Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 02: Her Name

Tidak ada yang lebih buruk daripada merasa tolol sehabis tertangkap basahㅡlalu gagal bunuh diriㅡseperti yang dialami Jooeun. Sampai detik ini, Jooeun masih tidak tahu siapa nama penganggu itu. Begitu pula sebaliknya, seharusnya.

Sebab yang mereka lakukan semalam hanya menikmati sup kimchi hangat di tengah rintik hujan malam. Benar-benar tanpa bertukar kata.

Waktu itu hanya ada suara sup yang diseruput oleh si pria dan tetesan air mata Jooeun yang jatuh di mangkuk sup. Saat selesai, pria itu segera membayar tagihan mereka berdua lalu pergi membiarkan Jooeun tersengguk sunyi sendiri.

Konyol. Jooeun merutuk.

Ingin mati, tapi takut mati.

Sudah berapa kali ia hendak mati tapi mundur? Di kala ia siap, malah mentalnya terluluhkan. Tetapi, tetap ia tak mengubah harap dan masih berdoa untuk kiamat yang bisa memusnahkan eksistensinya secara instan.

"Jooeun sayang..." panggil ibunya dari celah pintu kamar. Jooeun tidak menjawab, tapi ibunya tahu bahwa Jooeun mendengar dengan baik. Lantas ibunya menghampiri dan mengusap kepala Jooeun, "Kau baik-baik saja? Kenapa melamun?"

"Hanya sedang mengingat apa yang harus kulakukan hari ini, Bu." Jooeun tersenyum, cerah sekali. Palsu, pastinya.

Jooeun beranjak, tak lupa membungkus diri dengan cardigan krem kesayangannya sebelum berpamitan dan keluar dari rumah. Punggung ringkih yang menyimpan banyak rahasia itu hanya meninggalkan ibunya dalam kubangan tanda tanya yang tak mengenakkan.


***


Bae Jooeun berjalan melewati banyak tower tinggi tanpa memberi atensi untuk apapun. Kecuali untuk satu bangunan yang paling tinggi, didominasi warna abu-abu dan putih gadingㅡitu bekas gedung kantornya. Dia sudah resign bulan lalu.

Bicara soal kantor, sebenarnya karirnya sebagai desainer grafis cukup baik. Begitu pula dengan rekan kerja dan atasan. Semua orang menyukai dan menghargai Jooeun. Dia dikenal sebagai pribadi yang diam, hingga tak ada orang yang benar-benar tahu soalnya. Tak satu orang pun tahu bahwa ia ingin menghilang saja dari dunia ini.

Kecuali dengan Si Pria Semalam. Sosoknya begitu familiar dan dekat. Namun selain marga 'Kim' yang ia lihat pada struk kartu kredit saat membayar di restoran, Jooeun tidak punya ide lain soal siapa gerangan sang lelaki misterius.

Jooeun yakin sekali pernah melihat pria itu di dalam gedung kantor. Tetapi jujur, Jooeun tidak tahu apakah ia dan Si Pria Semalam merupakan rekan satu perusahaan atau hanya sekadar satu gedung perkantoran. Yang Jooeun tahu, mata misterius itu familiar. Jooeun yakin pernah lihat. 

Mungkin dulu. Saat jiwanya masih sehat. Sekarang ini tak banyak emosi yang bisa ia rasakan. Hanya tiga; lelah, merasa seperti sampah, dan ingin tidur selamanya.

Setahu Jooeun, gedung perkantoran ini seharusnya buka setiap hari termasuk Minggu. Namun yang Jooeun dapatkan malah beberapa orangㅡyang mungkin satpamㅡsedang mengunci gerbang utama yang berlapis kaca.

Oke, Jooeun ingat 3 wajah diantaranya. Itu memang benar satpam penjaga lobi saat pagi jam masuk dan petang jam pulang. Tapi tidak dengan yang satu itu.

Lagipula, satpam mana yang diperbolehkan berponi dan berambut cokelat?

Menyipitkan mata untuk mendapat jawaban, Jooeun menoleh sedikit. Ia mendadak jadi terkesiap, karena pada waktu yang tak terelakkan mata merekaㅡJooeun dan pemilik rambut cokelatㅡbertemu.

"Oh, kau lagi?"

Sial. Itu dia. Si Kim yang menggagalkan rencana bunuh dirinya.

Refleks saja, Jooeun menjauh, memilih bersembunyi di balik tembok gedung yang tak jauh dari lobi. Ia mengutuk diri dalam desisan rendah. Kalau begini ia malah terlihat seperti buron sungguhan, 'kan?

Saat mendengar derap langkah memudar, Jooeun keluar dari tempat persembunyianㅡberpikir bahwa Kim telah pergi. Tapi Jooeun salah. Irisnya malah bertemu Si Kim Misterius dengan sorotan mata teduh.

"Hmm... Kenapa bersembunyi di sini?"

Pertanyaan sederhana tapi mampu membuat Jooeun gelagapan. Jangankan membuat alasan, Jooeun hanya mampu mematung dengan pandangan yang mengitar kemana-mana. 

"... kau ingin ditemukan lagi?" Sambungnya membuat Jooeun bungkam seketika.

Orang itu bilang apa tadi? Ingin ditemukan? Olehnya, begitu? Sial.

Kendati Jooeun mengutuk pria itu banyak-banyak dalam kepala, kalimat tadi jelas menusuk ulu hati, mengoyak marwah, dan membuat gadis itu serasa telanjang.

Pria itu kembali bersuara pelan, "Maaf, apa kau bisu?"

"Itu tidak sopan, Sialan."

"Ah, syukurlah jika bukan seperti itu."

Jooeun yakin ia tidak terlihat sedang bercanda saat memberi balasan. Sialnya, mengapa pria itu malah terkekeh tanpa dosa begitu? Bangga, ya, dikatai?

Memutar mata jengah, Jooeun memutuskan untuk menjauhkan diri. Langkah kakinya dibuat secepat mungkin tapi pria itu malah berulang kali memanggilnya.

"Tunggu, Nona."

Jooeun takkan mengindahkan. Ia janji untuk bungkam total.

"Nona."

"Nona?"

Astaga. Berisik sekali orang ini. Terserah. Jooeun sekaligus bakal berlagak tuli sungguhan, apalagi sekarang perasaannya jadi merasa tidak aman.

Namun langkah besar Jooeun tak cukup menghindar, pria itu menyerukan sesuatu yang seolah menghantam kepala Jooeun dan menghancurkan seisi syaraf. Jooeun mematung dengan sendirinya.

"Nona Bae Jooeun?"

Skak mat. Jooeun mematung. Darimana ia mengetahui nama itu? Seharusnya tidak ada yang tahu. Sebab nama itu berisi kotak pandora.

"Kau berhenti. Kurasa itu memang benar namamu."

Dahi Jooeun mengerut. Kurasa? Jadi dia tidak yakin?

Aura itu masih sama. Jooeun merasakannya tatkala wajah pria itu hadir di depan wajahㅡlengkap dengan tatapan yang sulit diartikan. Seperti ada yang mengganjal dalam senyum lengkung milik pria asing tersebut. Ah, Jooeun tidak suka.

Mendadak bola mata Jooeun membuatnya teringat akan sesuatu. Tetapi otaknya tidak mendukung hal tersebut. Jooeun pun hanya bercengkrama dengan dirinya sendiri. Merutuki dirinya yang selalu menganalisa banyak hal-yang barangkali sebenarnya tidak krusial.

Termasuk senyum pria ini. Senyum lepas. Ringan. Tanpa beban. Seolah tidak memiliki apapun untuk dipikul.

Satu tambahan, orang-orang yang tersenyum lepas seperti pria ini adalah orang yang paling Jooeun benci.

Atau lebih tepatnya, Jooeun iri.

Gadis itu tidak ingat kapan terakhir kali ia merasa bahagiaㅡtanpa rasa takut yang menghantui, menyadarkan bahwa kebahagiaannya akan segera lenyap.

Coba diingat. Kira-kira kapan, ya, terakhir kali sudah tersenyum tanpa alasan begitu?

"Sekarang kau tiba-tiba tidak bicara lagi," imbuh pemuda tinggi tersebut.

Jooeun memberi pandangan menusuk nadi. Akan tetapi wajah pria itu tetap saja ramah. Dan malah melanjutkan dengan tenang. "Baiklah, Nona. Kalau begitu perkenalkan."

"Namaku Kimㅡ" Tepat di momen itu, gendang telinga Jooeun berulah. Dahi Jooeun mengernyit saat ada sekilas bunyi nyaring yang mendadak redup. Tidak terdengar! Sial. Kenapa harus sekarang? Jooeun berusaha bersikap seperti biasa meskipun ucapan si pemuda terdengar seperti desisan malam hari. Rasanya semakin bibir itu bergerak, semakin tipis suara yang didapatkan; naik, turun, dan perlahan stabil lagi. "... nang berte... nganmu, Bae Jooeun."

Pria di depannya tersenyum tipis, mengulurkan telapak tangan yang tidak diindahkan.

Gadis itu membohongi diri dan sang lawan bicara seolah ia telah mendengar semuanya dengan satu anggukan.

"Aku ingin menraktirmu lagi. Boleh?" Meski terdengar santai, Jooeun dapat melihat bahwa alis sang pria bertaut ragu. Barangkali seperti takut ditolak.

Semua kesimpulan itu beralasan. Satu, ekspresi wajahnya. Dua, sinar mata penuh ketulusan. Dan tiga suara bergetar karena rasa gugup yang merayap.

Tapi...

Kecurigaan malah semakin melayang-layang di dalam benak Jooeun.

Sebagai manifestasi, gadis itu terdiam seribu kata dan kehilangan seluruh kemampuannya untuk menjawab. Isi kepala terlalu sibuk menganalisa.

Sebenarnya siapa pria ini? Kenapa dia tahu soal nama Bae Jooeun?

Seharusnya tidak ada yang tahu nama pembunuh itu. Dan itu bukan lagi namanya. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro