Chapter 26: Scintilla
Baik, Kim Taehyung. Mari susun puzzle yang telah terkumpul sekarang.
Jadi, foto polaroid dengan coretan spidol hati yang kutemukan di rumah Seokjin adalah potret gadis bernama Kim Jisoo. Jisoo adalah teman Jooeun dan Sehun. Jooeun dirumorkan membunuh. Dan orang yang Jooeun klaim dibunuhnya adalah Kim Jisoo. Lokasi di stasiun kereta. Rentang waktu kematian Kim Jisoo, musim panas tahun 2012.
Lalu di tahun yang sama pada musim gugur, Ibu Seokjin mengatakan bahwa Seokjin meninggal karena sebuah kecelakaan. Tapi isi surat Seokjin yang dikirimkan kepadaku (musim dingin, 2016) mengindikasikan adanya bunuh diri. Hipotesaku, Seokjin bunuh diri karena merasa kehilangan sepeninggalan kekasihnya, Kim Jisoo.
Seharusnya begitu saja. Tapi, mengapa ada yang janggal di sini? Seperti ada yang aku lewatkan. Tapi apa?
Perlahan mengangkat bingkai foto yang ditelungkupkan di nakas, Aku menatap objek foto itu lekat-lekat. Ada 3 orang di sana. Aku, Jimin, dan Seokjin. Foto itu diambil saat kelulusan SD. Aku di tengah, merangkul Jimin yang punya cengiran lebar, dan tangan kananku berada di bahu Seokjin-yang tersipu canggung dan terlihat punya senyuman yang lebih lembut.
Kalau diingat lagi, sepertinya aku punya foto lain mengingat kedekatanku dengan mereka sangat intens kala itu. Aku juga punya foto bersama di depan gedung SMP kami-sebagai perayaan kecil karena telah berhasil masuk kesekolah tersebut dengan jerih payah. Tapi aku tidak ingat dimana aku meletakkannya.
Aku membuka kotak besar yang penuh dengan barang-barang acak, tidak diklasifikasikan, dan mungkin banyak yang tidak berguna di sana. Ah, sayang sekali.
Aku malu mengakui kalau rindu dengan memori yang kuhabisakn bersama Jimin dan Seokjin. Mungkin lain kali, aku harus membuat banyak cetakan salinan agar memori kedekatan tidak hilang. Meskipun apa yang terjadi sudah banyak menyisakan luka bagi kami.
Jujur, aku tidak ingat kapan. Tapi waktu itu Seokjin mengakui sesuatu yang membuatku dan Jimin melongo hebat.
"Aku menyukai lelaki. Aku gay."
Tentu saja aku dan Jimin menertawakan Seokjin. Berpikir bahwa ia sedang bergurau, kami malah menyebarkan rekaman konferensi telepon kami malam itu kepada seluruh penjuru sekolah. Aku otak utamanya. Aku yang memulai semua keusilan itu. Tanpa sedikitpun aku tahu bahwa Seokjin ternyata serius dengan ucapannya. Seokjin benar-benar seorang homoseksual.
Dan tebak apa? Dia menyukaiku.
Awalnya aku berusaha menerima fakta bahwa ia berbeda denganku. Karena aku menganggapnya teman. Namun semakin lama, aku tidak sadar bahwa aku mulai memandang Seokjin dengan berbeda. Mungkin itu tatapan paling penuh rasa hina yang pernah diterima Seokjin. Entahlah. Aku tidak bermaksud dan Seokjin tidak pernah bilang apapun selain meminta maaf atas perasaannya yang dinilai tabu oleh masyarakat.
Sungguh. Waktu itu, aku yang sebagai remaja tanggung, disukai sesama jenis (dan orang itu adalah sahabat kecilmu sendiri) bukanlah pengalaman yang mengenakkan.
Sekalipun aku membuat rumor lain bahwa ia adalah kekasih dari Pak Bong-guru SMP kami yang memang terang-terangan mengaku homoseksual-dan menyusahkan tahun pertamanya di sana, Seokjin selalu memberiku senyum. Tapi bagi diriku yang belum cukup dewasa, saat itu aku malah semakin benci kepadanya. Lantas mencari korban agar bukan aku yang menjadi korban, adalah rencanaku.
Kendati fakta Kim Seokjin adalah gay telah menyebar, teman-teman di sekolah tak boleh mengetahui bahwa Seokjin menyukaiku. Sebab jika mereka mengetahuinya, mungkin nasibku akan sama seperti mantan kekasih Pak Bong, Jang Gunho, teman sekelasku. Mental Gunho dihancurkan lewat terror. Akhirnya ia keluar dari sekolah dengan keadaan tidak waras dan masuk ke rumah sakit jiwa.
Picik, bukan? Mencari-tidak, lebih tepatnya, membuat. Membuat korban untuk sebuah penyelamatan diri.
Aku ini pendosa. Setelah membuat Seokjin menjadi bulan-bulanan preman sekolah, aku meninggalkannya. Pura-pura tidak kenal. Meskipun Seokjin berulang kali menghampiriku dengan kata, "Taehyung, maafkan aku."
Tapi balasanku kala itu; Aku membuang muka, seraya mengutuk dalam hati. Aku tidak mau terlibat dalam semua kekacauan hidupmu, Kim Seokjin.
Seokjin menghilang pada tahun kedua kami bersekolah. Aku hanya mendengar desas-desus bahwa ia ditendang dari rumah. Karena ayah dan ibunya malu. Malu dengan fakta bahwa anaknya berbeda dan tidak bisa dibaurkan ke dalam masyarakat.
Di hari itu, aku hanya mampu menatap meja Seokjin yang kosong. Meja yang biasa dipakai Seokjin untuk melamun, menghadap pada jendela, menikmati cantiknya bunga sakura saat musim semi dan indahnya bunga salju di musim dingin. Semua itu memunculkan segunung rasa bersalah dalam benakku. Aku ini teman macam apa?
Tahun berlalu dan waktu semakin mengajarkanku pada kedewasaan. Aku jadi sadar, seharusnya aku tidak pernah melakukan itu pada Seokjin.
Daripada mempertanyakan alasan mengapa mereka berbeda, seharusnya aku mengerti saja. Seharusnya, aku tidak boleh takut pada Seokjin. Aku seharusnya menerima eksistensi Seokjin meskipun aku tak bisa menerima perasaannya. Teman, seharusnya seperti itu.
Jika saja kami masih dekat, masih dalam hubungan baik, mungkin saat ini ada 10 koleksi album berisikan fotoku dan Seokjin. Dan-Oh, tunggu.
Foto kedekatan?
Shit. Shit. Ini dia. Ini yang kucari.
"Shit. Aku harus ke tempat Seokjin sekarang!"
Aku belum pernah melihat foto Seokjin dengan Kim Jisoo. Kalau mereka memang dekat, apalagi jika asumsiku benar-bahwa mereka sepasang kekasih-seharusnya aku menemukan foto mereka berdua di saat aku membereskan kontrakan Seokjin saat itu. Mungkin saja Seokjin membuang itu semua demi mengubur kenangan. Tapi seharusnya ada jejak di sana. Jejak bahwa mereka terhubung.
Jangan-jangan ada alasan lain? Atau aku yang kurang teliti mencarinya?
Aku membuka seluruh plastik di kamar Seokjin. Berdebu sekali sampai membuatku terbatuk dan harus mengipas pergi partikel kecil yang bersemayam di hadapanku. Aku mengorek semua yang bisa kudapatkan, termasuk sebuah kalender kecil yang penuh coretan. Kubersihkan debu yang menempel pada tanggal 12 September 2012.
Apa ini? Ada gambar hati, smiley, dan sebuah nama.
"Kim Namjoon?"
Kemudian membalikkan kalender dan menemukan sebuah kartu nama berisikan kontak infomarsi dengan sebuah logo lembaga, dan... nama yang familiar. Sangat familiar, malah.
Kim Namjoon. Psikiater. []
NOTES:
Ayo main curiga2an. Hahaha.
Siapakah mereka sebenarnya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro