga di sekitarnya di atas kertas itu. Sai sadar benar waktu menggambarnya hanya ada di akhir pekan. Maka dari itu akhir pekan ia gunakan sebaik-baiknya.
Sialnya, kegiatan Sai itu terganggu oleh bunyi notifikasi beruntun dari smartphone yang tergeletak di dekatnya. Dengan gusar, Sai menyambar smartphone yang berbunyi itu dan menyalakannya.
Saat melihat siapa yang menyebabkan tidurnya terganggu, Sai bergumam, "Ah, Ino." Entah sadar atau tidak, senyum mengembang di wajahnya.
Ino Yamanaka 🐤
P
P
Aku udah sampai woy!!
Tolong buka pintunya 😘
*😡
Sori, salah emot :U
Sai tertawa kecil. "Salah emot, atau memang sengaja? Ino Ino..."
Tanpa basa-basi lagi, Sai segera berlari ke arah pintu depan. Laki-laki itu bahkan tidak sikat gigi, mengganti kaus, memakai parfum, atau merapikan diri. Membasuh muka saja tidak. Ia tidak sabar menyambut kedatangan Ino di rumahnya.
"Selamat datang, Ino!" sambut Sai riang saat membuka pintu. Dengan senyum palsu tentu saja. "Ayo, silahkan masuk. Jangan sungkan ya," dia mundur beberapa langkah, mempersilahkan Ino untuk masuk ke dalam rumahnya.
Untuk beberapa saat, Ino mematung. Arah pandangannya tertuju pada rambut Sai tidak seperti biasanya. Jika biasanya rambut Sai klimis, kali ini ia biarkan acak-acakan. Ino terpana.
Sai jadi kelihatan BADASS!! teriak Ino dalam hati khas fangirl. Jika Sai setiap hari seperti itu, mungkin Ino akan menjelma menjadi fans terberat Sai.
Gadis itu segera menggeleng kecil, berusaha mengembalikan fokus. Apaan sih, Ino?! Lihat gitu aja langsung gagal fokus, batinnya lagi, berusaha menguatkan iman yang mulai melemah.
"Permisi ..." Ino sedikit membungkuk saat masuk ke dalam. Ini pertama kalinya dia berkunjung ke rumah Sai. Tentu saja dia gugup dan sungkan.
Ino duduk di atas sofa hitam panjang di ruang tamu. Sofa yang empuk. Setelah 1 tahun kenal, Ino yakin sofa ini tempat alternatif Sai untuk tidur.
"Ini minumnya. Maaf, yang ada cuma air putih," kata Sai yang baru saja dari dapur. Tangan kanannya membawa segelas air, sedangkan tangan kirinya menenteng tas laptop. Dia menyodorkan segelas air mineral pada Ino.
"Nggak apa-apa." Ino mengambil gelas itu dari tangan Sai dan meneguknya. "Makasih, yak!"
"Btw, kok rumahmu sepi amat?" Ino berbasa-basi.
"Kakak saya ke pasar. Sekitar setengah jam lalu. Dan kamu tahu kan, orang tua saya sudah meninggal," jawab Sai enteng. Dia duduk, lalu menyenderkan punggungnya ke sofa. "Makanya cuma ada kita berdua di sini."
Entah kenapa, tiba-tiba bulu kuduk Ino berdiri. Gadis itu punya firasat buruk, apalagi imajinasinya yang tiada batas. W-what? Cuma berdua?! Berarti kan ..., batin Ino merinding.
Sai yang melihat Ino ketakutan langsung tertawa lepas. "Tenang aja. Saya tidak akan melakukan yang aneh-aneh kok. Saya masih sadar umur. Lagipula, saya rasa sebentar lagi kakak saya pulang," kata Sai seolah mengetahui isi pikiran Ino yang imajinatif.
"Y-ya bagus dong!" sahut Ino. Entah kenapa, selalu ada saat dimana dia gagap ketika berhadapan dengan Sai. Ino sendiri tidak tahu kenapa.
"Oh iya, kamu ingat materi apa aja yang harus disampaikan kan?" tanya Sai mengganti topik. Laki-laki itu mengeluarkan laptop dan menaruhnya di atas meja.
"Aku catat kok!" Ino buru-buru merogoh isi tas ransel kecil berwarna ungu miliknya. Ya, tas itu memang terinspirasi dari Dara the Explorer yang terkenal.
"Bentar," kata Ino setelah mendapatkan buku catatannya. Gadis itu membolak-balikkan lembaran-lembaran kertas buku itu.
"Nah, ini!" Ino terhenti di satu halaman. "Kubacakan ya! Pengertian unisono, teknik bernyanyi, dan..." Ino memberi jeda pada kalimatnya.
"Dan apa?" tanya Sai.
"Dan praktek menyanyi unisono lagu anak-anak."
Keheningan melanda rumah Sai secara mendadak. Sai dan Ino bungkam tiba-tiba. Mereka berdua ingat.
Sai dan Ino sadar diri, tidak ada satu pun dari mereka bersuara merdu.
"Errr... lebih baik kita membahas yang praktek itu nanti," suara canggung Sai memecah keheningan.
"Iya, kerjakan dulu presentasinya," sahut Ino sama-sama canggung.
Mereka, dua remaja itu, memutuskan untuk membuat presentasi tanpa membahas praktek menyanyi.
⛅⛅⛅
"Shin pulang~!" terdengar suara serak dari pintu rumah. Tampak perempuan berambut putih sebahu dengan riang membuka pintu. Tak lupa ia menenteng sebuah kresek berisi belanjaan.
"Akhirnya Kakak pulang. Darimana aja tadi?" cecar Sai.
"Ululu~ jangan marah-marah gitu dong, dedek~" bukannya menjawab, Shin malah dengan gemas mencubit pipi pucat adiknya.
"Eh? Ada tamu ya?" Pandangan Shin teralih pada gadis yang duduk di samping Sai.
"H-halo! Aku Yamanaka Ino. Senang bertemu denganmu, kakaknya Sai!" Tiba-tiba Ino berdiri dan membungkuk.
"Jangan sungkan-sungkan, panggil aja aku 'Kak Shin'," kata Shin manis sambil mengibaskan tangan.
"Oh, oke," sahut Ino mulai rileks. Ia kembali duduk di sofa.
"Oh~ jadi dia cewek yang sering kamu omongin itu~" bisik Shin menggoda adik kecilnya. "Dia cantik lho."
"Kakak ngomong apaan sih?!" seru Sai dengan wajah merah.
Shin terkikik geli melihat reaksi adiknya. "Kan sudah kubilang, jangan marah-marah gitu, dedek~" kata Shin sambil menepuk-nepuk kepala Sai.
"Kalian ada tugas kan? Kalau gitu, selamat mengerjakan!" ucap Shin sebelum masuk ke dapur dengan kresek di tangannya.
"Kakakmu itu...," Ino mencari kata-kata yang tepat. "Sangat ceria ya?"
"Udah, lupakan. Sekarang kita lanjutkan," kata Sai mengalihkan topik pembicaraan.
"Oh, oke oke," sahut Ino.
Mereka, dua remaja itu, kembali melanjutkan tugas presentasi, dengan pikiran yang masih terbayang-bayang oleh Shin.
⛅⛅⛅
"Akhirnya selesai juga!" ucap Ino sambil meregangkan otot-ototnya yang kaku setelah duduk selama 2 jam.
"Saya kira teknik bernyanyi cuma satu atau dua. Ternyata lumayan banyak," timpal Sai yang kelelahan. "Masih harus ngedit lagi."
Tentu saja banyak. Bayangkan saja, 15 slide untuk 1 presentasi. Belum lagi pengeditan tata letak dan latar belakang. Sungguh tugas yang merepotkan, begitu pepatah dari Shikamaru.
"Oh ya Sai, kamar mandinya dimana?" tanya Ino sambil memegangi perutnya. "Kebelet nih."
"Dari sini, kamu jalan lurus. Kalau kamu menemukan rak handuk, pintu pink di sampingnya itu kamar mandi," jelas Sai.
"Ooh, oke oke," beo Ino. Gadis itu berdiri dan berjalan cepat ke arah yang dimaksud Sai.
"Jangan banyangkan air terjun atau air yang mengalir ya!" seru Sai iseng.
Dia, laki-laki berkulit pucat itu, tersenyum miring.
⛅⛅⛅
"Leganya..." desah Ino saat keluar kamar mandi.
"Eh? Apaan, tuh?" tanya Ino lirih ketika pandangan matanya menangkap sebuah ruangan dengan pintu yang terbuka lebar.
"Masuk nggak ya~?" ucap Ino iseng. Gadis itu celingukan ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada orang yang melihatnya. Bukankah lucu kalau ia tertangkap basah sedang mengendap-endap ke ruangan rahasia bak pencuri? Dan Ino tidak ingin itu terjadi.
Ino mulai mengendap-endap ke ruangan itu. Tentu saja dengan berjinjit dan menoleh ke kanan-kiri. Ah, Ino merasa dirinya seperti ninja saja.
Ternyata ruangan itu adalah halaman belakang yang luas. Rumput hijau terhampar dengan satu pohon besar di tengah-tengah. Mulut Ino menganga. Gadis itu membatu.
Ino mengedipkan mata beberapa kali saat melihat kertas berserakan di rumput. Awalnya itu menganggap itu sebatas khayalan. Ternyata tidak.
Sambil mendengus, Ino menghampiri kertas-kertas yang tergeletak itu. Untung aja nggak ada angin. Bisa-bisa terbang itu kertas. Siapa sih orang bego yang biarin kertas berantakan di sini, gerutu Ino dalam hati. Lalu ia ingat sesuatu.
Pasti Sai, batinnya lagi. Gadis itu memutar bola mata malas. Siapa lagi kalau bukan dia?
Sambil menggerutu, Ino membereskan kertas-kertas itu. Padahal tidak ada yang memintanya melakukan itu.
"Bukan apa-apa ya. Aku itu cuma risih lihatnya. Merusak pemandangan aja," kata Ino sambil mengambil kertas.
Kegiatan Ino terhenti saat menemukan kejanggalan di selembar kertas. Ia mengambil kertas itu, lalu memandangnya dengan mata menyipit.
"Kok aku berasa ngaca ya?" gumam Ino masih menatap kertas tak bersalah itu. "Sumpah eh! Ini kayak aku!" serunya histeris.
Satu hal di benak Ino saat ini.
"Sai nge-fans sama aku?!" katanya, semakin kegeeran. "Ohoho~"
"Ino? Kamu ngapain di sana?" Tiba-tiba terdengar suara Sai. Sialnya, keberadaan Sai dekat. Ino berkeringat dingin dadakan.
Tercyduk!
Dia, gadis pirang itu, tidak tahu harus berbuat apa.
⛅⛅⛅
"Eh? Ino sudah mau pulang?" tanya Shin dari dapur. Hanya setengah tubuhnya yang tampak. Ia sedang asik memasak.
"I-iya, Tan—eh, Kak," kata Ino, hampir saja ia keceplosan.
"Kok cepat banget? Aku lagi masak buat kalian lho," Shin menangis kecewa dibuat-buat.
"Maaf ya Kak," ucap Ino merasa bersalah. Ia menghampiri pintu dan membukanya. "Aku pamit dulu ya."
"Saya antar," Sai buru-buru berjalan ke arah Ino.
Ini anak! batin Ino setengah was-was. Pasti mau bahas tercyduk tadi!
"Ng-nggak usah Sai," tolak Ino sopan sambil melambaikan tangan pelan.
Sai berdecak. "Tidak apa-apa. Saya antar."
"Aku bisa kok, pulang sendiri."
"Pokoknya saya antar sampai rumah."
Sejak kapan dia keras kepala kayak gini? batin Sai dan Ino bersamaan. Dua-duanya keras kepala.
Ino menghela nafas pendek. "Oke, terserah kamu aja deh, Sai," ucap Ino mengalah sambil mengibaskan tangan.
Senyum terukir di wajah Sai. "Mari."
"Ayo."
Mereka, dua remaja itu, berjalan bersama di pinggir jalan yang sepi.
⛅⛅⛅
"Apa yang kamu lakukan di halaman belakang tadi, Ino?" tanya Sai, membuka pembicaraan di tengah perjalanan ke rumah Ino yang hening.
Tuh, kan! Dugaanku benar! batin Ino meringis. Nggak ada topik yang lain apa?
"Nggak ngapa-ngapain kok," sangkal Ino sambil tersenyum kikuk.
"Bohong," kata Sai tanpa menatap Ino.
Kok tahu?! batin Ino tercengang.
"Yaa, cuma lihat gambar doang," Ino cengengesan. "Itu gambar buatanmu kan, Sai?"
"Iyap." Sai mengangguk bak anak kecil. "Tapi kertas yang saya gambar hanya satu."
"Ya, itu yang kulihat!" kata Ino sambil menjentikkan jari. "Saat aku lihat, aku berasa ngaca lho! Kayak kembaranku!" Ino meletakkan telunjuk dan jempol miliknya di bawah dagu, alias pose sok keren.
Langkah Sai terhenti. Ia menatap Ino lurus-lurus.
"Yang saya gambar itu memang kamu, Ino," Sai mengakuinya dengan wajah tanpa dosa.
"Wah, kamu fans-ku. Haha," Ino tertawa garing.
Sai ikut tertawa pelan. "Sebenarnya bukan fans, tapi suka." Dia tersenyum. Bukan, bukan senyum palsu. Yang kali ini tulus.
"Saya suka kamu," dia memperjelas.
Satu kelebihan Sai: jujur.
"Terus kamu 'nembak' aku gitu?" Ino mulai GeeR lagi. Mukanya merah. Gerakannya tak karuan. Ya, Ino salah tingkah.
"Jangan ngarep saya nembak kamu ya. Saya sudah bersumpah pada diri saya sendiri agar tidak pacaran selamanya," kata Sai masih dengan wajah tanpa dosa.
"Jomblo abadi," gumam Ino geli.
"Tapi langsung menikah."
Dia, gadis pirang itu, sukses dibuat merona merah oleh si laki-laki pucat.
⛅⛅⛅
"Makasih udah anterin sampai rumah," kata Ino sesampainya di gerbang depan rumahnya. Gadis itu sedikit membungkuk.
"Tidak masalah," balas Sai sungkan. "Ya sudah, sampai jumpa besok ya!" Sai melambaikan tangan sambil berjalan menjauh.
"Dadah~" Ino balas melambaikan tangan. Dia berbalik badan melangkah menuju pintu. Gadis itu tak henti-hentinya tersenyum sedari tadi.
"Akhirnya aku pula--"
"SURPRES!!" sambut seorang laki-laki berteriak ceria. Rambutnya pirang diikat sebagian dengan poni menutupi sebelah mata-mirip seperti Ino. Dia tersenyum sangat lebar.
"Apaan sih, bikin kaget aja—Mas Deidara!" teriak Ino terkejut. "Mas Deidara kapan ke sini?" Mata Ino berbinar-binar.
"Sudah dari tadi lah! Capek sekali aku menunggu kau," Deidara mencak-mencak. "Masa kau lupa hari ini aku bebas dari penjara? Adik macam apa kau ini?!"
Ino terkikik geli, lalu menyelonong masuk melewati kakaknya. "Maafkan adikmu ini, Mas."
Deidara mengerling malas. "Habis dari mana saja kau tadi?" tanya Deidara, mengganti topik.
"Dari rumah teman, mengerjakan tugas kelompok," jawab Ino sambil menaruh tas di sofa ruang tamu.
"Papa dan Mama belum pulangkah?" tanya Deidara lagi.
"Belum. Mungkin Minggu depan?" jawab Ino optimis. Ino sendiri tidak tahu kapan orang tuanya yang selalu keluar negeri itu pulang ke rumah.
"Aku kangen sekali dengan mereka...," Deidara merengek seperti bayi.
"Gimana rasanya menginap dan makan minum gratis di penjara, Mas?" tanya Ino sambil tertawa pelan.
"Pasti kau tidak betah di sana Ino. Di penjara itu, mana ada makanan enak-enak seperti di sini," kata Deidara, mengingat masa lalu kelamnya. "Kalau dibandingkan di rumah, tentu saja jauh berbeda."
"Makanya, jangan nakal," nasihat Ino sambil tersenyum miring. "Salah mas sendiri mencuri di rumah orang."
"Sebenarnya kan nggak apa-apa, asal tidak ketahuan. Cuma aku saja yang sial," kata Deidara ringan sambil mengibaskan tangan.
Sesat, batin Ino sambil menggeleng-geleng kepala.
"Oh iya, nanti malam aku ada acara. Kau di rumah sendirian nggak apa, kan?" tanya Deidara memastikan.
"Asal ada makan dan WiFi, aku masih bisa bertahan hidup," kata Ino bergurau.
"Padahal baru pulang, langsung pergi lagi, nih?" gumam Ino kecewa.
"Maaf ya, ini penting," kata Deidara merasa bersalah. Laki-laki itu memeluk adik kecil yang dirindukannya. Ino balas memeluknya.
Mereka, kakak beradik itu, saling meluapkan rasa rindu melalui sebuah pelukan hangat.
⛅⛅⛅
"Balonku ada lima ... Rupa-rupa warnanya ... Hijau, kuning, kelabu ... Merah muda dan biru ... Meletus balon hijau, DORR!!"
Semua terkejut saat Ino berteriak di tengah-tengah lagu.
"Hatiku sangat kacau. Balonku tinggal empat. Kupegang erat-erat...," Sai dan Ino bernyanyi unisono alias satu suara. Suara mereka yang tidak bagus-bagus amat. Tapi mereka punya prinsip: yang penting jadi.
"Bagus, bagus. Beri tepuk tangan untuk mereka!" Konan, guru seni budaya musik, adalah orang yang bertepuk tangan pertama kali. Lalu dilanjutkan oleh murid-murid yang lain.
Sai dan Ino tidak yakin Konan tulus memuji mereka.
"Tapi, kalian tahu nggak? Balonku ada makna tersirat lho," kata Konan.
"Oh iya, kalian silahkan duduk kembali," hampir saja Konan lupa dengan dua muridnya yang masih setia berdiri di depan kelas.
Sambil bernafas lega, Sai dan Ino duduk kembali di kursi masing-masing.
"Saat kita kehilangan sesuatu, contohnya pacar, rumah, atau apapun, kita masih punya yang lain, yang harus kita pertahankan," ujar Konan bijak. "Jangan cepat putus asa. Karena kita tak tahu apa rencana yang dibuat Tuhan di balik peristiwa kehilangan itu."
Sakura mengangkat tangannya.
"Ya? Apa, Sakura?" Konan mempersilahkan Sakura bertanya.
"Bu Konan copas dari Google ya?" tanya Sakura dengan percaya diri.
"Hahaha~ iya," Konan mengakui tanpa malu. Bahkan, dia tertawa.
Satu kelas mendadak ricuh dengan gelak tawa. Di tengah tawa itu, Ino menangkap suatu kejanggalan.
"Eh, Sai? Kamu kenapa?" tanya Ino khawatir pada Sai yang duduk di samping kirinya.
Bagaimana tidak? Sai yang sudah putih, bertambah pucat. Wajahnya tampak murung terus sedari tadi. Padahal, kemarin ia tampak sehat-sehat saja. Ini juga masih jam pelajaran pertama.
Apa ini efek menyanyi di depan kelas? Sepertinya tidak.
Sai menelan ludah kasar. "Saya tidak apa-apa kok." Ia tersenyum palsu, senyum yang selalu bisa ia andalkan.
"Beneran nih, nggak apa-apa?" tanya Ino lagi. Sai mengangguk.
Ino mendesah. "Ya sudah. Kalau ada apa-apa bilang ya." Ino menepuk-nepuk punggung Sai empati. Sai mengangguk lagi.
Sakura menarik lengan Ino cepat-cepat. "Lo belum tahu, Ino?" bisiknya. Dahi lebarnya yang mengerut.
"Hah? Belum tahu apaan? Kalau ekstrak kulit manggis sih, tahu," balas Ino bercanda.
"Ish, bukan itu yang gue maksud," Sakura berdecak. "Berita tentang Sai."
"Berita apaan dah?" tanya Ino mulai penasaran.
"Kakaknya Sai meninggal." Dan 3 kata itu sukses membuat Ino mematung.
"Seriusan?" Ino tidak percaya.
"Katanya sih gitu," kata Sakura sambil mengendikkan bahu. Tentu saja dia tahu, dia kan ratu gossip seantero sekolah.
"Pantesan..." Ino menatap Sai iba.
"Yang sabar ya," kata Ino, meskipun ia tak yakin ia akan setabah Sai saat mengalami hal yang sama.
Dia, gadis berambut pirang itu, mengerti kalau teman pucatnya butuh waktu sendiri.
⛅⛅⛅
Beruntung cuaca hari itu sejuk. Pemakaman Shin diadakan dengan khidmat, meskipun ada beberapa penggosip yang berbisik-bisik. Sai berada paling depan menyaksikan kakaknya dikuburkan. Laki-laki itu tidak menangis, tidak pula tersenyum. Tatapan matanya kosong.
Ino selaku temannya, menepuk-nepuk punggung Sai dengan empati. Sesekali gadis itu, berkata beberapa patah kata untuk menguatkan hati Sai.
Pemakaman diakhiri dengan doa dalam diam untuk Shin. Semua menunduk dan merapalkan doa dalam benak masing-masing.
Kali ini, Ino-lah yang mengantarkan Sai pulang.
"Aku nggak nyangka secepat itu dia pergi," Ino berbasa-basi.
"Hn," balas Sai bergumam.
"Dia punya penyakit?" tanya Ino.
"Tidak. Polisi bilang Kakak bunuh diri," jawab Sai murung. "Tapi saya lihat sendiri kalau dia--"
"Hei lihat siapa yang kebetulan bertemu di jalanan," sapaan Deidara memotong perkataan Sai. Pria itu membawa kantung plastik di tangannya. Pandangan Deidara teralihkan pada laki-laki di samping Ino yang menatapnya nanar. "Teman kau, ya, Ino?"
"Iya, Mas. Sekarang lagi sedih," jawab Ino. "Kakaknya meninggal."
Mas? batin Sai tidak percaya. Dia kakaknya Ino?
"Ooh, aku turut berdukacita atas kematian kakak kau," Deidara pura-pura sedih. Agar tampak simpati.
"Omong-omong aku baru saja dari IndoJuni, beli jajanan. Mau makan bersama?" tawar Deidara, berusaha mengembalikan semangat teman adiknya.
"Tidak perlu," tolak Sai tanpa senyum.
"O-oh, ya sudah. Aku duluan ke rumah, ya," kata Deidara kikuk. "Oh ya, mau kemana kau, Ino?"
"Antar Sai pulang, Mas," jawab Ino. "Rumahnya dekat kok."
"Oke. Jangan pulang larut oke?" ucap Deidara. Lalu pria itu berlari cepat ke arah yang berlawanan.
"Ino," panggil Sai.
"Ya?"
"Ada dua kesalahpahaman darimu tentang Kak Shin," kata Sai. "Pertama, sebenarnya dia tidak bunuh diri. Kedua ..."
"Kedua?"
Sai menoleh ke arah Ino dan menatapnya dalam-dalam. "Kedua, dia dibunuh oleh orang yang kamu sebut 'Mas' tadi."
Untuk beberapa saat, mata Ino terbelalak tidak percaya. "Bercandaanmu nggak lucu, Sai," balas Ino tajam. "Mas Deidara nggak mungkin bunuh orang!"
"Aku melihat pembunuhan itu dengan mata kepalaku sendiri, Ino!" gertak Sai. Deretan gigi Sai atas bergesekan dengan yang bawah.
"Sai...," Entah apa yang harus Ino lakukan saat ini. Apapun yang ia lakukan pasti akan serba salah.
"Seburuk-buruknya Mas Deidara, dia bukan pembunuh!" Dia memilih untuk membela kakaknya.
"Kalau kamu tidak percaya, tidak apa!" Mata Sai berkaca-kaca. "Toh semua sudah terlanjur kan! Kakakku sudah mati! Aku sebatang kara sekarang! Puas?!"
"Lupakan kata-kata saya kemarin kalau saya suka kamu. Karena sekarang," Sai menarik nafas sebelum melanjutkan kalimatnya, "Rasa itu sudah hilang."
"Apa hubungannya, sih?!" protes Ino tak terima sambil menunjuk dirinya sendiri. "Salahku apa coba?!"
"Anda sendiri tidak percaya pada saya. Kalau begitu, apa gunanya saya suka Anda?" tanya Sai dengan tatapan yang tajam.
Ino diam seribu bahasa. Dia tidak tahu, harus bereaksi seperti apa.
Sai mendengus kasar. "Sudahlah. Biar saya pulang sendiri saja."
Sai melangkah menjauh. Sementara Ino masih mematung.
Mereka, dua remaja itu, berpisah, mungkin tidak bisa kembali seperti dulu lagi.
⛅⛅⛅
"Wah, wah~ lihat siapa yang pulang," sambut Deidara yang duduk di sofa ruang TV dengan semangkuk popcorn.
"Mas..."
"Apa? Mau popcorn? Nih." Deidara menyodorkan mangkuk popcorn. "Awas, ada beberapa yang gosong."
"Bukan itu." Ino berjalan lunglai ke sofa yang diduduki Deidara.
"Hm? Apa?" Setelah berkata begitu, Deidara melemparkan popcorn ke mulutnya.
"Mas Deidara kemarin malam ngapain?" tanya Ino.
Deidara diam untuk beberapa detik. "Apa urusan kau menanyakan hal itu?" Ia berbalik tanya.
"Tapi Sai--"
'Cause I can't do it anymore (Yeah)
Gimme that can't sleep love
I want that can't sleep love
The kind I dream about all day
The kind that keeps me up all night
Gimme that can't sleep love
(Yeah)
Suara Ino terpotong oleh lagu Can't Sleep Love dari Pentatonix. Itu, suara dering telepon Deidara.
"Maaf, ada telepon," kata Deidara sambil menyambar ponselnya. Lalu ia berjalan keluar rumah.
Ino mendengus kasar. Ia mengambil mangkuk popcorn Deidara. Namun sebelum ia melangkah untuk duduk di sofa, ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
"Hai Sasori, lama nggak ketemu kau," sapa Deidara pada seseorang di seberang.
Yang Ino tahu, Sasori adalah rekan kerja Deidara dalam hal keburukan. Bukankah ada kemungkinan kalau mereka berdua membahas kematian Shin? Atau lebih tepatnya, pembunuhan Shin.
"Oh, Anjing Putih itu... Aku selesai. Dia mati, dan orang-orang mengira dia bunuh diri."
Deidara berdecak. "Anjing Putih itu ya cewek tukang ngadu itu lah. Yang namanya Shin. Ingat? Pelupa sekali kau."
"Shin?"
Berarti Sai ..., batin Ino, benar.
Dia, gadis berambut pirang itu, terbelalak tidak percaya saat itu juga.
⛅⛅⛅
Keesokan paginya, Ino menemukan sepucuk surat di dalam lokernya. Awalnya ia mengira itu salah kirim. Tapi, setelah dibalik, tampak tulisan yang menyatakan bahwa itu ditujukan untuk Ino.
"Yaa, karena ini buatku, kubaca aja," sambil berkata begitu, Ino mengangkat bahu. Ia membuka surat itu dengan hati-hati. Di dalamnya ada selembar kertas. Masih tampak baru.
Hai, Ino! ^^
Kamu sudah tahu kalau sekarang saya sebatang kara, kan? (Ingat kemarin saya membentakmu, maaf untuk itu) Makanya, Tante Nono—dia mengaku teman ibu saya—mengadopsi saya di panti asuhan Malaikat. Rumah saya? Dijual untuk donasi penting asuhan.
Kabar bagus kan? :>
Tapi ada kabar buruknya juga.
Panti asuhan Malaikat ada di Suna. Dan saat kamu membaca surat ini, saya sudah pergi. Mungkin kita tidak bisa bertemu lagi—setidaknya di Konoha. Kami—para anak-anak yatim piatu—akan senang menerimamu di rumah kami. Kapan-kapan mampir ya!
Omong-omong, maaf mengganggumu, maaf sudah membentakmu (waktu itu emosi saya tidak stabil), maaf membuatmu tidak nyaman, dan terima kasih untuk semuanya ^^
Kalau kita bertemu lagi, saya harap kita bertemu tanpa dendam ^^
Dari (Saya rasa kamu tahu siapa) :>
"Sai ..."
Dia, gadis berambut pirang itu, memeluk kertas di tangannya dengan mata berkaca-kaca.
TAMAT
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro