Chapter 31: Silverstring
"Cuaca hari ini bagus. Mau bunuh diri bersama?"
Kalimat yang ia dengar di stasiun tadi siang itu seolah merembes, menyesaki telinga Jeon kecil, sampai-sampai ia tak bisa mendengar suaranya sendiri. Meski ia tidak melihat proses terjun itu, Jungkook mendengarnya dengan jelas.
Bocah berumur 9 tahun itu berlari tersengal-sengal, tanpa alas kaki, tanpa peduli dengan teriakan berbau alkohol milik ayahnya. Wajahnya lebam, kaki tangannya penuh luka dan berdarah sana sini, rambut hitamnya berantakkan-ada bercak darah kering di beberapa bagian. Ia sesekali meringis kesakitan sambil melanjutkan perjalanan di bawah langit panas.
Setelah ditinggal kakaknya, Song Sehun, Jungkook kecil dibanting dua kali lebih banyak. Perlakuan abusif yang semula diterima berdua, kini hanya ia sendiri yang menerimanya. Bohong kalau ia tidak merasa benci pada kakak yang telah meninggalkannya.
Namun terkadang di dalam ujung kesadarannya yang meremang kala dihajar ayahnya, Jungkook berbisik dalam kepalanya yang berputar-perlahan mengeluarkan cairan anyir lewat hidung, "Kak Sehun... untunglah kau tidak berada di sini, Kak."
Jungkook tidak mengerti mengapa ia bisa selamat dari pukulan maut ayahnya tersebut. Namun saat ayahnya tewas dalam kecelakaan, ada setitik perasaan bahagia di dalam hatinya. Katakanlah Jungkook kejam, akan tetapi, lebih kejam lagi orang di sekitarnya yang malah mengatai Jungkook "Pembawa sial," dan, "Seharusnya kau mati juga."-seakan Jungkook kecil bukan bagian penting untuk dirinya sendiri.
"Kudengar, si kecil dari keluarga Song memang pembawa sial. Sejak ia lahir ayahnya bangkrut, ibunya menikah lagi, dan si kakak katanya dijual untuk bayar hutang. Kenapa Song Jungkook tidak mati juga, ya?"
'Dengar-dengar', 'Katanya', 'Aku dengar'. Kata-kata seperti ituㅡkalimat yang dibuat berdasarkan rumor, delusi, serta tanpa rasa empatik, selalu melingkar di sekitar kita. Melingkar tanpa henti. Dan Jungkook rasa hanya akan berhenti jika ia benar-benar membetulkan perkataan kejam tersebut. Yaitu, mati.
Dengan tangan yang mengepal pada ujung bajunya sendiri, Jungkook berdiri gemetaran di atas gedung stasiun yang lama-dalam masa renovasi, menyebabkan tempat itu kosong melompong, selain barang-barang rongsok-yang dipakai Jungkook untuk bersembunyi bersama tangisnya, tergugu dalam bahu yang melorot lemah.
Kenapa ya hidup amat sulit untuk dijalani?
Anak itu hampir saja meloncat, tetapi satu dentuman hebat membuatnya terkejut. Seketika ia berpegangan erat pada apapun yang ada di sana. Berusaha menahan diri, jangan sampai ia jatuh ke bawah. Jungkook jadi tersadar.
Jungkook tidak mau melanjutkan hidup, tapi ia juga takut mengakhirinya.
"Jangan lakukan..." air mata orang itu turun. Itu kakak tadi siang-yang temannya meloncat ke rel kereta dan hancur menjadi seonggok tanah.
Jungkook tahu, kakak kurus itu bertujuan sama dengannya. Sebab tempat ini seharusnya tidak bisa dimasuki siapapun. Jungkook lah yang mengunci pintu atap ini.
Mengetahui bahwa kakak yang sedang berdiri di sini sama gemetarannya dengan Jungkook, maka ia dapat menyimpulkan bahwa kakak itu bahkan sudah lebih lama berada di sini.
"Kau tidak akan melakukannya." Gadis itu menarik ujung baju Jungkook yang tengah berdiri gemetaran. "Turunlah."
Bersama kepahitan yang sama, kakak itu sudah berada di sini terlebih dahulu. Bersembunyi dan merencanakan kepahitan lainnya.
"Keberadaanmu punya jawaban dan alasan baiknya. Tolong jangan pergi. Kalau kamu pergi, banyak yang akan sedih."
Dalam dekapan orang asing bersama semilir angin yang menerpa wajahnya di bawah langit jingga, Jungkook kecil pun selamat pada hari itu. "-menjadi Jungkook yang sekarang."
Pemuda bermarga Jeon itu mengakhiri cerita, sedari tadi bersandar pada tembok di hadapannya, matanya mengerling pada presensi Jooeun yang tengah berdiri bersamanya saat ini.
Jungkook menatap Jooeun yang tengah menerawangi gradient langit yang perlahan berubah menyerupai merah jambu. Kemudian ia mendekat saat Jooeun memanggilnya, "Jungkook."
"Ya?"
"Sebenarnya, kau yang menyelamatkanku."
"Kau bicara apa, Kak?"
"Kalau kau tidak tiba-tiba membuka pintu atap pada malam itu, aku pasti sudah benar-benar melompat ke bawah."
Jungkook belum sepenuhnya mengerti, tapi ia diam saja, ia lebih ingin mendengar suara Jooeun.
"Jung... Karena kehadiranmu yang tiba-tiba, diriku yang pengecut itu terkesiap pun mengurungkan niat bunuh diriku. Aku kembali bersembunyi dan hendak menunggu sampai kau pergi. Tapi kau malah lama sekali berada di sana... bersama tangisanmu."
Jooeun berbalik, mengusap wajah Jungkook yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri, "Dan aku tidak bisa membiarkanmu mati begitu saja di depanku. Tidak setelah apa yang terjadi pada Jisoo."
Bohong kalau jantung Jungkook tidak terasa berdegup. Untuk beberapa sekon ia sempat gugup sebelum menyatakan satu fakta lain yang selama ini ia sembunyikan. Tangannya menggenggam jemari lentik sang gadis, lalu berkata pelan, "Kak, ingin tahu sesuatu tidak?" membuat atensi Jooeun semakin fokus untuknya.
Jungkook menghela napas, berucap pelan-pelan, "Aku melihat seseorang yang lain, di gedung kosong itu."
Jooeun diam, menunggu Jungkook melanjutkan kalimat demi kalimat yang membuatnya tersadar akan serentetan fakta yangㅡtakkan pernah ia tahu jika bukan Jungkook yang mengatakannyaㅡ seolah-olah menarik dalam hentakan absolut pada dadanya.
"Aku lihat Kak Taehyung juga."
Jangan bilang kalau... Oh, sejujurnya, Jooeun takut mengenai asumsi yang berkeliaran di dalam kepalanya.
"Pertama saat aku berdiri dan melihat ke bawah. Kedua, saat dia membuka dan mengintip dari celah pintu. Kemudian pergi diam-diam setelah melihat kau berhasil menarikku turun."
"Taehyung... di sana juga?" Jooeun jadi berpikir. Tapi untuk apa?
Yang terluka di hari itu banyak sekali. Bukan hanya Jooeun yang merasakan pedih, mungkin bagi orang asing sekalipun.
Kata-kata sangatlah memiliki kekuatan. Meski tak berwujud, tak mengubah fakta bahwa dampaknya besar sekali. Dan bunuh diri itu tetap bukan pilihan, apalagi jawaban.
Sehabis tawa hambar dari Jungkook dan senyum tipis dari Jooeun, keduanya termenung. Diam-diam menyetujui segalanya. Memilih mengunci bibir saat salju pertama sudah turun dan Jooeun bisa merasakan betapa dingin lelehan salju itu saat mengenai telapak tangannya.
"Jungkook... tahu tidak, aku bahkan tidak pernah menghadiri pemakaman Jisoo. Ibu tidak mengijinkan aku ke sana."
"Makam? Kakak itu dikremasikan. Aku diam-diam datang ke guci abunya 2 tahun lalu. Dan-hei, tunggu, namanya Jisoo?" Jungkook mengernyitkan dahi.
Berbagai perasaan berkecamuk dan beradu di kepala. Tiba-tiba ia jadi ragu dengan dirinya sendiri. "Temanmu itu namanya Jisoo, Kak?"
"Iya, Kim Jisoo. Dan dia cantik sekali."
"Cantik?" Alis Jungkook naik satu, "Ya, untuk ukuran laki-laki dia cantik... tapi namanya adalah Kim Jisoo? Atau aku yang salah mengingat?"
"Apa maksudmu? Dan apa kaubilang? Laki-laki?" Jooeun tertawa sumbang, di matanya ada gurat gelisah dan pandangannya mendadak berubah was-was saat Jungkook melanjutkan.
"Seingatku, ruang kremasinya hanya dihadiri keluarga inti," Jungkook membolak-balik telapaknya sendiri, kemudian matanya menerawang, "Waktu itu aku tidak masuk. Tapi aku masih ingat logo rumah abunya. Jadi saat SMA, aku bertanya kepada penjaga rumah abu tentang korban bunuh diri di stasiun kereta. Entahlah."
"Atau aku salah tempat, ya, Kak?"
Mungkin Jungkook salah. Kepala Jooeun berkedut pening. Ia belum bisa mencerna segalanya, apalagi saat Jungkook melanjutkan dengan lugas.
"Tapi, masa aku salah orang? Aku yakin namanya adalah Kim Seokjin."
Seokjin? Itu nama yang sangat familiar. Seperti nama yang pernah disebutkan Taehyung.
"Tapi, Kak... ada yang aneh. Aku ingat kejadian naas itu terjadi pada musim panas. Tapi kenapa tanggal kematian kakak itu dibuat satu bulan setelahnya, ya? Seolah-olah dia meninggal di musim gugur... Seperti orang lain saja," Jungkook mengusap dagu dengan alis berkedut bingung, "Apa aku memang salah orang, ya?"
Tidak, tidak. Mungkin kamu tidak salah, Kook. Dua nama ini... Jisoo... Seokjin... pasti ada sesuatu diantara dua nama tersebut.
Dan tadi katanya Taehyung juga ada di gedung kosong 6 tahun lalu. Apakah untuk melancarkan seperti aksi Jooeun dan Jungkook? Itu terdengar tidak benar. Buruk, malah.
Jantung Jooeun seperti dipukul kencang-kencang oleh palu raksasa. Rasanya mencelos. Mendadak disambar kesadaran, gadis itu merasakan horror absolut di dalam diri. Saluran memorinya mulai mengumpulkan segala keping bait demi bait yang Taehyung katakan, cuplikan perbuatan yang Taehyung lakukan, dan berbagai macam senyum yang Taehyung tampilkan.
Ah, Jooeun baru mengakui fakta yang selama ini ia sangkal. Senyum Taehyung yang hangat itu selalu terlihat lelah dan hampa.
Jangan bilang kalau itu semua hanya manifestasi belaka. Jangan bilang kalau itu hanya kebahagiaan dan kehangatan artifisial.
"Kook. Kita harus cari Taehyung." []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro