Chapter 22: Stigma
Langit benar-benar terlihat manis. Hamparan kapas merah muda terbentang di atas kepala Taehyung begitu ia turun dari taksi. Maniknya menangkap presensi Jooeun yang duduk di depan bangsal.
Beberapa langkah dari sana ada jendela sebesar 30 inci yang menyelipkan beberapa cahaya matahari-redup perlahan lalu berubah menjadi agak oranye. Satu senyum samar muncul tatkala profil sempurna milik Jooeun yang terpapar bias warna jingga koral.
Tapi, untuk alasan tertentu Taehyung malah merasakan sakit saat melihat keindahan ini.
Dibalik senandung dan rutinitas dalam hidup pasti banyak keinginan dan harapan liar yang tak bisa ia tuangkan dalam kata-kata. Karena banyak situasi yang terkadang lebih baik diberi sunyi daripada bunyi.
Mempererat balutan trench coat cokelat di tubuh, Taehyung lalu memperkecil jarak. Tanpa kata yang berarti, ia memilih menggengam tangan Jooeun yang pergelangan tangannya masih terbalut perban.
Jooeun agak terkejut saat memergoki pria itu sudah menatapnya sedari tadi. Gadis itu mengerutkan bibir, "Lamanya. Aku hampir keriput di sini."
Pasti mustahil. Mustahil gadis seperti Jooeun akan membunuh seseorang, lalu menyebabkan Seokjin depresi dan ikut pergi.
Tersenyum getir, ia menekuk lutut di hadapan Jooeun, "Mana mungkin ada keriput," ia berusaha menyembunyikan kegelisahan dalam sekejap dengan senyum lembut.
Gadis itu balas terkekeh, pipinya terangkat lucu, "Mungkin. Kalau kau lama. Nanti aku berdebu,"
Taehyung langsung pura-pura terbatik lalu mengucek mata yang tampaknya baik-baik saja.
"Duh, kau benar. Banyak debu."
Jooeun tersenyum geli seraya mengangguk lucu. "Membuat anak gadis menunggu itu tidak baik. Jangan diulangi."
Taehyung mengangguk pelan. Ia diam-diam menghela napas lewat hidung. Pandangannya menyusuri atap dinding koridor rumah sakit yang terlihat tak berujung. Lantas mendudukkan diri di lantai-menyamakan tinggi dengan gadis di hadapannya, lalu menggengam tangan Jooeun. Erat sekali. Dirasakannya telapak tangan Jooeun yang dingin perlahan jadi hangat.
Ia ingin memberi gadis ini seluruh hal baik di dunia. Ia janji kalau ia akan membantu gadis itu. Tapi apa? Lihat sekarang. Gadis itu tetap kembali ke tempat ini masih dengan membawa pergelangan berbalut perban dan serabut goresan perih.
Reaksi Taehyung membuat ekspresi Jooeun berubah cemas. Bola mata gadis itu menatap Taehyung nanar-heran, seolah mencari sesuatu di sana.
Tapi pria itu memberi pengalihan. Ia membuat senyumㅡyang meski tak sampai ke mataㅡdan berharap bahwa kesemuan belaka ini tidak ditemukan.
"Sesuai janji, giliranku menunjukkan teritoriku." Tangan Taehyung yang terjulur itu terbias matahari sore, dahinya setengah terekspos akibat embusan angin.
"Ehm," Jooeun berdeham, "Kabur dari tempat ini tanpa izin itu illegal."
Taehyung menggendikkan bahu santai, "Oh, kutipan bijaksana dari gadis yang pernah menembus gedung publik di tengah malam bersama seorang pria, hm?"
"Itu bukan poin yang kumaksud," desis Jooeun.
"Uh-huh. Setuju," sarkas si pemuda. Kepalanya dianggukkan dengan malas, namun telapak tangan masih menagih agar diterima.
Jooeun mendesis gemas. Giginya sedikit terlihat dibalik senyuman geli. "Oke. Asal bukan motel?"
Taehyung terbahak tak habis pikir karena Jooeun masih mengingat ucapannya kala itu.
"Serahkan padaku, Tuan Putri."
***
Keduanya melangkah ke mobil usai mengendap-endap lewat pintu belakang. Jooeun mengenakan sweater Taehyung sedangkan pemuda itu berbalut kemeja putih dengan mantel tebal kelabu. Di dalam mobil ada music jazz dengan iringan instrument saxophone, penghangat dan pengharum ruangan dinyalakan. Aroma familiar pun menguar perlahan dan Jooeun jadi teringat pada lilin aromaterapik yang ia pajang di kamar.
"Kau suka wangi citrus ini?" tanya Jooeun setelah sempat bergulat batin demi menanyakannya atau tidak. Tentu saja ia akan menanyakannya. Sudah lama ia penasaran.
"Citrus?" Taehyung masih menyetir. "Kupikir kau tahu aroma ini?"
Sebenarnya Jooeun agak bingung kenapa ia merasa tertekan untuk menanyakan hal sepele seperti ini. Apakah karena ia memiliki koneksi dengan wangi bergamot tersebut? Atau ia hanya sekadar merasa tidak enak karena setiap kali wangi ini muncul, ia tak bisa berhenti memikirkan dan membuat hipotesa baru. Sial. Ia benci karena lagi-lagi ia terlalu banyak berpikir.
"Ini wangi yang sama dengan cardigan kesayanganmu."
"Aku tahu. Ini bergamot."
"Kau punya banyak pertanyaan, nampaknya?"
Jooeun perlahan memandangi profil samping Taehyung yang menawan. Lipatan mata, alis tegas, batang hidung tinggi yang sinkron dengan dagu semampai, dan senyum selebar samudera yang terbias cahaya pelangi. "Kenapa orang sepertimu menggunakan aroma ini?"
Akhirnya. Akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulut Jooeun.
Tapi Taehyung di sana terlihat bingung. Matanya memancarkan ketidaktahuan. "Ada yang salah dengan itu?" tanyanya perlahan.
Taehyung benar-benar tidak tahu apapun. Jooeun menggeleng pelan. "Kupikir kau punya alasan khusus menggunakan aroma ini."
"Kenapa harus?"
Jooeun bergumam. "Well yeah, aku dengar aroma ini bisa menenangkan banyak hal. Emosi, pikiran kalut, dan semacamnya."
"Semacamnya?"
Gadis itu melanjutkan. "Semacam depresi dan rasa ingin bunuh diri? Kurasa."
"Haha. Sayang, ini bukan Lithium."
"Itu alasan khusus kau menyemprotkannya di sekujur tubuh?"
"Salah satunya begitu. Atau mungkin hanya sugestiku saja. Aku tidak tahu. Tapi aroma itu lumayan membantuku," kemudian Jooeun berhenti bicara saat ia tersadar kalau suasana menjadi sepi dan Taehyung terlihat serius. Ia tidak bermaksud menuduh Taehyung sebagai orang yang punya pikiran bunuh diri atau semacamnya. Jadi, ia pun buru-buru mengalihkan pembicaraan.
"Jadi, kapan kita akan sampai di teritorimu itu?"
Rem berbunyi. Mobil berhenti.
Taehyung menunjuk mobil dengan senyum yang sulit diartikan, "Di sini." []
NOTES:
😊👋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro