39. New Tattoo
hai babygeng! sebelum baca, aku ingetin buat VOTE yaa. targetnya di atas 2K votes 🧸🎀 happy reading!
39 ʚɞ New Tattoo
Sekian lama tak mengunjungi Crystal Lake, pagi ini Laut dan Ai mengadakan piknik sederhana di tepian.
Perbekalan suami-istri ini beragam. Mulai dari makanan berat sampai ringan ada. Minumannya tersedia lengkap dan tidak ada yang mengandung manis buatan. Laut sangat memerhatikan semua yang Ai konsumsi.
Mereka bekerja sama membentangkan karpet tipis untuk ditaruh di atas rerumputan pendek, kemudian ditimpa bedcover agar semakin nyaman posisi bersantai mereka.
Ai suka sekali duduk berselonjor di situ. Ia ajak Laut ikut duduk-duduk santai, tapi Laut malah rebahan dan menjadikan paha Ai sebagai bantal.
Senyum cantik Ai merekah. Jemarinya menyapukan helaian rambut hitam-putih itu, membuat Laut memejamkan mata menikmati sentuhannya.
"Laut-ku cantik sekali." Ai memuji seraya mengusap pipi Laut, lalu ibu jarinya pelan-pelan mengelus bulu mata lentik sang suami.
Ai tatap mendalam bola mata perak yang terpapar cahaya tipis mentari. Mata Laut seolah menyala. Keindahannya sulit Ai jabarkan lewat kalimat puitis, jadi yang mewakili hanya satu kata "cantik".
"Manisku sangat baik hati dan penyabar." Usapan Ai turun ke garis rahang Laut yang kokoh.
Makhluk bermata ungu itu terus bicara sambil kembali memainkan rambut Laut. "Suamiku enggak pernah marah, enggak pernah berteriak galak ke Ai, enggak pernah menghina Ai."
Senyum tipis Laut hadir setiap mereka berinteraksi. Laut gapai tangan Ai dan ia tempelkan ke dadanya. Ia memberi Ai kesempatan merasakan getaran yang berasal dari detak jantungnya.
Detaknya berdentum kencang tiap Laut terlibat sentuhan fisik dengan Ai. Debaran itu mengepung Laut tiap Ai berada di dekatnya. Denyutan yang seharusnya memompa normal bisa tiba-tiba bertambah tiga kali lebih cepat saat Ai membalas tatapannya.
Sikap manis dan lembut Laut muncul ketika ia merasa nyaman di dekat orang tertentu. Ketika ia merasa dicintai oleh seseorang. Ketika Laut merasa dirinya berharga di mata orang itu.
Ai menjadi salah satu yang menunjukkan rasa tersebut sehingga Laut begitu mudah luluh dan melembut padanya.
Berbeda dengan sikap Laut kepada Sky. Rasanya ingin marah terus karena Sky nakal. Semanja-manjanya Sky terhadap Laut, tetap terasa mengesalkan di mata Laut.
Otak Laut bekerja mencari kalimat yang mudah ia lontarkan. Ia ulurkan tangan ke dagu Ai dan mengusap-usapnya pakai ibu jari. Selain diusap, dipencet-pencet juga karena dagu Ai empuk mirip dagu bayi.
"Kalau aku marah, itu pasti ada alasannya. Sejauh ini enggak ada alasan aku buat marah ke kamu, buat teriak galak ke kamu." Laut menatap Ai lekat.
"Apalagi menghina," lanjut Laut. "Kamu sebaik ini ... kenapa harus dihina?"
Ucapan Laut mengingatkan Ai pada kejadian pahit semasa ia hidup di Faigreene. Itu adalah kenangan yang sebenarnya tak ingin Ai kenang. Sampai kini ia masih berharap kehadirannya diterima rakyat Faigreene. Ai masih berharap dianggap sebagai peri normal seperti mereka.
Hati kecil Ai seperti mesin yang secara otomatis memaafkan semua perbuatan mereka tanpa memilih antara A dan B. Namun detail sekecil apa pun akan terus menjadi memori kelam yang melekat di benak Ai. Ia tak menyimpan kesal, geram, apalagi dendam, melainkan hanya sedih.
Laut menyadari raut Ai muram. Lantas menjauhkan kepalanya dari paha Ai, mengajak istrinya tiduran di samping dia.
"Ai mikirin apa? Peri-peri Faigreene?" Laut menebak seraya merengkuh Ai dan membelai kepalanya.
Tebakan Laut bagai anak panah yang melesat tepat mengenai sasaran. Ai semakin tenggelam dalam dekapan Laut, merasakan kehangatan dan perlindungan dari pria bertubuh kekar itu.
Laut tidak berkata-kata, tapi perlakuannya menunjukkan ia peduli pada perasaan Ai dan berusaha menenangkannya. Tanpa melontarkan kalimat motivasi, Laut mampu menyingkirkan kesedihan yang semula menghampiri Ai.
Puncaknya saat Laut memandangi Ai dengan tatapan teduh yang sedikit sendu. Ai terenyuh. Laut begitu indah di mata Ai, laksana bintang di tengah pekatnya malam. Tanpa kehadiran bintang itu entah apa yang akan Ai lihat selain gelap gulita.
Mata Laut mengedip pelan. Hanya satu kali, tapi membuat debaran Ai meningkat berkali-kali. Ai seperti terhipnotis oleh mata perak itu sampai sulit berhenti memandanginya.
"Aku enggak sabar." Ai bertutur setelah agak lama mereka saling bungkam.
Laut bertanya, "Kenapa?"
"Pengin cerita ke Baby Aisea tentang ayahnya," ucap Ai disusul tawa kecilnya yang khas.
Perkataan Ai memberi desir hangat di dada Laut. "Emangnya Ai mau bilang apa ke anak kita?"
Maka Ai melepaskan diri dari pagutan Laut. Ia telentang dan menyentuh perut. Laut mengamati, wajahnya seketika lebih cerah dari beberapa detik lalu.
Ai mengelus perutnya dan mulai bicara pada makhluk mungil yang sebetulnya belum bisa mendengar suara dia. Laut berdebar-debar juga terharu.
Ini momen yang sebelumnya tak pernah Laut bayangkan akan terjadi di hidup dia. Momen yang lebih dari sekadar indah dan manis.
"Baby Aisea, Ibu bahagia sekali punya Ayah yang sayang sama Ibu. Enggak pernah jahat ke Ibu. Ayah juga sayang dan baik ke kamu walau kamu masih di dalam perut," tutur Ai.
"Kalau kamu sudah keluar dari perut Ibu, kita harus sayang dan baik ke Ayah juga, ya!" Ai melanjutkan.
Pada akhirnya Laut ikut menjamah perut Ai. Begitu damai rasanya. Laut bergeser sedikit demi menghapus jarak dengan istri. Tidak mau berjauhan dari Ai meski sejengkal.
Laut menatap perut Ai lama. Ia mengasihi Baby Aisea sejak pertama kali mengetahui kehadirannya di perut Ai. Rasa cintanya langsung tumbuh, dan di satu waktu ia semakin mencintai Ai.
"Jadi, sebutan kita Ibu dan Ayah?" Laut beralih menilik Ai.
Ai menoleh. "Iya. Menurut Laut gimana? Kurang menarik, ya? Enggak seperti Daza dan Mamiley yang unik. Kalau mau diganti, ayo kita pikirkan ganti jadi apa."
"Aku suka, Ai. Jangan diganti," ungkap Laut.
Panggilan Ibu dan Ayah mungkin terdengar biasa, tetapi bagi Laut itu sangat spesial dan bermakna. Ia merasa benar-benar menjadi sosok ayah. Kedengaran sesederhana, tapi nilainya tak terhingga.
"Ai juga suka." Ai membalas.
Ia pegang lagi perutnya sambil berkata, "Sehabis mengeluarkan Baby Aisea dari perut, Ai mau langsung ajak dia main ayunan. Dia akan merasakan terbang."
Laut hampir tersedak liurnya sendiri. "Enggak boleh dulu, Sayang."
"Kenapa?" heran Ai.
"Masih bayi ... nanti kalau Baby Aisea mental kayak kamu waktu pertama main ayunan, gimana?" ujar Laut, takut.
"Kalau Baby Aisea mental, dia akan jatuh ke tanah. Lalu Ai akan pungut Baby Aisea." Jawaban Ai membuat Laut pucat pasi.
Segelintir ide Ai tumpahkan lewat celetukan liarnya. Dia mau melakukan banyak kegiatan setelah melahirkan tanpa berpikir tubuhnya selemas apa nanti. Ai pengin bermain di Do-Fun sambil menggandeng Baby Aisea, membeli mainan sayap peri ukuran kecil lalu melempar Baby Aisea ke udara, mengajak Baby Aisea berendam di Crystal Lake, dan masih banyak ide lainnya yang tak sanggup Laut dengar.
Ai masih belum bisa membayangkan sakitnya melahirkan versi manusia. Yang ia bayangkan semudah peri betina menghasilkan bayi, yaitu dengan cara mengeluarkan sebuah bola putih kecil dari area privasi, kemudian bola putih itu dipelihara sampai saatnya bayi peri muncul.
Tugas Laut sekarang adalah membatalkan niat besar Ai yang ingin mengajak Baby Aisea main ayunan di hari pertama kelahirannya. Memang cara berpikir peri rada-rada, ya. Laut sampai bingung harus mengatakan apa supaya Ai cepat mengerti maksud baiknya.
"Laut belum tau, ya? Setiap bayi peri yang baru lahir itu langsung dilempar ke udara. Ai enggak dilempar karena enggak punya sayap. Ibu bilang Ai hanya diangkat-angkat ke udara sambil dipegang erat oleh Ayah." Ai bercerita.
Laut terbelalak sekilas. Ia baru mengetahui cara orang tua peri mengajarkan anak mereka terbang. Betul-betul diajar sejak baru dilahirkan, tak menunggu sedikit lebih besar.
"Karena Ai enggak tau Baby Aisea punya sayap atau enggak, jadi Ai mau siap-siap dari sekarang untuk bawa dia main ayunan. Main ayunan itu kombinasi yang pas antara dilempar dan diangkat ke udara," papar Ai.
Selayang imajinasi muncul dalam benak Laut mengenai bayi imut yang terlempar dari ayunan. Laut bergidik, tak mau menghadapinya di dunia nyata. Ia mana tega bila itu terjadi ke anaknya.
Laut meminta Ai berhenti memikirkan itu demi ketenangan batinnya. Alam seperti mendukung Laut karena tiba-tiba muncul seekor kucing gembul dari balik batang pohon besar di belakang mereka. Makhluk itu menarik perhatian Ai secara penuh. Ai langsung menghentikan topik mengenai Baby Aisea dan ayunan, kini menatap kucing penuh rasa ingin tahu.
"Hey, kucing bulat! Cantik sekali kamu." Ai menyapanya girang.
Kucing berbulu lebat ini adalah kucing yang menghampiri Laut dan Ai ketika pertama kali duduk-duduk berdua di tepi Crystal Lake sambil makan nori pedas yang membuat Ai menangis. Kala itu si kucing masih kecil, sekarang dia telah tumbuh besar.
Suara kucing putih itu dulunya "meow" sangat lucu dan melengking, kini telah menjadi "maong" yang maskulin.
Kucing itu mendekati keranjang makanan yang penutupnya terbuka setengah. Aroma lezatnya air fryer chicken breast tercium, membuatnya ingin merebut makanan tersebut dari sang pemilik.
"Laut, dia mau keranjang kita." Ai berujar.
"Dia mau isinya, Sayang." Laut membalas, lebih realistis.
Mereka beranjak duduk barengan. Laut meraih keranjang makanan dan mengambil sepotong daging ayam untuk diberi ke kucing. Ia taruh daging ayam di atas daun selebar telapak tangan orang dewasa.
"Maong!" Si kucing memarahi Laut karena hanya dikasih satu potong. Mungkin dia maunya tiga.
"Makan dulu segitu, abis apa enggak. Itu ukurannya gede," ceplos Laut seolah mengerti apa yang kucing pikirkan.
"Mweh!" Kucingnya melengos dan menyamperi Ai, langsung menggesekkan badan ke tangan Ai. Ia bermaksud minta ditambah daging ayamnya.
Ai berantusias memegang badan kucing. Dia elus-elus sambil memuji penampilan memukau si kucing. Meski hidup di hutan, bulunya yang putih itu bersih dan cerah seperti baru melakukan grooming. Bukan putih butek.
"Makanlah. Itu ayam buatan suamiku," kata Ai sambil melirik daging ayam tadi.
Kucing ini pergi menuruti Ai. Dia bersikap manis dan penurut di depan Ai, tapi jual mahal sama Laut. Muka juteknya semakin jutek ketika dia sedang makan.
Ai amati terus sampai daging ayam tersisa setengah. Ia kepikiran sesuatu. "Laut, kita harus kasih dia nama."
"Boleh. Kamu mau namain apa?" tanya Laut.
"Laut aja yang kasih! Laut itu pintar sekali dan cepat berpikir kalau kasih nama," tutur Ai.
Laut mengalihkan wajah, malu dipuji. "Biasa aja, Ai."
Selang dua detik Laut langsung menemukan satu nama. Ia sebut, "Cibul."
"Cibul? Lucunya!" Pupil Ai membesar. "Benar, kan, apa yang Ai bilang ... Laut cepat berpikir kalau cari ide nama."
"Iya, muncul gitu aja di pikiran aku. Singkatan dari kucing bulat. Tadi kamu nyebut dia bulat," terang Laut.
Laut senang mendengar Ai bicara sebab tutur katanya halus dan berlogat unik, otomatis dia selalu menyimak setiap Ai bercakap. Laut bagaikan tanah subur dan Ai adalah air yang sekali menetes langsung menyerap ke tanah.
Matahari menembak cahayanya tipis-tipis dari celah pohon. Di bawah baskara yang tidak terlalu terik, Ai pergi mendekati sederet tumbuhan yang tak jauh dari tempat mereka bersantai menikmati alam.
Laut menyaksikan Ai mencabut daun talas lebar dan membawanya ke dekat kucing. Ai menuang air mineral dari botol ke atas daun itu. Sambil menebar senyuman cantik, ia memberi Cibul minum.
Tatapan Laut menghangat dan enggan berpaling dari Ai. Ia semakin mengagumi istrinya yang memiliki hati baik. Ai sangat peduli pada sekitarnya.
"Minum yang banyak, Cibul. Jangan khawatir kita kehabisan air," kata Ai.
Cibul tak mampu berpikir selayaknya manusia atau peri, tapi dia tau ada banyak sumber air di Hutan Nueva yang selalu menjadi tempatnya menghapus dahaga. Cibul itu kucing jantan yang senang jalan-jalan sendirian mengelilingi hutan. Dia tau letak-letak danau, sungai, bahkan pantai yang tersembunyi di belakang hutan ini, pantai tempat Laut dan Ai menikah.
Banyak kucing betina mendekati Cibul dan minta dikawinkan, tapi dia menolak semua ajakan itu. Dia tak mau berbagi benih. Mentang-mentang paling gembul dan cool, dia merasa punya keistimewaan yang langka. Cibul akan menjauh bila didekati kucing lain.
Air di daun talas habis berbarengan seekor kupu-kupu hinggap di rambut Ai. Cibul lanjut memakan ayam, sedangkan Ai menunggu sampai ayam itu ludes.
Laut ingin memberi tahu, tetapi takut Ai refleks mendongak dan kupu-kupu itu terbang. Jadi, Laut mengabadikannya dalam bidikan kamera ponsel. Ia kasih lihat hasil fotonya ke Ai, tak menyangka itu membuat Ai sangat bahagia.
Ai begitu girang mengetahui tadi ada kupu-kupu biru menempel di kepalanya. Ia tatap terus foto itu sampai berbinar-binar. Reaksi Ai yang seantusias dan seterharu ini amat berharga bagi Laut. Seketika, sebuah rencana muncul di pikirannya.
"Ai, sore ini mau ikut aku ke studio tato?" ajak Laut.
Tanpa berpikir panjang dan sebenarnya dia tidak tau itu tempat apa, Ai tetap menyahut penuh semangat. "Mau, Laut!"
Bahkan Ai akan siap mengelilingi dunia asal perginya bersama Laut. Mereka tak bisa dipisahkan ... bagai pantat dan kentut. (ෆ˙ᵕ˙ෆ)♡
ʚ༺❀༻ɞ
Ry marah menerima kabar dari bawahannya mengenai Kahr. Putra tunggalnya diketahui tinggal bersama seorang perempuan berbulan-bulan lamanya. Fakta yang menyulut kemarahan Ry kian besar ialah perempuan tersebut merupakan penari tiang yang cukup terkenal di sebuah tempat hiburan malam.
"Namanya Riz Janessa, Nyonya. Usia dua puluh enam tahun. Dia terkenal di hiburan malam bernama Ravenox sebagai penari tiang dan ...." Pria muda di hadapan Ry menggantung kalimatnya. Ia takut terlalu tidak sopan menyebut pekerjaan lain Janessa.
"Etika, Moses! Bicara dengan saya jangan setengah-setengah! Kamu paham itu," sambar Ry.
Moses segera menyelesaikan kalimatnya yang terhenti. "Maaf, Nyonya. Maafkan saya. Dia penari tiang sekaligus pelacur di sana."
Keinginan Ry untuk menyeret Kahr kembali ke rumah ini semakin besar. Ry tidak yakin hidup Kahr aman dan sejahtera bila ia biarkan berkeliaran bebas di luaran sana tanpa mengawasan.
Ibu-ibu bau uang ini sadar sepenuhnya dia banyak salah. Dia pernah memilih jalan yang sesat, yakni menyimpan banyak lelaki, tetapi sekarang dia sudah bertobat dan belajar setia hanya kepada suami barunya.
Ry mau lebih perhatian terhadap Kahr. Ia paham betul selama ini Kahr kecewa, sedih, kacau, tak senang akan sikap cuek Ry. Bukan maksud Ry sengaja mengabaikan Kahr ... karena saat itu Ry juga masih mencari pelipur lara setelah ditinggal mendiang suami dan anak pertamanya.
Hati Ry sakit kehilangan dua orang yang begitu ia cintai dalam satu waktu. Tersisa satu orang yang sayangnya sulit akur dengan dia. Ry frustrasi hingga akhirnya mencari pelampiasan.
"Ada informasi lain tentang pelacur itu?" tanya Ry.
Moses menjawab, "Dia berasal dari keluarga yang berada, tapi berantakan, Nyonya."
"Berada? Hasil menjual diri?" respons Ry.
"Benar, Nyonya. Tarifnya fantastis sampai mencapai angkat ratusan juta," jawabnya.
Kepala Ry rasanya kencang sekali. Seperti dihimpit dua sak semen dari kiri dan kanan. Tekanannya membuat Ry menyentuh pelipis sambil meringis kecil.
"Pastikan hari ini Kahr keluar dari apartemen itu. Bawa dia kembali ke sini, Moses." Ry menitah.
"Baik, Nyonya."
"Putuskan hubungan mereka. Jangan sampai pelacur itu mendekati anak saya lagi," tambah Ry.
"Baik, Nyonya. Segera saya lakukan." Moses membungkuk dan pamit.
Ry tidak habis pikir. Kelakuan Kahr sudah melewati batas. Di tengah suntuknya suasana hati, Baleno alias suami Ry muncul dari dapur membawa minuman segar. Ia datangi Ry yang duduk di sofa dengan wajah ditekuk.
"Hey." Baleno menempati bagian kosong sofa di sampingnya. "Ada apa?"
"Kahr," jawab Ry letih.
Baleno menyerahkan satu minuman tadi untuk Ry. Ia seraya bertanya, "Kenapa lagi Kahr?"
"Dia berhubungan sama pelacur. Ini enggak bisa dibiarin, Sayang. Aku mau Kahr balik ke rumah ini." Ry bertutur.
Ini merupakan kabar yang kurang enak di telinga Baleno. Ia membuang napas lelah dan mengangguk. "Iya, lebih baik dia pulang ke sini, Ry. Setiap aku ketemu Kahr, dia kelihatan enggak punya arah tujuan yang jelas tentang hidupnya. Dia muram dan tatapannya kosong."
Ry setuju. "Kamu benar."
"Dia mungkin belum bisa terima kehadiranku, tapi aku berusaha bangun hubungan baik sama dia, Ry. Dia keras kepala, dan aku juga keras kepala. Memang sulit buat menyatu, tapi aku enggak mau ini berlangsung selamanya." Baleno mencurahkan isi hati.
"Kamu bilang dia suka skateboard ... sebenarnya aku pernah punya ide buat bikin lapangan khusus dia bermain skateboard di sekitar rumah ini. Aku siap latihan main skateboard biar Kahr punya teman. Itu bisa bikin Kahr betah," papar Baleno.
Mata tajam Ry pelahan sendu. Tak menyangka kalimat itu tercurah dari mulut Baleno. Ia tidak mengira Baleno perhatian terhadap Kahr.
Ry tersanjung. Ia tak salah pilih melepas Yama dan mempertahankan Baleno. Suaminya memang jauh lebih baik dari Yama yang hanya memanfaatkan kekayaannya, tak melibatkan ketulusan cinta sama sekali.
"Sayang, semoga suatu hari Kahr bisa terima kamu. Bagaimana pun juga sekarang kamu adalah ayahnya. Aku tau ini berat bagi Kahr, tapi ... hidup terus berjalan, kan?" Ry berujar.
Baleno mengangguk. "Anakmu itu baik. Dia cuma masih terjebak di masa lalu, sikapnya jadi agresif ke setiap lelaki yang dekat sama kamu. Dia merasa kehadiranku bikin kamu lupa mendiang ayah kandungnya."
"Jangan dipaksa buat terima aku dalam waktu dekat. Kahr butuh waktu yang enggak singkat," imbuh Baleno.
Keputusan Ry semakin bulat. Kahr harus pulang ke rumah ini dan menjalankan hari tanpa kehadiran pelacur yang memberi pengaruh buruk. Ry akan sering-sering mengajak Kahr liburan demi memperbaiki hubungan buruk keluarga kecil ini.
Ry sangat-sangat merindukan Kahr. Dia mau yang terbaik untuk anaknya.
ʚ༺❀༻ɞ
Pintu kaca terbuka otomatis mendetektsi kehadiran Laut dan Ai. Sebuah robot berwujud wanita dengan seragam bertuliskan "Mal's Tattoo" menyambut kedatangan mereka. Senyumnya terukir disertai kedipan mata yang manis.
Mal's Tattoo sore ini sepi. Biasanya ramai di jam malam. Laut merasa lega mengikuti kata hati untuk datang sore-sore.
Laut mengeratkan pagutannya pada jemari Ai. Ia berjalan lurus tanpa membalas sapaan robot. Sementara itu, Ai jalan sambil melambaikan tangan ke robot dan mengamati terus sampai kepalanya tertoleh ke belakang dengan tampang penasaran.
"Laut, itu makhluk apa?" tanya Ai seraya mendongak menatap Laut.
"Robot, Ai. Teknologi buatan manusia," jawab Laut.
"Oh, iya ... robot." Ai mengangguk paham. Teringat pembahasan tentang robot ketika mereka bersantai malam-malam di halaman depan rumah.
Mereka terus melangkah sampai bertemu dinding putih berisi deretan tombol yang memiliki fungsi berbeda-beda. Laut menyentuh tombol pemanggil asisten Mal.
"Ada ayunan." Ai melihat benda besar itu di pojokan. Bentuknya mirip telur. Alas duduknya dilapisi bantalan empuk yang memanjakan bokong dan punggung.
Laut ikut menoleh ke sana. Ia menemukan sebuah sign di dekat ayunan. Ada tulisan besar, dituju buat orang tua yang datang kemari membawa anak.
Tulisannya; Taruh anakmu di sini agar pengerjaan tato lebih menyenangkan.
Selain anak-anak, orang dewasa juga boleh menempati ayunan tersebut. Namun, biasanya para bocil yang naik supaya tidak menciptakan kebisingan selama orang tua mereka sedang melakukan pelukisan kulit. Tersedia camilan juga di lemari pendingin yang tak jauh dari ayunan.
Kurang dari dua menit, asisten Mal menampakkan diri. Dia bertanya apa yang Laut butuhkan. Maka Laut berkata ingin bertemu Mal, pemilik studio tato ini.
Asisten itu balik lagi ke lantai dua untuk memenuhi permintaan Laut. Tidak lama berselang, Mal datang. Ia menghampiri Laut sambil mengingat-ingat apakah sebelumnya mereka pernah bertemu atau tidak. Wajah Laut tak asing bagi Mal, tetapi dia agak lupa.
"Mal." Suara Laut memecah keheningan.
Karena suara khas itulah memori lama Mal langsung kembali. "Laut? Laut yang waktu itu, ya?!"
Laut mengangguk singkat sembari menjabat uluran tangan Mal. "Saya terakhir ke sini lima tahun lalu."
"Wah, pantasan saya agak lupa! Sekarang sudah ingat. Dulu kamu ke sini pakai seragam sekolah, kan? Ha...ha...ha...!" Pria beranak tiga itu tertawa sampai perut buncitnya berguncang.
Tawa Laut hadir, jauh lebih samar dari Mal. Iya tak akan pernah melupakan pengalaman pertama datang ke tempat ini bermodal nekat. Datangnya sendirian, celingak-celinguk, canggung, lalu Laut bikin Mal terharu saat berkata ia datang untuk membuat tato inisial nama ibunya.
Beberapa bulan setelah membuat tato mungil huruf "A", Laut datang lagi menambah tato gambar ombak laut seukuran bibir batita di garis tulang pinggul kiri. Warnanya hitam.
Cengiran lebar Mal belum susut lantaran senang bertemu pelanggan lamanya. Ia berdecak kagum menyadari Laut tambah tinggi. Wajahnya makin tampan dan dewasa, dulu itu masih ada kesan imut seorang remaja. Rambut Laut masih berwarna hitam-putih, bedanya sekarang agak panjang ... sedangkan dulu sangat pendek sampai tak melebihi telinga dan leher. Suara Laut tidak terlalu beda, versi sekarang tetap agak serak namun jauh lebih berat. Agak seraknya itu yang dikenali Mal.
Penampilan fisik Mal juga tak banyak perubahan. Ia tetap bertubuh tambun. Bedanya dulu Mal gondrong, sekarang botak. Tato di muka sampai sekujur badannya tambah banyak.
Setelah flashback singkat, Mal beralih menatap sosok cantik di samping Laut. Penampilan Ai yang serba tertutup seperti akan bermain di salju membuat Mal gemas. Ini jelas saja bukan musim dingin.
Mal bertanya sambil memamerkan seringai lucu kepada Ai, "Ini siapa?"
"Aku Ai," ucap Ai.
Lalu Ai menengadah ke Laut. Ia akan selalu mendongak setiap berdiri di samping Laut jika ingin melihat wajahnya. Kalian pasti tau alasan Ai melakukan itu.
"Ayah Laut, Ai boleh main ayunan?" Ai bercakap, tersisip permohonan.
"Eh? Ayah?" Mal membulatkan mata sebulat-bulatnya. Kaget mendengar Laut dipanggil 'ayah'.
Laut belum sempat merespons Mal lantaran harus menanggapi Ai terlebih dahulu. Ia biarkan istrinya menghampiri ayunan itu dan main sendirian. Asalkan Ai senang dan anteng.
Tatapan Mal berpindah ke Laut. Ia mengajukan pertanyaan sedikit ragu, "Kamu sudah punya anak, Bro?"
Pandangan Laut tak lepas dari Ai yang barusan naik ke ayunan. Tatapan penuh kekaguman. "Dia istri saya, Mal. Kadang manggil saya Ayah semenjak hamil."
"Eh?!" Mal tambah terkejut. "Istrimu? Sedang hamil?"
Laut mengangguk bangga. Tidak kelihatan adanya senyuman lebar, tapi Mal bisa rasakan kebahagiaan dari sorot mata Laut. Lima tahun tak pernah bertemu, kini Laut muncul di hadapan Mal membawa kabar gembira. Mal ikut senang. Mereka itu tak terlalu dekat, tetapi rasanya sangat akrab.
Sesuai request Laut, pengerjaan tato akan dilakukan di ruangan yang sama dengan keberadaan Ai. Biar Laut bisa curi-curi pandang ke istrinya. Sekalian memantau, takutnya Ai melakukan sesuatu yang bikin Laut jantungan.
"Tato yang dulu masih aman? Saya ingat, kamu bikin dua tato. Di mana, ya?" Mal bertutur sambil mempersiapkan alat-alat untuk menato.
"Aman. Di selangka sama pinggul," tanggap Laut.
"Nah! Ukurannya super kecil. Imut-imut. Seimut istrimu." Mal terkekeh. "Ternyata dari dulu Laut suka yang imut."
Itu merupakan ketidaksengajaan yang dengan senang hati Laut akui kebenarannya. Dia menyukai sesuatu yang imut. Sekali lagi Laut melirik Ai sembari duduk di kursi khusus.
"Sekarang mau bikin tato di mana, Laut? Bentuk apa?" Mal menanya.
"Punggung kanan, Mal. Saya mau bikin contohnya sendiri," tutur Laut.
"Siap! Gambar di sini, Bro." Mal menyerahkan iPad beserta stylus kepada Laut.
Laut mulai menorehkan idenya di atas layar. Ia tidak jago dalam menggambar, tetapi Laut mencoba sesuai kemampuannya. Setiap tato yang tertoreh di kulit Laut bukan sembarang tato. Semuanya memiliki arti penting di hidupnya.
Tato huruf A di tulang selangkanya adalah inisial nama Amberley, wanita yang paling ia cintai. Tato gambar ombak laut di tulang pinggulnya mempunyai arti keikhlasan, setia, dan tidak mudah putus asa.
Tato terbarunya kali ini tentang Ai, sosok paling unik dan spesial di hidup Laut.
🤍✨🎀✨🤍
Babygeng, thanks udah baca, vote, dan comment! 🤍
next? wajib VOTE sekarang juga! klik bintang di pojokan ⭐️
spam "💜" di sini!
6K comments next yaa
——————————————
jangan lupa share cerita SCENIC ke bestie, crush, fams, siapa pun yang kamu punya yaa! 😄🤍 kalo kamu mau post di instastory, tag aku (@radenchedid) biar aku repost ok ;)
Thank you, Babygeng 🦋✨🍃
——————————————
FOLLOW INSTAGRAM:
@radenchedid (aku)
@alaiaesthetic (semua tentang karyaku)
Love you and see you, Babygeng!
—Mamigeng—
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro