Chapter 12: Saturn, Uranus, and Pluto
Rumah Abu, Seoul.
Taehyung tak perlu mengitari seisi ruangan untuk menemukan guci marmer berwarna putih kebiruan di atas lemari kaca berwarna putih. Frekuensi kedatangan yang disisihkan untuk berkunjung kemari, membuatnya cukup terbiasa dengan letak guci abu tersebut.
Di sana ada figura sesosok pelajar pria, tersenyum cerah seolah semasa hidup berdampingan dengan pelangi. Berbanding terbalik dengan apa yang dilihatnya, bola mata Taehyung tampak redup, pupil pria itu bergetar tampak sedih.
Jemari Taehyung mengusap kaca lemari, lalu tersenyum perih. Netranya menatap hampa tatkala ia meletakkan sebuah lilin putih dalam gelas transparan. Jarinya menjentik pemantik yang membakar sumbu lilin. Pelan-pelan aroma buah bergamot yang menyegarkan menguar dan membaur cepat dalam ruangan.
"Kalau saja waktu itu aku mengerti..." Taehyung mendapatkan suaranya serak dan terdengar sangat tidak baik. Lebih buruk dari biasanya. "Surat yang beraroma itu... apa maksudnya?"
Dengan telapak tangan terkepal, Taehyung menopang dahinya di lemari kaca tersebut. Bahunya naik turun, berusaha menstabilkan napasnya yang mulai memburu, namun terdengar rapuh tiap detik. Rasanya seperti semua dunia bertumpu pada punggungnya.
Taehyung tak sanggup melanjutkan apapun selain merosot sampai lututnya bertemu dengan ubin porselen yang terasa beku. Matanya menatap hampa atap kosong dan ia bahkan terlalu lelah untuk menangis. Ia bisa merasakan suara gemeretak di dalam hatinya dalam senyap tatkala desisan samar merembes dari belah bibirnya.
"Maaf... Maafkan aku."
Taehyung memejamkan mata, lalu mendadak menekuk badan dan mengusap wajah dengan frustasi. Ingatan masa lalunya kembali bergulir, menghantam belakang kepala sebelum ia sanggup mengatakan apapun.
Kupikir aku tidak mungkin bisa paham mengenai perasaanmu saat itu. Tapi sekarang, mungkin aku orang yang paling mengerti.
***
Terlalu terang. Hanya itu yang didapat penglihatan Jooeun saat mengerjap.
Tahu-tahu gadis itu menghela napas panjang saat indera penciumannya menyadari bau familiar-bau steril rumah sakit-yang dibencinya. Membuatnya merasa bodoh saja.
Lagi-lagi, gagal.
Dan yang membuatnya semakin merasa bodoh adalah saat Jooeun menyadari bahwa tidak ada siapapun di sekitarnya saat ia terbangun.
Berisik. Hanya itu yang disimpulkan otak Jooeun saat telinganya mendengar suara gemerincing peralatan asing dan suara banyak orang yang berlalu lalang, terutama perawat yang histeris melihat Jooeun sudah terjaga.
"Astaga, pasien Cha Joohyun nomor 403 sudah sadar! Panggilkan walinya!"
Idiot. Bisa-bisanya. Kenapa aku masih hidup, sih?
Entah sudah berapa lama ia terbaring di sini, yang jelas saat ini badan Jooeun terasa kram seolah seluruh sendi tubuhnya telah berkarat. Dan akibatnya, Jooeun tak bisa banyak bergerak selain menggerakkan leher. Kepalanya perlahan bergeser inci demi inci. Alis Jooeun terangkat sempurna tatkala iris cokelatnya bertemu dengan sepasang bola mata asing milik seorang pasien sebaya yang ranjangnya bersebelahan dengan milik Jooeun. Pria itu tersenyum ke arahnya.
Tiga detik-total durasi mata mereka bertemu-sampai Jooeun memutus itu semua dengan satu palingan wajah, berlagak tidak melihat apapun.
"Namaku Jeon Jungkook."
Suara itu membuat Jooeun melirik dari ekor mata. Gadis itu tahu Si Jeon Jungkook ini sedang bicara kepadanya, sebab tak ada orang lain selain mereka berdua. Dan Jungkook yang mendadak tersenyum, membuat Jooeun jadi linglung. Manusia aneh macam apa lagi ini.
"Kau terlihat lebih tua dariku."
Oh. Dan tidak sopan! Jooeun mendengus sebal dan tetap memilih menatap langit-langit atap yang membosankanㅡhanya putih dan sedikit berdebuㅡketimbang lama-lama bertatap pandang dengan bocah nakal tersebut.
"Oke. Dan sepertinya cukup sensitif," pemuda itu meluruskan pinggang lalu duduk di bantalan ranjang. "Iya, tidak?"
"Setahuku kita tidak kenal satu sama lain. Jadi kumohon dengan penuh hormat, tolong tutup mulutmu. Kau menganggu."
"Wah. Galak. Takut, ih."
Merotasikan mata, Jooeun memilih tidak mengabaikan balasan Jungkook yang terdengar meremehkan. Tentu Jooeun tahu itu gurauan, sebab pria ini sedang tersenyum lebar, tak terlihat seperti pasien rumah sakit-jika melupakan infus yang diselipkan di nadi tangannya. Jungkook lebih mirip mahasiswa bebal yang terpaksa ikut program volunteer kampus untuk berkunjung ke tempat rehabilitasi. Tapi tetap saja. Dia akan bermain bisu.
"Dicuekin. Sombongnya kakak ini..." Jungkook memanyunkan bibir. Seketika itu membuat Jooeun meralat pernyataannya tentang Jungkook yang mirip mahasiswa, menjadi pelajar SMA. . Pasti bocah SMA.
Saking sebalnya, ia ingin pulang. Ia jadi bertanya-tanya mengapa walinya-yang biasanya adalah Ibu-tak kunjung kemari. Jooeun membuang kasar satu hela napas.
"Kenapa anak ini berisik sekali, sih?" Jungkook berkata dengan suara tinggi, seperti sedang meniru suara wanita-yang nampaknya merupakan Jooeun dalam kasus ini. "Pasti itu arti dengusanmu, 'kan, Kak?"
Oke. Tebakan Jooeun benar. Jadi sekarang bocah kurang ajar ini sedang bermain mengimitasi suaranya. Kira-kira reaksi seperti apa yang harus diberikannya untuk bocah usil ini? Jooeun berpikir sebentar sampai 5 sekon kemudian membalas dengan nada datar.
"Terus bicara sampai mulutmu mengatakan sesuatu yang berbobot, ya, Adik Kecil."
Namun pilihan kata Jooeun salah. Sebab bukannya mundur, anak ini malah duduk bersila bertopang dagu dengan cengiran lebar-dihadapkan kepada Jooeun yang tengah berbaring pasrah.
"Baiklah. Aku Si Adik Kecil, ya, Kak," diulangnya penuh penekanan seolah sangat bangga dengan pencapaiannya. Jelas itu membuat Jooeun jengkel setengah mati.
Rasa jengkelnya berganti dengan lecutan samar di dada tatkala anak itu melontarkan pertanyaan yang cukup gila dan frontal, kontras dengan selingan paket wajah innocent bahagia dan bersua dengan nada ringan.
"Jadi, mengapa kau mencoba bunuh diri, Kak?"
Dasar bocah sinting.
Jooeun mendadak gusar dan ingin memijat keningnya-tapi batal karena terhalang selang infus yang menghalau pergerakan motoriknya.
Memang benar pertanyaan itu bukan pertama kali didapatnya. Tetapi, dalam seumur hidup, baru kali ini ia ditanyai pertanyaan seberat itu dengan wajah merekah penuh kembang kebahagiaan seperti yang ditunjukkan Jungkook tadi.
Jooeun terhenyak sebentar. Bukan berpikir untuk mencari jawaban. Akan tetapi, Jooeun jadi tahu, bahwa faktanya ia tidak bisa merangkai kalimat sederhana untuk mendeskripsikan isi hatinya yang terlalu rumit untuk ditelusuri.
"Tak usah malu-malu," salah satu alis dan sudut bibir pemuda bersurai cokelat marun itu terangkat. Setelah itu, kedua iris Jungkook berubah gelap, dan bibirnya mengucap kalimat bak samudera; luas, tenang, tapi tidak tahu apa isi dasarnya. "Aku di sini karena melakukan hal yang sama sepertimu."
"Kita satu tim."
"Satu tim apaan?" sergah Jooeun.
"Hm," Jungkook menyengir ringan. "Tim penjadwal bunuh diri?"
Kesimpulan yang dibuat Jungkook membuat Jooeun menatapnya sengit. Sinting.
Kemudian Jungkook tersenyum miring sebelum membelakangi Jooeun. Pemuda itu melepaskan kancing seragam pasiennya satu persatu-satu, kemudian menampakkan ukiran-ukiran yang telah mengering pada dada dan perutnya. Seluruhnya adalah bekas sayatan. Bekas pertahanan dan perlindungan dalam getir yang disembunyikan dalam kelam.
God. Sebelum Jooeun sempat berkomentar, Jungkook sudah cepat-cepat mengancing kemeja karena tiba-tiba saja pintu bergeser. Seseorang membukanya dengan emosi yang bergejolak.
Dan di sana ada presensi tinggi Taehyung, berdiri dengan napas terengah-engah dalam balutan kemeja hitam yang lengan panjangnya digulung sampai siku.
"Damn, Jooeun. Apa yang kau lakukan?"
Taehyung membaurkan diri ke dalam dan tanpa rencana langsung merengkuh Jooeun dalam dekapannya. Sedikit membuang napas lega saat ia dapat merasakan eksistensi nyata dan napas gadis itu di dadanya.
Bohong kalau ia tidak cemas setelah mendengar kabar Jooeun dari Bibi. Apalagi setelah melihat infus yang menancap pada nadi Jooeun, terlebih lagi keseluruhan penampilan Jooeun yang berantakkan, semua komplikasi tersebut membuat Taehyung kacau. Taehyung merasa gagal. Hancur sekali.
Taehyung meletakkan kepala Jooeun di ceruk lehernya dan tangan di puncak kepala Jooeun. Pria itu membuat menyampai perasaan menjadi begitu mudah dengan ucapannya yang lembut.
Sungguh, Taehyung tidak punya nyali membayangkan skenario terburuk. Kalau Jooeun pergi, kemana ia harus pulang?
Ia tidak punya tempat tinggal yang lain. Ia tak butuh persinggahan. Ia butuh peristirahatan.
Ia sudah lama berlari dan sudah terlalu letih untuk berlari lagi.
Tapi nyatanya, Taehyung tak boleh menaruh rasa pada Jooeun. Ada sesuatu yang menariknya menjauh perlahan. Tapi Jooeun seperti gravitasi absolut. Taehyung terus jatuh tanpa direncanakan. Pemuda itu tidak bisa mengelak apapun sekalipun semua isi kepala dan lingkungan telah meneriakkinya.
"Kenapa kau buat aku mencemaskanmu?" []
NOTES:
staebaenight I up this for you! 🌈❤
Btw thank you semuanya yang uda berbaik hati mau baca dan drop komen dan semangatin aku padahal di luar sana banyak work yang lebih bagus :( Cannot mention one by one but I will someday call out your name proudly!
I will make you guys proud being my readerssss. Lets grow together ya!
P.s. Jungkook is a key main chara juga disini~ yg sayang JK yu merapat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro