Chapter 27: Dissemble, 2012
Ini yang paling ditunggu-tunggu.
Perjalanan musim panas dengan Jisoo pasti akan menjadi ide terbaik sepanjang masa yang pernah ia buat seumur hidup. Mereka akan mengarungi kota Busan setelah makan siang bersama di Subway. Uang jajan yang dikumpulkan selama satu tahun akan ditukar dengan memori menyenangkan.
Saking menyenangkannya, Jooeun jadi semangat menunggu semester depan karena ingin buru-buru menulis karangan bahasa. Padahal biasanya Jooeun tidak pernah semangat dalam pelajaran tersebut karena liburannya selalu membosankan. Jooeun harus bohong sedikit-menulis bahwa ia ke rumah neneknya yang di desa, mencabuti rumput dan hal tak eksis lainnya. Demi menghindari angka bertinta merah di rapor.
Mungkin cerita milik Jooeun tentang liburan tahun ini akan menjadi bagian terbaiknya dan paling terkenang dalam hidupnya.
Kaki Jooeun melangkah pelan ke dalam mini market, mengambil item yang ada di dalam cek listnya-termasuk jeli beruang, karena Jisoo sangat suka-dan membayarnya di kasir. Setelah memberikan senyum tipis pada kasir yang memberinya salam selamat pagi, Jooeun menenteng kantong belanjaan sambil bersenandung pelan, "Good times, for a change..."
"See the luck I've got can make a good man, turn bad," itu lirik dari salah satu lagu The Smiths-band yang dikenalkan Jisoo padanya.
Dan tahu apa? Ada kejutan bagus. Ia melihat sosok sahabatnya. Jisoo sedang jalan pagi di ujung jalan sana. Mulut Jooeun hampir saja meneriakkan nama Jisoo keras-keras jika matanya tidak cepat menyadari keadaan.
Jisoo sedang bersama kliennya.
Jooeun mundur beberapa langkah dan bersembunyi di balik bangunan. Ia menahan napas melihat kedua insan-yang umurnya terpaut banyak selisih-bergandengan tangan mesra di jalan.
Dua bulan lalu, Jooeun menangkap basah Jisoo menjadi pacar sewaan, bos Jisoo yang merupakan orang Jepang menyebut bisnis ini sebagai Joshi Kosei. Tentu Jooeun tidak menyetujui hal ini dilakukan oleh sahabatnya. Tapi, Jooeun bisa bilang apa saat Jisoo berkata dengan wajah memelas yang benar-benar sedih, "Jooeun, kalau tidak melakukan ini aku harus hidup dengan apa? Rentenir itu terus mengejarku," lengkap dengan tetesan air mata.
"Dan aku lebih merasa dihargai para klien tersebut, daripada keluargaku yang meninggalkan aku sebatang kara begini. Kau tahu bagaimana perasaanku, 'kan? Perasaan yang tidak membuatmu merasa hidup ini? Aku benar-benar tidak hidup lagi, Jooeun."
Jisoo melanjutkan dalam isakan hebat, bening kristal turun semakin deras dari wajah Jisoo yang cantik natural, "Aku ditolak dimanapun. Aku dibuang dimanapun."
Dan ada satu kalimat yang membuat air mata Jooeun ikut menyeruak hebat.
"Jadi, Jooeun... Kumohon, jangan buang aku juga."
Hati Jooeun mencelos. Kejutan ini bagaikan lecutan untuk matanya yang menangkap tatkala bibir Jisoo sedang dikecup oleh pria berumur sekitar 40 pertengahan tersebut. Jooeun benar-benar pecah. Ia tidak tahu lagi. Apakah keputusannya bisa dibilang benar jika mendukung sahabatnya melakukan hal seperti ini?
Jika kebahagiaannya adalah sesuatu yang tabu namun menyelamatkannya, bagaimana anak gadis sepertinya harus bersikap? Ia tidak cukup berpengalaman untuk menyikapi ini semua dengan desisi yang setidaknya lebih tidak beresiko.
Di lain sisi, Jooeun takkan pernah meninggalkan Jisoo. Jisoo yang selalu bersamanya dalam suka duka dan ombak kesepian hidupnya. Jika hidup diibaratkan film, mungkin potongan saat bertemu Jisoo di komunitas puisi West Lamp-yang mayoritas berisi anak depresi atau kelainan kejiwaan-adalah titik dimana kisah Jooeun mulai jadi lebih baik.
Jisoo benar-benar seorang teman. Yang merangkul di kala susah, tak pernah pergi di saat Jooeun berada di titik terendahnya. Dan yang selalu Jisoo bilang; "Aku pernah merasakannya-ditinggal sendirian saat terjebak dalam goa kegelapan bernama kehidupan. Jadi, Joo, kau tak pernah boleh merasakan itu. Aku tidak akan pernah membiarkannya. Sinar itu kamu. Jangan pernah redup."
Dan sungguh, Jooeun tidak ingin mempercayai ini semua. Tapi indera penglihatannya masih baik dan tidak mungkin salah.
Klien Jisoo kali ini adalah ayah kandung Jooeun yang 12 tahun silam telah meninggalkannya dan Ibu.
***
Sekarang pria yang lengkap dengan setelan jas putih dokter bernama Kim Namjoon ini ada di depannya di dalam kafe-sepi sekali, hampir tidak ada orang selain mereka di sana. Setelah Kim Taehyung masuk ke kantornya tanpa membuat janji, seharusnya Taehyung diusir begitu saja. Akan tetapi, alih-alih diseret oleh bodyguard rumah sakit, Taehyung malah disambut dengan satu kalimat yang diucapkan dengan ramah, namun penuh gurat kecewa.
"Akhirnya kau datang. Kau sudah lama ditunggu. Ikutlah denganku."
Cukup mengejutkan. Taehyung tidak menyangka bahwa Dokter Joon-yang selama ini mengurus Jooeun-mungkin memegang kunci dalam cerita ini. Kisah mereka semuanya terhubung benang merah yang kusut.
Sejak awal Taehyung melihat presensi Namjoon, Taehyung tidak merasakan apapun yang mencurigakan. Tetapi melihat sosok itu sekarang berdiri seperti ini, rasanya Taehyung ingin mengoyak rasa percaya tersebut.
"Oh. Biar aku beritahu. Surat itu, aku yang mengirimnya."
Apa? Maksudnya itu bukan surat Seokjin?
"Kau kemari untuk menemukan jawaban dari surat yang 2 tahun lalu aku kirimkan padamu, bukan? Kita harus bicara. Aku agak menyayangkan fakta bahwa kau baru sadar," Namjoon menyeringai tipis.
"Siapa kau sebenarnya?"
Pria itu membenarkan posisi kacamata yang bertengger di hidungnya, lesung pipit muncil tatkala ia tersenyum, "Bukankah kau sudah tahu siapa aku? Kau memiliki identitasku bukan?"
Taehyung mendengus, kemudian mendorong kartu nama berbahan doff hitam. Kim Namjoon - Psikiater, tertulis di sana. Taehyung merasa ingin marah saat dia baru sadar kalau kartu ini tidak pernah berdebu sebelumnya. Yang berarti, Kim Namjoon baru saja meletakkannya beberapa waktu ini. "Kau juga yang sengaja meletakkan ini di tempatnya?"
"Baru saja kuletakkan beberapa minggu lalu setelah melihat tekadmu."
"Mengapa?"
"Tidak ada gunanya aku membantu orang itu jika penerima yang ditujukan tidak memiliki keinginan. Saat aku tahu kau telah memberanikan diri untuk kembali dan mendapatkan foto polaroid itu, aku tahu ini saat yang tepat."
"Kenapa kau ikut campur? Apa kau ini kekasih Seokjin atau-"
"Tahan dirimu," potong Namjoon. "Gegabah itu seharusnya peranku. Aku hanya dimintai tolong. Dia bukan kekasihku. Aku psikiater sekaligus temannya. Dan apa kaubilang tadi? Seokjin?"
Mata Taehyung yang semula membulat jadi menyipit perlahan, "Ya, Kim Seokjin. Kita ada di halaman yang sama, bukan?"
Yang bernama Namjoon itu diam saja. Hanya menaikkan sebelah alis, lalu setelah diam beberapa detik, ia menjawab.
"Haha. Kurasa."
"Kurasa?"
"Kupikir kau sudah mengetahuinya. Ternyata belum, ya." Namjoon menyeruput es kopi perlahan, lalu kembali duduk dalam posisi melipat dada-cukup membuat bulu kuduk Taehyung meremang sebelum mengatakan hal yang membuat Taehyung hampir kehilangan detak jantungnya.
"Kurasa benar, jika..."
Jika?
"...yang kau maksud dengan Seokjin itu adalah Kim Seokjin yang mengubah identitasnya menjadi Kim Jisoo."
"Bicara omong kosong, ya?" alis Taehyung bertaut gelisah. Wajahnya mengeras, namun pupilnya dipenuhi rasa gelisah. "Jangan bercanda. Ini tidak lucu."
Namjoon menyeringai miris, "Kau jelas tahu bahwa Seokjin mengidap kelainan seksual sejak di bangku sekolah dasar. Dan dia menyukaimu, bukan?"
Lidah Taehyung kelu, hanya mampu mengecap rasa getir yang mampu memoles seluruh batang kerongkongannya. Ini semua gila.
"Kim Seokjin dan Kim Jisoo, mereka adalah orang yang sama." []
NOTES:
I told y'all it is a plot twist.
Clue? See Chapter 18: Epiphany.
Spot ㅅㅈㄱ terletak di ujung kanan surat yang diterima Taehyung.
1. Ini mirip dengan metode baca puisi/sajak kuno dari kanan ke kiri. (Pernah lihat buku yang dijilidnya di sisi kanan? Kira-kira seperti itu.)
2. Ingat West Lamp? Nama komunitas baca puisi yang diikuti Jooeun bersama Jisoo dan Sehun?
Nah, lamp alias lampu itu punya arti simbolik yaitu, harapan, jalan, atau metode. Biasanya lampu dipakai untuk membantu orang melihat lebih jelas atau menemukan jawaban di dalam kegelapan. West atau barat itu sering diidentifikasikan sebagai arah terbenam matahari (menuju gelap).
Jadi West Lamp itu arti filosofisnya menerangi tempat yang gelap, menemukan jawaban untuk yang sinarnya hilang.
Tapi hubungannya sama ㅅㅈㄱ apa yah?
Coba pikir simpel. West Lamp. Singkatnya, lampu di arah barat (kiri).
⬅️ So, jika ingin menemukan lampu (jawaban), bacalah (dari kanan) menuju kiri agar sampai di barat. Seperti ilustrasi panah peta arah angin.
Huruf hangeul ㅅㅈㄱ bukan dibaca sebagai: S J K (Seok. Jin. Kim).
Tapi harus dibalik dulu, sehingga menjadi: ㄱㅈㅅ. K J S.
Alias Kim. Ji. Soo.
3. Lirik bait pertama Epiphany (judul chapter 18). Ibaratnya POV aku adalah Jisoo yang bermonolog kepada dirinya yaitu Seokjin.
Anehnya...
Aku sudah sangat mencintaimu.
Aku menyesuaikan diri sepenuhnya demi dirimu.
Aku ingin menjalani hidupku untuk kamu.
Tetapi karena aku terus melakukan itu... Aku tidak tahan lagi dengan badai di dalam hatiku.
Diriku yang sebenarnya tersenyum di balik topeng.
Kurasa aku harus mengungkapkan segalanya.
Gimana? Sudah paham? Hehe.
Ada yang berhasil nebak?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro