22. Peri Nakal
22 ʚɞ Peri Nakal
Laut meninggalkan kamar mandi lebih dulu daripada Ai yang masih asyik bermain air di bathtub. Rambut Laut berantakan dan dia rapikan sekilas dengan mengibasnya ke belakang. Ia berjalan ke kamar hanya memakai handuk yang melilit di pinggul.
Sebelum berpakaian, Laut menghubungi pelayan rumah via telepon. "Tolong bawa pakaian lengkap Ai ke kamar saya sekarang. Yang simple aja. Thanks."
Sambil menunggu pelayan datang, lelaki ini menghampiri lemari untuk segera menutupi tubuh telanjangnya. Laut memilih kaus polos hitam lengan panjang yang dipadu celana jogger abu terang.
Tiga detik usai Laut selesai berpakaian, seorang pelayan datang memenuhi panggilannya. Laut menebak yang membawakan pakaian Ai adalah Suri, dan tebakan dia benar.
"Ini pakaian lengkap Nona Ai, Tuan Muda." Suri berucap setelah pintu kamar dibuka.
Laut menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Suri mengangguk, maka cepat-cepat melipir dari hadapan Laut.
Sesungguhnya Suri agak penasaran kenapa Laut sampai meminta dibawakan pakaian Ai ke kamarnya. Sebagai manusia yang dianugerahi rasa kepo, tentu Suri bertanya-tanya.
Laut membawa pakaian berwarna ungu pucat ini ke kamar mandi. Semoga saja Ai sudah mau keluar dari bathtub. Terkadang sulit membujuk peri air itu bila ia sudah larut dalam kegiatan yang disukainya.
"Ai, kapan mau sele—" Laut baru melongok ke dalam, seketika ia berhenti bicara dan refleks memundurkan kepala lagi.
"Astaga, Aicalla." Dia sekaget itu.
"Ya? Aku sedang meregangkan otot walau aku enggak punya otot sebesar kamu." Ai menyahut dari dalam.
Lama-lama Laut mau resign dari rumah ini. Barusan ia melihat Ai berdiri di dekat bathtub tanpa pakaian, menghadap pintu, sedang mengulurkan kedua tangan ke atas yang tadi ia sebut meregangkan otot.
Sambil membuang napas panjang, Laut mengusap wajah. Ia menyesal kenapa harus mengecek ke dalam kamar mandi. Kan bisa bicara saja dari luar.
"Peri juga bisa olahraga, tau ... olahraga yang paling Ai suka adalah berenang." Ai menyampaikan informasi baru kepada Laut.
"Tapi, aku enggak suka berenang di sungai karena arusnya besar. Aku takut kehilangan nyawa seperti Ibu," lanjut Ai. Sehabis mengatakan itu ia cemberut.
Di depan pintu Laut masih berdiri memegang pakaian Ai. Ia tak merespons ucapan Ai lantaran masih diselimuti kecanggungan. Kalau begini, Laut tidak tau bagaimana cara mengajak Ai keluar.
"Hai, Manis." Tiba-tiba peri nakal itu muncul di pintu.
Laut tersentak sangat kaget. Bahunya sampai bergetar spontan serta matanya terpejam sekilas. Kasihan jantung Laut bila setiap hari menghadapi tingkah Ai yang membuatnya resah terus.
Wajah imutnya begitu tenang saat berkata, "Aku sudah selesai berendam. Airnya hilang setelah aku tekan tombol pembuangan air seperti ajaran kamu. Tombolnya bulat seperti bulatan dada Laut—"
"Ai, pake handuk dulu. Ada di dalem, digantung deket bathtub." Laut bicara terburu-buru, ia tidak sedikit pun melirik Ai. Takut khilaf lagi.
Ai masih terus memandangi Laut yang tak membalas tatapannya. "Kamu enggak lihat aku, tapi bisa tau aku belum pakai handuk. Hebat sekali Laut-ku. Apa mungkin kamu punya mata tersembunyi di samping kepala?"
Bulu-bulu Laut meremang ketika Ai mendekat. Laut spontan bergeser memberi jarak secara halus. "Bisa kerasa, Ai. Kerasa ada hawa-hawa peri telanjang di deket saya."
Nyatanya Laut sempat melihat figur Ai dari ujung mata. Sedetik. Dia langsung menyelamatkan pandangan dari pemandangan berbahaya tersebut.
"Aku enggak bisa merasakan hawa manusia telanjang. Bagaimana caranya, Laut?" celetuk Ai.
"Enggak bisa diajarin. Ini udah ada dari lahir." Laut tak sadar suaranya memelan dan agak tersendat, saking paniknya dia karena Ai kembali mendekatinya.
Tetes demi tetes air menitik dari rambut Ai. Badannya yang basah juga menambah banyak jejak air di lantai. Jejak kakinya yang kecil tercetak di situ, arahnya dari kamar mandi menuju Laut.
"Oh, baiklah. Aku jadi penasaran ... kenapa manusia memakai handuk setelah mandi? Kalau dimandikan Ibu Suri, aku selalu dipakaikan handuk." Ai beralih ke topik lain.
Laut menjawab setenang mungkin meski nyatanya dia gelisah. "Biar badan kita cepet kering sehabis mandi. Makanya pake handuk, Ai."
"Kalau peri enggak pakai handuk. Peri hanya diam di tepi danau setelah berendam sampai tubuh kering." Ia berkata dengan senyum cantik.
"Berjemur? Enggak pake apa-apa?" sahut Laut.
"Iya, berjemur dan telanjang."
"Di tempat umum? Danau itu umum, kan? Kamu telanjang?" Laut jadi tertarik dengan pembahasan ini. Lebih tepatnya khawatir akan sesuatu.
"Iya, Sayangku." Ai mengangguk.
Fakta itu membuat semangat Laut turun drastis. Ia kecewa pada hal yang seharusnya tak ia pikirkan. Sesak, namun di satu waktu Laut merasa reaksinya ini berlebihan.
"Ayah selalu marah kalau aku mandi di danau yang umum untuk peri. Jadi, aku selalu mandi di danau samping Istana. Danau itu hanya boleh dipakai aku, Ayah, dan Ibu saat masih hidup." Kalimat Ai bagai bola salju yang memadamkan kobaran api di raga Laut.
"Aku diharuskan tetap memakai pakaian kalau main di danau umum. Aku akan dimarahi Ayah kalau melanggar. Jadi, aku berusaha enggak melanggar," lanjutnya.
Laut lega sekali seperti kentut yang akhirnya meledak setelah lama ditahan-tahan.
"Oh, berarti enggak ada peri yang pernah liat badan kamu selain orang tua kamu?" Laut menyambar.
"Hm ... sepertinya enggak ada. Jangan khawatir, suami masa depanku." Ai berkata.
Laut baru ingin menanggapi, tetapi mulutnya terbungkam karena tiba-tiba Ai melompat ke hadapannya. Makhluk itu berdiri tepat di depan Laut yang kelabakan tak tau mau buang muka ke kiri atau kanan, alhasil Laut mengarahkan wajah ke atas.
"Lampu kamar saya kayaknya agak redup, ya? Harus diganti." Laut bertutur dengan debaran tidak merdu di dada. Debarnya tak beraturan akibat kelakuan Ai.
Ai ikut menengadah ke langit-langit kamar. "Menurut Ai lampunya terang, enggak redup."
"Iya? Oke, deh. Enggak usah ganti." Laut semakin canggung. Dia tetap mendongak, dan Ai bisa lihat jelas jakunnya bergerak-gerak ketika Laut menelan ludahnya yang pahit.
"Laut, kamu kenapa? Waktu aku berdiri di samping kamu, kamu menatap lurus ke depan terus. Lalu sekarang aku ada di depan kamu, kamu malah menatap ke atas." Ai kebingungan. "Aku mau dilihat kamu."
Laut sedikit merasa tak enak. Pasti tampang Ai melas. Jadilah Laut berujar, "Kamu handukan dulu, abis itu pake baju. Nanti saya mau liat kamu."
"Nih, pake yang rapi di kamar mandi." Laut menyerahkan pakaian Ai, masih tetap sambil buang muka.
Ai mengambil pakaiannya. Ia berkata, "Benar, ya, habis itu Laut mau lihat aku?"
"Iya, bener." Laut mengiakan.
"Betulan?"
"He'em, Ai."
"Oke! Aku ke kamar mandi dulu." Senyum ceria Ai begitu cepat kembali.
Ia berlarian kecil ke kamar mandi, tapi insiden mengenaskan terjadi. Ai tergelincir akibat menginjak jejak kakinya sendiri yang basah dan tersebar di lantai. Peri imut itu terjengkang, terkapar tak berdaya sembari meringis kesakitan.
"Badan Ai remuk, ya? Apakah Ai sudah meninggal?" Ia melirih.
Laut segera membantu. Di situasi seperti ini ia hanya fokus pada keselamatan Ai, tak peduli badan itu polosan. Secepatnya Laut membantu Ai beranjak duduk pelan-pelan.
"Aduh ... sakit banget ini." Laut berkata sambil mengusap-usap bagian belakang kepala Ai.
"Harusnya aku yang bilang begitu, Laut. Aduh ... sakit sekali kepala Ai," ceplos Ai sedih. Kepala, sikut, punggung, bokong Ai, semua itu berdenyut hebat.
Laut khawatir. Ia meninggalkan Ai sebentar untuk mengambil handuk. Laut sampirkan handuk ke badannya, memungut pakaian Ai yang jatuh, lanjut mengangkat Ai dan dibawa ke tepi kasur. Setelah ini Laut akan membersihkan lantai depan kamar mandi.
Saat Ai duduk, ia merintih karena bokongnya sakit. Ini pertama kali Ai jatuh menghantam lantai granit. Baginya lebih baik jatuh ke tanah berkali-kali daripada lantai sekokoh ini.
"Aku takut pantatku hilang. Laut, tolong cek ...." Ai ketakutan, ia memegangi bokongnya.
"Enggak hilang, Ai. Masih nempel di situ." Laut menenangkan.
Ai memandang jauh lantai bekas ia jatuh. Ia menyesal lari-larian di lantai yang basah. Kalau Ai punya sayap, tentu dia tak akan jatuh memalukan dan disaksikan Laut. Huhuhu ... Ai tidak sanggup membayangkan ulang kejadian itu.
Dengan hati-hati Ai mulai mengeringkan badan pakai handuk. Laut memberi ruang, ia menjauh dari kasur. Namun karena beberapa kali Ai meringis saat memakai pakaian dalam, jadinya Laut balik lagi.
"Saya bantu."
Laut membantu Ai memasang bra dari belakang. Ia juga sangat telaten memakaikan dress sederhana berbahan lembut ke badan Ai. Laut lanjut mengusap rambut basah Ai menggunakan handuk agar nantinya lebih cepat kering. Selepas itu, Laut beranjak mengambil sisir.
Ai bisa menyisir rambut sendiri, tetapi Laut ingin melakukannya. Dia baru tau rasanya menyisirkan rambut seseorang. Rambut panjang Ai membuat Laut terbayang rambut milik seseorang yang tak pernah ia sentuh seumur hidup.
"Mungkin begini rasanya nyisirin rambut Mamiley, ya?" batin Laut.
"Manisku," panggil Ai.
Laut menggumam, "Hm?"
"Menurut kamu apakah nanti aku bisa punya sayap dan terbang bersama kawanan peri di Faigreene?" Ai berujar.
Pertanyaan Ai membuat Laut bisu sejenak. Ai menoleh, ia menunggu jawaban Laut. Dalam bungkamnya Laut mengamati paras Ai dari samping sambil berpikir panjang sebelum mengeluarkan opini.
"Mungkin ... mmm, saya enggak tau, Ai. Tapi, saya berharap yang terbaik buat kamu." Laut pikir ini jawaban paling normal yang bisa ia sampaikan.
Apa pun itu, entah nantinya Ai berhasil memiliki sayap atau tidak, Laut akan tetap kagum padanya. Semua yang ada di diri Ai membuat Laut semakin hari tambah hangat.
Namun, di satu sisi Laut takut kehangatan ini kembali menggelap dan berujung membeku lama.
"Aku berharap bisa bertemu kembaranku. Semoga aku dapat petunjuk," ucap Ai.
"Iya. Semoga." Laut menanggapi.
Bila itu benar terjadi, berarti ..., "Ai mau pulang ke Faigreene, ya?" Laut bertanya.
Ai mengangguk cepat. "Iya! Aku rindu Ayah. Aku rindu lukisan wajah Ibu. Aku ingin berbincang banyak di dekat makam Ibu."
"Kalau aku punya sayap, pasti Ayah enggak usir aku lagi. Jadi, aku pengin punya sayap. Tapi, kalau aku enggak bisa punya sayap, enggak apa-apa aku di sini aja. Aku mau sama Laut juga!" Ai berseru diakhiri cengiran tulusnya.
Laut melepas napas berat. Ia tak berkomentar, hanya mengukir senyum tipis. Tidak ada waktu untuknya bersikap egois dengan meminta Ai menetap di Bumi selamanya.
Karena bagi Laut kerinduan anak terhadap orang tua akan mengalahkan segalanya, termasuk rasa sayang terhadap pasangan sendiri. Itu juga yang Laut rasakan mengenai sang Ibu.
ʚ༺❀༻ɞ
Hidangan nikmat tersaji di hadapan Ai, Laut, dan Zae. Makan malam berjalan lancar penuh kehangatan. Belum ada obrolan panjang yang terjadi dari awal mereka berkumpul di sini. Hanya sapaan pendek dan terdengar kaku antara Laut dengan ayahnya. Celetukan polos Ai yang memecahkan kekikukan itu.
Sesekali Zae melirik Laut yang menjadi lebih pendiam sejak terjadi keributan di Atlantis Apartment yang menyebabkan Sky koma.
Bersamaan itu, Laut menunduk dan mengarahkan mata ke bangku kosong di seberangnya, tepat di samping Zae. Biasanya Sky mengisi bangku itu. Walau kecewa berat dan sangat marah terhadap Sky, sampai detik ini Laut tak bisa berhenti memikirkannya.
Lirikan Zae berpindah ke perempuan di sebelah Laut. Ai terlihat menyukai creamy mac and cheese sampai tak ada jeda mengunyahnya. Namun ia tetap menjaga kerapian makannya agar tak belepotan.
"Ai Sayang, Daza belum lihat kamu minum dari tadi." Zae takut Ai mendadak tersedak.
Ai mengunyah sampai makanan itu halus, kemudian menelannya dan lanjut meneguk segelas air. Laut pun ikutan minum melihat Ai minum banyak. Mereka menyudahinya bebarengan.
Senyum Ai mengembang, ia berterima kasih karena Zae telah mengingatkannya untuk minum. Tenggorokan Ai segar sekarang.
Laut masih memandangi Ai yang kembali melahap makanannya. Ia berinisiatif merapikan rambut Ai yang beberapa helainya menjuntai ke depan, mengganggu aktivitas makan.
"Lain kali tata rambut kamu tiap mau makan, ya. Kalau dilepas gini saya takut ada yang masuk ke mulut." Laut berujar pelan.
Ai mengangguk dengan pipi mengembung diisi makaroni. Zae menyaksikan dua anaknya berinteraksi sambil menikmati hidangan lezat yang sedikit lagi ludes.
Zae melahap suapan terakhir yang dilanjut meminum lemonade. Lalu ia membersihkan bibir dengan lap bersih yang hanya bisa digunakan satu kali. Selepas itu Zae mulai bersuara lagi.
"Laut." Panggilan Zae membuat Laut menoleh cepat.
"Iya, Daza." Laut menyahut.
Dari kemarin Zae ingin menanyakan ini. Ia rasa inilah waktu yang tepat untuk mengutarakan isi benaknya. "Kamu lebih pendiam sejak insiden itu, Laut. Kamu menghindari keluarga besar. Bahkan kamu enggak leluasa bicara sama Daza."
Bukan Laut saja yang mendengar, tapi Ai juga. Ai tau apa yang sedang Laut rasakan sampai-sampai tak mau ke rumah sakit untuk melihat Sky.
"Kamu merasa bersalah, Nak? Kamu merasa salah sudah bikin Sky begitu?" Zae berujar.
Laut tertunduk. Ai yang pengertian itu tak mau membeberkan fakta mengenai perasaan Laut. Apalagi berkata tentang Laut yang mengajaknya ke Pulau Levanna untuk mencurahkan isi hati di makam Amberley. Ai tidak ingin membuat Laut bersedih lagi.
"Iya. Maaf, Daza." Laut masih menunduk.
"Nak ...," ucap Zae kian lembut, "Daza dan keluarga besar mengerti kenapa kamu bisa sekalap itu. Kami juga kecewa dan marah karena Sky bertingkah di luar batas. Kami paham perasaan kamu, apalagi kalian saudara kembar. Jangan merasa semua ini salah kamu, Laut."
Kekerasan bukan jalan tepat untuk menyelesaikan masalah, justru memperkeruh keadaan. Tetapi, teruntuk Sky, sekali-kali dia memang harus diajar dengan cara keras karena anak satu itu sangat-sangat-sangat degil.
Laut angkat kepala dan menghadap lurus ke Zae. "Laut enggak enak sama Daza. Laut enggak bisa kontrol diri sampe sejauh itu," akunya.
Bahkan kini 'kontrol diri' yang Laut maksud tak hanya mengenai Sky, tapi juga tentang Ai. Kata-kata negatif seolah mengepung Laut, membidiknya tajam seperti dia baru saja melakukan tindak kriminal dan siap ditembak oleh tiap kata yang membentuk panah.
Perkelahian, zina, perkelahian, zina, perkelahian, zina.
Kepala Laut mau meledak seperti bom atom. Kalau Laut menatap refleksinya di cermin, dia menemukan dirinya ternyata tak jauh lebih baik dari Sky. Dia juga sama buruknya.
"Sok ngajarin Sky, padahal lo juga tolol. Sok nasihatin Sky, padahal lo juga buruk." Laut memaki diri.
"Tapi, siapa lagi yang bisa marahin Sky kalo bukan gue? Cara Daza terlalu halus. Gue enggak terima kalo Sky bertindak kurang ajar sama Daza karena Daza lembut, enggak pernah marah sampe meledak-ledak di depan anak," batin Laut.
"Gue hajar lagi kalo Sky berulah. Ah ... pikiran gue jelek banget." Laut pusing sendiri.
"Masih lebih jelek pikiran Sky. Otaknya ketutup virus pelacur. Dia nikah tanpa keluarga tau." Laut memang lebih cerewet dalam hati. "Sebodoh itu dia. Hubungan tanpa restu orang tua apa gunanya?"
Meja makan berubah sangat hening lantaran Zae dan Ai sama-sama diam menatap Laut yang bengong lumayan lama. Matanya sedikit lebih besar, dari tadi tidak kedip.
"Laut? Malah melamun," celetuk Zae.
"Sadar, Manis. Jangan buat aku dan Daza takut." Ai mengibas tangan di depan wajah Laut.
"Hah?" Laut mengerjap, rohnya sudah balik ke raga.
Laut segera minum sampai gelas bersih. Dia meminta maaf sekali lagi kepada Zae karena melamun di waktu yang tidak tepat. Konsentrasi Laut buyar, dia kehilangan arah jalan pulang.
"Daza, calon suamiku ini memang lagi kurang baik keadaan hatinya. Dia juga sulit berpikiran tenang." Ai berujar, ia menatap Zae sambil mengusap kepala Laut.
Zae membulatkan mata mendengar ujaran Ai. Reaksi Laut begitu mirip dengan ayahnya. Mereka dibuat tertegun oleh dua kata yang Ai ucap, yakni calon suamiku.
"Calon suami?" Zae mempertanyakannya.
Ai mengangguk. "Benar, Daza. Calon suami masa depanku yang manis dan enggak akan poli-poli."
"Poli-poli? Apa itu, Ai?" tanya Zae.
"Poligaram," tutur Ai ragu.
"Poligami, Daza. Mmm ... ini pembahasan random aja waktu itu. Kayaknya nempel terus di kepala Ai. Daza jangan pikirin ini, ya." Laut bertutur, pucat pasi karena tingkah Ai.
"Kamu benar, Laut. Wajah, suara, dan semua yang kita lakukan bersama menempel terus di kepala aku. Apalagi waktu kita di ka—"
"Daza, malem ini kita mau jenguk Sky? Ai kayaknya mau ke sana." Laut memperbesar suara, ia sengaja menghentikan ucapan Ai yang berbahaya.
"Iya, Daza! Aku mau lihat Sky!" Ai dengan cerianya berseru.
"Aku juga mau menikahi Laut di suatu hari nanti," celetuk Ai, dia menatap Laut dipenuhi rasa kagum amat besar.
"Laut Manisku, wajahnya merah sekali." Ai menyentuh pipi Laut dengan telunjuknya.
Zae bingung, tapi ia tak berhenti mesem-mesem. Ai sangat aktif membuat Laut panik dengan kalimat-kalimatnya yang tak terduga. Wajah Laut yang merah bikin Zae makin sulit menahan senyuman.
"Ada apa ini? Dua anak Daza ada 'something'?" Zae mendelik curiga, dan tampangnya itu hanya menambah kepanikan Laut.
"Aku milik Laut, dan Laut milikku. Aku dan Laut ingin menikah, Daza." Ai menjawab.
Laut tidak bisa berkata-kata. Lidahnya tak berfungsi di momen segenting ini. Kalimat panjang yang ingin Laut lontarkan hanya berakhir mengendap di benak.
Zae menyipitkan, masih terus memandangi Laut dan Ai bergantian. Banyak pertanyaan seketika bermunculan di kepala Zae tentang mereka berdua.
"Benar, Laut? Kamu sama Ai ... mau nikah? Kalian satu rumah, loh. Kalian pacaran?" Zae ingin tau kejelasan ini.
Senyum Ai tak pudar, malahan dia memperlebarnya sambil menyemangati Laut untuk menjawab Zae. "Katakan, Laut. Daza harus tau tentang aku dan kamu."
Laut gelagapan. Ia berusaha menjawab sebisanya, "A ... iya, Daza. Laut emang ada pikiran buat seriusin Ai. Tapi, kami enggak pacaran. Rencananya Laut mau langsung ... em ...."
"Laut-ku gugup, ya?" Ai mengusap-usap tangan Laut.
Zae meminta Laut minum sebelum melanjutkan ucapannya biar Laut tidak grogi. Ai menuangkan air ke gelas Laut, lalu lelaki itu meneguk sampai sisa setengah.
Situasi ini mengingatkan Zae pada momen di mana ia meminta restu kepada keluarga besar Raja untuk menikahi Amberley. Ia membayangkan mukanya pasti sepucat Laut, tangan pun gemetaran parah sampai berkeringat dingin.
"Udah bisa lanjut, Nak?" Zae bertanya, tak mau menekan Laut.
Laut mengangguk samar. Ia menoleh ke Ai sejenak dan perempuan itu mengangguk juga sebagai arti mendukung Laut lanjut membicarakan ini kepada Zae.
"Daza, ini terlalu dadakan dan mungkin bagi Daza kelewatan karena Laut enggak bisa anggap Ai sebagai keluarga. Laut nemuin banyak hal yang sebelumnya enggak pernah Laut rasain sama perempuan." Laut tidak tergagap, dia lancar mengatakannya.
Laut menambah, "I need her, Daza ... she's so precious and I wanna make her my wife."
Meski terkejut dan bingung, Zae tetap terharu. Selama ini ia tak pernah mendengar Laut bercerita tentang perempuan selain Amberley. Ia tidak pernah melihat Laut tersenyum pada perempuan selain anggota keluarga. Laut terlalu dingin dan menutup diri dari dunia tentang kaum hawa.
Saking tertutupnya Laut, Zae sempat khawatir Laut tidak tertarik pada lawan jenis. Zae takut anaknya yang satu itu tak punya tujuan hidup untuk berkeluarga. Untunglah itu hanya ketakutan belaka, dan pikiran negatif Zae runtuh malam ini.
"Laut, Daza benar-benar senang kamu punya ketertarikan terhadap perempuan. Hati Daza lega. Tapi tetap, hubungan kalian harus dilandasi restu dari orang tua kedua pihak. Selama ayah kandung Ai masih ada di dunia, kalian harus pegang restu dari beliau juga, enggak cuma Daza." Zae bertutur.
Laut tak akan melupakan peran Zennor sebagai ayah Ai. Ia tidak berani menikahi Ai tanpa restu Zennor. Laut tau ini rumit, tetapi di hidup Laut tak ada pilihan untuk menyerah sebelum mencoba.
Zae berseru kembali, "Malam ini Daza akan minta Maddox cari cincin tunangan terbaik."
ʚ༺❀༻ɞ
Belum terlalu malam, mereka bertiga menjenguk Sky yang masih ditemani beberapa keluarga besar Raja. Ketika Laut baru datang, ada seorang anak kecil yang langsung bersembunyi di belakang kaki ayahnya karena malu.
"Princess, akhirnya Laut dateng! Horeee, foto bareng!" Gallan berseru, ia memegangi tangan mungil anaknya untuk mengajaknya keluar dari persembunyian.
Laut mendekati Everlee, anak perempuan berusia tiga setengah tahun yang begitu menyukainya dan menjadikannya idola. Everlee punya keinginan besar yang belum terkabul, yaitu foto bersama Laut.
"Everlee, katanya mau foto sama Laut? Laut mau liat muka cantik Everlee, dong ...." Laut bertutur seraya berjongkok di dekat Everlee yang makin salah tingkah dan menempelkan wajah di paha Gallan.
Ai dan para orang tua gemas menyaksikan interaksi Laut bersama Everlee. Laut sangat lembut menarik Everlee ke dekatnya, lalu dipeluk dan diangkat ke gendongan.
Rambut Everlee yang ikal dan pirang itu menambah keimutannya. Fun fact, rambut pirang Everlee merupakan gen dari ibunya. Rambut Gallan memang pirang, tapi itu hanya cat, aslinya cokelat gelap.
"Ayo, foto! Wah, lucu banget posenya!" Gallan heboh, dia buru-buru mengeluarkan ponsel untuk mengabadikan manisnya Everlee bersama Laut.
Usai berfoto banyak, Laut mengecupnya sekilas pipi Everlee. Laut berkata, "Princess Everlee seneng?"
Everlee mengangguk dengan pipi bulatnya yang merah. Kemudian pandangan Everlee beralih ke Ai yang berdiri di samping kasur Sky, agak jauh dari mereka. Laut mengikuti arah pandang Everlee, maka senyum Laut terukir untuk Ai yang barusan menoleh kepadanya.
"Cantik, ya?" Laut berbisik ke Everlee.
Anak itu jujur mengatakan, "Iya. Cantik sekali ...."
Maka Laut membawa Everlee ke dekat Ai. Everlee tak berhenti menatap Ai terus, bahkan ia mengulurkan tangan ingin digendong Ai juga. Tubuh mungil Ai masih sanggup mendekap Everlee yang juga kecil.
"Hati-hati, Sayang." Laut memastikan Ai bisa menggendong Everlee.
Sehabis tergelincir di dekat kamar mandi tadi tak membuat Ai sulit beraktivitas banyak. Sakitnya hanya beberapa menit, setelah itu Ai tidak mengeluh apa-apa lagi. Dia kembali menebar senyum cerahnya.
"Aunty ...," sapa Everlee seraya memeluk leher Ai.
"Hai, Cantikku." Ai membalas sapaan itu.
Selagi Everlee aman di tangan Ai, Laut merapatkan diri ke Sky yang belum sadar. Para orang tua membiarkan Laut sendirian di dekat Sky. Lumayan lama Laut tak bergerak di tempat, diam mengamati wajah yang dihiasi banyak lebam itu.
Lantas Laut membungkuk dan bibirnya mendekati telinga Sky. Ia membisik, "Enak?"
"Lo masih beruntung karena Daza enggak izinin gue jalanin tugas sebagai Dewa Kematian, Sky." Laut berbisik lebih rendah.
🎀✨🤍✨🎀
Hai, Babygeng yang imut sedunia! Maaf yaa aku telat update. Aku baru nemu ide setelah beberapa hari votes tembus 😩😩 sad banget aku sempet kehilangan arah ... tapi udah enggak!! bahkan ide buat next chapter udah aku catet 🌷💘 makasih kalian yang setia nungguuu! 🤍
BABYGENG, AISEA ADA VERSI AU-NYA LOH DI INSTAGRAM AKU (radenchedid)
mana couple yang harus aku bikin langgeng? 👇🏿
AISEA
JANESKY
Siapa yang pengin Laut-Sky akur? 🙋🏻🙋🏻♀️
——————————————
2,8K votes buat next, jadi kamu WAJIB banget vote ya ⭐️ PLEASE PLEASE PLEASE
spam "💘" buat next!!
——————————————
jangan lupa share cerita SCENIC ke bestie, crush, fams, siapa pun yang kamu punya yaa! 😄🤍 kalo kamu mau post di instastory, tag aku (@radenchedid) biar aku repost ok ;)
Thank you, Babygeng 🦋✨🍃
Love you and see you, Babygeng!
—Mamigeng—
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro