Chapter 17: The Truth Untold
"Astaga, Jung! Jeon Jungkook! Turun dari sana!"
Demi Tuhan. Jungkook berulah lagi.
Meski mendongakan kepala hanya dibalas silau matahari, para staf rumah sakit tahu itu presensi Jungkook yang berdiri di sanaㅡmenilai dari surai cokelatnya yang kemerahan saat ditempa cahaya mentari.
Sedangkan Jooeun, ia tak terlihat terkejut atau apapun. Matanya menyipit dan bibirnya mengatup rapat. Namun jauh di dalam sana, pikirannya berkelana risau.
Jungkook berani sekali melakukannya di tengah khalayak ramai. Kenapa, ya?
Jooeun jadi teringat pada dirinya yang kala itu ditemukan mendadak oleh Taehyung. Cara Jooeun memandang dunia jadi berbeda sejak dilanda kelam. Daripada berusaha menghentikan mereka semua yang bertindak seperti Jungkook, Jooeun jadi lebih ingin mencari tahu alasan dibalik itu. Karena pada dasarnya, alasan tersebut yang membuat orang-orang seperti Jungkook berdiri di sana, 'kan?
Melakukan hal seperti itu butuh keberanian. Keberanian itu dikumpulkan dari alasan-alasan. Lantas kalau hanya berteriak, menyuruh Jungkook turun dari sana, setidaknya berikan alasan juga. Berikan alasan mengapa Jungkook harus menghentikan aksi merentangkan tangan dengan senyum bahagia yang dicium semilir angin tersebut.
"Nona, kau teman sekamarnya, bukan?" perawat itu membuat Jooeun menoleh, "Sembari memanggil tim bantuan untuk ke atas sana, bisa bantu kami membujuk dia? Atau mungkin kau tahu sesuatu mengenai kelakukannya?" pintanya dengan wajah memelas, dahinya yang berkerut dipijat pelan.
"Mmm..." balasan Jooeun membuat lawan bicaranya mendengus frustasi karena Jooeun dianggap tak membantu. Padahal di dalam sana, Jooeun mencari tahu.
Waktu itu apa yang dilakukan Taehyung padanya sampai ia melemaskan diri dan percaya pada rengkuhan Taehyung? Tawaran sup Kimchi jelas bukan jawabannya. Ada sesuatu yang menghangat dalam jiwa. Sesuatu yang berhasil menggerakkan Jooeun untuk berhenti aksi bunuh dirinya.
"Jeon Jungkook!" teriak beberapa tim penyelamat yang baru saja datang.
Jungkook di atas sana malah menyengir lucu nan lebar sekali. Sama sekali tidak lucu bagi yang menonton. Sama sekali tidak terlihat terpuruk seperti kondisi umum mereka yang hendak melakukan lompat tinggi dari gedung tanpa pengaman.
"Aku harus naik ke sana."
Kaki Jooeun berlari cepat. Tak peduli berpuluh-puluh teriakkan dan kejaran yang ia dapat. Jooeun menerobos halauan tangan dari perawat dengan gesit demi menyusul Jungkook di atas sana. Berdiri di daun pintu atap yang terkunci. Jooeun berteriak sekuat tenaga meski ia yakin suaranya akan teredam oleh besi dan beton. Ia tetap harus membuat Jungkook mendengarnya.
"Jeon! Ini aku!"
Yang dipanggil menoleh pelan setelah samar-samar mendengar dentuman pintu, rentangan tangannya perlahan turun, cengiran itu luntur. Jungkook lalu mendesis pelan, "Kak Joohyun, ya?"
"Jungkook! Jeon! Kau dengar aku tidak?"
"Oh, ayolah. Aku hanya ingin melihat ibuku dan kalian repot-repot begini. Duh, membuatku senang saja," Jungkook berkata pelan menyeringai tipis. Sorot matanya penuh arti, penuh luka dan lara.
Jooeun tidak mendengar apapun yang diucap anak remaja bermarga Jeon tersebut. Kepalan tangannya merah akibat menggedor pintu lapis besi dengan kuat. Rasanya tulang Jooeun seperti remuk semua.
Belum sempat menambah remuk, dua pria berbadan besar dan tegap menghampiri Jooeun, siap menyeret gadis itu tanpa ampun. Jooeun berontak hebat, pupilnya berkaca-kaca, "Aku harus menolongnya. Tolong kami. Biarkan aku bicara padanya satu kali lagi."
"Tim profesional kami akan mengurus ini semua, Nona. Anda bisa duduk tenang di kamar Anda."
Tidak terima, Jooeun pun mendidih. Profesional apanya? Dan apa itu tadi? Duduk tenang di kamar? Saran yang sama sekali tidak membantu dan sangat bodoh.
Persetan dengan semuanya, Jooeun berteriak sekencang mungkin. "Jeon Jungkook!"
Banyak pikiran negatif mulai menghantui kepala Jooeun. Tidak, untuk kedua kalinya hal seperti ini tidak boleh terjadi. Tidak boleh. Tidak akan. Lengannya yang kurus berusaha sekuat tenaga menyikut para pria yang menghalau. Tapi gagal. Sebab kaki Joohyun semakin jauh dari pintu tiap detiknya.
Air matanya luruh beranak sungai di pipinya yang penuh semburat merah. "Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Jungkook, ini semua salah kalian!"
"Jungkook... Jungkook, bicaralah padaku. I-ini kakak. Jung-" desisan lemah Jooeun terputus saat pintu itu terbuka.
Kedua lengan Jooeun dilepaskan. Dan dua pria itu jadi menggiring Jungkook keluar dari sana. Lutut Jooeun terkulai lemas dan ia terduduk di atas tangga.
Di sana, Jungkook berdiri dengan manik hangat. Jungkook tersenyum, tapi senyuman yang identik dengan kebahagiaan itu tidak menyentuh mata, apalagi hatinya.
Sembari diseret untuk kembali, Jungkook memandang gadis mungil yang air matanya tengah terjun di keramik yang dingin. Pemuda itu membuang wajah saat menyadari dirinya diikat seperti tahanan berdosa, tatkala itu ia berucap sebelum benar-benar meninggalkan Jooeun sendirian di sana dengan sosok Dokter Joon yang perlahan muncul demi menghampiri keduanya.
"Kak Joohyun, jangan duduk di sana, ya. Dingin."
***
Dokter Joon menghampiri Jooeun yang tergugu di lantai. Seolah kehilangan arah, gadis itu bahkan tak bisa memfokuskan pandangan. Pria yang bernama asli Kim Namjoon itu mensejajarkan pandangannya pada kepala Jooeun.
"Lama tak berjumpa, Jooeun." Namjoon menyematkan senyum kecil.
Sudah terlalu lama. Pertama kali Namjoon bertemu Jooeun adalah saat gadis ini berada di rumah sakit untuk hal yang kurang lebih sama. Kala itu, masih dengan seragam SMA, setiap siang hari, Jooeun akan datang dengan ibunya. Atau terkadang datang sendiri. Tahun itu Namjoon adalah mahasiswa psikologi yang sedang dalam program internship sebagai asisten psikiater.
Dibanding kepala psikiaternya, Dokter Han, Namjoon malah lebih akrab dengan Jooeun. Banyak usaha untuk mengakrabkan diri dengan gadis ini. Agak samar dalam pikiran Namjoon, tidak terlintas bagaimana ia berhasil membuka sedikit dari diri Jooeun. Mungkin dari betapa cerewetnya ia saat berbicara? Atau kecerobohannya yang membuat pasiennya-Jooeun-berdecak kesal karena ketumpahan air? Atau mungkin karena Namjoon yang memang tulus memedulikan gadis itu?
Entahlah. Yang pasti bertahun-tahun lama setelah mengurus perkara lain, Bae Jooeun-yang sekarang Cha Joohyun-adalah yang paling berkesan baginya.
Cara Jooeun memandang dunia, selalu menggelitik logika Namjoon. Sangat berbeda. Mungkin alasan itu adalah alasan terlogis mengapa Namjoon menganggap Jooeun sangat berkesan. Atau mungkin juga karena Jooeun adalah pasien pertamanya. Pasien pertama yang memberinya perspektif baru dalam menatap dunia.
Namjoon mengusap bahu Jooeun, matanya berkilat iba. Dia ingin sekali menawarkan diri sebagai tempat berceritaㅡkonseling Jooeun harus benar-benar kembali dijalankan. Setelah menghela napas sebentar, bibir itu hanya melontarkan pertanyaan permulaan.
"Apakah itu mengingatkanmu pada dirimu sendiri atau Kim Jisoo?" []
NOTES:
Jungrene's pure siblings relationship here, like ㅠㅠ I love them.
// Jungkook's today.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro