Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Hadiah Terbaik

6 ʚɞ Hadiah Terbaik

Tidak terasa dua jam berlalu cepat ketika Laut dan Ai berada di pantai. Kini mereka sudah kembali ke rumah. Laut agak khawatir lantaran Ai beberapa kali menunjukkan gestur kedinginan, tapi gadis itu tak mengatakannya.

Menjadi peri air membuat Ai cukup kuat menerjang angin kencang dan bertahan pada suhu dingin ketika berendam. Namun malam ini udaranya jauh lebih dingin sehingga Ai menggigil. Tidak terbayang akan tambah semenggigil apa bila Ai masuk ke air.

"Bu Suri, tolong buatin Ai minuman hangat," ujar Laut pada seorang wanita yang baru datang mendekat. "Pakaiannya tolong ganti juga, ya, Bu. Dia kedinginan."

Suri mengangguk. "Baik, Tuan Muda Laut."

Ai tersenyum tipis saat Suri mengajaknya ke suatu tempat untuk memenuhi perintah Laut. Sejenak Laut masih diam pada posisinya, mengamati Ai yang dibawa menjauh darinya.

Setelah Ai dan Suri menghilang dari pandangan Laut, ia berbalik untuk kembali ke pintu utama rumah. Laut menatap langit malam yang tak bertabur bintang. Kilauan di atas sana hilang, padahal beberapa menit lalu masih menghiasi bumantara.

Titik-titik salju tipis mulai turun bertaburan di tanah. Jumlahnya jarang-jarang, tapi inilah yang menyebabkan Ai mendadak kedinginan sampai wajahnya pucat.

"Ah, iya. Pergantian bulan." Laut bergumam.

Besok sudah memasuki hari pertama di bulan Juli. Ini bukan musim dingin, tetapi sejak Laut dan Sky lahir, salju selalu turun di awal Juli hingga beberapa hari ke depan.

Kehadiran salju menjadi pengingat kepergian Amberley, juga pengingat hari lahir Laut dan Sky.

Dulu, ketika Si Kembar masih di kandungan Amberley yang sebentar lagi melahirkan, salju mendadak turun lebat menyelimuti kota mulai dari Juni. Padahal harusnya salju tidak turun di bulan itu.

Senyum Laut terukir, tetapi bukan tanda bahagia. Matanya sedikit berkaca-kaca dalam tundukan dalam. Hatinya pedih setiap menghadapi 1 Juli. Ingin sekali ia menghapus tanggal itu dari hidupnya, tapi mustahil.

Beberapa pekerja rumah memantau Laut dari kejauhan. Mereka sangat paham apa yang Laut rasakan karena ini bukan pertama kalinya mereka lihat Laut mengamati langit malam di akhir bulan Juni. Tahun kemarin dan tahun-tahun sebelumnya pun Laut melakukan itu.

Mereka ikut menunduk selama Laut masih berdiri di sana. Tidak ada yang bersuara. Semua menghargai satu sama lain, menjadikan suasana benar-benar hening.

Tak berapa lama berselang, Laut beranjak masuk setelah ia mengusap sudut matanya yang basah. Ia ingin bersih-bersih badan dan langsung tidur. Besok pasti Zae akan mengajaknya berlayar ke pulau seberang bersama Sky. Mau tidak mau Laut harus mempersiapkan diri.

Langkah Laut memelan saat ia bergerak menuju tangga. Kepalanya tertoleh, mengarah ke Ai yang mendatanginya sambil memegang segelas susu cokelat pakai dua tangan.

Cengiran Ai seketika menghadirkan kehangatan di dada Laut. Bukan hangat yang membuatnya berdebar-debar penuh cinta, tapi hangat yang menenangkan. Seolah Ai tau bahwa Laut sedang tidak baik-baik saja.

"Aku baru tau di dunia ini ada minuman seenak susu cokelat." Ai terkekeh senang. "Laut mau?"

Laut menggeleng singkat. "Enggak, Ai."

"Kamu enggak suka susu cokelat?" Perempuan itu bingung.

"Suka, tapi itu buat kamu aja." Laut berkata.

Ai mengangguk samar, kemudian ia menunduk menatap susunya yang tinggal setengah gelas. Ia menghirup-hirup aroma susu dengan hidung bergerak pelan. Sekarang Ai tampak seperti kucing yang sedang mengendus sesuatu.

Lalu Ai beralih menarik udara di sekitar Laut. Ia menghapus jarak demi bisa mencium harum yang melayang-layang dari tubuh serta pakaian Laut.

"Pantas aku enggak asing sama aroma susu cokelat. Ternyata wanginya mirip kamu. Kamu wangi susu cokelat," celetuk Ai.

"Kamu adalah susu cokelat yang enggak bisa diminum." Senyuman Ai kian lebar.

Ai sedang tidak melucu, tapi ia berhasil membuat Laut hampir terbahak. Omongannya itu yang bikin Laut heran sekaligus takjub karena di luar nalar. Bisa-bisanya Ai berpikir Laut merupakan susu cokelat yang tidak bisa diminum.

Meski ucapan Ai aneh, tapi nyatanya dia tanpa sadar membongkar rahasia Laut. Parfum kesayangan Laut wanginya persis es krim cokelat bercampur vanila. Manis, segar, tiap Laut lewat akan tercium aroma yang membuat orang-orang langsung meliriknya.

Sejak dulu Laut merahasiakan parfum racikannya dari Sky, tak peduli Sky bertanya hingga ratusan kali. Ia tidak mau memiliki wangi yang sama dengan kembarannya. Bagi Laut itu menyebalkan.

Pasti akan nyaman setiap memeluk Laut dan mencium harum tubuhnya. Kalau Ai berada di posisi itu, mungkin dia akan menyedot Laut. Mmm, maksudnya ... bukan seperti itu.

"Laut, sekarang aku punya kesukaan baru sejak tinggal di rumah ini. Aku suka susu cokelat," ungkap Ai.

Laut menanggapi, "Selain itu, Ai suka apa? Telur keju?"

"Suka kamu." Ai menjawab tanpa beban.

Dua detik setelahnya wajah Ai langsung panas, ia cepat-cepat mengalihkan pandangan. Laut yang melihat reaksi Ai pun ikut salah tingkah, tapi ia begitu mudah mengontrol diri.

"Ai, kalo susunya udah abis, kamu langsung ke kamar, ya." Laut berkata, memecah kecanggungan di antara mereka.

Ai mengiakan. "Iya, Laut."

"Saya enggak bisa temenin kamu. Saya perlu bersih-bersih badan," kata Laut.

"Enggak apa-apa. Apa kamu mau aku bantu?" Ai berbaik hati menawarkan diri.

Laut agak kaget mendengarnya karena pembicaraan mereka mengenai bersih-bersih badan. "Bantu apa?"

"Bersihin badan." Ai berucap kikuk, takut salah kata. "Enggak jadi. Aku salah bilang."

Pipi Ai yang tadi merah karena salah tingkah, rasanya sekarang tambah merah. Ai mengubur rasa malu dengan cara meneguk susu sampai gelas itu menutupi hidungnya. Setidaknya ada bagian wajah Ai yang tertutup biar dia tidak begitu malu.

"Muka kamu merah banget, Ai." Laut malah menambah keresahan hati Ai.

Tak itu saja, Laut pun sengaja bertanya, "Kenapa enggak jadi bersihin badan saya?"

Ai kembali tertunduk sambil memeluk gelas yang tampak besar di tangannya. Ia mati gaya, tidak mampu berkata-kata, maka Ai langsung berlarian kecil ke dapur menghindari Laut. Rambutnya yang dicepol tinggi itu bergerak tuing-tuing begitu menggemaskan.

ʚ༺❀༻ɞ

Ai sedang dilema.

Susunya sudah habis dan ia harus ke dapur untuk membersihkan gelas. Masalahnya, ia takut bertemu Laut. Lebih tepatnya malu.

Terhitung sudah sepuluh menit Ai bersiap-siap di balik pintu sebelum keluar. Sampai sekarang jantungnya masih berdebaran kencang. Ia juga masih terus memeluk gelas kosong tersebut.

Di menit ke dua belas, Ai baru berani keluar dari tempat persembunyian. Nama "Aicalla Violette" pada layar di atas pintu menghilang setelah Ai meninggalkan kamar.

Kakinya yang beralas sandal bulu-bulu itu bergerak cepat menuju dapur.

Ia bertemu beberapa pelayan dan menyapa mereka dengan sukacita penuh. Ai mencoba tenang meski rasa waswas tetap menghantui. Anak itu panik dan berpikir mau taruh di mana wajahnya kalau ketemu Laut sekarang.

"Ibu," panggil Ai pada seorang pelayan yang melintas di dekatnya.

Wanita itu menoleh lalu sedikit membungkuk sebelum melafalkan kata. "Ada apa, Nona Ai?"

"Ibu ... biasanya kapan Laut keluar kamar?" Ai bertanya.

"Ini sudah hampir tengah malam. Berarti besok pagi, Nona. Sebelum sarapan pasti Tuan Muda Laut keluar kamar," jawabnya.

"Oh, berarti sekarang enggak akan keluar, ya?" Terlihat adanya perasaan lega dari kalimat dan ekspresi Ai.

Wanita tadi mengangguk. "Benar, Nona. Apalagi sekarang akhir Juni. Tuan Muda Laut selalu ingin tidur lebih cepat. Itu yang saya dan semua pelayan ketahui tentangnya selama bekerja di rumah ini."

Ai mencoba memahami semua kata yang dituturkan wanita ini. Tak sepenuhnya ia paham, tetapi otak Ai mencerna bahwa Laut tidak akan keluar dari kamar sekarang. Itu berarti ia bisa dengan tenang ke dapur dan membersihkan gelas bekas susu cokelatnya.

"Terima kasih, Ibu." Ai melambaikan tangan lalu berbalik ke dapur.

Dapur begitu sepi, sama sekali tidak ada orang. Suri sedang mengecek tiap ruangan yang perlu ia periksa untuk memastikan semuanya bersih dan rapi. Jadi, Ai sendirian saja di sini.

Sensor tangan Ai pada keran wastafel membuat air otomatis mengalir. Ai mulai mencuci gelas begitu teliti dan pelan-pelan. Ia memegangnya dengan terhati-hati karena takut jatuh.

Tangan Ai kecil, tak seperti Laut yang bisa memegang gelas besar menggunakan satu tangan tanpa harus takut jatuh. Ai kembali berdebar-debar panik. Kali ini akibat sebuah gelas kaca.

Gelas penuh sabun, busanya juga menggunung. Permukaan gelas yang licin membuat benda itu tergelincir dari tangan Ai. Untung jatuhnya bukan ke lantai, tapi ke wastafel dan tidak menyebabkan retak.

Namun, suara bisingnya tertangkap sampai luar dapur. Seseorang mendengar kegaduhan yang berasal dari aktivitas Ai membersihkan satu gelas. Tak berlama-lama orang itu langsung masuk ke dapur dan menghampiri sumber suara.

Zae berhenti tiga meter di belakang Ai dan berucap spontan, "Ai, kamu kenapa belum tidur?"

Ai mempercepat gerak agar kegiatannya selesai. Ia buru-buru membilas gelas, kemudian menaruhnya pada rak khusus mensteril alat makan. Selepas itu Ai mengeringkan tangan dengan hand dryer.

Tugas Ai mencuci gelas sudah selesai. Saat ini ia menyamperi Zae untuk menjawab pertanyaannya. Mereka berdiri saling hadap, hanya terpisah jarak satu meter.

"Daza, aku mau jelasin biar Daza percaya," kata Ai.

Zae menyahut, "Oke, Daza dengerin Ai."

"Jadi, semula aku lagi minum susu. Tiba-tiba aku ketemu Laut. Aku ngobrol sebentar sama Laut, tapi ada satu percakapan aku salah kata. Aku bilang mau bersihin badan Laut." Ai mengatakannya sambil menunduk dan menautkan jemari.

"Aku enggak bermaksud mau bersihin badannya, Daza. Aku tau ini pasti keinginannya, tapi aku enggak tega kalau badan Laut disapu dan dipel," papar Ai.

"Aku malu. Aku enggak bisa berkutik setelah bilang kayak gitu. Seharusnya aku enggak usah bilang biar Laut enggak merasa aku beri harapan palsu." Ai menyesal.

Zae menahan tawa mendengar penjelasan Ai. Ia menyembunyikan rasa ingin tertawa di balik wajah serius sambil mengangguk-angguk, menandakan ia sangat paham omongan Ai.

"Aku kabur dari Laut bermenit-menit lamanya, Daza. Itu sebabnya aku belum tidur. Semoga Daza mengerti," tutur Ai mengakhiri penjelasannya.

Ada rasa bangga dalam diri Ai karena dia berhasil menjelaskan semuanya secara gamblang dan tak ada yang dirahasiakan dari Zae.

Kata 'bersih-bersih' yang Laut sebutkan tadi bagi Ai sama seperti membersihkan rumah. Pakai alat pel, sapu, dan sebagainya. Nyatanya maksud Laut ialah cuci tangan, gosok gigi, cuci kaki, dan cuci muka.

"Begitu, ya." Zae menanggapi. "Ai enggak perlu malu sama Laut. Kamu bersikap biasa aja sama dia. Laut pasti ngerti kalau tadi kamu salah ngomong."

"Berarti Laut enggak akan minta aku bersihin badannya, ya, Daza?" Ai butuh kepastian untuk hal tersebut.

"Enggak, Ai. Enggak mungkin Laut minta kamu lakuin itu," ujar Zae.

Ai mengembus napas panjang pertanda ia teramat lega. "Aku jadi tenang. Terima kasih, Daza, sekarang aku enggak takut dan malu lagi."

Satu tangan Zae bergerak mengelus kepala Ai. Hanya sebentar, tapi Zae senang bisa menyentuh rambut Ai yang dingin. Ia melakukannya berlandaskan kasih sayang seorang ayah kepada anak.

"Ai harus tidur. Daza anter ke kamar, yuk," kata Zae.

Mereka berdua jalan beriringan ke kamar. Ada pemandangan manis di antara mereka, yakni Ai dan Zae bergandengan. Zae menggenggam tangan Ai lebih erat saat menapaki deretan anak tangga.

"Besok Ai mau ikut jalan-jalan? Ada Daza, Laut, dan Sky. Kita naik kapal ke pulau seberang," ucap Zae.

Ai sangat tertarik. Ia menyeletuk cepat, "Aku mau ikut, Daza."

Semenjak Ai hadir di rumah ini, Zae merasakan warna di hidupnya kembali datang. Kegelapan yang berseliweran itu mulai pudar meski tak secara keseluruhan. Pedih, muram, dan kesepian yang selalu mengikuti Zae kini perlahan-lahan berkurang.

Kehadiran gadis imut itu membawa banyak nilai positif untuk Laut dan Sky juga. Mereka seperti menemukan satu potongan puzzle kecil yang hilang bertahun-tahun lamanya. Puzzle itu telah dipasangkan pada bagian rompang, walau masih ada bagian-bagian yang entah kapan tertutup sempurna.

Setiap berinteraksi dengan Ai, Zae merasakan dua hal yang menjadi pengalaman menyenangkan untuknya pribadi. Ia merasa memiliki anak perempuan, tapi kadang Zae teringat Amberley ketika menatap wajah Ai.

"Daza, Laut bilang aku ini gadisnya Laut, Sky, dan Daza. Apa itu benar?" Ai mengatakannya tepat saat mereka berhenti di depan pintu kamar.

Dahi Zae mengerut tipis, tapi ia tetap memberi jawaban. "Karena kamu anak perempuan pertama di rumah ini, jadi kamu kayak anak saya, juga adiknya Laut dan Sky."

Ai terharu dan berkata, "Itu artinya aku disayang Daza, Laut, dan Sky?"

"Iya, itu pasti, Ai." Jawaban Zae menghadirkan kegembiraan di hati Ai.

Mata besarnya berbinar-binar disertai adanya senyum haru. Saking bahagianya mendengar jawaban Zae, tak disangka Ai menangis. Ia baru sekarang merasa disayang oleh banyak orang.

"Ai kenapa nangis?" Zae bantu mengusap air mata Ai.

Ai menatap Zae dengan pupil membesar.  "Aku enggak pernah diperlakuin selembut ini oleh Ayah. Ayah enggak sayang aku."

Zae buang napas sedikit berat. Ucapan Ai berhasil menimbulkan pertanyaan sekaligus belas kasihan Zae terhadapnya. Zae yakin tebakannya benar bahwa Ai diperlakukan kurang baik oleh ayahnya.

"Daza bukan ayahku, tapi Daza sayang aku." Ai masih menyorotkan tatapannya untuk Zae. "Sekarang aku sayang Daza juga."

Sesak menghampiri dada Zae. Ia paling tidak bisa melihat seorang anak kekurangan kasih sayang orang tua. Zae sudah sangat jatuh pada hari di mana Amberley pergi teramat jauh meninggalkannya dan anak-anak mereka, lalu sekarang Zae mendengar pernyataan Ai yang semenyedihkan itu.

"Ai, ayah kamu pasti sayang kamu, tapi caranya mungkin beda dari apa yang Daza lakuin ke kamu." Zae menenangkan Ai.

"Ayah mengusirku, Daza. Apa itu cara Ayah sayang aku?" Ai cemberut.

Pertanyaan Ai yang satu itu membungkam Zae. Ia tidak bisa menjawab. Detik terus bertambah, dan Ai teringat peristiwa di Faigreene. Memorinya memutar cuplikan kejadian saat Ai mendapatkan perlakuan kasar dari peri-peri penjaga istana, kalimat cacian dari kawanan peri biasa, dan pelototan serta gertakan ayahnya.

Perasaan Ai yang mudah tersentuh itu membuatnya kembali menumpahkan derai tangis. Zae memeluknya, mendekap anak ini begitu hangat seraya mengusap punggung serta kepalanya.

"Ayah enggak sayang aku, tapi aku sayang Ayah. Aku kangen Ayah." Ai berucap pilu. "Aku kangen Ibu."

"Iya," gumam Zae sambil terus memberikan ketenangan untuk Ai.

"Kalau nanti Daza mau usir aku, tolong bilangnya pelan-pelan. Aku pasti paham dan langsung pergi. Enggak perlu teriak karena nanti leher Daza sakit." Ai bertutur sambil terus membanjiri baju Zae dengan air matanya.

Zae tertunduk, matanya terpejam. "Saya enggak mungkin usir kamu, Ai."

Ai tidak siap bila harus berpisah dengan keluarga barunya di sini. Sudah cukup Ai dipisahkan secara paksa dari keluarganya di Faigreene. Ia tak mau pengalaman buruk itu terulang.

Jauh di lubuk hatinya Ai masih sering berseru dan berharap, "Ayah, aku ingin disayang Ayah."

ʚ༺❀༻ɞ

Pagi-pagi sekali para pelayan sudah bekerja mempersiapkan segalanya sebelum Laut, Ai, Sky, dan Zae bangun. Dua jam dari sekarang mereka akan berangkat ke Pantai Irvetta, lanjut berlayar ke Pulau Levanna.

"Semua sudah siap?" Suri bertanya.

Mereka kompak mengangguk dan menjawab. Tidak ada yang tertinggal. Para tuan rumah hanya perlu membawa diri tanpa harus ribet menenteng benda lainnya.

Sekitar setengah jam berlalu, Ai terbangun dan langsung mandi. Selang dua menit, Laut dan Zae bangun di waktu bersamaan. Sebelas menit kemudian Sky menyusul.

Laut menjadi orang pertama yang datang ke ruang makan. Sebenarnya Ai bisa jadi yang pertama karena dia berada di sekitar ruang makan sebelum Laut muncul. Namun Ai merasa tak enak bila ia masuk mendahului pemilik rumah.

"Ai udah bangun atau belum, ya?" Laut bergumam, tiba-tiba kepikiran.

Sambil menunggu semuanya kumpul, Ai melipir ke taman mini di depan rumah. Ia memeluk dirinya yang berpakaian tebal lantaran udara tambah dingin dibanding semalam. Ai menghirup udara sekaligus menikmati nyanyian seekor burung yang bertengger di pohon. Burung itu kecil, imut, sedang memerhatikan Ai.

"Hai," sapa Ai kepada burung.

Perhatian Ai teralih saat seekor kupu-kupu terbang tepat melintas di depan wajahnya. Warna kupu-kupu itu ungu muda, tetapi akan mengeluarkan rona biru muda bila terkena cahaya. Perpaduan warnanya cantik sekali.

Ai mengejar. Ia mengikuti kupu-kupu yang ternyata menghampiri sebuah bunga, lalu hinggap di atasnya. Keindahan sayapnya membuat Ai tak henti memuji dan berkeinginan menyentuh.

Anak itu mengulurkan tangan terhati-hati. Belum sempat Ai memegang, kupu-kupu telah terbang menerjang rintik salju. Ai ditinggal.

"Dadah!" Ai berseru, mengucapkan perpisahan dengan kupu-kupu yang bahkan baru ia temui beberapa detik lalu.

Pandangan Ai kembali ke pohon, bermaksud ingin melihat burung putih yang tadi. Ternyata burung itu juga sudah pergi bersama kelompoknya yang datang menjemput. Kini Ai benar-benar sendirian di taman.

"Aicalla." Suara berat Laut masuk dengan sopan ke telinga Ai.

Ai tidak jadi sendirian. Ia berputar badan mengikuti suara Laut berasal, kemudian Ai memberinya seulas senyum cerah. Laut mengetahui keberadaan Ai di taman dari laporan yang para pelayan berikan.

Berdasarkan keterangan Suri, Laut tau bahwa Ai sudah siap sejak tadi, tapi dia tidak berani masuk ke ruang makan sebelum tiga lelaki itu masuk duluan. Maka Ai menunggu sambil jalan-jalan santai di taman mini.

Sekarang gantian Sky dan Zae yang menunggu Ai, ditambah menunggu Laut.

"Laut, tadi aku lihat burung dan kupu-kupu cantik. Sayangnya mereka terbang," cerita Ai.

Andai Ai terlahir dengan sayap. Ia membayangkan dirinya mengejar kupu-kupu dan burung tanpa kesulitan. Ai ingin berteman baik bersama hewan-hewan lucu itu.

"Terus, kamu sedih ditinggal mereka?" Laut merespons.

"Enggak, Laut. Aku tau udara itu tempat mereka terbang bebas. Jadinya aku ikut senang," ungkap Ai.

Laut puas mendengar jawaban Ai. Berarti pagi ini tak ada yang membuat Ai bersedih. Senyum ceria Ai menjadi satu bukti nyata bahwa suasana hatinya terang. Lebih terang dari langit saat ini.

Untuk mempertahankan mood Ai tetap bagus, Laut menemukan ide yang sepintas lewat di benak.

"Sebentar." Laut menjauh.

Ia mengambil alat pemotong tangkai mawar yang tersedia di rak kaca dekat area tanah khusus mawar. Laut mencari mawar paling besar. Sebelum mawar itu tumbang akibat menahan tumpukan es, lebih baik Laut mengambilnya.

Laut berhasil menotong setangkai mawar merah muda. Ia menyerahkannya ke Ai seraya berkata, "Hati-hati pegangnya. Berduri."

"Mawar ini buat aku?" Wajah Ai berbinar.

Laut bertutur, "Mau saya buang karna sebentar lagi mawarnya tumbang, tapi kamu keliatan mau. Ya udah, buat kamu."

Ai terpesona akan eloknya mawar. Ia berterima kasih kepada Laut sambil melompat-lompat kecil. Ini menjadi hadiah pertama yang pernah Ai terima di sepanjang hidupnya.

Lantas Laut mengembalikan alat pemotong tangkai mawar ke tempat semula. Di kesempatan itu Laut tersenyum tanpa sepengetahuan Ai.

"Ayo, kita harus sarapan, Ai." Laut mengajak gadis itu ke dalam.

Tanpa banyak bicara Ai segera menurutinya. Ia mengikuti langkah Laut sambil menatap mawar di genggaman. Ai pun mencabut satu kelopak, kemudian memakannya.

"Mmm, enak!" Ucapan Ai membuat Laut spontan menengok.

Ini pemandangan tak biasa yang pernah Laut saksikan. Ia melihat seorang gadis memakan mawar seperti sedang melahap bakso bakar. Ai menikmatinya begitu riang, sementara Laut terheran-heran.

Mereka berdua bergabung dengan Sky dan Zae di ruang makan. Berbagai hidangan sudah tersaji, siap disantap para pengisi kursi. Laut mengincar segelas air mineral sebelum mengisi perut dengan makanan.

Sky terkekeh melihat Ai mengekori Laut sambil membawa mawar yang kelopaknya botak sebelah. Mulut Ai terus mengunyah, tanpa Sky tau isinya adalah mawar.

"Mawar dari siapa, tuh, Dek?" Sky menggoda.

Ai menelan hasil kunyahannya lalu berucap, "Aku dikasih mawar sama Laut, Sky."

"Cie, Laut! Ada apa, nih, ngasih Ai mawar? Abis nembak Ai, ya?!" Sky tak bisa menahan gelaknya.

"Mawarnya udah oleng, makanya gue cabut." Laut menjawab setengah kesal.

"Tapi lo yang bener aja, Ut. Masa ngasih Ai mawar yang kelopaknya ilang setengah gitu!" seru Sky.

Laut mendengkus berat. "Dimakan dia."

Zae yang lebih banyak diam itu langsung mengeluarkan suara. "Ai makan mawar?"

Mendadak semua mata mengarah ke Ai. Dia tertangkap sedang mencabut kelopak mawar dan membawanya ke mulut. Ai belum sadar dirinya ditatap tiga lelaki sekaligus, malah anteng sarapan dengan mawar.

"Ya ampun, beneran dimakan." Sky terkejut.

Topik pembahasan sangat cepat berganti. Sky teringat satu hal dan harus mengatakannya kepada Laut serta Zae. Ini teramat penting untuk Sky.

"Daza, Laut, mulai makannya sebentar lagi, ya. Ada yang kurang." Sky berucap.

"Kurang apa, Sky?" tanya Zae.

"Kurang Janessa. Dia masih di jalan, Daza. Lagi ke sini." Jawaban Sky spontan membuat Laut tidak jadi menyentuh sendok.

Laut menyeletuk tajam, "Kenapa lo ajak dia?"

"Dia mau ikut ke Pulau Levanna, Ut. Katanya pengin liat laut dari kapal." Sky melebarkan cengiran.

"Gue enggak mau dia ikut." Laut tidak terima.

"Gue mau. Sekali-kali, Ut. Kesian dia sendirian di rumah. Nyokapnya kerja sampe malem," ungkap Sky.

Nafsu makan Laut lenyap secepat itu. Suasana meja menjadi tidak nyaman, tetapi Zae berusaha menanganinya agar tak terjadi keributan antara si Kembar. Ai tidak menyimak percakapan Laut dan Sky, dia masih sibuk memakan mawar.

"Udah. Jangan Daza denger kalian ribut di sini. Di luar aja kalau mau berantem. Ambil balok sekalian," cetus Zae yang sudah lelah menghadapi dua putranya bila ribut mengenai Janessa.

Laut tidak bercakap. Bibirnya tertutup rapat, rahangnya mengeras, dan ia tidak berhenti menatap Sky dengan mata setajam delikan elang. Mata peraknya selalu bisa bikin Sky ketar-ketir.

"Jangan marah, Ut. Anggep aja Janessa kayak Ai. Mereka sama-sama tamu kita, kan? Lo harus adil ... lo sikapnya baik ke Ai, masa ke pacar gue enggak." Sky menyeplos.

"Jangan samain Ai sama peliharaan lo. Beda." Laut geram.

"Sama, Ut. Sama-sama cewek, sama-sama bukan dari keluarga kita, sama-sama cantik. Hehehehe," balas Sky.

Kemarahan Laut amat mudah terpancing setiap Sky membahas Janessa. Ini adalah hari penuh arti, dan Sky merusaknya dengan mengundang perempuan sundal itu. Laut kecewa.

ʚ༺❀༻ɞ

Salju lebat mengguyur kapal pesiar pribadi yang kini berada di tengah laut. Semua orang masuk ke ruang tengah, ruangan paling luas yang mampu menampung maksimal lima belas orang dewasa. Mereka hanya berlima, jadi bisa nyaman bergerak leluasa.

Di ruangan lain ada beberapa kru menyiapkan kue untuk dibawa ke hadapan Laut dan Sky. Tidak lupa Janessa request dibawakan sebuket mawar putih buat Sky dan harus ada nama dia sebagai pemberinya.

Janessa menghampiri Sky yang sedang duduk santai di dekat jendela. Di sofa seberang ada Laut duduk berdua Ai, menemani gadis itu membaca novel baru.

Zae barusan beranjak keluar dari ruangan. Ia ingin memeriksa sudah sejauh apa persiapan para kru untuk memberi kejutan kepada si kembar.

"Sky ...." Janessa memajukan dada, mengelus rambut Sky, tapi matanya melirik Laut yang sama sekali tak berniat menatapnya.

"Sayang." Suara Janessa sengaja ia perbesar.

Sky merespons cepat dengan cara mengecup bibir Janessa. "Apa, Sayang?"

Janessa bermanja, ia duduk di pangkuan Sky seraya melingkarkan tangan di sekitar leher Sky. Ia masih mencuri pandang ke Laut, berharap Laut menoleh.

"Calon suami aku tambah dewasa. Udah cocok banget jadi ayah. Siap jadi ayah, enggak?" Janessa mencubit pipi Sky, memperlakukannya seperti anak kecil.

"Siap kalo anaknya dari kamu." Sky terkikik.

Suara Janessa dan Sky sangat mengganggu Laut. Apalagi saat terdengar bunyi kecupan yang menggelikan itu. Laut tambah naik pitam ketika Janessa mendesah.

Janessa tengah melumat bibir Sky dan langsung terperanjat pada waktu Laut menghardiknya. "Enggak punya etika!"

Secepat mungkin Janessa turun dari pangkuan Sky, ia duduk di samping Sky sambil memeluk lengannya. Janessa tertunduk, tidak berani menatap Laut.

"Gue enggak suka lo bawa lonte ke sini." Laut bertutur kepada Sky. "Kelakuannya bikin gue mau muntah."

"Ut—"

"Murahan, gatel, gue tau enggak cuma Sky yang pernah lo coba." Telunjuk Laut mengacung ke Janessa.

"Sky ...," ringik Janessa, minta bantuan agar Laut tidak menyakitinya.

"Lo diajak Sky bukan berarti lo bebas ngelakuin apa yang lo mau di sini. Jangan pernah merasa lo spesial. Enggak ada ratu yang kerjaannya jual diri ke banyak lelaki." Laut memapar lagi.

"Kak Laut, aku enggak pernah jual diri. Kakak fitnah aku," sahut Janessa.

Laut mengangkat dagu, menatap rendah Janessa yang pucat pasi. "Bahkan gue tau kerjaan nyokap lo apa."

"Laut, diem! Sssstt!" Sky tidak ingin masalah menjadi lebar.

"Lo yang diem," cetus Laut.

Janessa berkaca-kaca, ia langsung menutup wajah pakai satu tangan. Ia tidak tau harus membalas perkataan Laut dengan kalimat apa. Jantungnya berpacu kuat, tak beraturan, sampai perutnya melilit tidak nyaman.

"Gue harus apa sekarang ...," batin Janessa.

Dari empat orang di ruang tengah, hanya Ai yang larut dalam bacaan novel. Ia tersenyum manis ketika tiga orang lainnya berseteru panas akan sebuah masalah. Ai tersipu, sedangkan orang-orang itu saling adu mulut.

Belasan detik terlewat, mereka berhenti menciptakan gaduh. Ai juga menghentikan bacaannya sejenak. Ia menatap Laut, menyentuh dua jarinya untuk ia genggam.

"Sayangku," panggil Ai. "Hai, Sayangku."

Laut terkaget, begitu juga Sky dan Janessa. Ai cekikikan kecil lalu kembali membaca novelnya. Barusan ia mempraktikan dialog sepasang kekasih pada novel tersebut.

Janessa mendelik sinis ke arah Ai, merasa tidak senang ada perempuan selain dirinya di keluarga Lonan. Dari awal bertemu Ai di ruang makan rumah pun Janessa sudah merasakan panas berkobaran di hati.

"Ini anak siapa, sih? Sok imut, genit, ganjen banget ke Kak Laut." Janessa mencibir dalam batin.

"Nanti kalo Sky digenitin juga, gue tampar, nih!" lanjut Janessa.

Tak hanya Ai yang mengejutkan, kini datang kejutan lain dari orang-orang di luar ruang tengah. Pintu ruangan terbuka tanpa diketuk lebih dulu. Mereka masuk, dan Zae jalan di paling depan membawa kue.

"Happy birthday, Laut and Sky!" Semuanya bersorak dan pertepuk tangan menyanyikan lagu ulang tahun yang mendunia itu.

Ai menutup novel, ia terpana akan apa yang sedang terjadi. Ini pengalaman pertama Ai mendengar nyanyian ulang tahun, melihat kue, dan merasakan kehangatan bercampur kebahagiaan.

Laut menarik napas dalam-dalam, mengubur pengapnya akibat marah terus ke Sky dan Janessa. Ia tak mau merusak kejutan dari Zae, maka Laut mencoba mengukir senyum di wajah. Tak mungkin Laut tega membuat ayahnya bersedih.

"Thanks, Daza." Laut berucap, kemudian ia menyapukan pandangan ke seluruh kru. "Thanks semuanya."

Janessa merebut sebuket mawar putih dari tangan kru, lalu ia bawa ke Sky. "Sayang, ini buat kamu!"

Sky terkaget-kaget, tentu menerima pemberian dari kekasihnya. "Makasih, ya ...." Ia melanjutkannya berbisik di telinga Janessa. "My Wife."

Ai meninggalkan sofa, juga menaruh novelnya di sana. Ia menghampiri Laut dan Sky yang hendak meniup lilin berbentuk angka. Ai berhenti agak jauh dari mereka, tapi tetap bisa menyaksikannya dengan penuh bahagia.

Mata cantik Ai berkilauan. Air yang tergenang di pelupuk seketika luruh ke pipi saat Laut dan Sky berhasil memadamkan setitik api di ujung lilin. Ai menyeka air mata, ia tersenyum lebar sambil bertepuk tangan.

Laut menoleh kala mendengar tepukan tangan Ai. Ia membeku sekejap saat mengetahui wajah Ai bergelimang air mata. Maka Laut mendekat, bertanya apa yang gadis itu rasakan.

"Eh? Ai kenapa?!" Ternyata Sky juga menyadarinya.

Ai malu dilihat semua orang. Ia sedikit menunduk dan menjawab, "Hari ini aku juga ulang tahun."

"Oh, ya? Ai ulang tahun yang ke berapa?" Zae bertanya, kebetulan ia dan anak-anaknya belum tau tanggal lahir Ai.

Nantinya informasi kelahiran Ai bisa ditambah dalam datanya sebagai anggota baru Lonan, jadi tak hanya tertulis nama lengkap. Itu dapat memperluas akses Ai. Otomatis ia memiliki perlindungan dari banyak orang kepercayaan Zae.

Kemarin Zae memang hanya menaruh nama lengkap Ai, tidak membutuhkan tanggal lahirnya. Itu karena Zae pikir Ai hanya tamu yang datang sehari, lalu pindah tempat. Kenyataannya Laut meminta Ai tinggal lebih lama di rumah mereka.

"Horeee! Tanggal lahir kita samaan!" Sky bersorak, kemudian ia menebak, "Adek ulang tahun ke dua belas, ya?"

Ai menatap lilin 2 angka yang tertancap di permukaan kue. Ternyata sudah selama itu ia tak pernah merayakan hari lahirnya karena selalu dilarang. Setiap Ai berulang tahun, Faigreene menjadi teramat sunyi. Suasananya dibuat suram dan gelap seolah hari kelahiran Ai adalah hari terburuk.

Maka Ai bertutur, "Sekarang umurku dua puluh dua, sama kayak Laut dan Sky."

🤍✨🎀✨🤍

Gimana chapter 6? Mau lanjut terus gaa?!

1 kata buat Janessa:

1 kata buat Sky:

2,8K votes buat next, jadi kamu wajib vote ⭐️

Spam "🎀" buat next!

————————————————

jangan lupa share cerita SCENIC ke bestie, crush, fams, siapa pun yang kamu punya yaa! 😄🤍 kalo kamu mau post di instastory, tag aku (@radenchedid) biar aku repost ok ;)

Thank you, Babygeng 🦋✨🍃

Love you and see you, Babygeng!
—Mamigeng—

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro