Chapter 4 - The Queen
Laurena's POV
Ujian tengah semester sedang berlangsung, kebanyakan orang tidak terlalu memikirkannya. Mereka lebih fokus dengan acara sekolah yang akan diadakan dalam dua minggu, kecuali Kiara. Setelah kejadian dia yang mimisan, bukannya dia mengambil istirahat, dia menganggapnya sebagai tantangan lain. Raquel sama sekali tidak terlihat bersalah, justru ekspresinya lebih cerah dari sebelumnya.
“Eh, lu tadi jawaban nomor lima apa?”
“Kayaknya gua b deh. Abis yang laen nggak nyambung gitu.”
“Elah lu pada. Lagi istirahat aja masih ngomongin ujian. Udah lewat ini, gak bakal bisa lu ganti jawabannya!” Anak-anak yang di dalam kelas terdengar melakukan percakapan seperti itu. Kiara sendiri terlihat sibuk belajar untuk ujian selanjutnya.
Kutepuk pundak Kiara agar dia menatapku. “Udah makan belom?”
Kiara menatapku tajam sebelum mencibir dan kembali fokus ke bukunya. Kali ini dia bahkan menggunakan headphone-nya agar tidak terganggu dengan suara apa pun. Melihat sikapnya yang seperti itu, aku menghembuskan napas pelan. Sebuah roti dari tas kukeluarkan dan kuletakkan di atas meja Kiara dalam perjalanan keluarku.
Kakiku membawa diriku ke papan pengumuman yang sekarang anehnya dikerumuni oleh orang banyak. Setelah beberapa anak terlihat pergi dan meninggalkan tempat, aku pun berjalan masuk, mendapat gerutuan dari anak-anak yang terdorong. Pengumuman yang ada mengabarkan tentang audisi untuk talent show di acara sekolah nantinya. Audisi akan dilaksanakan dalam dua hari, tepat setelah ujian.
“Apa lu harus banget ikut? Toh nggak ada benefit-nya.”
“Ya adalah! Kak Gina gimana sih? Yang bisa ikut talent show tuh nanti ditulis di rapotnya, trus dapet penghargaan juga.”
“Emang penghargaan di rumah belum cukup apa? Gua heran dah ama emak lu, La.” Aku membalikkan tubuhku dan melihat Gina berbicara dengan seseorang yang tidak aku kenali sama sekali. “Weh. Carla, gua mau nyamperin si Kiara dulu.”
“Yah … trus gua ditinggal sendiri? Kak Stephanie lagi ijin gak kumpul sama kita-kita juga.” Anak yang dipanggil Carla itu memajukan bibirnya. Merasa penasaran, aku mencoba untuk mendekati mereka.
“Lu balik lah ke kelas. Lagian ya, si Kiara bego tuh kemakan omongannya. Bisa digorok gua sama bapak kalo tau si Kiara sakit lagi.”
Gina yang sedang berbicara dengan anak bernama Carla itu terlihat jelas kalau dia sangat kesal, seperti ingin menyumpahi orang. Melihat situasi yang ada sepertinya tidak enak, kuputuskan untuk menjauh dari mereka dan mulai berjalan ke toilet. Ketika aku baru akan kembali ke kelas, seseorang dengan rambut pirang menabrakku.
“Kalo jalan pake mata dong!” Mata biru terang itu menatapku dengan tajam. Dia terlihat berjongkok mengambil sesuatu. Di situlah aku sadar dia mengambil kacamatanya. Dia adalah Carla. “Napa liat-liat? Ada masalah?”
“Huh? Oh, gak kok, gak pa-pa.” Tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera pergi meninggalkan anak itu. Tatapan yang dia berikan sangat aneh dan menyeramkan, seperti ingin menghabisi siapa pun yang menatapnya.
Di kelas, Gina sedang duduk di kursiku dan membisikkan sesuatu kepada Kiara yang memakan roti pemberianku. Sebuah senyuman kecil terukir di bibirku ketika melihatnya makan. Gina yang menatap ke atas bertemu pandang denganku dan langsung memicingkan matanya. Kiara mengikuti arah pandang mata sahabatnya dan langsung tersedak roti yang dia kunyah.
“Gua pokoknya nggak mau tau, dua hari harus selesai.” Gina langsung bangkit dari kursiku dan kembali ke kursinya sendiri. Kiara terlihat sedang menenggak minumnya,
“Gimana rotinya? Enak, kan?”
“Nggak. Gua makan cuma gara-gara terpaksa aja.” Entah karena apa, walau jawaban Kiara terdengar dingin, itu sama sekali tidak menggangguku, justru aku malah tersenyum karenanya.
“Laen kali kalo mau tinggal bilang aja rasanya, biar nggak salah milih.” Kiara terlihat terdiam dan termenung.
“Gua suka strawberry, ato blueberry.”
Ucapan Kiara ditutup dengan bunyi bel yang menandakan kalau jam kedua akan dimulai. Dengan senyum yang lebar, aku memperhatikan Kiara yang melahap rotinya dengan cepat. Guruku masuk sedikit terlambat dan dia langsung memerintahkan untuk mengumpulkan ponsel serta tas kami ke depan. Kertas ujian sudah berada di meja ketika kami kembali, dan dengan itu ujian berlangsung.
Di hari terakhir, rasa penat terlalu banyak belajar membuatku merasa kelelahan. Terkadang aku merasa iri dengan anak-anak seperti Raquel. Dia tidak perlu belajar banyak, hanya mendengarkan penjelasan guru dan dia akan ingat semuanya! Berbeda dengan orang-orang sepertiku maupun Kiara. Kami harus belajar mati-matian, melawan rasa malas yang menggerogoti.
“Selesai!” seru anak laki-laki di kelasku. “Akhirnya gua bebas!”
“Inget masih ada pembagian hasil, bego!” Salah satu temannya menepuk kepalanya. Hal ini mengundang tawa beberapa orang. Ketika aku menatap Gina, seketika anak bernama Carla masuk ke dalam ingatanku.
“Ra, gua mau nanya.” Kiara yang membereskan barang-barangnya menatapku. “Lu kenal Carla?”
“Carla?" Sekilas aku melihatnya menatap ke belakang, menatap Gina. “Maksud lu Carla Lambert? Rambut pirang, mata biru, pake kacamata?”
“Iya, dia.”
“Kenapa emangnya?” Kiara menyampirkan tasnya di bahu, seperti tidak ingin berbicara denganku lagi.
“Gak pa-pa sih, nanya aja.”
Mendengar jawabanku, Kiara menggelengkan kepalanya dan memasang headphone yang dia rangkulkan di lehernya. Di depan pintu kelas, Gina menggandengnya dan bersama-sama mereka keluar. Aku menatap sekelilingku untuk mendapati Raquel dan Rachelle masih di dalam. Rachelle terlihat memainkan ponselnya.
“Gua gak mau pulang,” celetuk Rachelle dan melempar ponselnya ke meja.
“Gua juga. Suruh si Olip ke sini aja. Gara-gara dia jadi mundur terus.” Raquel tiba-tiba saja menatapku tepat di mata, membuatku sedikit terlonjak. Terburu-buru, aku segera menyimpan barang-barangku dan pergi keluar kelas, takut dengan Raquel.
Karena aku terburu-buru, aku tidak menyadari ada anak yang berdiri di depan dinding pengumuman. Tanpa sengaja, aku sudah menabraknya. Ketika aku sudah kembali fokus dan memperhatikannya, saat itulah aku sadar lagi-lagi menabrak Carla. Dia mengarahkan tubuhnya ke arahku sehingga aku dapat melihat namanya di jas yang dia kenakan. Carla Kooper, itulah yang tercetak di sana.
“Lu lagi? Punya mata gak sih? Apa perlu gua pinjemin nih kacamata biar liatnya makin jelas, hah?”
“Tadi gua buru-buru, nggak sadar ada yang berdiri di situ.”
“Mau ngehina maksudnya? Gua tau kok kalo gua gemuk, tapi nggak gitu juga!”
Mendengarnya berteriak seketika membuatku merasa marah. “Gua nggak bilang ya! Lu sendiri yang nge-jugde diri lu sendiri! Kalo udah nggak usah sok nyalahin orang laen!”
“Heh! Gak usah sok polos deh lu! Munafik mah munafik aja!”
Carla tiba-tiba saja mendorongku yang sudah bangkit berdiri. Kali ini aku tidak terjatuh, hanya mundur beberapa langkah. Tidak hanya sampai di situ, dia bahkan tiba-tiba menarik rambutku. Otomatis aku langsung menyerang dan mencoba untuk melepas genggamannya. Teriakan kami sepertinya mengundang orang-orang karena tiba-tiba saja Kiara dan Gina sudah menahan Carla.
“Lepasin gua! Pokoknya gua mau bales dendam! Lepasin!” Dengan rambutku yang berantakan, aku hanya bisa menatap mereka bertiga dengan napas terengah-engah. Aku dijekutkan ketika seseorang menepuk pundakku.
“Ada apaan nih?” Suara khas milik Rachelle membuatku merasa lega.
“Cewek ba*ingan itu ngatain gua!”
“Gua nggak pernah ngatain lu! Lu sendiri yang ngatain diri sendiri.”
Tanpa sadar, aku telah membuat kondisi yang ada semakin memburuk. Beberapa anak yang belum pulang mulai mengerumuni kami. Walau sudah dua orang yang menahan Carla, dia tetap lepas dari genggaman mereka. Rachelle tiba-tiba berdiri di depanku, tapi seseorang yang lain dengan cepat menendang Carla hingga terjatuh. Carla mengerang, bahkan terdengar suara menangis tersedu-sedu.
“Sialan! Carter!” jerit Gina. Sekali lagi, aku dikejutkan dengan orang yang menarik tanganku.
“Mending lu jauh-jauh. Mereka-mereka kalo berantem nggak bakal ada abisnya.”
“Tapi ….”
“Serahin aja sama gua. Oh iya, gua Stephanie, Stephanie Angelica.” Nadanya yang kalem membuatku merasa lebih tenang. Kuputuskan untuk mengikuti perintahnya dan berdiri bersama dengan para kerumunan. “Diem semuanya!”
Jeritan Stephanie berhasil membuat semua anak terdiam, bahkan mereka yang menonton dan merekam. Olivia, yang bisa self-defense, terlihat sedang melakukan headlock kepada Gina. Sedangkan Kiara sedang mengangkat bukunya tinggi-tinggi, siap memukul Olivia. Raquel terlihat berada bersandar pada dinding pengumuman, tangan terlipat dan melihat mereka semua dengan ekspresi kosong.
Di lorong itu yang bisa terdengar hanyalah tangisan dari Carla yang mulai tenang. Rachelle menatap Olivia, seperti memerintahkannya untuk melepas headlock-nya. Olivia, dengan napas berat, melepas headlock-nya, membuat Gina jatuh tersungkur dengan suara yang cukup keras. Stephanie berjalan mendekati Gina dan membantunya berdiri.
“Lu gak papa?” Gina menjawab dengan anggukkan.
“B*tch!” bisik Gina yang diarahkan kepada Olivia. Olivia hanya mendengus sebelum berjalan menuju Raquel yang menonton segalanya. Rachelle juga mengikuti Olivia, mereka bertiga bersandar pada dinding dan melipat tangan mereka.
“Mau berapa kali sih gua bilang? Lu pada berantem nggak ada untungnya! Di satu sisi ada Olivia, juara bela diri. Di sisi lain ada Carla yang kuat. Mau sampe kapan gitu terus? Nggak sadar umur apa?”
“Toh mereka yang mulai duluan ….” Ucapan Carla terhenti ketika Stephanie menatapnya tajam.
“Gua tau lu pada gak bakal mau minta maap, jadi cukup sampe di sini aja. Bubar semuanya, bubar!”
Perlahan-lahan kerumunan yang menonton mulai menipis. Stephanie menatapku sebelum menganggukkan kepalanya. Dia memerintahkanku untuk pergi bersama dengan para kerumunan yang ada. Jika Carla sampai melihatku, pasti semua akan kembali kacau. Aku tidak bisa melakukan hal tersebut dan mengancam keberadaan mereka di sini.
Stephanie menghampiriku yang sedang menunggu jemputan. Kutatap dirinya dan dapat aku rasakan kalau dia berwibawa. Orang-orang akan mendengarkannya tanpa dia harus melakukan hal-hal yang aneh. Dia adalah seorang pemimpin. Aku tersadar dari lamunanku ketika Stephanie berdeham dan duduk di sampingku. Sebuah senyum terukir di bibirnya.
“Pasti lu mau nanya sesuatu, iya, kan?” Aku mengangguk kecil. “Tanya aja siapa tau bisa gua bantu.”
“Nama Carla. Kiara bilang namanya Carla Lambert, tapi bajunya nunjukkin Carla Kooper.”
“Oh … itu ….”
Stephanie terdiam selama beberapa saat hingga aku merasa takut kalau jemputanku akan datang sebelum dia mengucapkan apa-apa. Dia terlihat menelaah langit yang ada sebelum menunjukkan sebuah senyum kecut. Melihatnya memberikan senyum seperti itu membuatku bertanya-tanya, apakah pertanyaanku sangat sensitif?
“Nama Lambert hanya diketahui oleh orang-orang tertentu. Orangtuanya bercerai dan dia tinggal sama ibunya. Ayah kandungnya ada di Amerika, Cuma kadang aja dia ngirim uang buat kebutuhan Carla."
“Gimana lu bisa tau?”
“Sebuah sejarah akan tetap menjadi sejarah, dan terkadang tidak semua harus diungkapkan.”
Stephanie bangkit dari kursi dan berjalan pergi menuju asrama. Di saat yang bersamaan, jemputanku sudah datang. Aku mengejar Stephanie cukup jauh, sialnya supirku menggenggam pundakku dan melarangku untuk mengikutinya. Stephanie terlihat berbalik sekilas dan memberikanku sebuah senyuman. Dengan perasaan sedih, aku memutuskan untuk jalan menuju mobil bersama supirku.
“Apa pun rahasia yang kau pegang, aku akan membuatmu menceritakannya. Stephanie.”
***
Aku ikut berkumpul di ruang auditorium di hari audisi. Selama ini aku selalu suka menyanyi dan aku melakukan semua ini hanya dasar iseng. Di ruangan ini sudah banyak anak yang menunggu, bahkan masing-masing dari kami memiliki nomor urut untuk memanggilnya. Untuk nomorku sendiri, aku berada pada tengah-tengah, sehingga aku memiliki waktu untuk latihan.
“Nomor sembilan belas harap maju!”
“Wah, Carla Kooper!”
“Apa dia hanya akan dance? Padahal suaranya sangat bagus.”
“Dia tidak jadi center kali ini?”
“Tidak mungkin! Carla selalu jadi center.”
Carla, dan teman-temannya, terlihat menggunakan seragam olahraga. Musik dengan beat yang catchy dimulai dan setiap anak yang berada di ruangan langsung menatap ke arah panggung. Dance yang mereka tunjukkan sangat powerful, dan bukan dance biasa di mana semua memiliki koreografi yang sama. Setiap member memiliki gerakan-gerakan yang berbeda tetapi tetap selaras.
“Lihat! Kira-kira siapa yang mebuat koreografinya?”
“Pasti Carla! Mungkin dibantu oleh beberapa anggota lain.”
“Kau keren, Carla!”
“Aku ingin sepertimu!”
Sorakan-sorakan yang mendukung mereka teriakkan. Entah mereka memang mengatakan yang sejujurnya atau tidak. Dari sudut pandangku sendiri, yang mereka lakukan sangatlah keren, lebih hanya dengan persiapan selama dua hari, aku harus mengacungkan kedua jempolku. Ketika musik berhenti, semua anak bertepuk tangan, bahkan ada yang berdiri, memberikan standing applause.
Carla memberi senyuman terakhir sebelum dia turun dari panggung. Terlihat dari tempatku kalau dia menarik diri dari anak-anak yang ada. Dia menyendiri sambil menenangkan dirinya. Setelah beberapa nomor disebut, saatku datang. Ketika aku berdiri di atas panggung, aku dapat melihat Carla yang memperhatikanku dengan seksama, seperti ingin mencari kesalahan dariku.
Karena tatapan yang diberikan Carla, seketika aku merasa gugup. Tanganku gemetar dan udara yang kuhirup terasa dingin, membakar paru-paru. Tetapi seiring berjalannya musik dilantunkan, aku sudah tidak merasa gugup, bahkan aku tidak lagi dapat merasakan tatapan Carla yang tajam. Dan tak terasa, lagu yang kubawakan sudah selesai.
“Suaramu terdengar cukup baik, tapi di awal suaramu bergetar cukup hebat. Bahkan untuk kadar penonton biasa mereka dapat merasakannya, kalau kau gugup.”
“Maafkan saya.”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Jadikan ini latihan. Terima kasih telah mengikuti audisi ini. Jika aku terpilih, kami akan menghubungi!”
“Well, well, well. Lihat siapa yang memutuskan untuk ikut?”
Baru beberapa langkah aku turun, seseorang mencegatku. Ketika aku mengangkat kepalaku, aku seharusnya sudah bisa menebak. Carla adalah pelakunya. Dia pasti merasa kesal karena kemarin. Terlebih dengan fakta kalau aku kabur dan menghilang begitu saja. Meski dia dekat dengan Stephanie, aku tidak yakin kalau dia akan bercerita.
“Apa mau lu?”
“Minta maap,” jawabnya frontal.
“Buat apa gua minta maap sama orang kayak lu? Bahkan lu nggak nunjukkin rasa hormat ke kakak kelas.” Dengan itu aku langsung melangkah pergi, berharap tidak perlu berurusan dengannya lagi.
“Karena emang lu gak pantes buat dapet hormat dari gua.”
Beberapa anak menyadari pertengkaran kami dan dapat kulihat mereka yang mengeluarkan ponsel untuk merekam. Dapat terdengar juga kata-kata kebencian yang dilontarkan oleh beberapa anak kepada Carla. Aku yakin dia juga mendengarnya karena ekspresi wajahnya berubah. Mungkin dia merasa lelah sehingga akhirnya dia melepas genggamannya.
“Inget kata-kata gua. Gua sama sekali belom selesai sama lu. Lu bakal bayar atas apa yang lu lakuin.” Carla akhirnya pergi meninggalkanku.
🌻✨🌻
(06/01/2021)
Update pertama di tahun baru!! Semoga kalian suka chapter yang satu ini ^^
Jangan lupa tinggalkan vomments kalian ya sebagai bentuk dukungan! See you next week in the next chapter! Bye bye ^.< ~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro