Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Mulai Cemburu

13 ʚɞ Mulai Cemburu

Kawanan kunang-kunang terbang menghampiri Ai dan Laut yang masih berendam di danau. Laut belum melepas pegangannya dari pinggang Ai meski momen manis—dan sedikit panas—di antara mereka telah berakhir.

Tilikan Laut mengarah ke bibir merah muda Ai. Ia tatap sebentar, kemudian beralih mengamati paras ayu yang selalu berhasil menyejukkan hatinya.

Karena ditatap terus oleh Laut, maka Ai tertunduk merasa wajahnya terbakar. Tatapan teduh Laut tak pernah gagal membuat debaran di dada Ai bertambah kuat. Temponya terlalu cepat hingga sulit dikendalikan.

Laut masih memandangi Ai tanpa jeda. Sepertinya dia betah.

Sekarang Laut membuat Ai makin gugup ketika tangan kanannya terangkat dan menggapai sesuatu di bagian atas kepala Ai. Laut menyingkirkan daun kecil seukuran jempol orang dewasa yang menempel di rambut Ai. Itu pasti daun yang melayang tertiup angin dan berakhir jatuh ke Crystal Lake.

"Kamu harus mandi lagi di rumah. Pake air anget," ujar Laut.

"Kamu?" Ai mempertanyakan hal serupa.

"Iya, saya juga."

Dengan enteng Ai bertanya, "Kita bareng?"

"Apanya?" Laut mulai waswas.

"Mandinya." Senyum Ai terukir tipis.

Segera Laut membalas sebelum pembicaraan mereka semakin terdengar aneh sekaligus mengerikan. "Iya, bareng, tapi di beda tempat."

"Kalau di beda tempat berarti kita berpisah?" Ai pandangi Laut menggunakan sorotan matanya yang melas.

Meski obrolan mereka tidak bermutu, tapi setiap kalimat yang Ai ucap akan terus menumbuhkan rasa yang sebelumnya tak pernah menghampiri Laut.

Menurut Laut ini adalah rasa paling membingungkan. Itu karena di setiap ia sedang bersama Ai, rasanya ingin tersenyum terus walau situasinya tak mendukung untuk senyum-senyum.

"Enggak gitu, Aicalla." Laut akan selalu sabar menanggapi gadisnya yang rada-rada.

"Lalu? Kamu bilang enggak mau jauh dari aku karena sekarang aku rumah kamu," tutur Ai.

"Iya, tapi kalo mandi tetep harus pisah. Enggak boleh barengan di satu tempat yang sama. Kecuali kita ... nikah." Laut mengalihkan pandang di kalimat akhir. Malu.

Kalian tau, kan, Ai itu sangat lucu karena matanya besar sepert alien? Kali ini dia sadar pesona akan kelucuannya, maka tanpa ragu mencuri perhatian Laut dengan memamerkan tatapan polos. Ai menatap Laut cukup lekat, pupilnya membesar, serta matanya berkilau-kilau.

"Ayo, kita menikah." Ai berucap penuh harap, pupilnya pun kian melebar.

Lelaki pemilik hati dingin penuh kegelapan pun akan luluh bila melihat tampang Ai seperti itu. Laut tertawa kecil tanpa membuka mulut. Dia tepuk pelan pipi Ai, gemas akan tingkahnya.

"Emangnya kamu ngerti apa itu nikah?" Laut berucap setengah berbisik.

Ai menyahut, "Aku tau! Menikah itu ketika sepasang kekasih sepakat membawa hubungan ke jenjang lebih serius. Pasang cincin, berciuman, lalu hidup berdua selamanya!"

Cara manusia menikah jauh berbeda dengan bangsa peri. Di Faigreene tidak banyak syarat untuk menikah, bahkan tak boleh mengadakan pesta pernikahan bagi rakyat biasa. Pesta pernikahan yang terakhir diadakan di Faigreene ialah ketika Zennor dan Auree mempersatukan cinta mereka.

Bagi pasangan kekasih yang siap menjadi suami dan istri, mereka hanya perlu menghadap Zennor selaku Raja. Mereka akan menuturkan janji pernikahan bangsa peri dan menyerahkan hidup sepenuhnya untuk belahan jiwa.

Bangsa peri sangat setia. Mereka hanya akan hidup selamanya bersama pasangan yang telah mereka pilih. Tak akan berpisah bila bukan maut yang memisahkan.

Ai belum pernah melihat pasangan kekasih meminta restu pernikahan kepada Zennor. Ia selalu dilarang ikut campur segala urusan ayahnya. Memandang dari jauh pun tidak boleh, jadi Ai tak tau bagaimana cara peri menikah. Ia malah lebih tau cara manusia menikah, walau taunya dari bacaan novel.

Seketika itu Ai membulatkan mata sebulat-bulatnya. Ia ingat akan satu hal. Ingatannya membuat Ai syok sendiri.

"Laut, kita sudah pasang cincin dan berciuman. Artinya sekarang kita menikah?" celetuk Ai.

"Hah? Pasang cincin kapan?" Laut ikut syok.

"Kemarin ... waktu kamu beli sayap peri buat aku di Do-Fun. Ada hadiah cincin kupu-kupu yang kamu pasang ke jari aku, tapi semua jari aku kekecilan kecuali jempol. Akhirnya aku pindahin cincin itu ke jempol." Ai menerangkan.

Lalu Ai mengeluarkan tangan kanannya yang semula berada di dalam air. Ia tunjukkan kepada Laut bahwa cincinnya masih ada. Masih terpasang indah di ibu jarinya yang imut.

"Ini cincinnya," kata Ai.

Otak Ai yang suci telah tercemar akibat keseringan membaca novel romansa. Tiap adegan manis yang ia baca akan secara otomatis terbayang di benaknya bahwa lelaki itu adalah Laut, dan dia sendiri sebagai perempuannya.

"Sayang—" Laut kelepasan, ia langsung tersadar. "Maksud saya ... Ai."

Ai telanjur mendengar Laut menyebut kata yang pertama. "Sayang?" Ai kaget, ia berkedip cepat dan mulutnya terbuka kecil terkesan innocent. Kombinasi yang membuat Laut tambah gemas padanya.

"Laut, ulang lagi." Ai meminta. "Panggil aku kayak gitu. Aku mau dengar."

"Enggak. Itu salah sebut," tolak Laut, menepis kenyataan bahwa sebenarnya dia tidak percaya diri memanggil Ai pakai sebutan itu.

"Benar? Kamu salah sebut?" Ai mendelik kurang percaya. "Kalau bohong berarti Laut enggak betulan sayang Ai."

Ucapan Ai bikin Laut menahan senyum setengah modar. Ia betul-betul tidak percaya diri. Asing sekali memanggil seseorang dengan kata "Sayang" karena sebelumnya Laut tak pernah seperti itu. Sama sekali tidak pernah.

Ai merupakan perempuan pertama yang mampir ke hidup Laut. Ia perempuan pertama yang berani mendobrak pintu hati Laut sampai terbuka sedikit setelah bertahun-tahun tertutup rapat.

"Kita lanjut bahas nikah aja, ya?" Laut mengalihkan percakapan. "Nikah enggak segampang itu, Ai. Emang ada adegan pasang cincin dan ciuman kayak yang kamu sebut, tapi bukan kayak yang kita lakuin. Dalem prosesi pernikahan, dilakuinnya secara formal."

"Pernikahan itu sakral, Ai. Enggak dilakuin sembarangan," tambah Laut.

Penjelasan Laut terserap dalam benak Ai. Ia mudah memahaminya. Ai tidak membalas, hanya mengangguk sebagai arti ia mengerti.

"Jadi ... apa kita akan menikah, Laut?" Ai maju, membawa diri semakin tak berjarak dengan Laut.

Kedua tangan Laut bergeser dari pinggang Ai jadi ke atas bokongnya ketika gadis itu mendekat. Pergeserannya terjadi secara spontan, bukan rencana Laut.

"Saya—," jeda Laut, canggung lagi. "Saya enggak tau."

"Kalau kita menikah, berarti itu pertama kalinya aku hadir di tengah-tengah acara pernikahan. Aku sedih karena enggak hadir sewaktu Ibu dan Ayah menikah," tutur Ai.

"Kamu bercanda?" Laut mau ketawa keras sampai mulutnya terbuka selebar dunia.

"Aku serius." Ai menyahut tanpa senyum, dia benar-benar serius.

Namun hanya berselang detik Ai akhirnya sadar bahwa ia telah melakukan tindakan di luar jangkauan. Anak itu cengengesan. Ia mundur menjauh dari Laut karena terlalu bodoh berbicara seperti tadi.

"Aku baru kepikiran. Ya ampun, kamu pasti malu punya gadis sebodoh aku." Ai menutup wajah pakai kedua tangan.

Laut tersenyum maklum. Senyumannya memang sangat samar, tapi begitu terasa hangatnya. Ia menyentuh tangan Ai untuk disingkirkan dari wajah supaya ia bisa memandangi paras jelitanya lagi.

"Enggak, Ai. Saya enggak malu." Laut berkata.

Ai melayangkan tatapan sedih. Ia sesedih itu karena berkata tidak hadir di pernikahan orang tuanya. Ingin sekali Ai menarik kata-kata tersebut seperti sebuah pesan teks yang dihapus.

"Kamu lucu," ujar Laut seraya mengusap kepala Ai.

"Bikin saya mau ketawa." Laut melanjutkan masih sambil memainkan rambut Ai yang basah.

Reaksi Laut terlalu manis, maka Ai tidak lagi merasa malu. Dia begitu nyaman menerima belai lembut di kepalanya, merasa amat disayang dan dicintai. Senyuman serta tatapan tulus Ai menjadi tanda bahwa ia sungguh-sungguh nyaman berada di dekat Laut.

"Kamu sayang aku?" tanya Ai tiba-tiba.

Laut balik bertanya, "Kenapa?"

"Aku mau dengar." Ai berharap kali ini Laut mau melakukannya. Tadi Laut sudah menolak memanggilnya 'Sayang' lagi, semoga yang satu ini tidak ditolak kembali.

"Denger apa, Ai?"

"Kamu bilang 'aku sayang kamu' ke aku," papar Ai. "Aku beberapa kali bilang begitu ke kamu, tapi selalu enggak dibalas."

"Harus dibales lewat kata?" sahut Laut.

Ai bergumam singkat. "Mmm ... aku penasaran mau dengar. Tapi kalau Laut enggak mau, enggak apa-apa. Jangan dipaksa."

Sampai puluhan detik terlewat, Laut tak kunjung mengatakannya. Ia diam menatap Ai yang sedang menunggu, tanpa ia ketahui Ai perlahan lemas karena Laut tetap bungkam.

Laut terlalu tak bernyali untuk sekadar mengatakan tiga kata yang Ai minta. Itu sangat sederhana, tapi lidah Laut kelu melontarkannya. Rasa percaya dirinya merosot hingga ke dasar palung.

"Kamu enggak mau bilang, jadi aku aja yang bilang." Ai mengukir senyum ceria. "Aku sayang kamu, Laut."

"Iya, Ai." Laut membalas sesingkat itu.

Laut akui dirinya payah soal asmara. Dia tidak biasa mengatakan kalimat manis penuh cinta karena baginya itu terdengar aneh dan agak menggelikan. Kenapa harus mengatakannya bila bisa menunjukkan langsung lewat aksi nyata?

"Mungkin lain kali dibalasnya. Aku akan menunggu momen itu." Ai tidak sengaja berkata menggunakan bahasa peri yang tak dimengerti Laut.

"Hm?" Laut mengernyit.

"Mustahil, ya?" ucap Ai, sendu.

"Apanya?" Kernyitan Laut semakin timbul.

Ai merasa tidak enak. Ia seperti menuntut Laut untuk mengatakan tiga kata tersebut, padahal itu bukan kewajiban. Jadi, Ai berhenti membicarakannya dan kembali membahas pernikahan.

"Soal pernikahan kita ...," papar Ai, menggantung.

"Itu bukan mustahil, Ai. Buat sekarang ini saya belum siap. Saya harus pikirin semuanya mateng-mateng, persiapin segala kebutuhan, dan yakin sama diri sendiri sebelum ambil keputusan buat nikah." Laut mengira 'mustahil' yang Ai sebut tadi adalah tentang pernikahan mereka.

Ai bungkam, sedikit bingung akan penuturan Laut yang semendadak itu. Sekian detik berlalu ia baru bercakap, "Nanti kamu menikah sama aku atau orang lain?"

"Kamu bilang pernikahan kita, kan? Saya ngomong soal kita, Ai." Laut menjawab.

Kaki Ai yang semula diam mengambang di air kini bergerak mengayuh, ia kembali mengikis jarak dengan Laut. Lantas Laut menggapai pinggang Ai lagi yang sempat terlepas dari pegangannya.

"Laut ... janji jangan kasih aku harapan palsu, ya," ujar Ai.

Laut menatap perempuan itu intens. Ia tidak mengangguk, tak juga mengiakan ucapan Ai yang terdengar takut bila nanti Laut hanya memberinya harapan kosong yang tak berarti.

Mata indah Laut belum berpindah dari manik ungu keabuan milik Ai. Memandang Ai sedekat ini selalu membuat Laut teringat sosok paling berharga dalam hidupnya, yaitu Amberley.

Ia tidak pernah berpikir akan bertemu perempuan yang memberinya rasa seolah ia berada di dekat sang Ibu. Laut memang tidak pernah merasakan sentuhan, mendengar suara, dan melihat secara nyata senyuman Amberley. Namun Ai mampu menjadi gambaran itu semua.

Ai hanyalah orang baru di hidup Laut, tetapi kehadirannya berangsur mengobati luka yang Laut derita sejak ia kehilangan Amberley.

Dunianya yang runtuh perlahan-lahan kembali bangkit. Satu per satu puing melayang membentuk tembok bangunan yang siap berdiri. Retak pada permukaannya tidak akan hilang, itu menjadi bukti pernah ada kehancuran.

"Ai, saya takut sama yang namanya janji. Keadaan bisa ngubah rencana dan janji yang kita buat tanpa liat situasi. Seseorang yang janji buat setia selamanya pun bisa tiba-tiba besoknya kehilangan nyawa," papar Laut.

"Saya enggak janji, tapi saya berusaha buat enggak kasih kamu harapan palsu." Laut bertutur.

"Asal ... kamu juga enggak pergi tanpa pamit," imbuh Laut.

Sudut bibir Ai bergerak membentuk senyum cantik yang seakan-akan bercahaya. Laut sangat suka melihat senyuman itu. Natural, indah, dan memberi kelegaan untuk hatinya.

"Oke! Aku enggak ke mana-mana. Mau sama Laut terus," ungkap Ai tanpa adanya keraguan.

Mereka memiliki kesamaan, yakni menyimpan luka besar dan sedang mencari obat paling ampuh untuk menyembuhkannya. Dan ... semesta mempertemukan mereka. Tentunya itu bukan tanpa alasan.

ʚ༺❀༻ɞ

Ujung jemari Laut mulai mengeriput lantaran terlalu lama berada di air. Ia hendak mengajak Ai keluar dari danau, tapi sesuatu menghentikannya.

Perhatian mereka tertuju pada sebuah cahaya benderang yang muncul di udara, melayang setinggi pohon paling besar di Hutan Nueva. Pada bagian tengah cahaya itu terdapat bulatan hitam pekat yang sedikit demi sedikit ukurannya membesar.

Itu adalah portal dari Faigreene.

Tiba-tiba sesosok makhluk bersayap muncul dari portal tersebut dan jatuh tersungkur di tanah. Seketika portal mengecil, kemudian hilang bersama cahayanya yang tak lagi menyilaukan mata.

Que berhasil menginjak kaki di Bumi atas perintah Zennor. Lelaki itu beranjak, ia buru-buru menguncupkan sayap ke arah bawah, lalu memakai jubah hitam yang diberikan Zennor. Ia berhati-hati agar tak ada manusia di hutan melihatnya bersayap.

Sayang sekali Que ketahuan. Laut telah melihat sayapnya sebelum disembunyikan di balik jubah hitam.

"Peri? Dia sebangsa kamu?" Laut bertanya-tanya.

Ai terdiam dikarenakan ia terkejut ada peri datang ke Bumi selain dirinya. Saat ini Que sama terkejutnya seperti Ai, ia terheran melihat keadaan di sekelilingnya mengecil, tidak sebesar benda-benda dan tumbuhan di Faigreene.

Laut bergegas naik ke tepi danau. Dalam sekejap Que menoleh dan terbengang akan apa yang ia lihat. Tadinya ia ketakutan dan ingin lari menjauh dari Laut, tapi niatnya terurung ketika melihat Ai di air.

"Putri Aequa!" Que berseru.

Que berlari menghampiri Ai, tapi malah terjatuh karena belum memahami perbedaan gravitasi di Bumi dan Faigreene. Ia tersentak, tidak mengira di Bumi rasanya aneh sekali dan sangat-sangat beda dengan di planet asalnya.

"Hati-hati, di sini kamu tidak bisa berlari kencang dan melompat tinggi. Kamu harus bergerak pelan dalam tempo normal," kata Ai.

"Oh, baiklah." Que memahaminya.

Laut mulai cemas kala Que mendekat ke Ai. Masalahnya ... Ai telanjang di dalam air. Tiap Ai bergerak pelan, permukaan air danau di sekitar tubuhnya ikut bergerak dan Laut panik. Ia panik karena dada Ai nyaris terpampang, tidak terhalang air.

"Que, kamu pengawal Ayah. Tidak mungkin kamu diusir dari Faigreene. Apakah kamu ke sini buat jemput aku?" Ai berujar, terselip nada penuh harap pada kalimatnya.

"Tidak, Putri. Aku datang bukan untuk menjemputmu. Aku hanya ingin melihat keadaanmu. Bagus ternyata kau baik-baik saja." Que menuturkannya seraya ia berlutut di hadapan Ai.

Aku berkaca-kaca. "Aku terharu karena kamu peduli. Tapi, apa kamu tidak dimarahi Ayah?"

Que ingin sekali mengatakan kedatangannya kemari merupakan perintah Zennor, tapi dia dilarang Zennor untuk terlalu jujur kepada Ai. "A—aku diam-diam. Raja tidak tau, Putri."

"Berarti kamu harus secepatnya kembali ke Faigreene. Jangan buat Ayah marah," papar Ai.

Laut menjadi nyamuk yang tak dianggap. Ia tidak tau apa yang dua peri itu bicarakan, tak tau juga harus melakukan apa untuk menepis kejemuannya. Satu-satunya yang bisa Laut lakukan hanyalah mendatangi batu besar dan duduk sendirian di sana.

"Aku kangen Ayah," kata Ai, tatapannya menjadi sedih.

"Raja juga ka—em ... iya, aku paham rasanya." Que berucap cepat, hampir keceplosan.

"Bagaimana keadaan Ayah? Ayah sehat, Que?" tanya Ai.

"Raja sehat, Putri. Kuharap kau juga sehat di sini. Pasti lebih bahagia, ya?"

Ai mengangguk samar disertai mengukir senyum. Hidup Ai lebih bahagia di Bumi, tapi ia tetap merindukan momen saat tinggal di Faigreene. Ai tidak munafik bahwa ia ingin pulang untuk bertemu Zennor dan menatap lama lukisan Auree.

Que memberi Ai tatapan iba. Andai Ai tau bahwa Zennor juga merindukannya. Pasti sekarang ini Ai menangis saking bahagia.

Keheningan terjadi sesaat, tapi buyar lagi ketika Laut berdeham. Dehamannya cukup kencang sampai Que refleks menoleh. Padahal Laut tak bermaksud mengganggu keseruan di antara Ai dan Que.

Kepala Que kembali lurus mengarah ke Ai. Ia bertanya, "Putri, siapa lelaki di sana? Dia tak bersayap."

Ai melirik Laut sambil menjawab, "Dia milikku. Namanya Laut."

"Milikmu?" Que mengangkat satu alis. "Bukankah laut adalah air?"

"Namanya memang sama dengan laut yang itu," jawab Ai.

"Unik," puji Que. Ia menengok sebentar ke Laut, lalu cepat-cepat buang muka ketika Laut hampir menoleh ke arahnya.

Ai mengamati Laut yang juga sedang menatapnya dari atas batu besar. Tatapan Laut penuh arti, tapi Ai tidak mengerti. Laut gelisah karena Que belum kunjung selesai bercakapan dengan Ai.

Tak bisa ditunda-tunda, akhirnya Laut menyamperi Ai sambil membawa flanel hitamnya untuk mengeringkan badan Ai. Jiwa dan batin Laut akan lebih tenteram bila gadisnya mengenakan pakaian tertutup saat bertemu orang lain.

"Ai, tolong bilang ke dia buat balik badan. Tahan sampe kamu selesai pake baju," ucap Laut setengah berbisik ke Ai.

"Iya, Laut." Ai menurut, ia langsung menyampaikannya kepada Que.

Que bangkit dari posisi berlututnya. Ia jalan menjauh, kemudian berbalik badan sesuai perintah Ai. Di kesempatan ini Laut menyampirkan flanel di pundak lalu mengangkat badan Ai dari air tanpa meliriknya sedikit pun.

Secepat kilat Laut menutupi tubuh polos Ai pakai flanelnya yang menjadi besar di badan kecil itu. Selama Ai sibuk mengeringkan tubuh serta rambut, Laut dan Que tetap menjaga pandangan mereka dari Ai.

Ai mengambil pakaiannya yang terlipat rapi di tepi danau. Ia memakainya pelan-pelan. Setelah selesai, Ai langsung memberitahu dua lelaki itu dan mereka kompak berputar badan.

Laut baru melangkah satu kali ingin mendatangi Ai, tapi ia menghentikannya karena Que bergerak lebih cepat seraya bertutur antusias memuji pakaian Ai.

"Putri Aequa, kau sangat cantik dengan dress putih itu." Que mengatakan kejujuran.

Sebelumnya Ai tak pernah menerima pujian dari sesama bangsa peri kecuali ibunya. "Terima kasih, Que."

"Aku benar-benar senang bisa berbicara langsung denganmu, Putri. Ini seperti mimpi yang akhirnya menjadi nyata. Aku sangat menantikannya sejak lama!" ujar Que teramat riang.

"Aku juga! Aku punya mimpi ingin memiliki teman sesama peri!" Respons Ai tak kalah heboh.

"Mungkinkah kita menjadi teman baik?" Que memberanikan diri mengatakannya.

"Mari kita berteman! Mulai sekarang kamu adalah temanku," ujar Ai.

Que memekik tak terkontrol, ia spontan memeluk Ai dan mereka melompat-lompat girang merayakan hubungan pertemanan yang baru saja terjalin.

Laut melotot sekilas melihat adegan pelukan Ai dan Que. Ia melengos, dengan tampang murungnya memungut tas selempang yang tergeletak di atas rerumputan pendek. Laut mau pulang saja.

Pelukan mereka terlepas dan Que langsung bertanya, "Putri, di sini tidak ada yang mengganggumu, kan?"

"Tidak ada! Aku senang tinggal di sini."

"Baguslah ...."

Lalu mereka berbisik-bisik yang buat Laut makin menunjukkan muka datar akibat menahan kesal. "Kamu tinggal bersama manusia itu?" tanya Que.

"Iya!"

"Serumah?"

"Iya!"

Que berpikir sebelum mengajukan pertanyaan lain. "Wajahnya memang garang, ya? Dia segalak Raja Zennor atau tidak?"

Ai cekikikan. "Laut baik, dia tidak galak. Kalian harus berkenalan!"

Laut mendengkus berat sambil meremas flanelnya yang basah. Malam makin pekat, entah sampai kapan Laut akan menunggu peri-peri itu selesai mengobrol. Mungkinkah sampai matahari merangkak naik?

"Laut, kamu mau kenalan sama teman baruku? Que pengawal ayah di istana!" Ai berseru.

"Istana?" batin Laut.

Laut mendekat dan berkenalan dengan Que atas keinginan Ai. Mereka bersalaman seraya saling melempar pandang. Seperti biasa, tatapan Laut selalu tajam dan terkesan dingin, sedangkan Que ramah.

Ai menjadi translator agar dua lelaki itu dapat mengerti bahasa dari lawan bicara.

Laut menunduk usai berkenalan. Dia terabaikan lagi ketika Que melanjutkan perbincangan bersama Ai. Meski hati panas, tapi Laut tak akan merusak keseruan mereka.

"Putri Aequa, sebentar lagi portal itu muncul. Aku harus pulang," ungkap Que.

"Kamu kapan ke sini lagi? Aku mau ketemu lagi dan bawa novel buat kamu biar kamu bisa bahasa manusia," kata Ai.

"Jika ada keperluan, aku pasti kembali, Putri."

Ai mengangguk paham. "Sebenarnya, di sini aku dipanggil Ai. Kamu boleh panggil aku Ai, enggak perlu Putri Aequa."

"Tanpa sebutan Putri? Bukankah itu tidak sopan?" Que merasa tak enak.

"Kita ini teman, jadi panggilannya tidak perlu formal agar kita lebih akrab." Cengiran Ai berhasil mencuri hati Que.

"Hmm ... baiklah, akan kucoba biasakan, Pu—" Que berhenti, ia langsung mengoreksi. "—maksudku, Ai."

Begitu senang Ai bertemu Que malam ini, meski awalnya dia kaget dan mengira Que dibuang dari Faigreene seperti dirinya. Ternyata tidak. Itu fakta yang jauh lebih baik dari dugaan Ai.

Ai dan Que berpelukan sebelum berpisah planet lagi. Pelukan mereka sebentar, tapi terasa lama bagi Laut yang wajah serta dadanya membara.

Portal itu telah muncul, mengharuskan Que kembali ke asalnya. Kali ini portalnya berdekatan dengan tanah sehingga Que mudah masuk tanpa harus terbang menggunakan sayap.

Secepat itu portal menghilang membawa Que pulang ke Faigreene. Suasana di Hutan Nueva sunyi lagi. Ai masih berdiri di tempat, menatap langit malam dengan seulas senyum manis. Ini menjadi salah satu hari menyenangkan untuknya.

Laut dengan tanpa ekspresi menggandeng Ai pergi dari lokasi ini. Ia tak berucap apa-apa. Sampai mereka menjauh dari Crystal Lake pun Laut tetap kunci mulut.

"Laut, dia manis, ya?" Ai memecah keheningan.

"Siapa?" sahut Laut.

Ai menjawab, "Que."

Laut menarik napas panjang dan ia buang dalam sekali embusan berat. Kesal, tapi tak bisa berbuat banyak. Ia memendam kekesalan ini dengan cara diam.

"Aku enggak sabar mau ketemu Que lagi! Dia teman baruku. Dia teman peri pertamaku," seru Ai.

Laut menanggapi singkat. "Ya."

Ai menoleh, ia mendongak menatap Laut yang tampak redup sinar di wajahnya. Padahal wajah Laut begitu cerah ketika mereka berendam di danau.

"Kamu enggak senang, ya?" Ai membaca mimik Laut.

Laut tak merespons. Ia tetap menatap lurus ke depan, enggan menilik Ai meski batinnya berkoar-koar dan memaksa dia untuk meliriknya.

Remasan Laut pada flanel basah itu mengerat makin kencang, sedangkan tangan satunya berusaha tetap lembut menggandeng Ai. Napasnya menderu berat karena pertanyaan Ai menambah panas di hatinya.

Laut ingin mengungkapkan keresahannya, tapi ia rasa itu terlalu kekanakan.

"Laut diam terus." Ai bertutur saat mereka telah dekat dengan jalan keluar Hutan Nueva.

Ai bertanya pada diri sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Ia yakin Laut menyimpan sesuatu yang membuatnya benar-benar tidak mau bicara.

Berdetik-detik terlewat, Laut menghentikan langkah dan menahan Ai dengan genggamannya. Mereka berdiri saling hadap. Laut tak memakai pakaian atas, jadi Ai bisa melihat jelas gerak dadanya yang memburu.

"Bukannya kamu tau, saya enggak suka kalo milik saya disentuh orang lain, apalagi lelaki?" Laut mengungkapkan perasaannya.

"Saya coba buat enggak bersikap kekanakan. Saya paham kamu dan dia baru aja temenan. Pasti kamu lagi seneng banget," tutur Laut. "Maaf, saya ngerusak rasa seneng kamu. Saya cuma mau ungkapin ini biar kamu enggak perlu nebak-nebak."

Ai baru ingat. Ia baru menyadari apa yang Laut rasa. Pantas saja sikap Laut menjadi sedingin ini dan makin jarang bicara.

"Mungkin lain kali bisa dikurangin. Ada hal lain yang bisa dilakuin selain pelukan, selain sentuhan, tapi tetep terjalin baik hubungan pertemanannya. Saya ... enggak bisa liat kamu terlalu lengket sama lelaki lain." Laut sebetulnya tidak sampai hati mengatakannya.

"Sekali lagi, maaf, Ai. Saya terlalu kaku dan banyak nuntut." Laut menunduk. "Saya takut kejadian Sky keulang. Pikiran saya susah buat positif lagi sejak ada kejadian itu."

Ai merasa bersalah setelah mengetahui perasaan yang Laut pendam selama ia dan Que berbincang seru, sampai Laut beberapa kali terabaikan.

"Udah, enggak usah diambil pusing. Nanti kalo kamu ketemu dia lagi, saya bakal kasih ruang buat kalian. Saya enggak ikut," kata Laut.

Laut mengelus rambut Ai dan turun mengusap pipinya. "Saya enggak larang kamu buat ketemu si A atau si B. Saya cuma pengin kamu jaga diri. Jangan sampe disentuh."

Ai tak sanggup melontarkan balasan. Ia memeluk Laut dengan bibir sedikit mengerucut. Tampangnya menjadi sangat sedih seperti akan menangis.

"Aku minta maaf karena bikin kamu marah," kata Ai.

"Saya enggak marah. Saya khawatir, Ai." Laut membalas.

"Iya ... maafin Ai." Ai bertutur.

Laut mendekap Ai dan di sini ia baru bisa leluasa bernapas. Sejak tadi Laut sesak seakan oksigen di sekitarnya menipis.

"Iya. Ai pasti enggak sengaja. Maafin saya juga, ya," kata Laut.

Tak ada lagi rasa kesal yang Laut pendam. Di bawah kunang-kunang yang beterbangan, Laut memakai kesempatan memeluk Ai selama mungkin, jauh lebih lama dari yang Que lakukan.

ʚ༺❀༻ɞ

"Ah!" Janessa mengerang.

Suara Janessa berulang kali menggema di sudut ruang. Ini merupakan kamar sewaan paling mahal di Ravenox, tempat hiburan malam langganan Janessa.

Bila ada yang mendekati pintu kamar ini, orang itu tidak akan mendengar racauan Janessa serta bunyi-bunyian dari aktivitasnya di ranjang bersama Sky.

Kegiatan panas mereka terganggu ketika ponsel Sky berbunyi. Bisa-bisanya ada yang menelepon di saat Sky sedang bersenang-senang dengan kekasihnya.

"Kenapa enggak di-silent?" Janessa bertanya, napasnya terengah.

Sky balas, "Aku lupa, Sayang."

Mereka tetap melanjutkan olahraga itu sampai mendekati puncaknya. Namun, lagi-lagi dering ponsel mengacaukan konsentrasi mereka. Kali ini bukan ponsel Sky yang berbunyi, melainkan Janessa.

"Loh?" Janessa terheran, tak biasanya ada yang menelepon dia di jam segini. Kalaupun ada, palingan itu laki-laki simpanannya.

Selang empat detik, ponsel Sky berbunyi lagi. Bunyinya barengan dengan ponsel Janessa. Kegiatan mereka terganggu total. Janessa kesal, dia mencak-mencak karena telepon dari orang-orang itu membuatnya tidak tenang.

"Siapa, sih?!" Janessa meraih ponselnya di ujung kasur. Ia lihat nama yang tertampil di layar. Lev. Selingkuhannya yang sering ia panggil Daddy.

Sky juga membaca nama orang yang meneleponnya terus. Tak disangka-sangka itu Zae.

Ketika telepon Zae mati dengan sendirinya, Sky langsung menerima notifikasi dari sebuah aplikasi pintar.

Terdeteksi! Amadé Varzae Lonan menemukan lokasimu, Sky Ailaska Lonan.

📍 Ravenox Nightclub

Rolls-Royce XXX Z LONAN menuju lokasimu.

Sky pucat pasi. Zae pasti membayar aplikasi itu sampai bisa menerobos lokasi keberadaan Sky. Normalnya tidak sampai sedetail ini.

"Sayang, Daza lagi di jalan ke sini. Kita enggak aman." Sky berucap.

Segera Sky menjauh dari tubuh Janessa. Mereka bergerak cepat memakai seluruh pakaian dan berlomba-lomba lari meninggalkan tempat. Janessa sampai tidak sempat menanggapi telepon Lev, dia memilih untuk mematikan ponsel.

Di pintu masuk Ravenox terlihat tiga orang berpakaian serba hitam berdiri tegap dengan pose berbeda-beda. Ada yang melipat tangan di depan dada, memasukkan satu tangan ke saku celana, dan memegang pergelangan tangan di belakang.

Tiga pria itu adalah pengawal Zae. Mereka datang lebih dulu, dan mengetahui keberadaan Sky dari orang kepercayaan Laut yang pernah datang kemari untuk memotret Janessa bersama pria hidung belang.

"Jangan lewat situ, Sayang!" Sky mencegah Janessa yang hendak ke pintu utama. "Aku markirin mobil di lahan belakang."

"Ayo, cepet, Sky!" Janessa panik.

Sky tidak tau saat ini Zae sedang marah padanya. Itu karena Zae menemukan alat-alat di laci kamar Sky yang membuatnya tersentak. Zae kecewa, geram, ia langsung mengerahkan pengawalnya untuk mencari Sky.

Perasaan Sky sangat kacau. Ia merasa akan mendapat kesialan bila pulang ke rumah. Jadi, Sky berniat pergi jauh membawa Janessa menghindari Zae dan orang-orang suruhannya itu.

"Tuan Muda Sky lari lewat pintu belakang." Seorang pengawal bertubuh paling kekar ternyata memantau pergerakan Sky.

"Tuan Zae sedang dalam perjalanan. Sayangnya tanpa Tuan Muda Laut." Pria lain bertutur.

"Bersiap dari sekarang! Jangan sampai Tuan Muda Sky lepas dari pantauan."

Sky dan Janessa berhasil masuk ke mobil. Begitu mesin menyala, Sky langsung melesat kencang meninggalkan Ravenox. Janessa tersentak lantaran Sky terlalu gila mengendarai mobil, ia seperti akan dibawa ke alam baka.

"Sky, enggak secepet ini juga! Hati-hati, ih!" Janessa ketakutan.

Di belakang mereka terdapat mobil hitam yang mengekor. Bisa dipastikan itu mobil pengawal Zae. Pikiran Sky tambah berantakan, ia tak bisa fokus menyetir bila keadaannya sekacau ini.

Sky berfirasat buruk. Ia merasa tidak akan selamat dari kepungan orang-orang suruhan Zae. Belum lagi Zae sedang dalam perjalanan ke Ravenox, besar kemungkinan akan papasan dengan mobil Sky di jalan.

"Sayang, aku enggak bisa mikir." Sky mengaku.

Janessa menoleh. Ia lihat Sky sangat panik sampai wajahnya teramat pucat. Janessa tidak pernah melihat Sky sepucat itu sebelumnya.

"Daza enggak bakal kayak gini kalo enggak ada masalah besar. Aku yakin ada sesuatu," kata Sky.

"Aku takut. Enggak bisa mikir apa-apa. Panik banget, Janessa!" Sky berteriak frustrasi.

"Terus, aku harus ngapain?" Janessa ikut pusing. "Aku harus apa, Sky?!"

Sky tidak memiliki keberanian untuk menghadap ayahnya. Ia setakut itu. Pikiran kalut membawa Sky ke pilihan paling buruk untuk nasib ke depannya.

Ia nekat banting stir ke seberang jalan, berpasrah ketika mobilnya dihantam bus yang melaju dalam kecepatan tinggi.

Sky ingin mati saja bersama kekasihnya daripada diperlakukan seperti buronan oleh sang Ayah.

🤍✨🎀✨🤍

babygeng, gimana chapter 13? 🥹🦋

Siapa paling gemes + imut di cerita SCENIC?

Siapa paling manis di cerita SCENIC?

Siapa paling ngeselin di cerita SCENIC?

Siapa paling bego di cerita SCENIC?

kamu pendukung mana nih? 👇🏿

1. AISEA

2. JANESSA

3. AIQUE 😭

cara baca Que = Ke ('e' nya kayak kamu nyebut meja)

2,8K votes buat next, jadi kamu wajib vote ⭐️

Spam "" buat next!!

————————————————

jangan lupa share cerita SCENIC ke bestie, crush, fams, siapa pun yang kamu punya yaa! 😄🤍 kalo kamu mau post di instastory, tag aku (@radenchedid) biar aku repost ok ;)

Thank you, Babygeng 🦋✨🍃

Love you and see you, Babygeng!
—Mamigeng—

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro