19. Rencana
Babygeng.. Ai & Janessa baru bikin IG. Follow semua RP Scenic yuk!
19 ʚɞ Rencana
Setelah meninggalkan Hutan Nueva, Ai merasakan ada yang beda dari sikap Laut. Lelaki itu memberi jarak tanpa alasan. Kelihatan biasa saja, tapi menurut Ai ini tidak biasa.
Laut yang manis kepada Ai telah kembali ke sikap dinginnya.
Perubahan itu terjadi mendadak. Dua hari camping dilalui dengan berbagai kegiatan seru, mulai dari momen penuh tawa sampai menangis haru. Anehnya pagi ini Laut bertingkah seakan-akan Ai melakukan kesalahan besar yang membuatnya tak ingin berada di dekat gadis itu, bahkan enggan menyapa.
Di sepanjang perjalanan pulang sama sekali tidak ada percakapan yang terjadi antara Laut dan Ai. Laut menyendiri di jok belakang, sedangkan Ai duduk di samping sopir.
Ini permintaan Laut yang menyuruh sopir mengajak Ai duduk di sebelahnya. Laut bilang ia ingin sendirian di belakang. Tidak mau ada yang menemaninya, termasuk Ai.
"Laut lagi sedih, ya?" Ai bertanya kepada diri sendiri lewat percakapan batin.
"Laut murung terus ... kelihatan enggak ada semangat," lanjut Ai seraya menoleh ke belakang, menatap Laut yang pandangannya kosong dengan sedikit menunduk.
Ai kembali menghadap lurus ke depan. Ia amati jalan raya yang tak begitu dipadati kendaraan. Mobil berjalan mulus tanpa diganggu kemacetan, dan Ai pikir ini sesuatu yang baik karena mereka akan lebih cepat tiba di rumah.
"Pak Sopir, Ai mau bertanya." Perempuan pemilik rambut tebal nan panjang itu bisik-bisik ke sopir yang diketahui bernama Vian.
"Silakan, Nona Ai." Vian menanggapi sopan.
Ai berharap Laut tak mendengar perbincangan rahasianya dengan Vian. "Kalau lelaki diam terus itu apa artinya, Pak?" tanya Ai.
"Mmm ...." Vian bergumam, ia langsung paham ke mana arah pembicaraan Ai. Apa lagi kalau bukan tentang Laut yang dari tadi menutup rapat mulutnya.
Jadi, Vian menjawab sekenanya saja. "Mungkin lagi kurang minat bicara, Nona."
"Kenapa bisa kurang minat bicara, Pak? Kemarin dia minat bicara, kok." Ai makin penasaran.
"Ada beberapa alasan, Nona. Bisa jadi orang itu lagi banyak pikiran. Bisa juga karena suasana hatinya kurang baik. Atau ... memang dari lahir dia pendiam," papar Vian.
Walau Ai dan Vian bicara pelan-pelan, terlebih Ai yang sampai berbisik kecil, tapi telinga Laut masih bisa menangkap samar-samar suara mereka. Sesekali Laut melirik dua orang itu dengan posisi kepala mengarah ke jendela.
Laut sangat sadar dari awal mereka masuk mobil Ai berkali-kali menengok ke belakang sekadar ingin menatapnya. Kalau bukan untuk menatap Laut, lantas apa lagi? Hanya Laut pemandangan indah di jok belakang.
"Begitu, ya." Ai baru mengetahuinya.
Sesingkat jeda dua detik Ai bertanya lagi, "Pak Sopir punya pasangan?"
Senyum Vian terukir membayangkan betapa manis paras kekasihnya dengan potongan rambut bob pendek cokelat gelap. "Punya, Nona."
"Pak Sopir pernah mendadak jadi diam terus padahal habis bersenang-senang semalam sama pasangan? Kalau pernah, apa penyebabnya?" Ai tidak sengaja bicara normal tanpa bisik-bisik. Alhasil Laut mendengar jelas pertanyaan tersebut.
Vian bimbang untuk menjawab. Ia tidak enak membahas ini, apalagi barusan Ai bertutur lumayan kencang yang tentunya didengar Laut. Sepertinya Vian harus mengalihkan topik agar ia selamat dari sikap dingin Laut nanti.
"Nona Ai ...," ucap Vian grogi. Ia sedang memutar otak ingin menyetir pembahasan ini ke arah mana.
Kegugupan Vian diselamatkan oleh Laut. Lelaki itu menyebut nama Ai dengan nada dingin, tak selembut hari lalu.
"Aicalla." Laut menegur.
Ai menoleh terlalu cepat seperti robot yang menurut pada sistem. "Hai," celetuk Ai, mengira Laut menyapanya.
Mata bulat Ai bisa dengan mudah meluluhkan Laut. Maka ia buang muka, menahan diri dari imutnya gadis itu. Laut tak ingin ia gagal lagi melawan nafsu gila yang mengganggu pikiran serta raga.
"Akhirnya Laut mau ngomong sama aku. Aku boleh pindah ke belakang? Mau duduk di dekat kamu." Ai berkata.
"Enggak. Jangan pindah," ujar Laut.
"Kenapa? Sekarang kamu enggak suka aku dekat-dekat kamu?" Ai sedih mengatakan itu, tapi ia tetap tegar menghadapinya.
Laut tidak merespons perkataan Ai. Ia beralih mengecek ponselnya yang bergetar menandakan ada pesan masuk. Ai masih mengamati Laut, hati kecilnya mengharapkan Laut menoleh, tapi apa boleh buat ... Laut tetap menunduk, menatap layar ponsel sambil mengetik sesuatu.
Laut: Baik. Siang ini saya pasti hadir. Terima kasih.
Ai amati aktivitas Laut sampai berhenti memandangi ponsel. Usai itu barulah ia menyeletuk lagi, "Kenapa? Jawab aku."
"Enggak." Laut menjawabnya tidak jelas, tak membayar rasa penasaran Ai.
Keheningan yang kurang nyaman terjadi di mobil. Ai memindahkan tatapannya ke Vian. Ia bertutur santai, "Calon suamiku enggak mau liat aku lagi, Pak. Aku sedih."
Seketika itu juga Laut menatap Ai dengan tatapan lelahnya. "Ai ...," panggilnya.
"Enggak dengar," sahut Ai sambil menutup telinga.
"Itu kamu bisa nanggepin saya." Laut berujar.
"Cukup. Hati aku mendung karena kamu. Kalau begini lebih baik aku poli-poli." Ai berkata dramatis.
Usai itu Ai diam. Ia bersedekap, bersandar pada sandaran jok, dan memejamkan mata. Sampai puluhan detik Ai tak bicara dan ini membuat Laut mengernyit, batinnya bertanya-tanya apa yang Ai lakukan. Pikiran negatifnya mengira Ai menangis.
"Pak, Ai ngapain?" tanya Laut kepada Vian.
Vian menoleh ke Ai. Gadis itu menaruh telunjuk di depan bibir, meminta Vian tidak membocorkan kepada Laut bahwa Ai sedang sengaja mendiamkannya agar kebingungan.
"Anu ... Nona Ai ...." Vian ikutan bingung.
"Nangis? Enggak, kan?" Ternyata Laut khawatir.
"Ngg ... Nona Ai tidur, Tuan Muda." Vian menjawab. "Pura-pura tidur," lanjutnya.
Untuk yang ke sekian kali Laut melepas napas berat. Ai masih bungkam, ia tetap akting tidur padahal Laut sudah tau bahwa dia hanya berpura-pura. Ini yang dinamakan tetap berusaha meski sudah gagal.
"Enggak mau pindah ke deket saya?" Ucapan Laut bikin mata Ai terbuka lebar-lebar.
"Mau!" seru Ai.
Ia beranjak dari duduknya dan terhati-hati melangkah menghampiri Laut di jok belakang. Laut menjaga tubuh Ai agak tidak jatuh dengan cara memegangi tangannya.
"Hore!" Ai bangga ia bisa duduk di dekat Laut.
"Ai ... enggak sedeket ini duduknya. Bukan di depan saya," ceplos Laut, ia syok berat karena Ai menempatkan diri di pangkuannya dan posisi mereka saling hadap.
Wajah Vian berubah sangat merah ketika ia melihat pemandangan itu lewat spion tengah. Ia mengalihkan pandang, merasa tidak sopan karena tak sengaja menyaksikannya walau hanya sekilas.
"Oh—" Ai langsung pindah ke samping Laut. "Maaf, ya. Aku kurang fokus."
Laut bergeser sedikit menjauh dari Ai. Ia menunduk, melirik sesuatu yang tertutup celana. Aman. Tidak ada yang tegang dadakan.
Ai mencuri pandang ke Laut yang tak sekali saja membalas lirikannya. Tidak tau kenapa Laut menoleh ke jendela terus. Ia seperti sengaja tidak mau melihat Ai.
"Ai ngantuk." Dia mengadu.
"Hm," sahut Laut terlalu singkat.
Ai menguap lebar, kemudian ia geser-geser menghapus jarak sampai bisa menyandarkan kepala di lengan Laut. Dengan tenangnya Ai peluk Laut dari samping.
"Kamu tetap mau lihat wajahku, kan? Jangan buang-buang kesempatan itu, Laut Manisku. Ibu bilang wajahku langka karena mataku besar dan berwarna ungu." Ai memapar sambil mengeratkan pelukan.
"Aku edisi terbatas dan hanya ada satu di Faigreene. Jaga aku, ya, Laut. Jangan sampai aku diambil makhluk lain. Nanti kalau kamu kehilangan aku, kamu susah cari aku lagi," celetuk Ai.
Omongan Ai bikin Laut tidak tenang. Dia agak menyesal sudah bersikap kurang ramah tadi, malah mengabaikan Ai yang tak punya salah padanya.
Karena sebetulnya yang bermasalah di sini adalah Laut. Dia memberi jarak lantaran takut kejadian semalam terulang. Laut takut khilaf.
"Jangan sampai aku poli-poli—"
"Ai. Udah, jangan sebut poligami lagi." Laut menyela.
"Oke. Jangan khawatir. Aku tercipta buat Laut," ungkap Ai.
Ai memamerkan cengiran lucunya yang selalu natural. Ia mendekatkan muka ke Laut. Bibirnya menghampiri bibir Laut, membuat lelaki itu perlahan-lahan terbawa suasana.
Mata Laut perlahan menutup. Ai masih terus mengamatinya dari jarak setipis ini. Ia senyum-senyum, sangat mengagumi keindahan di depan matanya.
Sekarang bibir Laut yang lebih cepat menyamperi bibir Ai. Ia membukanya sedikit, tapi seketika Ai menepuk pipi Laut dan mengusapnya pelan-pelan. Padahal sedikit lagi bibir mereka menyatu!
Laut agak tersentak. Ia pikir Ai mengajaknya berciuman ....
"Laut kenapa menunduk? Terharu, ya?" Ai masih membelai pipi Laut.
"Aku juga terharu. Terharu artinya terjebak di hati seorang Laut." Dan Ai tertawa kecil sehabis mengatakan itu, sementara jantung Laut menggebu kencang karena tingkahnya.
ʚ༺❀༻ɞ
Tugas penelitian yang diberikan satu bulan lalu akan dibahas siang ini bersama dosen. Laut sudah sangat siap, lain halnya Sky yang tak bisa hadir dikarenakan masih dirawat di rumah sakit. Meski demikian, Sky tetap akan membahasnya via panggilan video bersama dosen pembimbing.
Laut pergi ke kampus seorang diri. Amber University amat lengang karena hari ini hanya mahasiswa dan mahasiswi semester akhir yang datang. Suasana sesepi ini adalah kesukaan Laut.
Di lain tempat, Sky duduk di depan laptop yang menampilkan wajah dosen pembimbingnya. Tugas Sky belum selesai, masih ada beberapa yang harus ia input, tetapi kondisinya tak memungkinkan Sky berkelana mencari ide dan bahan penelitian lanjutan. Ia akan diberi waktu tambahan sambil menunggu kondisinya pulih. Sky tak masalah bila nanti ia tidak lulus tepat waktu, sedikit telat dari Laut.
Empat orang tua yang menemani Sky sekarang sedang kumpul di kamar. Mereka tak akan mengganggu Sky yang harus sendirian berkomunikasi dengan dosen.
Kegiatan ini berlangsung singkat, tidak lebih dari satu jam. Kepala Sky cukup mumet selama mendengar arahan dari Gretha. Sejak kecil Sky memang tidak suka belajar.
Daripada teori, Sky jauh lebih suka praktik.
Mari kita sedikit flashback ke zaman si Kembar masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Betapa pusingnya para pengurus rumah tiap Laut dan Sky hendak berangkat sekolah. Itu karena Sky selalu kabur-kaburan mengelilingi rumah, tidak tanggung-tanggung sampai ke lantai teratas hanya untuk bersembunyi agar tak diseret ke sekolah.
Laut dengan manisnya menunggu di mobil, sedangkan Zae dan para asistennya sibuk mengejar Sky.
"Sabar, ya, Tuan Muda Laut." Kalimat ini sering Laut dengar dari sopir pribadi, pelayan rumah, dan pengawal Zae.
Lalu tanpa ekspresi Laut membalas, "Aku bukan penyabar. Aku marah."
Kalau sudah kelewat kesal dan tidak tahan melihat Sky yang selalu mengulur waktu, Laut pasti marah-marah di hadapan kembarannya itu.
"Sky, aku harus bangun lebih awal cuma karena kamu suka bikin telat, kabur enggak jelas kayak kucing liar! Lain kali kamu pergi ke sekolah sendirian aja! Jalan kaki, terbang, terserah! Dasar, pembuat sakit kepala." Laut yang masih berusia delapan tahun itu mengoceh tidak senang.
"Kamu marah?" tanggap Sky sambil menahan tawa. "Besok aku mau kabur-kaburan lagi biar kamu makin sering marah."
Plak!
Laut memukul wajah Sky.
Di luar mobil, dua anak laki-laki ini bertengkar. Mereka pukul-pukulan sambil berceloteh bising yang bikin para pekerja rumah heboh lagi dan berusaha melerai.
Zae baru muncul dari dalam rumah setelah lelah mengejar Sky yang ternyata sudah duluan ke mobil. Di detik pertama Zae lega, tapi di detik kemudian ia menepuk kening menyaksikan anak-anaknya ribut.
"Kenapa lagi ini? Ya ampun ...," ujar Zae, letih.
Sekolah merupakan tempat paling Sky tidak sukai sampai dia beranjak remaja dan menduduki bangku Sekolah Menengah Atas. Kerjaan sehari-hari Sky ialah mencari keributan dengan murid kelas lain, bikin gaduh di mana-mana, menggoda siswi-siswi cantik, dan langganan kena teguran guru.
Dulu itu rambut Sky tidak diberi warna. Aslinya hitam legam dan panjangnya melebihi telinga yang menjadi sasaran empuk razia rambut. Ia memakai satu anting bulat kecil berwarna hitam yang sudah disita ratusan kali tetap ia beli lagi dan dipakai lagi ke sekolah. Sky tidak pernah kapok meski sudah berulang-ulang kena hukuman.
Sky tidak tau malu. Laut yang malu punya saudara seperti Sky. Mereka sekelas, dan Laut diberi tanggung jawab mengawasi Sky karena guru-guru tidak sanggup lagi.
"Kerjain tugasnya. Jangan ngasal. Kasih liat ke gue semua jawaban lo sebelum jam istirahat. Lewat sedetik dari itu, gue bakar rambut lo malem ini." Laut bertutur rendah.
Merasa Laut tidak serius pada kalimat akhirnya, maka Sky mengangguk sambil cengengesan. Ia menggulir layar laptop dan mual melihat banyak sekali soal yang ia tidak tau bagaimana cara mencari jawabannya.
Sky tidak bisa kabur. Laut duduk di belakangnya, memantau dia dengan mata tajam bagai bidikan elang.
Namun karena Sky sungguh-sungguh tak paham materi ini, jadinya dia menyerah sebelum berusaha. Ia diam sepanjang dua jam dengan mata menahan kantuk.
Ketika jam berganti dan saatnya istirahat, Sky langsung lari meninggalkan tempat sebelum Laut berhasil mencegahnya. Sky terbahak riang akhirnya bisa bebas dari penjara kelas.
"Bye, Laut!" Suara Sky menggema, didengar banyak orang di luar dan dalam kelas.
Seharian itu Sky merasa bangga bisa melawan perintah Laut. Ia tidak gentar meski diberi tatapan nyalang terus oleh kembarannya. Sky menikmati hari dengan segala tingkahnya yang aneh-aneh.
Sampai tibalah saatnya senyum nakal Sky berubah menjadi kesuraman teramat sangat. Ini terjadi di tengah malam.
Laut membakar rambut Sky sampai api hampir menyentuh kulit kepala.
Sky buru-buru memadamkan api dengan benda di sekitarnya. Panas sekali. Ia mengibrit ke taman belakang rumah dan melompat ke kolam renang. Kala Sky menyembulkan kepala ke permukaan, rambutnya itu sudah tidak karuan bentuknya.
"Laut psikopat! Rambut gue beneran dibakar!" Sky frustrasi.
Sejak itulah Sky menurut pada Laut. Ia terpaksa mengerjakan tugas, ikut bantu membenahi kelas ketika piket, melepas antingnya, lengkap memakai atribut sekolah, mau mengikuti kelas tambahan, dan tidak lagi mengganggu serta menggoda murid lain.
Peringkat kelas Sky akhirnya naik, ia masuk sepuluh besar setelah selama ini stuck di posisi lima terbawah dengan jumlah murid 32 orang. Masih jauh dari Laut yang merajai peringkat utama, tapi Laut, Zae, dan guru-guru bangga akan perkembangan Sky.
Meski begitu, sekolah tetap menjadi tempat yang Sky tidak sukai selamanya. Ia senang berkumpul dengan teman-teman saja, tapi tak suka belajar. Otaknya mampu, sayangnya Sky terlalu malas dan enggan melangkah maju bila tidak didorong Laut.
Hingga sekarang Sky masih suka bermalas-malasan. Untungnya Laut peduli terhadap dia, jadi Sky tertolong dari segala kesulitan selama kuliah. Tanpa omelan dan paksaan Laut, mungkin Sky menjadi mahasiswa abadi.
"Miss Gretha, terima kasih untuk siang ini." Sky berucap formal.
Obrolan serius mereka terhenti di jam satu lewat dua belas menit. Sky akhirnya bisa membuang napas panjang setelah figur Gretha hilang dari layar. Ia merentangkan kedua tangan, meregangkan otot-otot yang kaku.
Sky menoleh ke kamar yang pintunya tertutup rapat. Langit, Alaia, Atlanna, dan Bintang belum tau urusan Sky dengan dosen pembimbingnya sudah selesai. Sky juga tidak mau langsung memberi tau.
Sesegera mungkin Sky merapikan laptop. Ia taruh di atas laci nakas. Sky pelan-pelan turun dari kasur dan meraih tongkat yang disandarkan dekat kasur. Ia cukup mudah meraihnya.
"Mumpung enggak ada yang liat," gumam Sky.
Ia menahan ringisan ketika telapak kakinya menyentuh lantai yang dingin. Sky tidak mengenakan alas kaki lantaran sulit. Lelaki ini jalan pelan-pelan dengan tongkat dan kaki kiri menampung berat badan, sedangkan kaki kanan ditekuk.
Empat orang tua tidak mengetahui kepergian Sky dari kamar.
Sky tak menyerah mencari kamar Janessa. Ia dibantu seorang penjaga yang barusan melintas dari lorong area kamar VIP menuju VVIP.
"Saya mau ke kamar pasien ... namanya Riz Janessa. Masuk rumah sakit gara-gara kecelakaan mobil malem-malem. Lupa malem kapan," papar Sky.
"Oh, perempuan yang kecelakaan sama lelaki itu, ya?" Bapak berseragam rapi tersebut bertutur.
Sky mengangguk dengan senyum lebar. "Iya! Itu saya, Pak."
Tak berlama-lama bapak ini langsung mengantar Sky ke kamar pasien yang dimaksud. Sky tidak sabar, ia sudah sangat rindu pada pujaan hatinya. Ingin segera mendekap Janessa dan menciumnya tanpa celah.
Kamar yang Sky cari-cari kini ia temukan. Bapak itu membukakan pintu, membiarkan Sky masuk sendirian tanpa ditemani. Tak ada yang menjaga Janessa. Dia tidur pulas setelah cairan infus diberi tetesan vitamin baru oleh perawat.
Narafina baru akan kembali nanti sore. Jaden dan Lev entah ke mana. Akibat terjadi keributan kemarin, hari ini mereka belum datang lagi.
"Sayang," panggil Sky. Ia berdiri di samping hospital bed, memandangi Janessa setelah menyandarkan satu tongkat ke tembok.
Sky bertahan dengan satu tongkat saja. Ia ingin menyentuh Janessa. Tangannya sedikit bergetar ketika mengusap pipi Janessa, lanjut mengelus kepalanya.
Sentuhan Sky mengejutkan Janessa yang seketika terbangun dan mengira ia akan disakiti ibunya. Ia makin terkejut saat melihat siapa yang berada di dekatnya itu.
"Sky." Janessa menyebut nama lelaki yang sejak kemarin ingin sekali ia temui.
"Wife." Senyum Sky terukir. "Sky kangen banget."
Janessa mengulurkan satu tangan. Ia raih pipi Sky dan memintanya lebih dekat. Sky membungkuk, dia mengecup pipi Janessa dengan berlanjut melumat bibirnya. Mereka berciuman mulus tanpa hambatan.
"I miss you so much, Hubby. Enggak mau ditinggal kamu. Maunya sama kamu terus," ucap Janessa di sela pertemuan bibir mereka.
"Iya, Sayang." Sky mencium sekilas bibir Janessa.
"Mereka jahat banget ... mereka enggak izinin kita ketemu padahal kita kecelakaan bareng. Mereka seegois itu," ungkap Janessa, kecewa.
"Pasti mereka mikir yang jelek-jelek soal aku. Jangan-jangan aku dituduh penyebab kita kecelakaan?" Janessa cemberut.
"Capek banget jadi aku. Dianggap buruk terus." Perempuan yang tengah hamil muda itu mendengkus capek.
"Jangan dengerin omongan orang lain, ya, Sky. Kamu harus ikutin kata hati. Kamu maunya sama aku, ya udah kita di sini aja. Biarin semua orang marah yang penting kita enggak pisah." Janessa berujar lemah.
"Kamu bener. Orang lain enggak ngerti tentang kita. Cuma kita yang paling paham," sahut Sky.
Janessa mengukir senyum tipis. Ia kecup pipi Sky, menatapnya tepat di mata sampai wajah Sky perlahan merah karena malu-malu.
Dari banyaknya lelaki yang pernah Janessa temui dan menjadi pelanggan setia, hanya Sky yang makin hari makin tergila-gila padanya. Janessa merasa beruntung akan hal itu. Kapan lagi dijadikan ratu oleh lelaki tajir-melintir yang buta soal cinta dan bersedia menyerahkan segalanya untuk sang kekasih? Tidak mungkin Janessa menyia-nyiakannya.
Hidup Janessa aman dan segalanya pasti terpenuhi bila ia tinggal hanya bersama Sky. Tanpa tuntutan dari Narafina, tanpa larangan Zae, tanpa ocehan Laut, dan tanpa pengganggu lainnya. Ini baru yang dinamakan surganya Janessa.
"Sky, kamu mau kita bahagia berdua?" Janessa memandangnya lekat.
"Mau. Kita harus bahagia berdua," respons Sky. "Enggak usah pikirin orang lain. Mereka aja enggak mikirin kita. Bener, kan?"
"Kesayangan aku ini pinter banget," puji Janessa. Omongannya menyerap sempurna dalam benak Sky.
Belasan detik berlalu, Janessa menuturkan ide yang menurutnya tepat demi keharmonisan hubungan mereka. "Badan aku sakit banget, tapi aku masih sanggup bergerak. Bawa aku pergi jauh dari sini, Sky. Kita kabur sejauh mungkin dan hidup berdua."
"Aku mau kita jalanin hari layaknya pasangan suami-istri. Kita udah nikah walau tanpa restu orang tua. Hubungan kita biar kita aja yang tau, enggak usah bawa-bawa mereka," lanjut Janessa.
"Aku tau kamu lebih pilih aku daripada mereka. Kamu lebih bahagia sama aku. Ayo, kita pertahanin ini semua dan jangan mau diganggu mereka lagi. Kita tinggal di tempat baru." Janessa berujar.
Sky begitu mudah terpengaruh ucapan Janessa. Ia berkata, "Malem ini kita pergi?"
"Tengah malem atau dini hari aja. Kita butuh bantuan satu-dua asisten rumah kamu. Kasih anceman atau upah biar dia nurut dan tutup mulut. Easy," celetuk Janessa.
"Siap, Istriku." Sky berantusias dan kembali mencium tiap lekuk wajah Janessa.
🤍✨🎀✨🤍
yuhuu~ gimana chapter 19 babygeng?
khusus chapter ini aku rencananya mau double update, tapi kalo comments malem ini sampe 5K. besok update lagi. kalo enggaa sampe berarti enggak jadi double up ya 😭🙏🏿
spam di sini "🎀" kalo bisa sampe kena target~
VOTE JANGAN LUPAAA 🤍
————————————————
jangan lupa share cerita SCENIC ke bestie, crush, fams, siapa pun yang kamu punya yaa! 😄🤍 kalo kamu mau post di instastory, tag aku (@radenchedid) biar aku repost ok ;)
Thank you, Babygeng 🦋✨🍃
Love you and see you, Babygeng!
—Mamigeng—
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro