Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

48. Crying Angel

hai babygeng.. maaf baru update. thanks udah nunggu!

baca part ini pelan-pelan dan dihayati biar enggak keliru yaa 🫶🏿 jangan lupa vote & comment! thank you 🤍

PO novel SCENIC: 5 OKTOBER 2023

48 ʚɞ Crying Angel

Pukul setengah satu dini hari Sky dan Ava berada di perjalanan pulang sehabis menyaksikan film horror di bioskop sebuah mall. Film yang sama sekali tidak Sky mengerti alurnya karena ia tak berkonsentrasi menonton. Badannya memang di lokasi tersebut, tetapi pikirannya melanglang buana.

Terhitung dari detik terakhir pertemuannya dengan Janessa di depan kediaman Lonan, perasaan Sky masih tidak enak sampai sekarang. Ia mencemaskan sesuatu yang semu. Tak biasanya Sky selesu ini, sampai-sampai jadi pendiam di sepanjang jalan.

"Sky." Ava memanggil lelaki di sampingnya.

Sky menyahut tanpa menoleh, "Ha?"

Ava mencoba membaca gestur Sky dan menebak apa yang sedang dipikirkan olehnya. "Dari tadi lo diem terus. Mikirin apa? Takut ketemu bokap gue?"

"Enggak usah takut. Gue udah ngabarin Papa bakal pulang telat. Papa enggak mungkin marah," ucap Ava.

Sebetulnya bukan itu yang Sky pikirkan. Tak sedikit pun terlintas di benaknya mengenai Brecht, atau berpikir harus mengatakan apa bila nanti bertemu Brecht saat mengantar Ava pulang.

"Iya, Va." Hanya tanggapan singkat yang keluar dari mulut Sky.

'Va' doang? Biasanya pakai sebutan lebih spesial, batin Ava.

Dikarenakan sikap Sky agak berbeda, maka Ava kembali menghadap lurus ke depan dan enggan bicara lagi. Meski demikian, Ava sesekali menoleh ke Sky dengan harapan Sky meliriknya balik.

Harapan Ava tetap menjadi harapan. Keheningan ini berlangsung hingga mobil berhenti di depan sebuah rumah. Perempuan itu masih berdiam, nyatanya ia kurang puas dengan jawaban Sky. Kalau Sky betulan gugup menemui Brecht, dia akan berisik bahkan meminta bantuan Ava merangkai kalimat, bukan diam beribu bahasa.

Ava bingung, segelintir spekulasi menyeruak dalam benak mengenai keanehan Sky. Ternyata lelaki satu itu bisa lebih-lebih pendiam dari kembarannya.

"Mau gue temenin ke dalem?" Sky menawarkan, ia juga heran kenapa Ava tidak langsung keluar dari mobil. Temannya ini tak bergerak hampir dua menit.

Sekarang Ava yang membungkam sampai Sky harus memutar otak untuk mengerti apa maunya dia. Lirikan Sky tertuju ke pintu di sebelah Ava, lantas ia berseru, "Oh! Gue bukain pintunya, ya."

Sky baru akan turun, dan Ava dengan cepat menangkap pergelangan tangannya. Ava mencegah Sky membukakan pintu mobil untuknya karena bukan itu yang dia mau.

"Menurut lo kita deket atau enggak, Sky?" Ava bertanya.

"Eh?" Sky menyahut spontan diberi pertanyaan setiba-tiba itu. "I...ya. Deket."

"Kalau emang iya, seharusnya lo tau gue enggak suka diperlakuin kayak princess yang setiap masuk atau keluar mobil harus dibukain pintu," ucap Ava dengan suara memelan.

"Iya ... tapi, gue kira kali ini lo mau. Soalnya lo enggak keluar-keluar." Sky menanggapi.

Ava melepas genggamannya. "Lo mau gue cepet-cepet keluar?"

"Enggak. Bukan gitu, Va. Biasanya lo langsung keluar, kan?" ujar Sky.

Ava mendengkus dan membanting punggung ke sandaran jok. Dia melipat tangan di atas perut sambil memindahkan pandangan ke objek di luar mobil. Respons Sky semakin membuatnya tidak tenang.

"Sorry." Sky tidak mau ribut hanya karena perkara turun dari mobil. "Ya udah kalau lo mau tetep di sini. Terserah mau sampai jam berapa. Gue bakal kabarin Daza buat bilang pulangnya lebih telat."

Sky mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Zae, tetapi Ava menahannya. Ia turunkan ponsel itu sampai menjauh dari wajah Sky, lalu memintanya simpan kembali di saku jaket.

"Kenapa?" tanya Sky.

Lagi, Ava menoleh dan mengubah posisinya sedikit serong ke arah Sky. Ia menatap intens bola mata cokelat itu, mencari binar-binar cerah yang selalu Sky pancarkan setiap mereka bertemu. Sekarang Ava tak menemukannya. Sinar di mata Sky meredup, terasa suram seperti sedang menyimpan kesedihan.

"Sadar, enggak, malam ini lo beda? Dimulai dari kita pergi ke bioskop, sampai sekarang lo banyak diamnya." Ava bertutur. "Gue enggak langsung turun dari mobil karena terlalu percaya diri nunggu lo cerita atau jelasin ke gue lo kenapa."

"Enggak enak badan?" Ava menempelkan punggung tangan di kening Sky. "Suhu badan lo normal. Kemarin lo demam, tapi tetep clingy ke gue. Sekarang gue kayak lagi berduaan sama Laut."

Sky tidak mengira Ava memerhatikannya sampai sedetail itu. Ia menjawab setelah mengusap wajah, "Ngantuk, Va."

Terdengar embus napas berat pertanda Ava lelah. "Gue bisa bedain muka ngantuk lo gimana, Sky."

"Anggep aja gue lagi belajar jadi kalem." Sky tak punya jawaban lain.

Ia sendiri tidak mengerti kenapa malam ini terasa berat dilalui. Langit tampak gelap gulita di mata Sky, padahal ada rembulan yang menerangi kekelaman malam. Sky tidak paham apa penyebab ia kehilangan semangat yang normalnya berkobar di hari-hari biasa.

Sky yang paling tahu tentang dirinya, tetapi untuk kasus ini—yang baru terjadi dalam kurun waktu empat jam—dia merasa tak mengenal diri sendiri. Ke mana perginya keceriaan itu? Kenapa sulit untuk sekadar tersenyum dan tertawa?

"Gue takut kalau ternyata lo capek jalanin hubungan sama gue," celetuk Ava.

"Gue enggak mikir ke situ, Ava." Sky menyahut cepat.

"Perasaan perempuan sensitif, Sky. Gue cukup peka buat hal kayak gini," gumam Ava kemudian.

Mereka saling tatap tanpa bicara. Saling tidak tahu apa yang memenuhi masing-masing kepala. Saling menebak isi hati yang sulit diterobos oleh keterbatasan nalar manusia.

Ava memberi Sky pertanyaan baru yang berjam-jam mengusik pikirannya. "Lo mikirin Janessa?"

"Kenapa nanya itu, Sayang?"

"Jawab aja. Gue butuh kejujuran," selak Ava. "Lo kepikiran cincinnya, kan? Lo bertanya-tanya kenapa dia titip cincinnya?"

Belum ada tiga detik terjeda, Ava kembali bersuara. "Dari awal lo nerima cincin itu, lo jadi ngelamun terus dan kayak orang tersesat."

"Padahal cuma cincin yang enggak ada salahnya kalau lo buang. Toh enggak berarti apa-apa buat lo. Sebaliknya, lo harus mikirin gimana respons keluarga besar tentang cincin itu. Keluarga besar lo enggak suka dia, Sky!" cecar Ava.

"Va." Sky menghentikan omongan Ava sebelum menjalar ke mana-mana. "Gue bakal simpen cincinnya di laci kamar. Enggak mungkin keluarga gue tau. Enggak mungkin juga mereka sibuk merhatiin cincin."

"Lo enggak takut sama efeknya? Semua yang berhubungan sama Janessa buruk buat kesehatan lo. Mau sakit kepala terus?" cetus Ava.

Kalimat tersebut membuat Sky tersadar ia tak merasakan denyutan hebat di kepala padahal sedang membahas Janessa. Sebelum-sebelumnya Sky akan meringis karena sakit yang tak tertahankan. Kini bukan denyutan yang menyerang Sky, melainkan perasaan hampa seperti baru saja kehilangan sosok tercinta.

"Sky, please, utamain diri lo dulu. Kondisi lo enggak boleh disepelein." Ava melanjutkan.

Sky mengiakan. "Iya, Va."

"Kalau lo enggak mau buang cincin itu, lo boleh titip ke gue. Pasti gue jaga," papar Ava.

"Enggak. Gue bisa simpen sendiri."

Bahasa tubuh Ava menunjukkan seseorang yang frustrasi dan kehabisan kata untuk diucap. Dia berkali-kali menarik napas panjang sampai ruang sempit di dadanya kembali lega. Ava berusaha mengendalikan diri yang kesal menghadapi Sky kukuh menyimpan cincin Janessa.

"Lo merasa bebas simpen sesuatu tentang cewek lain karena hubungan kita enggak ada status, ya?" Ava menilik Sky.

"Merasa enggak harus jaga perasaan gue," lanjut Ava.

"Berarti gue enggak ada hak buat cemburu, ya, kan?" Ava mengimbuh.

Sky tidak memberi tanggapan, hanya meraih tangan Ava untuk ia pegang. Ava dengan kasar menepis tangan Sky dan melayangkan sorot kekecewaan. Dia sakit hati terhadap lelaki yang di hatinya tidak pernah ada nama Delancy Avajade.

Sky kembali menggapai tangan Ava sampai berhasil menggenggamnya. Ia berujar lembut, "Maaf gue bikin lo marah, bikin lo cemburu. Itu cuma cincin, Sayang."

"Itu bukan 'cuma cincin'!" Nada bicara Ava naik dua tingkat. "Sewaktu-waktu cincin Janessa pasti jadi alasan hubungan kita rusak. Udah keliatan dari sekarang."

"Kalau gitu, jangan mikir yang jelek-jelek tentang cincinnya. Pikiran negatif bikin kita bertindak jelek juga," tanggap Sky.

Ava menutup mata sambil menenangkan diri yang ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya di depan muka Sky. Ingin menampar Sky biar membuka mata lebar-lebar dan memahami keinginannya.

"Kenapa harus kita yang ngontrol pikiran? Lebih baik cincin itu yang disingkirin dari kita." Ava bercakap.

Sky tak berubah pikiran. "Enggak bisa, Ava."

Kesabaran Ava berada di batas terakhir. Rasa cemburunya kian membesar dan sedih mengetahui Sky sangat-sangat menjaga cincin Janessa. Tak bisa dipungkiri betapa besar ketakutan Ava akan ditinggal Sky suatu hari nanti.

"Oke. Gue ngerti sekarang," ungkap Ava.

"Apa?" Sky waswas, takutnya Ava berpikiran macam-macam lagi.

"Gue ngerti kenapa Papa posesif banget tiap gue dideketin lelaki. Itu karena Papa tau di dunia ini enggak ada lelaki yang bisa tulus sayang sama gue selain Papa." Ava berujar tajam.

"Papa udah yakin dan percaya lo bisa bikin gue happy. Enggak kebayang Papa bakal sekecewa apa pas tau lo lebih pilih cincin daripada gue," tambah Ava.

"Padahal ... gue udah relain semuanya buat lo. Lo bebas sentuh gue, tapi gue enggak dikasih kebebasan buat buang cincin itu. Mungkin di mata lo harga diri gue enggak ada apa-apanya dibanding cincin Janessa." Garis rahang Ava menegang.

Sky merespons, "Lo sendiri yang kasih gue kebebasan itu, kan, Va? Gue enggak minta. Lo yang nawarin diri."

Hati Ava menjerit dan menangis. Apa yang dikatakan Sky benar bahwa Ava pernah meminta Sky untuk datang kepadanya bila ingin melakukan kegiatan seks. Ava tak ingin Sky melakukannya dengan perempuan lain.

Ava pikir itu akan menjadi rantai yang mengikat Sky agar tak menjauh darinya.

"Cukup buat malam ini, Sky. Hati gue sakit." Ava membuka pintu mobil dan keluar.

Ia melangkah besar-besar menuju halaman rumah. Percakapannya dengan Sky di mobil menimbulkan pedih di mata. Ava berharap Sky mengejar dan memohon-mohon diberi maaf, namun yang terjadi Sky hanya memandanginya dari kursi kemudi.

ʚ༺❀༻ɞ

Laut baru kembali dan langsung disambut Ai yang belum tidur. Ibu hamil itu menepati omongannya untuk tetap terjaga sampai Laut pulang. Ia ingin tidur bersama.

"Hai, Manisku." Ai mengukir senyum ceria.

Tiba-tiba Laut berlutut dan memeluk Ai sambil memejamkan mata. Ia sembunyikan wajah di bahu Ai sembari mengeratkan rengkuhan. Ai tetap berdiri, ia usap-usap punggung Laut tanpa memudarkan senyuman.

Masih terbayang-bayang kejadian di rooftop yang sulit Laut hapus dari memori. Tak akan semudah itu menghapusnya karena baru saja terjadi. Sesaknya merajai dada sampai Laut harus berulang kali menarik oksigen dalam-dalam.

Tugas pertama Laut memang berhasil, tetapi ia masih belum terbiasa dan akhirnya resah sendiri. Ia membutuhkan Ai karena sang istri mampu menyingkirkan energi buruk yang menyelimuti Laut. Pelukan ini membantunya tenang perlahan-lahan.

"Laut datang setelah Janessa pergi dari rumah kita." Ai berkata.

Laut kontan menatap Ai. "Maksud kamu gimana?"

"Tadi Janessa datang menemui Ai, tapi hanya sebentar. Ai senang karena Janessa enggak sedih lagi ... dia tersenyum terus kepada Ai!" Peri cantik itu bercerita penuh keantusiasan.

"Janessa bilang, dia mau pergi ke tempat yang sangat jauh. Tapi, Janessa berjanji enggak akan melupakan Ai! Ai juga berjanji akan ingat Janessa sampai selamanya," lanjut Ai.

Rona kebahagiaan terpancar nyata di wajah Ai. Barusan ia menceritakan pengalaman yang baginya menyenangkan, tetapi bagi Laut janggal. Laut mengulurkan tangan untuk membelai pipi tembam Ai tanpa memutuskan tatapan dari wanitanya.

"Ai lihat Janessa pakai baju warna apa?" Kini Laut mengelus rambut Ai.

"Warna putih, Laut! Janessa memakai baju panjang yang cantik." Ai berseru lugas.

Laut semakin paham apa yang Ai ceritakan. Itu sudah pasti Janessa dalam wujud roh yang menemui Ai. Janessa datang sekadar berterima kasih karena Ai sangat peduli padanya di saat Janessa kehilangan semua orang terdekat, dan di saat Janessa berada di titik paling rendah hidupnya.

Hanya Ai yang bersedia memeluk Janessa ketika semua orang menganggapnya gila.

Hanya tangan Ai yang terulur untuk menolong Janessa, bukan untuk melecehkannya seperti uluran tangan-tangan lain.

Hanya Ai yang mengerti perasaan Janessa karena Ai pun pernah dihina, dipandang sebelah mata, diabaikan, diusir, tidak diinginkan, dan dianggap tak berharga.

"Janessa bilang apa lagi?" Laut berucap.

Ai tak perlu berpikir panjang untuk memberi jawaban. "Janessa meminta maaf pernah bersikap buruk ke Ai. Kata Janessa, saat itu dia cemburu karena keluarga besar Raja-Lonan sayang Ai, sedangkan Janessa enggak disayang."

"Sekarang Janessa enggak cemburu lagi karena sudah menerima keadaan dan lebih bahagia. Janessa dan Ai berteman! Janessa enggak akan marah-marah lagi kepada Ai," ungkap Ai.

Seandainya Ai tahu apa yang terjadi pada Janessa. Laut tidak bisa mengatakannya sekarang. Melihat Ai seriang ini membuat Laut mengurungkan niat utama ketika baru tiba di rumah untuk memberi tahu Ai mengenai tugas pertama yang berhasil Laut selesaikan.

"Ai ingin berkunjung ke rumah Janessa sebelum dia pergi jauh," papar Ai.

"Janessa perginya kapan?" Laut kembali bertanya.

Ai mengerutkan kening ketika sedang berpikir, matanya pun mengarah ke atas. "Janessa enggak bilang kapan dia akan pergi. Menurut Laut kapan?"

"Aku enggak tau, Sayang." Pria itu menurunkan pandangan dari wajah Ai, kemudian mendekap tubuh istrinya.

"Ai ingin memberi hadiah untuk Janessa sebagai kenang-kenangan, dan sebagai simbol pertemanan!" tutur Ai. "Apa boleh Ai memberikan itu, Laut?"

Laut melepas dekapannya dan lagi-lagi tak tega melihat mimik Ai. Ia mengenal kepribadian Ai seperti apa. Ai selalu senang tiap memiliki teman baru karena sejak kecil tak ada yang mau menjadi temannya.

Ai sangat sayang Que karena dialah teman pertama Ai. Lalu sekarang Ai tidak berhenti memikirkan Janessa.

"Nanti aku cari tau rumah baru Janessa di mana. Biar kita ke sana," ujar Laut.

"Ai boleh memberi hadiah untuk Janessa?" Mata besar Ai berbinar.

Laut mengangguk dengan senyum tipis, tetapi matanya memancarkan duka. "Boleh. Aku saranin hadiahnya bunga."

"Janessa suka bunga, ya ... sama seperti Ai." Pipi Ai memerah yang artinya dia teramat senang.

Mulai detik itu Ai sibuk memikirkan bunga apa yang paling cantik dan cocok buat Janessa. Laut sampai harus mengangkat Ai ke kasur, menyelimutinya, lalu memainkan pipinya agar mengantuk. Ai berpikir keras sampai akhirnya ketiduran di pelukan Laut.

ʚ༺❀༻ɞ

3 hari kemudian.

Ai berdiri di dekat sebuah makam sambil memeluk sebuket mawar merah muda. Ia mendongak ke Laut di sampingnya. "Laut, ini rumah Janessa?"

Mereka tidak hanya berdua. Keluarga besar Raja-Lonan hadir setelah menerima kabar dari Laut mengenai kematian Janessa. Nyx pun ada, dan semalam ia menyampaikan kepada Bintang semua perkataan Amberley tentang Janessa yang jalan hidupnya sungguh malang.

"Iya, ini rumah baru Janessa, Ai." Laut menjawab.

Ai menunduk dan membaca ukiran nama Janessa pada nisan berbentuk salib. Ia cemberut dengan air mata tergenang dan nyaris luruh. Seperti tidak percaya, sekali lagi Ai memandangi Laut untuk memastikan ini betulan rumah Janessa.

"Janessa teman Ai sudah meninggal?" Ai menatap Laut bersamaan buliran air turun ke pipinya.

Laut memegangi bahu Ai dan bertutur lembut, "Iya, Sayang. Janessa meninggal di malam yang sama waktu kamu lihat dia dateng ke rumah kita. Itu ... roh Janessa. Dia pamit ke Ai karena Janessa sayang Ai."

"Maaf aku baru bilang sekarang. Aku khawatir kamu terlalu syok kalau aku bilangnya di malam itu," tutur Laut.

Ai mengerti maksud Laut adalah baik. Kini Ai terisak sembari memeluk erat buket mawar. Laut tidak berhenti mengusap bahu Ai, juga membawa istrinya lebih dekat sampai tak ada jarak antara mereka.

Keluarga besar Raja-Lonan tertunduk dan dalam hati merapalkan harapan baik untuk Janessa. Mereka telah mengetahui beban yang Janessa pikul selama dia masih hidup. Mereka sudah memahami fakta bahwa setiap orang tak luput dari kesalahan.

Atlanna tidak merasakan energi negatif di makam Janessa. Ia tak menemukan aura gelap yang dulu ia lihat setiap Janessa muncul di hadapannya.

Setelah ditelaah, energi negatif dan aura gelap yang kala itu Atlanna lihat dalam diri Janessa ternyata merupakan kemarahan, sakit hati, tekanan batin, dan kekecewaan yang Janessa pendam terhadap Narafina.

Sekarang Janessa tidak merasakan itu lagi. Sakit di hati dan fisiknya sembuh total. Dia benar-benar bebas dan bahagia.

Satu per satu anggota keluarga besar menabur kelopak mawar berwarna merah, putih, dan pink sampai memenuhi permukaan makam. Rumah abadi Janessa semakin cantik dengan warna-warna tersebut.

"Ini bunga untuk Janessa." Ai menaruh buket tersebut di atas makam. Ia mencoba tegar meski air mata belum berhenti berjatuhan.

"Kita tetap berteman, ya ...," isak Ai. "Janessa teman Ai yang baik dan hebat."

Dari kejauhan, sesosok cerah menyaksikan mereka dengan senyuman cantik. Roh Janessa tidak berhenti tersenyum melihat keluarga besar yang sejak lama ia kagumi, kini datang ke makamnya dan memberinya bunga.

Janessa ingin mendatangi Ai untuk menenangkannya agar berhenti menangis karena itu sangat melelahkan, apalagi Ai sedang hamil. Sayang, untuk sekarang Janessa tak bisa menghampirinya.

Beralih dari Ai, Janessa memandangi satu lelaki yang berdiri di belakang Zae. Ia perhatikan dari awal datang ke sini Sky tidak membuka mulut. Sky berulang-ulang melirik nama Janessa pada nisan, dan berulang kali juga menepis nyeri di dada.

Tidak ada Ava. Keributan antara Sky dan Ava yang terjadi di beberapa hari lalu membuat mereka sedikit renggang. Sky telah mencoba menelepon dan mengirim chat, tetapi Ava bersikap dingin dengan mengabaikan semua usaha Sky.

Lalu tiba-tiba hari ini Ava menelepon dan mengirim pesan ke Sky sampai puluhan kali, tapi tak ditanggapi. Ava resah karena tadi pagi Sky mengirim pesan berisi; Gue mau ke tempat Janessa bareng keluarga besar.

"Nak," panggil Janessa seraya menatap sosok mungil di gendongannya. Sosok yang juga bercahaya seperti dirinya.

"Itu Papa." Janessa menunjuk Sky.

"Papa enggak tau kamu pernah ada di perut Mama. Waktu itu Mama juga enggak sadar kamu hadir sebagai bukti cinta Mama dan Papa. Seandainya Mama lebih perhatian sama kondisi badan sendiri ... Mama enggak bakal mau minum minuman herbal buatan nenek kamu yang sengaja bikin Mama keguguran," tutur Janessa.

"Dulu, Papa selalu jadi pelindung dan penolong Mama. Mama sayang banget sama Papa." Janessa mengecup putri kecilnya. "Sekarang kita sama-sama jaga Papa dari sini, ya?"

Janessa peluk anaknya sambil terus mengamati keluarga besar Raja-Lonan yang mulai beranjak meninggalkan makam. Semua bergegas masuk ke mobil untuk langsung pergi, kecuali Laut dan Sky yang masih berdiam di tempat.

Tadinya Sky ingin sendirian sampai langit senja berganti gelap, tetapi Laut takut terjadi apa-apa pada kembarannya, maka Laut menemani dia di sini.

Keduanya berjongkok dalam keheningan di samping makam. Sky memainkan kelopak mawar, enggan bicara, dan Laut menunduk tanpa minat memulai percakapan. Ia bisa rasakan kegundahan yang menghampiri Sky.

Sky belum ingat Janessa, tapi dia merasa kehilangan. Dia merasa hampa dan tidak tenang. Dia masih ingin mendengar suara Janessa yang memekak telinga. Dia masih ingin membaca pesan-pesan baru Janessa di Instagram.

Sesaat berselang, Sky melepas kalung yang setiap hari menghiasi lehernya. Kemudian ia merogoh saku jaket mengambil cincin milik Janessa. Laut menjadi saksi Sky menukarkan pendant dengan cincin indah itu.

"Sini." Laut membantu Sky memasangkan kalungnya.

Sesudah kalung terpasang, Sky mengajak Laut pulang. Ternyata ia tak mampu berlama-lama di makam Janessa karena semakin lelah menahan sesak. Ia butuh istirahat.

Janessa setia mengawasi Sky dan Laut sampai keduanya masuk ke mobil. Ia melambaikan tangan dan memastikan Si Kembar selamat sampai tujuan.

Dua menit setelah mobil Laut meninggalkan lokasi, Janessa melihat sebuah mobil berhenti di pintu masuk area makamnya. Raut bahagia Janessa seketika berubah menjadi takut dan sedih saat orang tuanya muncul dari mobil tersebut.

Janessa berbalik badan, ia membawa putrinya ke tempat lain yang jauh dari kehadiran Yama dan Narafina.

"Oh, kayaknya tadi ada yang dateng ke sini." Narafina memindai makam Janessa yang dihiasi kelopak mawar.

Narafina mengambil buket bunga pemberian Ai, lalu membantingnya dan diinjak-injak sampai rusak. "Anak durhaka enggak usah dikasih bunga-bunga segala. Mati ninggalin utang ratusan juta ke mamanya sendiri, bikin repot."

Semenjak jiwanya dibebaskan dari raga yang dipenuhi derita, kini Janessa bisa mendengar suara-suara dari jarak jauh. Ucapan Narafina membuatnya menoleh dan menjadi begitu sedih.

"Malam ini makam Janessa harus dibongkar. Orang kaya itu sudah bayar buat bawa pulang bola mata dan rambutnya." Narafina berantusias.

"Aku bakal coba tawarin kuku Janessa ke pria-pria yang terobsesi sama dia. Pasti mereka rebutan," papar Narafina.

Janessa semakin bersedih. Kepergiannya dijadikan modal untuk mendapatkan banyak uang oleh Narafina. Ia pun bisa membaca pikiran mesum Yama yang berniat menjamah raganya.

Ketika Janessa mencoba menyelamatkan makamnya dari Narafina dan Yama, ia langsung berhenti saat roh bercahaya terang dengan sayap besar datang dan memeluknya. Amberley menguatkan Janessa lewat pelukan tulus seorang ibu yang tak pernah Janessa rasakan dari Narafina.

"Mereka tidak akan menyentuh ragamu. Mereka tidak akan menyakitimu lagi," tutur Amberley.

Amberley mengatakan itu karena dia tahu Nyx Reaper sedang memantau Narafina dan Yama.

🤍✨🎀✨🤍

Gimana chapter ini, Babygeng? 🤍

kata-kata buat Narafina & Yama:

——————————————

next? wajib VOTE sekarang juga! klik bintang di pojokan ⭐️

BENTAR LAGI END!!!

spam "🌞" di sini!
2K votes dan 6K comments update lagi <3
jangan lupa vote yaa manisku huaaa!! 😭😭

——————————————

jangan lupa share cerita SCENIC ke bestie, crush, fams, siapa pun yang kamu punya yaa! 😄🤍 kalo kamu mau post di instastory, tag aku (@radenchedid) biar aku repost ok ;)

Thank you, Babygeng 🦋✨🍃

——————————————

FOLLOW INSTAGRAM:
@radenchedid (aku)
@alaiaesthetic (semua tentang karyaku)

JOIN TELEGRAM KHUSUS PEMBACAKU:
@BABYG3NG

Love you and see you, Babygeng!
—Mamigeng—

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro