Chapter 18: Epiphany
Jooeun menyeruput sup ayam jahe dengan setengah hati. Sehabis menegak pil dari resep Dokter Joon, sekarang kepalanya malah jadi pening. Untungnya, otak Jooeun masih berfungsi untuk mengingat sesuatu. Gadis itu membuka kalender lewat ponsel.
6 hari lagi. Jooeun menengadahkan kepalanya ke atas. Di hari itu baru Jooeun benar-benar keluar dari pengawasan Dokter Joon.
Hari ini ia diizinkan keluar bersyarat. Eunwoo penjaminnya. Menikmati udara segar dibanding mendekam dalam gedung putih kaku tentu terdengar lebih baik. Awalnya memang terasa sedikit canggung. Mungkin karena hubungan Jooeun dengan adiknya, Cha Eunwoo, tidak sekarib itu. Mereka sama-sama tak banyak bicara.
Sebenarnya Jooeun agak iba pada adiknya yang hanya sebentar mendapat kasih sayang Ayah Cha. Sedangkan Jooeun sendiri, terakhir kali melihat ayah kandungnya adalah saat liburan musim panas kelulusan SD. Ayahnya pergi dengan seorang wanita muda berlipstik merah tebal dan tidak pernah kembali.
Saat itu Jooeun tak mengerti apapun selain kata-kata yang diracau ibunya yang dalam pengaruh alkohol.
"Ini bukan salahmu yang lahir diluar pernikahan, Nak. Ibu sayang padamu. Sungguh."
Eunwoo dan Jooeun adalah saudara beda ayah. Ayah tiri Jooeun alias ayah kandung Eunwoo baru saja meninggal 1 tahun laluㅡsetelah meninggalkan Eunwoo di panti asuhan sejak kecil sebelum membawanya kembali ke dalam keluarga yang ekonominya telah membaik setelah menikahi ibuku 5 tahun lalu. Dan itu alasan mengapa Eunwoo pergi wajib militer sedini ini. Melupakan sosok ayahnya, lebih tepatnya, mengobati kekosongan yang diperbuat beliau.
Manusia tidak benar-benar lupa, mereka hanya mencoba mengikhlaskan.
"Kenapa kakak melakukannya lagi?" cetus Eunwoo tiba-tiba.
Pertanyaan mendadak itu membuat isi kepala Jooeun meleleh di dalam tengkorak, ia jadi tidak tahu harus bereaksi bagaimana, apalagi Eunwoo terus memaksanya untuk menjawab. "Kak, kau bisa bicara padaku."
"Eunwoo, pada akhirnya hidup yang kita miliki adalah terbatas. Aku hanya mempercepat langkah. Ja-"
"Kau berbicara seolah-olah kau akan melakukannya lagi, kau tahu? Mau sampai kapan kau melakukan dan mengulanginya?" suara Eunwoo meninggi.
"Bukan begitu, Eunwoo..."
Anak itu tidak mau mendengar. "Yang kita miliki adalah terbatas, Kak. Dan itulah yang membuat semua detik yang kita lalui berharga."
Jooeun merasakan hangatnya lengan Eunwoo melingkar di bahu, "Malam ini aku harus kembali ke base camp militer. Jaga diri dengan baik, Kak. Kumohon. Aku tidak mau cuti pulang dengan kejutan buruk seperti ini."
Hati Jooeun serasa diremas dengan benda tajam. Matanya menerawang, ada air mata di sana, tapi diusapnya cepat supaya tak meninggalkan jejak.
Benaknya terbayang pada musim panas tahun lalu saat ia masuk rumah sakit karena alasan yang sama. Kala itu Eunwoo hanya diam termenung di sudut luar kamar, berjongkok dalam kesunyian dan bertengkar dengan pikirannya sendiri.
Setelahnya, tak ada perubahan signifikan, Eunwoo masih saja sama; diam dan tak banyak bicara. Juga, Eunwoo tidak menanyakan keadaan Jooeun saat ia telah siuman. Tidak. Jooeun bukannya mengharapkan perhatian semacam itu. Hanya saja, menilai dari keheningan Eunwoo, maka itulah kesimpulan yang Jooeun tarik.
Akan tetapi, setelah dipikir-pikir, Eunwoo tidak pernah mengabaikannya. Tahun lalu, tahun pertama Eunwoo menjalani wajib militer, entah bagaimana Eunwoo berhasil meletakkan sepotong kue ulang tahun di meja belajar Jooeun secara diam-diam. Sekaligus dilengkapi dengan secarik kertas ungu muda-warna favoritnya-dengan tulisan manis tetapi agak berantakkan khas anak lelaki.
Selamat ulang tahun, Kak Joo. Buatlah keinginan. Anggap saja aku sekarang di kamar dan bertepuk tangan untuk kakak. Dari Eunwoo.
Tapi waktu itu Jooeun sama sekali tidak mengindahkannya.
Jooeun malah meloloskan satu isak pelan. Mulutnya dibekap sendiri, tangannya sibuk mengusap wajah yang basah. Jooeun merintih pelan karena tekanan pada dada terasa semakin menyiksa. Seberapapun Jooeun coba mengusir rasa ini, hanya bulir air mata yang dihasilkannya. Tak bisa dihentikan.
Sebab, keinginan Jooeun saat itu adalah kematian.
Dan meski hujan petir masih bergemuruh dalam pikiran, Jooeun tidak tahu bahwa kalimat sederhana dan genggaman tangan dari Eunwoo saat ini bisa sedikit menghangatkannya-sekaligus menyadarkan dan menarik Jooeun ke dalam realita ideal menurut masyarakat, bahwa hidup adalah suatu yang harus dihargai.
Sementara di lain sudut pikiran Jooeun yang berkelabat dengan neraka, masih terpintas satu kalimat. Setiap sekon adalah penyiksaan batin.
Depresi adalah kanker jiwa. Mungkin saja datang tanpa alasan, mungkin saja datang karena hal sepele, dan mungkin saja terlahir dengan itu. Depresi memberi sebuah kehilangan di satu bagian. Bagian merasakan atau bagian memikirkan.
Lantas, menyisakan satu pertanyaan yang selalu bercengkrama di kepala para penderitanya, termasuk Jooeun.
Memangnya kehidupan pantas diperjuangkan dengan penderitaan tiap detik ini?
***
Suara gemerisik terdengar berulang kali. Kamar asing berdebu itu terasa leluasa meski sebenarnya hanya beberapa petak. Nihil perabot. Hanya ada 1 nakas berlaci, buku-buku sekolah yang tak Taehyung indahkan, dan tumpukan plastik-plastik berisi aneka barang yang tak tersortir rapi.
Alamat ini didapatkan Taehyung susah payah setelah mencari tahu email yang terakhir diakses oleh Seokjin yang pernah tinggal di sini dengan melakukan tracking pada alamat IP.
Musim panas 2 tahun yang lalu, sebuah paket sampai di rumah Taehyung. Isinya sebuah surat-itu milik Seokjin, yang sudah putus kontak dengannya lama sekali. Taehyung murka. Lantaran Seokjin telah meninggal 6 tahun yang lalu, maka mengirimkan lelucon dengan identitas palsu seperti ini tentu mengusik kesabarannya.
Pada mulanya, pria itu tak seincipun tergerak untuk membuka surat (yang dikiranya palsu) tersebut. Tapi saat melihat tulisan yang familiar, matanya langsung gesit membaca kalimat pertama. Kemudian kedua, ketiga, dan seterusnya, sampai kepalanya terasa akan pecah.
Itu surat asli. Milik Seokjin.
Taehyung kacau. Ia berantakkan. Surat terakhir yang ditulis sahabat kecilnya sukses membuat Taehyung bergeming. Kalimat itu terurai singkat, tapi bergetar, seolah ditulis penuh tekanan.
___
Hai, Kim Taehyung.
Kalau akhirnya surat ini sampai padamu, itu artinya aku sudah menyerah.
Aku tidak tahu nomormu. Tapi syukurlah, aku tanpa sengaja menemukan alamatmu yang baru (kau tak perlu tahu darimana) tapi tenang saja, aku tidak menguntitmu. Surat ini akan sampai padamu pada waktunya.
Aku mencuri alamatmu ini hanya supaya aku bisa mengirimimu surat satu kali. Tidak apa-apa, ya? Kumohon, jangan marah. Kau akan membaca ini, bukan?
Sejujurnya, aku tak berani memohon permintaan maaf langsung padamu mengingat aku telah menyakitimu dengan keberadaanku saat kelas menengah pertama dulu.
Tapi, karena ini yang terakhir kalinya, setidaknya aku harus minta maaf padamu.
Maafkan aku, ya?
Aku menyayangimu.
Terima kasih. Kau tetap temanku yang terbaik, Taehyung.
ㅅㅈㄱ
___
Taehyung menggenggam erat kertas lusuh aroma bergamot itu seolah seluruh hidupnya bertumpu di sana. Tak peduli apakah bulir mata telah menetes dan membasahi ubin, Taehyung hanya merasa lututnya tak mampu digerakkan lagi. Kepalan tangan erat yang ditubi-tubikan ke lantai tak seberapa dibanding emosinya.
Taehyung tidak tahu mana yang lebih buruk. Mengetahui bahwa fakta selama 6 tahun iniㅡSeokjin kecelakaanㅡadalah sebuah dusta, atau menyadari fakta bahwa ternyata Seokjin bunuh diri.
Dan setelah bertahun-tahun mencoba menyangkal fakta, akhirnya pada detik ini, Taehyung mengumpulkan segenap keberanian untuk berdiri di tempat yang pernah Seokjin tinggali. Ia ingin membereskan semuanya. Ia harus.
Seokjin memiliki ketertarikan dengan koleksi barang lawas. Ada 3 box piringan hitam milik penyanyi The Platters, Skeeter Davis, dan Elvis Presley di kamar. Ada banyak album beserta poster The Smithsㅡmasih tergulungㅡtapi sudah hampir hancur dimakan waktu. Taehyung tahu Seokjin sangat suka band yang satu itu.
Suasana vintage begitu kental. Belum lagi betapa mencoloknya telepon putar berwarna merah yang tampak usang. Oh, apakah Taehyung sudah menyebutkan bahwa cat dinding berwarna krem muda dan lampu kuning benar-benar melengkapi suasana lawas di kamar tersebut?
Kalau yang satu ini agak tidak berkaitan. Akan tetapi, Seokjin mungkin pernah tinggal bersama kekasihnya, menilai dari 3 kotak pengaman yang sudah kosong dan beberapa pakaian dalam wanita yang tertinggal.
Taehyung meraih sapu, hendak membersihkan ruangan petak tersebut. Ia menggeser nakas dan memindahkan tumpukan buku sekolah di atasnya supaya bisa menyapu dengan leluasa. Tatkala buku terangkat, iris Taehyung tak sengaja terbuang ke sudut lantai, atensinya jadi terpaku pada sebuah foto polaroid yang tergeletak di lantai.
Jemarinya meraih foto tersebut dengan hati-hati. Berdebu, dan kualitasnya masih lumayan baik meskipun sepertiga bagian foto tercemar entah oleh tinta apa. Manik Taehyung menelusuri swafoto siswi cantik tersebut. Teman dekat? Atau kekasih Seokjin? Ah, pasti begitu. Apalagi ada bentuk hati yang digambar dengan spidol di sisa tempat kosong.
Dan ada sebuah guratan familiar.
[ ㅈ. J. ] J. Jin. Taehyung meyakini kalau ini memang milik temannya.
Dia buru-buru mengantongi foto polaroid tersebut ke dalam saku. Barangkali bisa dijadikan petunjuk untuk melengkapi bagian yang kosong kelak.
Jin, aku izin menyimpan foto kekasihmu. []
NOTES:
Thank you for staying. Can you predict what is actually happening? I put a lot of clues.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro