7. The Warmest Snow
7 ʚɞ The Warmest Snow
Mantel tebal menjadi penyelamat Ai yang kedinginan ketika baru tiba di Pulau Levanna. Hidung dan pipi Ai begitu merah, beberapa kali pun giginya bergemeletak.
Salju di Pulau Levanna bersifat permanen. Pada musim panas pun saljunya akan tetap ada. Karena itulah tidak ada manusia yang berani berlibur ke tempat ini dikarenakan suhunya sangat-sangat rendah. Pemilik pulau juga tak akan mengizinkan orang asing datang.
"Ini terlalu dingin," gumam Ai sangat pelan.
Dalam tubuh Laut dan Sky terdapat sisa-sisa dari kekuatan Amberley sebagai Dewi Musim Dingin, membuat mereka mampu bertahan lebih lama di wilayah penuh salju tanpa mantel. Namun Zae meminta kedua putranya untuk tetap mengenakan jaket tebal selama berada di sini.
Adanya kekuatan itu bukan berarti Laut dan Sky bisa menciptakan magic dari salju atau es. Mereka hanya akan lebih terlindungi dari makhluk jahat, abadi, kuat berlama-lama di tempat dingin, dan tentunya akan selalu ingat bahwa mereka memiliki ibu sehebat Amberley.
Selain kekuatan sebagai Dewi Musim Dingin yang Amberley serahkan kepada anak-anaknya, ia juga memberikan kekuatannya sebagai Dewi Kematian ke salah satu dari si Kembar. Kekuatan itu tidak bisa dibagi, maka hanya Laut yang menerimanya, menjadikannya memiliki "darah Dewa" secara utuh.
Laut adalah manusia berdarah dewa yang tidak pernah melaksanakan tugas sebagai dewa. Itu karena Zae melarangnya.
Saat ini mereka berlima; Ai, Laut, Zae, Sky, dan Janessa, berada di jalan setapak menuju kastel es milik Atlanna. Beliau merupakan nenek si kembar alias ibu kandung Amberley. Pulau ini milik Atlanna yang dijaga seekor serigala raksasa bernama Fenrir.
Ai berjalan lebih lambat dari empat orang lainnya. Gadis bertubuh kecil itu berhenti sebentar sambil memeluk erat badannya, alhasil ia tertinggal di belakang. Buru-buru Ai lanjut melangkah lagi dengan sedikit berlari.
Ai tidak tahan dinginnya serbuan angin yang melayang-layang tak tentu arah. Angin terus berdatangan dari belakang, depan, samping kiri dan kanan. Ia menggapai tangan Janessa untuk dipeluk karena hanya Janessa yang paling mudah ia jangkau, tapi Janessa menghindar dan mendorong kencang Ai agar menjauhinya.
"Ah!" Ai jatuh telentang, mendarat di tumpukan salju, dan Janessa dengan cepat bersikap seolah ia tak melakukan apa pun terhadap Ai.
Semua orang menoleh ke Ai. Laut sigap membantunya beranjak dan membersihkan mantel Ai dari salju-salju yang banyak menempel. Zae khawatir, tapi bantuan dari Laut sudah lebih dari cukup.
"Terima kasih, Laut." Ai memamerkan cengirannya.
"Kamu itu ngapain rebahan di salju?" Uap putih keluar dari mulut dan hidung Laut kala napasnya menderu berat.
Ai tidak mengerti apa itu rebahan, tapi ia membalas sambil menunjuk titik tempat bekas ia jatuh. "Jatuh ke salju adalah kegiatan seru!"
Perempuan itu lanjut berkata ke Laut, "Nanti Laut bantu dorong aku sampai aku jatuh, ya? Jangan sekarang. Tunggu udaranya hangat."
"Udara di sini enggak bakal anget, Ai. Dingin terus." Laut bertutur.
"Oh, ya?" Harapan Ai pupus.
Laut mengusap salju tipis yang menghiasi bulu mata Ai. Ia juga mengusap butir-butir es yang menempel di alis. Laut melakukannya sekilas, tapi memberi efek luar biasa bagi jantung Ai yang kini hebohnya melebihi pertunjukan kembang api.
Sehabis bikin jantung Ai berdengap, Laut tidak bertanggung jawab memperbaiki. Ia berbalik dan kembali gabung bersama ayah serta kembarannya. Ai ditinggal. Ia pikir Ai akan ikut, ternyata tidak sesederhana itu prosesnya.
Ai tetap di posisinya sekarang. Ia menadahkan satu tangan, menangkap salju-salju yang turun. Lalu ia mengusapkannya ke wajah sampai salju itu menempel di alis dan bulu mata.
"Laut ...," panggil Ai.
Bukan hanya Laut yang menoleh. Lagi-lagi semua orang itu memberi perhatian mereka untuk Ai. Janessa mendengkus tidak senang, ia melipat tangan di depan dada dengan wajah ditekuk.
Laut menghampiri Ai, meraih pergelangan tangannya dan membawa Ai jalan di sampingnya. Seraya itu Laut membersihkan wajah Ai dari salju. Ai tidak berkutik, ia tersenyum tenang.
"Tadi Adek kenapa? Kepeleset, ya?" Sky tiba-tiba bertanya.
Janessa cemberut, amat sangat tidak suka bila Sky berinteraksi dengan perempuan selain dirinya. Maka Janessa mendekap lengan Sky. Itu ia lakukan sebagai satu peringatan agar Sky berhenti mengeluarkan suara untuk Ai.
"Dia dorong aku, terus aku jatuh ke salju." Ai menjawab pertanyaan Sky, ia menunjuk Janessa.
Mata Janessa membulat. Ia menengok, bebarengan tiga lelaki itu menatapnya. Ai segera memberi penjelasan, "Aku pegang tangannya, mungkin dia kaget dan jadinya dorong aku. Maaf, ya, kamu ... aku enggak tau nama kamu karena kita belum kenalan. Aku Ai."
Janessa mengernyit. Ia berceloteh dalam hati, "Apa, sih? Masa dia enggak tau nama gue? Enggak sopan. Jelas-jelas gue calon istri Sky yang udah dikenal sama semua penghuni rumah Lonan."
"Kenapa kamu dorong Adek? Nanti Daza marah," bisik Sky.
Pacar Sky menyeletuk asal, "Dia mau dorong aku, Sky. Aku takut. Jadinya aku gerak cepet ngedorong dia duluan sebagai perlindungan diri."
Telinga tajam Ai mendengar perkataan Janessa begitu jelas. "Aku enggak punya maksud buat dorong kamu. Aku jujur," celetuk Ai.
Janessa tersentak mengetahui Ai mampu menangkap bisikannya. Ia mengeratkan dekapannya pada lengan Sky, mulai merasa cemas lantaran Laut dan Zae sama-sama memberinya tatapan penuh tuduhan.
Laut terlalu muak memuntahkan kalimat kepada Janessa, jadi dia memilih bungkam dan lebih baik melanjutkan perjalanan ke kastel Atlanna. Ai berada dalam pengawasan Laut. Ia melindunginya, memastikannya tidak tertinggal lagi di belakang.
"Sky." Zae menatap Sky penuh arti.
Dari tatapan itu Sky mengerti bahwa Zae menegurnya atas sikap Janessa. Zae tak pernah membenarkan tindakan kasar secara fisik, entah itu bercanda atau apa saja alasannya. Perbuatan Janessa terhadap Ai membuatnya tidak senang.
Sekarang Sky dan Janessa sengaja dibiarkan berjalan di belakang Ai, Laut, dan Zae.
"Jangan lagi, ya, Sayang." Sky berucap selembut mungkin ke Janessa, mengingatkannya untuk tidak mengulangi perbuatan itu.
"Kenapa kamu bilang ke aku? Harusnya ke cewek itu. Dia yang mulai," protes Janessa.
Janessa lanjut berujar, "Enak banget, ya, dia. Anak baru, tapi dapet pembelaan dari semua orang. Aku yang udah kenal kamu dari lama sama sekali enggak pernah dibela."
"Aku jadi mau nangis, Sky. Daza dan Kak Laut pilih kasih." Janessa menunduk.
Sky merangkul pinggang Janessa, berusaha menepis kesedihan yang menghampiri kekasihnya. "Daza sama Laut juga sayang kamu, kok. Jangan sedih, Cantik."
"Mereka sayangnya sama anak baru. Kamu juga pasti sayang dia, kan? Kamu nyebut dia 'Adek' mulu, padahal umur kalian sama! Kamu sengaja pake sebutan itu sebagai panggilan sayang. Aku bisa nebak isi pikiran kamu, Sky." Janessa berceloteh.
"Aku panggil dia 'Adek' karena tadinya aku kira dia masih belasan tahun, Sayang. Tingkahnya juga polos, lucu, kayak anak keci—"
"Nah! Bener, kan! Kamu bilang dia lucu!" celetuk Janessa, mendadak wajahnya panas.
"Emang lucu kelakuannya, Sayang ...," sahut Sky. "Aku liat dia kayak anak kecil. Aku anggep Ai adik aku."
"Halah, nanti lama-lama kamu kepincut sama Ai, terus selingkuh!" Janessa melotot.
Sky tertawa kecil. "Ai emang lucu, tapi enggak ada yang ngalahin pesona kamu. Kamu itu cewek tercantik yang pernah aku liat. Kamu cewek paling menarik di mata aku."
"Basi. Kamu mau coba-coba bikin aku luluh, hm?" Janessa mendelik jutek dan mengalihkan pandangan.
Mumpung keluarganya tidak melihat, Sky tanpa aba-aba menarik Janessa ke pelukan dan menciumnya. Bibir mereka menyatu di bawah derasnya salju. Sky menekan tubuh Janessa sampai jarak betul-betul terhapus dari antara mereka.
"Sky." Janessa menghentikan sejenak ciumannya.
"Yes, Baby." Napas Sky terdengar berat, juga matanya tak lepas dari bibir Janessa. Ia terlihat tidak sabar untuk melanjutkan lumatan yang terhenti tanpa persejutuannya.
"Kamu mau aku enggak marah lagi?" tanya Janessa.
"Iya. Jangan marah, Sayang." Sky mengelus rambut Janessa lalu mengecup sudut bibirnya.
Janessa memberi tantangan berupa hal yang agak mengejutkan Sky. Ia berucap, "Aku mau kita cuddle di kapal pas perjalanan pulang nanti."
Permintaan itu lumayan berat untuk Sky kabulkan. Masalahnya, Laut pasti memantau Sky terus selama mereka berada di kapal. Serasa tidak mungkin Sky bisa membawa Janessa ke kamar dan berlama-lama berduaan.
"Kalo kamu enggak bisa nurutin kemauan aku, kita putus aja." Janessa mengancam.
Sky menyambar cepat, "Tenang aja, Cantik. Nanti kita cuddle di kapal."
ʚ༺❀༻ɞ
Atlanna dan Bintang menyambut kedatangan tamu spesial yang begitu mereka rindukan. Pasangan kakek-nenek yang sama-sama berwajah muda itu memeluk kedua cucunya. Atlanna mengecup Laut, dan Bintang dikecup Sky.
Seperti biasa, Atlanna mengenakan dress sederhana yang panjangnya sebatas setengah paha dengan tali tipis di bagian lengan. Atlanna menjadi satu-satunya orang yang tidak memakai pakaian tebal di pulau sedingin ini.
Dulu Amberley juga seperti itu ... karena mereka berdua memegang takhta sebagai Dewi Musim Dingin.
"Nena kangen banget sama cucu Nena yang ganteng-ganteng ini." Atlanna menarik Laut dan Sky ke pelukannya. Ia peluk mereka berdua sekaligus.
"Zae!" Sekarang Atlanna beralih ke Zae, seketika merentangkan tangan agar Zae mendekat.
"Mama." Zae menyebutnya seraya mengusap punggung Atlanna.
Harum Zae masih sama seperti saat Amberley masih ada. Atlanna akan selalu teringat kepada putri semata wayangnya setiap menghirup aroma tubuh Zae.
"Kamu bawa siapa, Zae? Pacarnya Laut?" Atlanna bisik-bisik sambil melirik Ai.
Zae menjelaskan secara singkat siapa Ai. Gadis imut yang tersesat di hutan, bertemu Laut, lalu akhirnya tinggal di rumah mereka.
Bintang mendatangi Zae, di satu waktu Atlanna menghampiri Ai. Detak jantung Atlanna mendadak berirama kencang saat ia mendekati Ai yang bahkan tidak melihatnya. Ai mematung, terpaku pada sebuah makam putih di jarak puluhan meter darinya.
"Nena." Janessa memanggil Atlanna. "Aku seneng bisa ikut ke sini, akhirnya ketemu Nena lagi. Nena inget aku, kan? Aku pacarnya Sky."
Atlanna mendengar dan merasakan kehadiran Janessa di belakang, tapi ia tidak minat menanggapi. Ia tetap menyamperi Ai dan tak menganggap Janessa ada di sekitarnya.
"Hih! Gue dicuekin," batin Janessa.
Dengan dongkol Janessa putar arah, mencari Sky untuk mengadu. Janessa merasa direndahkan. Ia mau marah, tapi tidak bisa melakukannya karena sadar ia berada di wilayah siapa.
"Mentang-mentang pulau ini punya dia, jadi merasa hebat banget. Sombong." Janessa mencibir.
Janessa masih menyerukan kalimat tidak baik di dalam hatinya. "Dia lupa pacar gue siapa? Padahal cucunya sendiri. Kalo gue minta pulau pribadi ke Sky pasti dikasih."
Pikiran busuk Janessa terjeda saat ia mendengar suara Sky. "Sini, Sayang! Bantu ambil lily putih buat Mamiley!"
"Hadeh, gue udah rapi begini malah dijadiin babu." Janessa mengeluh lagi.
"Oke, Sky!" tanggap Janessa disertai senyum lebar.
Sementara itu, Atlanna baru tiba di dekat Ai dan menyapanya. Ai menolehkan kepala dengan tampang lugunya yang dalam hitungan detik mampu mencuri hati Atlanna.
"Manisnya," puji Atlanna. "Siapa nama kamu?"
Ai menjawab sesuai nama panggilannya di rumah baru. "Namaku Ai. Kamu?"
Atlanna tertawa kecil. "Panggil saya Nena, Ai. Nena itu singkatan dari Nenek Atlanna. Saya neneknya Laut dan Sky."
"Oh ...," ucap Ai mengerti. Senyumnya merekah cantik saat ia bertutur ramah, "Hai, Nena."
Pandangan Atlanna terus tertuju ke wajah Ai yang entah mengapa membuat hatinya terasa begitu hangat. Ia juga terhipnotis oleh keunikan bentuk dan warna mata Ai. Ukuran matanya yang besar membuat Atlanna menebak Ai bukan manusia.
Ai juga menatap Atlanna terus. Warna iris mata Atlanna persis seperti mata Laut. Bentuk telinga Atlanna mirip telinga Ai.
"Nena, kita punya telinga yang mirip." Ai bertutur seraya membuka tudung kepala dan melepas earmuff.
Atlanna terperangah. "Wah, iya! Kamu makhluk apa, Sayang?"
"Aku peri, tapi enggak punya sayap, Nena." Ai menjawab.
"Peri? Kamu cantik dan manis banget, Ai. Enggak apa-apa kalau enggak punya sayap. Ai tetep bisa terbang di air." Atlanna berbinar-binar saking kagumnya.
Menyadari telinga Ai mulai merah, maka Atlanna memasangkan earmuff agar Ai tidak kedinginan. Ia lanjut menutup kepala Ai menggunakan tudung. "Jangan dilepas selama kamu ada di pulau ini. Nanti kamu bisa beku kalau kedinginan berlebih."
"Iya, Nena." Ai mengangguk.
Atlanna menggandeng Ai untuk mengikuti langkahnya ke makam putih yang tadi Ai tatap terus dari kejauhan. Laut, Sky, dan Janessa sudah mengambil lily putih yang siap dibawa ke makam. Zae dan Bintang menyusul dengan berjalan di paling belakang.
Sesampainya di dekat makam, Atlanna sengaja berhenti sebelum mereka memasuki area yang tidak sembarangan orang boleh datangi.
Atlanna menilik Janessa dan berujar, "Kamu tunggu di situ, jangan dekati makam."
"K—kenapa, Nena?" Janessa bingung dan takut.
"Memangnya dari dulu saya pernah izinin kamu ke makam ibunya Laut dan Sky? Bahkan saya enggak pernah undang kamu ke pulau ini. Kamu yang muncul semaunya, enggak ada adab." Atlanna memapar tegas.
Ucapan tajam Atlanna bagai tombak yang melayang kencang dan menancap tepat di dada Janessa. Ia tak berkutik, merasakan badannya membatu dalam hitungan detik yang terasa lama. Sky tidak berani membela Janessa kalau ini berurusan dengan neneknya.
Janessa mau menangis akibat malu. Tangannya yang bergetar itu terkepal kuat tanda menahan marah. Dia melirik Ai, merasa tidak adil karena Ai diperbolehkan ke makam putih tersebut.
"Maaf, Sayang." Sky berucap tanpa suara sambil berjalan mundur meninggalkan Janessa.
Memang dari awal Janessa tidak disukai keluarga besar Raja-Lonan. Sky yang tetap mempertahankan perempuan pujaan hatinya, tak mau mendengar nasihat dari para orang tua.
Keluarganya lelah menyadari Sky lewat berbagai cara. Jadinya mereka membiarkan Sky tetap berpacaran dengan Janessa, tapi sampai kapan pun tak akan memberi restu.
Tersisa Laut yang masih sepenuhnya peduli pada Sky, walau peringatan Laut sering disepelekan.
"Aley, kami dateng." Zae berjongkok di samping makam putih itu.
"Hai, Mamiley!" Sky menyapa ceria.
Laut menaruh lily putih di atas makam. Amberley begitu suka lily putih. Itu menjadi kewajiban untuk setiap anggota keluarga yang berkunjung ke rumah cantik Amberley harus membawakannya bunga tersebut.
"Mamiley. Akhirnya Laut ke sini lagi. Kangen," ujar Laut.
Atlanna dan Bintang terharu melihat pemandangan ini. Ia tidak lagi menangis, melainkan menebar senyuman untuk mencegah luka basah di hatinya kembali menganga. Atlanna akan selalu merindukan malaikatnya, begitu pula Bintang.
"Ai, sini, Nak." Zae mengulurkan tangan, meminta Ai mendekat.
Ai menurut dan ikut berjongkok di samping Zae. Dengan bangga Zae memperkenalkan Ai kepada Amberley. Ia berantusias mengatakannya sambil memandangi nama Amberley yang tercetak abadi di batu berlapis kristal.
"Namanya Aicalla Violette, dipanggil Ai. Aku angkat dia sebagai anggota baru Lonan walau enggak secara resmi." Zae bertutur.
"Hari ini Ai ulang tahun barengan anak-anak kita. Mereka sepantaran, tapi Ai tetep mereka anggap adik. Semuanya akur, Sayang," lanjut Zae.
"Dia mungil, imut kayak Aley." Zae berkaca-kaca, tapi tak memudarkan senyumannya. "Kamu pasti seneng ada yang badannya agak kecil dari kamu. Kamu sedikit lebih tinggi dari Ai, Sayang ...."
Zae masih ingat jelas bentuk dan lekuk tubuh Amberley. Ia masih ingat harumnya, masih ingat suaranya, masih hafal lembut surainya, karena dia mengenal semua tentang mendiang istrinya. Tak ada yang terlupa sedikit saja mengenai Amberley, cinta pertama dan terakhir Zae yang akan terus menyatu dengan jiwanya.
"Ai mau pegang makam Mamiley?" Atlanna bertanya setelah ia perhatikan Ai kelihatan ingin menyentuh makam, tapi takut-takut.
Ai mengangguk. "Aku boleh sentuh makam Mamiley, Nena?"
"Boleh, Ai." Jawaban Atlanna melegakan hati Ai.
Kedua telapak tangan Ai mendarat di permukaan makam. Ia mengusapnya, merasakan betapa dingin dinding makam yang berkilauan ini. Ini unik bahwa makam Amberley tak pernah tertimbun salju walau berada di tengah serbuan badai es.
Ai hanyalah orang asing untuk keluarga Lonan. Ia juga tidak pernah bertemu Amberley. Namun di hari ini ia mengalami rasanya sesak yang berkolaborasi dengan pedih. Sakitnya dibuang dari Faigreene masih kalah dengan sakit yang detik ini Ai rasakan saat ia menyentuh makam Amberley.
Tangisan Ai sebentar lagi tumpah. Atlanna melihat itu, mendekat, lalu mengusap air mata Ai yang nyaris jatuh agar pipinya tidak semakin dingin. Ingin sekali Atlanna peluk, tapi tubuh Atlanna mengeluarkan udara dingin yang sama seperti memeluk patung es.
"Seseorang tolong peluk Ai." Atlanna berujar.
Laut dan Sky beranjak, tapi Sky lebih cepat berpindah ke dekat Ai. Ia mendekap Ai. Wajah Ai terbenam di dada Sky, dalam sekejap membanjiri jaket lelaki itu dengan air matanya yang tak bisa ditahan.
"Dia sesedih ini," ucap Atlanna, ikut sedih melihat Ai.
Laut berjalan pelan mendatangi Atlanna untuk memberikannya satu informasi soal Ai. Ia berbisik, "Ai enggak punya ibu juga, Nena. Meninggal waktu selamatin dia di sungai."
"Oh, astaga." Atlanna menyentuh dada. "Kasihan Ai. Dia pasti inget ibunya."
Usai puas menangis di pelukan Sky, Ai beranjak dan langkahnya mengarah ke Laut. Laut tau Ai ingin menghampirinya, tapi ia pura-pura tidak melihat dan malah menjauh. Laut berjalan mendekati nisan Amberley bersama Ai yang mengekorinya.
"Laut ...," panggil Ai sambil tangannya terjulur hendak menggapai Laut.
Laut akhirnya berhenti. Ia biarkan Ai muncul di hadapannya. Gadis itu meremas jaket Laut dan mendongak untuk menatapnya.
"Apa?" Laut bertanya.
Ai meminta Laut membungkuk. Ia ingin membisikkan sesuatu. Laut turuti, ia merendahkan badan sampai telinganya sejajar dengan bibir Ai. Walau begitu Ai masih perlu berusaha jinjit.
"Laut, maaf ini jorok. Aku kebelet pipis, tapi aku takut airnya membeku karena tadi air mataku beku." Ai sangat malu mengatakan itu.
Laut menanggapinya tanpa mau membuat Ai makin malu. "Tahan sebentar lagi, ya? Abis ini kita langsung ke kapal."
Ai mengangguk. Sekarang ia mau berdiam di dekat Laut saja karena Laut yang paling membuat Ai tenang. Laut tidak keberatan, justru dia memang ingin Ai berada di dekatnya agar tidak disentuh-sentuh Sky.
Peraturan tak tertulis: Tidak boleh menyentuh adik angkat Laut.
ʚ༺❀༻ɞ
Langit di Faigreene mulai mengabu. Para peri berhenti bekerja dan berhamburan masuk ke kediaman mereka. Mereka menghadapi "hari suram" yang akan berlangsung seharian penuh.
Tidak ada aktivitas di luar tempat tinggal mereka. Hewan-hewan liar telah diamankan agar tak keluyuran. Faigreene menjadi sepi, gelap, tak ada kehidupan seperti planet terbengkalai.
Para peri melakukannya sebagai bentuk ketidaksukaan mereka terhadap hari lahir Ai.
Istana megah itu tak kalah sunyi. Zennor memandangi situasi di luar istana lewat jendela besar yang terkunci. Ia sendirian, melarang para pengawal untuk mengikutinya.
Zennor terbang menuju satu ruangan paling kecil di istana. Ini menjadi ruang tempat Ai tidur, membaca buku, makan, dan melakukan banyak kegiatan lainnya.
Kondisi kamar Ai rapi dan bersih. Pada hari terakhir Ai tinggal di sini, ia menyempatkan diri membereskan seisi kamar dan tak membiarkan setitik debu menempel.
Kala itu Ai mengajukan satu permintaan kepada Zennor. "Kalau Ayah mau menghilangkan kamarku, tolong Ayah periksa di tembok dekat ranjang. Di sana ada lukisan aku dan Ibu. Ayah boleh hapus lukisan wajahku, tapi jangan wajah Ibu. Aku tidak punya kenangan dengan Ibu selain itu."
"Apa-apaan kamu? Memangnya kalau lukisan itu tidak dihapus, kamu bisa melihatnya lagi? Tidak, Aequa! Ini terakhir kamu berpijak di Faigreene!" Zennor naik pitam.
"Ayah, lukisan itu dibuat Ibu untukku. Ibu melukiskannya di tembok kamarku agar permanen, tidak hilang untuk selamanya."
"Jangan lupa bahwa kamu membuat Ibu kehilangan nyawa untuk selamanya!" seru Zennor.
Zennor mengingat jelas perkataannya yang membuat mulut Ai terkunci. Ia lihat lapisan air tergenang di mata Ai, tapi Ai berusaha keras mencegahnya terjun ke pipi.
Bukan hanya saat itu Zennor melihat Ai menahan tangis, melainkan sebelumnya pernah dan berkali-kali. Ai tidak mau menangis di depan ayahnya. Biar dadanya sesak sampai sulit bernapas pun Ai tetap tak membiarkan air matanya jatuh di hadapan Zennor.
Zennor pernah tidak bermaksud menguping percakapan istri dan anaknya di tepi danau kecil. Ia tadinya ingin memaki Ai tanpa alasan, tapi ucapan Auree membatalkan niat tersebut.
"Aequa anak Ibu dan Ayah yang istimewa. Cantik, pintar, baik, dan tentunya kuat!" Peri Udara yang bernama Auree Lovey itu berkata sambil mengelus rambut Ai, putri tersayangnya.
"Aequa Lovalys Silvermoon artinya air yang mengalir jauh, membawa cinta dan kebahagiaan untuk banyak orang. Ibu yakin, Aequa terlahir untuk menjadi sosok seperti itu." Auree kini mengusap lembut pipi Ai.
"Jangan dengar omongan jahat mereka, ya, Sayang? Kamu harus selalu ingat bahwa kamu berharga. Aequa anak hebat, anak kebanggaan Ibu!" seru Auree yang membuat Ai tersenyum haru.
Ai dan Auree berpelukan diiringi siulan angin, ditambah meriahnya helaian daun berjatuhan dari pohon. Lantas Zennor menjauh sebelum dua peri itu menyadari kehadirannya.
Cuplikan memori itu menyadarkan Zennor akan sebuah kenyataan pahit tentang dia yang tidak bisa bertemu istri dan anaknya lagi.
Semasa hidupnya, Auree selalu menerima perlakuan manis Zennor. Itu karena Zennor teramat sangat mencintai Auree. Sedangkan Ai, seumur-umur ia tak pernah merasakan sikap lembut sang ayah.
Setiap makan bersama banyak peri, Ai akan ditempatkan pada kursi berbeda yang jauh dari meja makan mereka. Porsi makanannya pun hanya seperempat dari sajian normal.
Auree tidak tega sehingga ia nekat menemani Ai dan memberinya tambahan makanan, serta membawanya ke tempat makan yang layak. Auree tak peduli akan kemarahan Zennor dan para peri. Ia pasang badan untuk melindungi Ai.
Kehilangan Auree adalah mimpi buruk yang ingin Ai tuntaskan, berharap ia segera bangun dan bertemu lagi dengan Ibu.
Sekarang ini Zennor masih berdiri di ambang pintu kamar Ai. Ia perlahan masuk, menemukan lukisan Ai dan Auree di dekat ranjang. Lukisan yang Ai harap tertoreh di sana selamanya.
Zennor mendatangi sepasang sepatu berwarna lilac yang tentunya punya Ai. Sepatu ini tidak pernah Ai ganti bertahun-tahun sampai terdapat kerusakan di bagian luar dan dalam. Hanya Ai yang memiliki sepatu kotor dan rusak karena cuma dia peri yang kesehariannya jalan-jalan menapaki tanah.
"Lepas sepatu dan pakaianmu! Itu pemberian istri saya, bukan hasil kerja keras kamu! Tutup badanmu pakai benda milik sendiri!" Ini kalimat Zennor kepada Ai sebelum mengasingkannya ke Bumi.
Zennor pandangi sepatu lusuh itu tanpa kedip. Tak pernah sekali saja Ai berkeinginan mengganti sepatunya, padahal ukurannya pasti menyiksa jari-jari Ai. Ia mempertahankannya karena ini hadiah dari Ibu.
Krieeet ... brak!
Suara benda jatuh mengejutkan Zennor. Ia menengok, mendapati pintu lemari Ai copot dan terbelah ketika menghantam lantai. Satu benda meluncur keluar dari dalam lemari. Benda itu berkilau-kilau cantik, tapi bentuknya belum sempurna. Kelihatannya Ai belum sempat menyelesaikan kreasinya.
Zennor memungut benda tersebut. Seketika dadanya bergemuruh saat ia sadari benda ini adalah sayap yang Ai buat dengan bahan-bahan seadanya. Plastik mika hologram, kawat tipis tidak kokoh, lem yang tidak rekat lagi, dan taburan glitter yang mudah hilang hanya dengan ditiup. Sayap ini tak mungkin bisa membawa Ai terbang.
Beberapa menit Zennor tak bergerak. Ia diam beribu bahasa, baru tersadar ketika lemari Ai kumat lagi. Lemari itu harus segera ditangani agar tidak hancur keseluruhan.
Zennor mengambil sayap-sayapan Ai. Ia menyimpannya di bawah ranjang Ai agar tak ada orang lain yang menemukan. Setelah ini Zennor akan memanggil peri-peri jantan untuk mengganti lemari Ai dengan yang baru.
Ia terbang ke pintu, tapi tiba-tiba berhenti dan kembali menyapukan pandangan ke kamar Ai. Zennor berucap kecil, "Selamat ulang tahun, Aequa."
ʚ༺❀༻ɞ
Di sebuah ruangan dengan perapian menyala, terdapat tiga anak Zae sedang rebahan di alas empuk yang membentang lebar di lantai.
Ai berada di tengah Laut dan Sky. Hanya Ai yang tubuhnya terbungkus selimut. Ai dan Laut begitu tenang menyaksikan tayangan film pada layar super lebar di hadapan mereka, bahkan mata Ai mulai menutup setengah. Sementara itu Sky sibuk membaca pesan dari pacar.
Janessa:
Aku marah banget sama keluarga kamu. Jahat!
Janessa:
Aku dicuekin!!! Aku dianggep engga ada!!!!!
Janessa:
Aku kecewa banget sama kamu. Kamu engga belain aku. Jangan salahin aku kalo aku cari cowok baru.
Sky menghela napas panjang pertanda ia lelah. Ia mengunci layar ponsel dan meletakkannya di samping badan. Dalam lamunan singkat yang terjadi, Sky tiba-tiba teringat ucapan Laut kepada Janessa sewaktu mereka di kapal. Topiknya mengenai Janessa yang Laut sebut pernah "mencoba" lelaki lain, dan Laut juga berkata ia tau pekerjaan ibunya Janessa.
"Laut." Sky memanggil, ingin meminta kembarannya menjelaskan hal itu.
"Hm," sahut Laut yang tak ingin acara menontonnya diganggu.
"Kayaknya lo banyak tau soal Janessa. Lo nge-stalk dia? Lo mendadak jadi FBI?" tuduh Sky.
Lirikan sinis Laut membuat Sky terkekeh dan meminta maaf. Sky bertutur lagi, "Biarin ajalah dia mau apa, Ut. Itu pilihannya. Dia hobi pole dance, suka ke nightclub, ya udah, biarin."
"Lo udah dibutain banget, ya?" celetuk Laut.
Sky membalas enteng, "Ini namanya cinta."
Laut tidak tau lagi harus bagaimana menyadarkan Sky bahwa Janessa adalah jalang yang gemar bermain di tempat hiburan, menari di tiang untuk menarik perhatian para pria hidung belang, dan tak segan melepas bra untuk memancing mereka semakin dekat.
Narafina, ibu kandung Janessa, setelah bercerai dari suaminya ia memilih menjadi wanita penghibur. Hanya pria kelas atas yang sanggup menyewanya. Untuk satu malam pun bayarannya fantastis.
Tujuan Laut hanya ingin mengetahui latar belakang keluarga Janessa yang ternyata sangatlah berantakan. Semampunya Laut akan terus mengawasi Sky sampai waktu menjawab kebenaran dengan sendirinya, dan semesta menyadarkan Sky.
Secara dadakan Laut mengulurkan tangan ke kepala Sky, ia menjitaknya penuh nafsu. "Lo jadi anak jangan tolol-tolol banget kenapa!"
"KDRT!" Sky mengaduh dan mengusap kepalanya.
Laut dan Sky kompak membalik posisi mereka menjadi miring menghadap satu sama lain. Wajah Laut menunjukkan kemarahan, dan Sky sudah siap-siap ingin menimpuknya pakai bantal.
Tapi, keributan ini batal terjadi karena ternyata Ai tidur. Mereka menatap gadis imut itu yang posisi kepalanya berada di dekat lengan Laut. Bibirnya terbuka sedikit sehingga kedengaran dengkuran halus Ai.
Posisi Laut dan Sky yang seperti itu persis sepasang orang tua sedang menjaga bayi mereka.
Sky nyeletuk, "Enggak mau lo cium, Ut?"
Laut tersentak. "Sinting lo, ya."
Sky iseng mendekati wajahnya ke Ai, matanya terpejam, bibirnya mengerucut sampai begitu monyong, dan Laut refleks memukul jidat Sky sambil melotot garang.
Setelah jidatnya kena tepukan maut Laut, Sky langsung berguling menjauh sambil mengeluh dramatis. Suara bising Sky bikin Ai terbangun. Matanya menyipit bingung menatap Laut.
"Enggak ada apa-apa. Lanjut aja bobonya," ucap Laut yang baru kali ini suaranya benar-benar lembut kepada seorang perempuan.
Ai percaya, jadi ia memejamkan mata lagi dan makin merapatkan diri ke badan Laut. Ia meringkuk dengan kepala menempel di dada Laut. Ai mendengar debar jantung Laut sangat cepat, tapi ia menganggapnya itu normal.
Sky tak membiarkan Laut tenang. Ia menyeplos, "Adek kedinginan. Lo kalo mau peluk Adek, peluk aja, Ut. Gue pergi, deh ...."
Sambil berjalan ke pintu Sky bertutur lagi, "Gue tinggal, ya, lo berdua. Awas zina!"
🤍✨🎀✨🤍
Gimana chapter 7? Masih mau bacaaa?
Kayaknya kepanjangan yaa? 😭😭😭
di chapter ini siapa yang bikin kamu senyum?
di chapter ini siapa yang bikin kamu kesel?
2,8K votes buat next, jadi kamu wajib vote ⭐️
Spam "🌷" buat next!
————————————————
BABYGENG VOTE INI YUKKK
Cover A
Cover B
Cover C
————————————————
⚠️🔞
Baca bagian Sky & Janessa versi lengkap tanpa sensor di KaryaKarsa aku @radexn seharga Rp2.000! untuk kalangan 21+ bukan 18+ lagi 🧘🏻
Ini "cuddle" tapi ... berujung ... akzjsjdskfjd PARAH DEH MEREKA 😾
judulnya: "Scenic [Additional Part] - 7"
Saranku: beli di web KaryaKarsa (jangan di aplikasi) biar enggak perlu ubah uang jadi coin, karena kalo begitu bakal lebih ribet dan lebih mahal. kalo dari web kayak kamu jajan online biasa~ 🤍 thank you!!
————————————————
jangan lupa share cerita SCENIC ke bestie, crush, fams, siapa pun yang kamu punya yaa! 😄🤍 kalo kamu mau post di instastory, tag aku (@radenchedid) biar aku repost ok ;)
Thank you, Babygeng 🦋✨🍃
Love you and see you, Babygeng!
—Mamigeng—
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro