Chapter 24 - Not Enough
Raquel’s POV
“Daniel,” panggil ibu dengan suara yang sangat manis.
“Ada apa?” Ibu menatapku dengan senyum lebar. Ketika aku sudah di sampingnya, dia langsung mengusap kepalaku seperti ingin aku mengerti. Tindakannya yang seperti ini selalu berhasil membuatku merasa ada yang janggal dengan ibuku. “Mom, ada apa? Masalah lagi dengan dad?”
Ibu tidak menjawab pertanyaanku dan terus mengusap kepalaku dengan penuh kasih sayang sampai aku mulai merasa seram. Mungkin sebenarnya ibu sedang merencanakan sesuatu, tapi aku tau apa? Aku hanya seorang anak kecil tak berdaya di matanya. Sekalipun aku berusaha untuk melakukan sesuatu untuk mencari tau, aku tetap berada di bawahnya. Sekalipun aku harus melawan, aku tetap harus tunduk kepadanya. Karena apapun yang terjadi, seorang anak harus menuruti perkataan orangtuanya. Tidak peduli apakah itu baik untuk mereka atau tidak, orangtua yang paling tau benar tentang anak mereka.
Hutang budi, ayah selalu mengatakan itu. Mereka sudah bersedia menampungku di rumah bak istana ini. Menghormati mereka, turut dengan semua hal yang mereka inginkan, itulah satu-satunya hal yang bisa kulakukan bagi mereka. Menjadi anak baik yang penurut, menaikkan nama mereka dan terus menyanjung mereka. Karena orangtua adalah raja dan ratu, sedangkan aku hanya seorang pelayan. Aku harus bisa setidaknya membuat mereka terlihat sebagai orangtua yang menakjubkan. Lagipula, tidak ada orang di luar sana yang peduli bila kalian tidak memiliki orangtua yang baik. Mereka telah melahirkanmu atau mengurusmu, tentu setidaknya kalian harus bisa memberinya rasa terima kasih. Padahal, tidak ada anak yang benar-benar meminta dilahirkan ke dunia ini.
“Hari ini, Mom mendengar berita yang mengejutkan. Apa … kau mau mendengarnya?” Ibu menepuk-nepuk sofa di sampingnya. Yang barusan bukanlah pertanyaan melainkan pernyataan, perintah. Apapun yang terjadi, aku harus mengikut pernyataan itu dan tidak boleh melawan. “Mom akan menjamin kalau ceritanya menyenangkan kali ini.”
“Mom menakutiku.”
Atas ucapanku, ibu justru terkekeh. “Putriku, Raquel Daniel Owen. Seorang jenius yang seharusnya bisa masuk universitas kelas atas di dunia. The Ice Queen yang famous di sekolah. Kesempurnaannya … hancur karena pem-bully-an.”
Nada bicara ibu berubah menjadi dingin ketika dia mengakhiri kata-katanya. Mungkin anak pada umumnya akan merasa takut, wajah pucat, dan keringat dingin. Berbeda denganku. Sikap ibu yang seperti terkalahkan membuatku semakin menyukai ini. Dia mulai merasa muak dengan keberadaanku yang seperti menyesakkan dirinya. Bukan membantu dia, justru aku malah menghancurkannya. Apa yang kulakukan sekarang berhasil membuat dia menyadari keberadaanku, diriku yang sebenarnya. Karena selama ini di mata ibuku, aku hanya anak yang tidak pernah cukup, cukup pintar, cukup terkenal, dan masih banyak lagi.
Aku yang tidak pernah, atau jarang, tersenyum di hadapan ibuku sekarang memberi sebuah senyuman terbesar yang bisa kuberikan. Perasaan di dalam hatiku menggebu-gebu ketika menatap ekspresi kekesalan yang ada di wajah ibuku sendiri. Senyuman ini membuat ibu tertegun selama beberapa detik sebelum dia kembali tersenyum dengan manis. Di balik senyumannya yang manis, ada kilat yang aku tau tidak akan berakhir baik. Diamnya kami ini ibarat menandakan kami sama-sama menyuarakan peperangan.
“Tidakkah kesempurnaan yang ada itu … harus tetap ada? Mengapa kau menghancurkannya hanya dalam sekali serang? Apa kau tidak memikirkan orang lain? Kami contohnya, orangtuamu.”
“Mom,” ucapku sebelum tertawa kering. “Apa Mom pernah memikirkan tentangku? Selama ini … apa Mom pernah berperan layaknya seorang ibu yang seharusnya?”
Rasa sakit di pipiku langsung menyebar begitu aku selesai berucap. Tidak ada yang berubah. Selama aku hidup dan berada di sini, tidak ada yang berubah dari aku berada di panti. Atau bersama keluarga itu. Di mana masalahnya terletak? Siapa yang bersalah di sini? Apa aku bahkan tidak menjadi anak yang cukup baik? Apa aku tidak pernah cukup untuk seseorang? Apa aku memang tidak seharusnya berada di dalam masyarakat? Apa mungkin aku tidak seharusnya di sini? Bagaimana bisa aku menjadi cukup untuk orang-orang tersebut? Bagaimana caranya agar aku bisa terlihat cukup di mata mereka?
Apa yang harus aku lakukan agar semua bisa mencintaiku karena diriku? Dan bukan karena kepintaranku saja. Bukan karena aku ini Raquel sang pemegang rekor, Raquel yang berhasil memenangkan semua olimpiade, Raquel yang memiliki kehidupan nyaman, berjalan-jalan ke luar negeri. Bukan karena aku adalah keluarga Owen. Atau mungkin sebenarnya aku memang bukan seorang anak, aku hanyalah alat bagi mereka semua, mereka yang siap membuangku kapanpun mereka mau. Karena yang mereka butuhkan bukanlah diriku. Tapi hanya kepintaranku.
“Lihat apa yang kumaksud? Apa seseorang yang menampar anaknya secara terus menerus sebagai pelampiasan berhak disebut seorang ibu? Tindak kekerasan kepada anak bisa menjadi alasan seseorang masuk penjara.”
“Mom—”
“Membayar pengacara, memanipulasi semuanya dengan uang! Itu yang selalu Mom lakukan. Dan aku! Mom menggunakanku agar mendapatkan lebih. Kepercayaan orang, uang, harta, ketenaran. Mom menggunakanku hanya untuk semua itu! Apa orang seperti itu adalah ibu bagi anak yang ….”
Rasa takut mengutarakan apa yang kurasakan membuatku kembali bungkam. Pada akhirnya ibu benar. Satu-satunya yang harus aku lakukan adalah berdiam diri dan menerima setiap perlakuan dan perkataan. Melawan adalah hal bodoh. Jika tidak ada mereka, aku tidak mungkin sampai sejauh ini. Bila tidak ada mereka, aku tidak akan bisa kembali bertemu dengan Rachelle. Seharusnya aku berterima kasih, menuruti setiap kemauan mereka, bukannya justru melawan. Kini aku sadar, betapa durhakanya diri ini ketika sudah diberi kesempatan emas. Tumbuh besar dengan itu semua sudah membuatku kebal. Kenapa sekarang harus melawan? Biar saja aku menerima itu. Karena tidak ada yang butuh aku.
Pagi-pagi sekali aku sudah menuju sekolah. Headphone-ku terpasang dan lantunan permainan Rachelle beserta Sony dapat terdengar. Sony, satu-satunya orang yang melihatku seperti manusia, anak kecil biasa dan bukan jenius penghasil uang. Apa setiap anak yang jenius adalah anak yang baik? Atau anak baik adalah anak yang jenius? Atau justru, dengan munculnya anak jenius, muncul anak yang baik? Apakah menjadi jenius adalah keseharusan? Bagaimana bila seseorang jenius namun tidak memiliki perasaan? Apakah itu juga akan disebut manusia?
“Berita itu bohong! Dan ini selesai karena bayaran atau ancaman! Laurena itu memang benar-benar tidak terluka. Sedikitpun!”
“Wah … Rachelle memang seperti seorang malaikat. Walau masa lalunya diusik, dia tidak menyimpan dendam pada Laurena.”
“Gadis Llyod itu harusnya bersyukur. Lagipula, ayahnya yang boss bisa menutut sekolah ini.”
Anak-anak di lorong bergosip seperti aku tidak ada di sana. Mungkin mereka mengira karena headphone yang kugunakan meredam suara mereka, membicarakan teman dekatku adalah hal yang baik. Rasa penasaranku membuat aku melepas headphone yang kukenakan dan berdiri di antara mereka yang sibuk menggosip. Jelas aku ingin dengar lebih lanjut perkataan mereka tapi di saat bersamaan aku hanya ingin mereka menutup mulut busuk itu.
“Berita yang menyenangkan, bukan?” Salah satu dari anak itu menjerit tertahan ketika melihat diriku. “Kalo ada masalah sama gua atau Rachelle, kenapa mesti ngomongin di belakang?”
Anak yang di tengah tertawa gugup dan menatap anak-anak yang lain, meminta bantuan mereka untuk menanggapi ucapanku. Nyatanya tidak ada dari mereka yang mengatakan apapun hingga perasaan frustasi mulai bangkit di dalam diriku. Orang-orang dengan kepintaran rendah tidak mungkin mengerti apa yang benar di mata publik. Mereka akan mundur ketika sadar tidak ada celah untuk mereka kabur. Seperti seorang pecundang, mereka yang menyulut api, namun mereka juga membakar diri. Begitu api tersebar, dengan bodohnya berkata tidak di saat semua bukti sudah menunjuk ke arah mereka.
Tanpa menunggu balasan apa-apa dari anak itu, aku kembali menggunakan headphone dan mengencangkan volume yang ada sebelum pergi meninggalkan mereka yang masih terpaku. Memiliki kuasa di atas orang lain adalah hal yang paling menakjubkan. Aku sudah sering mempelajarinya dari ibuku di mana dengan seenaknya dia bisa menghancurkan mimpi atau harapan seseorang hanya dengan kekuasaan. Menggunakannya untuk kebutuhan sendiri. Tidak salah kan menggunakan kekuasaan? Setidaknya, orang tersebut sudah berusaha keras untuk mendapatkan kekuasaan tersebut. Namun tidak selamanya, tidak semua hal akan menjadi baik karena alasan yang ada itu. Tidak dengan adanya kekuasaan semua akan berakhir baik.
“Kupikir kepalaku siap meledak!”
“Same! Gua nggak tau ada berapa masalah yang gua temuin. Walaupun bukan masalah gua, rasanya bikin sesek!”
“Abis Rachelle sama Raquel, kira-kira masalahnya Gina ato Kiara yang bakal kebongkar?” Suara tawa anak-anak lain terhenti saat menyadari aku berdiri di pintu.
“Apa menurut lu kita gak terlalu lebay, ya? Dia kan cuma ….”
Sekali tatapan dariku, anak yang berbisik-bisik itu langsung terdiam. Apa fungsi aku mengencangkan volume kalau lagunya saja sudah habis? Masih pagi dan aku harus mendengar semua celotehan bodoh itu. Tidak adakah hari yang akan baik untukku? Apa aku harus hidup seperti ini selamanya? Untuk membayar atas apa yang kulakukan? Apakah aku harus menjalani hari demi hari bagai neraka sebagai ganjaran mendapat hidup yang enak bersama keluarga Owen? Di dunia ini tidak ada yang gratis, mungkin ini bayaran yang harus aku lakukan.
Hari ini Rachelle datang tepat saat bel berbunyi. Dari kejauhan, matanya terlihat sembab dan Gina menyadarinya. Dengan cepat mata sembab milik Rachelle menjadi trending. Bukan hanya di kelas, anak-anak dari kelas lain datang berganti-gantian untuk melihat Rachelle waktu istirahat, Rachelle terlihat layaknya benda yang langka. Semua orang berbondong-bondong ingin melihat benda langka tersebut dengan mata kepala sendiri. Layaknya orang tak berprinsip.
Rachelle terus menerus menatapku untuk meminta pertolongan, tapi mulutku terasa seperti tersegel rapat-rapat. Tidak ada yang keluar dari bibirku, seberapun aku ingin. Keadaan seperti ini justru membuatku merasa sesak di saat biasanya aku menikmatinya. Anehnya, hanya aku yang menganggap ini aneh, Laurena Llyod selalu datang untuk mengusir mereka yang mengganggu Rachelle. Setiap usahanya itu berhasil dengan mudah.
“Kalo …,” ucap Rena yang berhenti sejenak. “Kalo ada yang ganggu lagi, kasih tau gua. Gua bakal bantu.”
Rachelle mengangguk sambil menatap bingung. “Huh? Oh … iya. Thanks? Rena.” Mendengar Rachelle tergagap membuatku merasa stress sehingga aku menyikutnya.
“Ngapain canggung gitu? Udahlah, ayo! Lu mau latihan, kan?” Kata latihan membuat Rachelle sadar dan langsung pergi meninggalkan Laurena tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Sebelum aku mengikuti Rachelle, kutatap Laurena sekali lagi untuk mendapatinya menundukkan kepala dalam-dalam. Pikiran apa yang sedang berlari-lari di dalam benaknya tidak pernah kuketahui. Memang aku merasa penasaran, tapi semenjak dulu aku belajar agar tidak ikut campur.
Aku dikejutkan ketika Rachelle berteriak memanggil namaku. Laurena yang semula menundukkan kepala juga ikut memandang ke arah Rachelle. Kali ini, aku mengambil langkah tanpa memandang ke belakang. Masa lalu adalah hal yang harus dilupakan, dan aku siap untuk menyapa hari baru. Setiap langkahku akan penuh arti bagi diriku sendiri. Karenanya, aku akan selalu bersiap untuk menerima apa yang diberikan dunia. Mungkin saja esok hari akan lebih baik dari hari ini, kan? Kita tidak pernah tau apa yang akan dunia berikan besok.
“Hm. Udah ada langkah lanjut?” tanya Rachelle. Dia terlihat sedang mengecek isi tasnya sebelum mengeluarkan file yang dia inginkan. “Liv udah gak sabar, kan?”
“Masih planning. Belom ada dasarnya.”
“Ugh! Gara-gara Laurena Llyod, semua rencana buyar!” Rachelle membuka grandpiano yang ada sebelum memainkan melodi acak. “Kiara katanya bakal dateng.”
“Ke mana?”
Rachelle tidak menjawabku dan mulai memainkan melodi yang sangat aku kenal. Permainan yang selalu aku dengar dari permainan Sony di panti. Lagu yang akan dimainkan Rachelle ketika lomba diam-diam. Permainan Rachelle lebih lembut dari Sony, karena itu dia selalu bertentangan dengan kakaknya. Namun, ketika mereka bermain bersama, rasanya aku baru saja dibawa ke dalam dunia yang baru. Mereka adalah pasangan serasi. Bila Sony tidak meninggal, aku yakin mereka dapat membuat takjub seluruh dunia dengan permainan itu.
Jika aku bisa memutar balikkan waktu, aku berharap untuk memainkan piano bersama dengan Sony untuk terakhir kalinya. Aku bukanlah orang yang melarang kepergian mereka yang terpanggil, aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamanya untuk terakhir kali. Mendengarkan musik yang keluar dari tangannya, menggambarkan emosi sang pemain. Melihat senyumannya ketika dia memainkan piano khusus untuk diriku. Menatapku dengan tatapan penuh kasih, seperti aku memang berhak mendapatkan seluruh perhatian itu.
“Nangis lagi,” Rachelle mengumumkan, membuatku membuka mata kaget. Memang benar, dapat kurasakan pipiku basah. “Apa … gua ganti lagu aja?”
“Kenapa? Bukannya bagus kalo sampe bikin orang lain nangis?” Rachelle tidak menjawab yang membuatku khawatir. “Kalo lu menang, hadiahnya mau diapain? Trus lu bakal bilang ke ortu?”
“Gila aja!” Rachelle langsung bangkit dari kursi dan menatapku tajam. Bagi orang awam, mereka tidak akan bisa melihat ketakutan yang tercetak di mata Rachelle. Tapi di mataku, dia layaknya buku yang mudah dibaca. “Soal ini, gua gak bakal cerita. Sampe mereka sendiri yang denger.”
“Bakal jadi bahasan pas acara dong?”
Sebagai jawaban Rachelle menganggukkan kepalanya dan memberi senyuman kecut. Dia terduduk seperti kakinya sudah tidak kuat untuk menahan beban tubuhnya. Seberapa besar tanggung jawabnya? Apa yang harus dia pikul? Ditambah anak-anak sudah tau tentang Sony, apa dia akan baik-baik saja? Apa yang harus dia lakukan untuk bertahan? Apakah dia masih berhak untuk terus bertahan? Apakah dia masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki semua masalah? Apa dia masih diperbolehkan berada di kedudukannya sekarang?
Matahari tenggelam lebih cepat dari biasanya. Ini menjadi alasan aku dan Rachelle pulang lebih awal. Ketika kami keluar dari ruang latihan, suara ribut dapat kami dengar. Rachelle awalnya ingin pergi meninggalkannya, tapi suara jeritan Laurena yang memanggil nama Olivia mengganggu kami.
Lari Rachelle terasa melebihi kecepatan yang selama ini dia kerahkan. Ekspresi yang menunjukkan determinasi terukir ketika dia berdiri di depan Olivia, mendorong semua anak yang siap memukulnya. Tawa terpaksa yang keluar dari Rachelle berhasil membuat semua anak menatapnya takut. Dia mendorong Olivia untuk berdiri di sampingku.
“Rough day, huh?” Olivia mencibir dan tidak menjawabku. “Laurena. Ngapain dia ikut campur?”
“Some shit,” Olivia bergumam sehingga cuma aku yang mendengar. “Gara-gara Kiara tau-tau datengin gua ngomel-ngomel. Soal Carla kemaren.”
Kata kemarin membuatku menatap ke arahnya. Sayangnya, pandanganku tidak digubris olehnya, atau mungkin dia benar-benar tidak menyadari tatapan yang kuberikan. Mungkin Olivia sering merasa terasing di antara kami. Padahal, kami tidak memiliki niat seperti itu, namun banyak kejadian yang bisa membuat dia berasumsi demikian.
“Rachelle Demian.” Nada yang diberikan Kiara sama sekali tidak mengenakkan. Terdengar sangat jelas kebencian yang ada. “Ngapain sih lu ikut campur urusan gua? Mending lu urus dulu tuh keluarga lu!”
“Masalah keluarga gua, biar gua yang urus!” Laurena yang sekarang berada di samping Rachelle berusaha menenangkannya. “Semua yang ada di sini bubar!”
Beberapa anak terlihat ragu untuk pergi meninggalkan tempat kejadian. Banyak dari mereka yang masih bertahan, bahkan mereka terlihat menatap ke kanan dan kiri untuk memastikan yang lain juga masih bertahan untuk menonton. Tatapan yang diberikan Rachelle membuat mereka mundur, tapi tidak cukup menakuti mereka.
“DIa bilang untuk pergi!” teriakku yang berhasil membuat beberapa anak pergi begitu saja.
“Uhm … apa lu gak masalah teriak gitu?” Olivia berbisik kepadaku. Kuangkat kedua pundak sebagai jawaban untuknya.
“Kiara Charlton. Tidakkah kau pikir semua ini lucu?” Rachelle tersenyum. “Selalu kita, bukan? Betapa menyenangkannya.”
Kiara membalas dengan tawa yang kasar. Belum Kiara bisa membalas ucapan Rachelle, seperti biasa Stephanie selalu datang dan menghentikan mereka berdua. Stephanie berdiri di depan Kiara dan tersenyum kepada Rachelle, membuatnya merasa semakin marah. Rachelle memang kurang dalam menangani emosinya. Terlebih setelah kepergian Sony. Selama ini, Sony-lah yang berhasil menenangkan adik kecilnya yang terlalu bersemangat.
Rachelle juga memberi senyum kepada Stephanie, bukan senyuman manis seperti dirinya, membuatnya ikut merasa kesal. Selama ini Rachelle selalu diam dan tunduk. Aneh baginya untuk melawan sekarang. Seperti dia tau tidak ada yang akan hilang darinya sekarang. Kebanyakan anak sudah tau tentangnya. Apa lagi yang harus dia tutupi? Biar saja dia dibicarakan oleh banyak orang, Rachelle selalu berpikir seperti itu.
Tangan Rachelle menggenggam milik Laurena. “Hero in the dark always came late, right?”
“Gua belom ….”
“Ikut gua. Lu juga.” Tangan Rachelle yang lain menggenggam tanganku dan menarikku pergi.
Olivia terlihat bingung sebelum aku juga menggenggam tangannya. Bersama-sama kami mengikuti Rachelle yang pergi entah ke mana. Dari genggaman tangannya sudah terasa kalau dia marah. Laurena yang juga terseret brerusaha melepaskan genggaman tangannya. Mungkin dia merasakan sakit dari genggaman Rachelle.
Terkadang kekuatan Rachelle memang lebih kuat dari Olivia sendiri. Mereka berdua sama-sama sering dihabisi oleh ayah mereka, mungkin karena alasan itu mereka lebih kuat. Berbeda dengan Olivia, Rachelle sering melawan ayahnya sehingga hukuman yang dia dapat selalu lebih besar. Setidaknya itu yang aku tau. Tapi jelas Olivia lebih sering merasakan amukan ayahnya dari pada Rachelle.
“Kenapa?!” Teriakan Rachelle membuat kami semua terkejut. “Kenapa lu harus ikut campur selalu? Kenapa lu harus ikut-ikutan pas lu nggak dibutuhin? Kenapa, ha?!”
Olivia menahan tubuh Rachelle yang memojokkan Laurena. “Chelle, udahlah. Jangan sampe lu kena masalah.”
“Nggak! Kalo dia terus dibiarin ….”
Hanya dengan sekali pergerakan tanganku, Rachelle memilih untuk diam dan menahan emosinya. Dia berputar balik sebelum menyisir rambutnya dengan jari-jari yang sekarang pastu sudah berubah dingin. Laurena yang masih menempel dengan dingin menatap kami dengan takut. Tanpa pikir panjang, aku langung menampar Laurena.
“Raquel!” jerit Olivia yang langsung menarikku jauh dari Laurena. Dia yang menjadi korban tertunduk, mungkin tidak percaya atas apa yang telah aku lakukan. “Apa kalian berdua gila? Kenapa harus sampe gitu?”
“Anak bego kayak dia pantes dihukum.”
“Tapi nampar dia? Rachelle, lu selama ini selalu larang dia, kenapa sekarang lu malah berpihak sama Raquel?”
“Nggak. Mereka berdua bener. Orang kayak gua harus dihukum.”
🌻✨🌻
(03/04/2021)
Jadi, pagi ini aku baru sadar kalo kemaren ternyata Jumat dan bukan Sabtu TwT jadi istilahnya fast update, dan karena kelalaian tersebut, jadilah anggap itu sebagai spesial update~
Jadi minggu ini lgsg 3 chap oye!
Gimana nih chapter kali ini? Makin tegang? 😭✊🏻
Jangan lupa tinggalkan vote, komen, dan tulis pendapat kalian soal cerita ini! Share ke temen kalian dan masukin reading list serta follow aku sangat diapresiasi ^^
See you next update~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro