Chapter 23 - Quarreling
Olivia’s POV
“Lu udah liat postingan terbaru si Rachelle? Gila banget!”
“Sekolah bakal tau, kan? Masa iya didiemin orang kayak gitu?”
“Tapi menurut gua ada yang aneh lho!” Ketiga anak yang berkumpul itu sibuk membahas tentang Rachelle. Kedua temannya memandang ke tengah. “Selama ini kan kita tau banget Rachelle gimana. Mau dia ada masalah sama orang, dia bakal senyumin terus bales diem-diem.”
Perasaanku mengatakan kalau dia akan membawa-bawaku atau bahkan Raquel. Apapun itu, yang pasti mereka akan dengan senang hati membuat rumor lain tanpa dasar. Terlebih jika hal itu menyangkut tentangku. Dan saat mereka disadari menciptakan rumor, mereka akan pergi berpura-pura tidak pernah mengucapkan rumor-rumor bodoh yang sudah tersebar luas. Bodoh, tapi itu adalah kenyataan dunia. Mereka akan menjatuhkanmu dan berpura-pura tidak tau duduk perkaranya, bahkan bisa saja berpura-pura untuk mendukungmu agar terlihat baik di mata orang lain.
Langkahku menuju kelas menjadi lebih lamban dari biasanya, sebagian dari diriku karena ingin mendengar apa yang mereka bicarakan dan sebagian lagi karena malas dengan rumor yang siap meledak di hadapanku. Jika aku sudah berada di kelas nanti, mereka pasti akan menunjuk-nunjukku dan berbisik-bisik. Hal seperti itu justru membuat telingaku terasa gatal. Ketiga anak itu tidak terlihat menyadari keberadaanku, memberiku sebuah keuntungan. Di saat bersamaan, pembicaraan mereka membuatku tidak nyaman.
“Gimana kalo ternyata Carter yang bikin begitu?”
“Hah? Maksudnya?”
Anak yang di tengah berdecak. “Gimana kalo si Carter yang ngehasut Rachelle sama Raquel biar jadi brutal? Secara postingan … pasti si Carter yang ambil gambarnya! Lu tau sendiri kan kalo ….”
“Lagi ngomongin apa? Kayaknya seru. Gua ikutan, ya!”
Sebelum anak yang di tengah mendengar suaraku, dia lebih dulu melihat sepatu yang kukenakan. Dia sudah berhenti sejak menyadari keberadaanku, namun mendengar suaraku berhasil membuat mereka bertiga gemetar ketakutan dan memandang ke arahku sekilas. Senyuman yang kuberikan kepada mereka sepertinya jelas menakuti. Mereka saling bertatapan sebelum memberi senyuman canggung kepadaku, berpamitan dan lari menghilang dari pandangan.
Selama ini aku selalu berpikir, dari segi apa aku terlihat mengerikan sehingga semua orang kabur melihatku. Setiap kali aku mencoba untuk tersenyum, orang akan berkata itu mengerikan sehingga kuputuskan untuk berhenti tersenyum, padahal sudah susah payah aku buat senyumanku itu manis. Caranya mudah, aku hanya mencoba mengikuti senyuman anak-anak terkenal di kelas. Orang lain juga berkata kalau berbuat kebaikan kepada yang lain adalah cara efektif. Sayangnya, semua ini juga berakhir sia-sia.
“Nggak gua sangka si Rachelle berani nge-post gini.”
“Apa ini nggak masuk bully? Guru harusnya udah denger dong? Apa lagi banyak anak yang cepu.”
“Gua jamin si Carter yang ngehasut, ato kalo nggak dia yang hack akun si Rachelle.”
Begitu kembali mendengar namaku disebut, seketika amarah mengambil alih diriku. Meski begitu, aku menarik napas dalam dan memutuskan untuk memberi mereka peringatan dengan berdeham. Hanya sedikit saja yang menyadariku, tapi mereka langsung memberi tau yang lain tentang keberadaanku di sini. Satu kelas menjadi hening ketika aku sudah disadari keberadaannya. Tentu mereka hilang nyali begitu orang yang dibicarakan telah tiba. Tipe manusia pengecut.
Langkahku menuju tempat duduk terasa lamban. Setiap detik yang terlewati diikuti dengan pandangan anak-anak yang kaku tidak bisa bicara. Bukan karena takjub, tapi karena takut denganku. Satu-satunya yang bisa didengar dari sini hanya langkah kakiku dan mesin pendingin yang lebih berisik dari biasanya. Tarikan kursiku sepertinya menyadarkan mereka semua.
Sebelum aku duduk, akhirnya aku memutuskan untuk mulai berbicara. “Lu semua tau? Kalo gua mau … gak bakal ada anak kelas sini yang dateng lagi besok.”
“Y-ya! Jangan ngelantur lu! Emang apa salahnya kita? Toh kan cuma ngomong ….” Satu tatapan tajamku berhasil membuatnya bungkam.
“Kalo emang lu semua gak suka sama gua, sini ngomong langsung! Nggak usah jadi kek orang bangsat yang beraninya maen di belakang! Siapa yang gak tau kalo semua benci gua, hah?!”
Anak-anak di kelas terdiam mendengar omelanku. Tidak ada dari mereka yang bergerak, bahkan suara napas saja tidak terdengar sama sekali. Walau mereka diam, ekspresi yang mereka berikan bukan ketakutan, melainkan kebencian, ketidaksukaan, kekesalan. Kelas yang awalnya sunyi kembali diramaikan oleh bisikan anak-anak dan tawa mencemooh.
Tawa yang keluar dari bibir mereka terdengar menyeramkan. Diriku yang berada di bawah alam sadar bahkan berusaha membuatku agar keluar dari kelas dan menjauhi suara tawa itu. Tawa ini membuat telingaku berdengung, semakin aku berusaha mengabaikannya, semakin keras pula suaranya. Hingga akhirnya, kubanting tasku ke meja kuat-kuat.
“Kalo emang lu semua pengecut, ngaku aja! Nggak usah sok suci, b!tch!” Tanganku yang gemetar kukepalkan kuat-kuat agar tidak ada yang bisa melihat. “Kalo gua denger yang aneh-aneh, jangan harap lu bakal sekolah tenang.”
“Alah! Omdo doang aja!”
“Bacot! Bacot! Bacot!”
Kuabaikan semua teriakan itu dan keluar dari ruang kelas. Jaket yang kukenakan tidak sempat kulepas. Biarlah mereka berpikir kalau aku kabur. Benar, aku memang seorang pengecut. Hanya karena itu semua aku bahkan kabur tanpa memandang mereka sekali pun. Tentu aku terlihat bodoh di mata mereka. Anak kecil yang ketakutan.
Tubuhku ikut gemetar hingga aku tidak sadar kalau sudah menabrak seseorang. Bukan tabrakan kecil, tapi penuh dengan kekuatan. Anak yang tidak sengaja kutabrak mengerang, membuatku mendengar suara yang sangat aku kenali dan juga aku benci. Aku selalu berharap tidak perlu mendengar suara menjijikkannya. Nyatanya, satu kelas dengan dia hanya memperburuk keadaan.
“Kalo jalan pake mata!” bentaknya yang mengambil buku-buku yang berserakan. Selagi dia belum menyadariku, aku berusaha untuk kabur. “Heh! Lu pikir lu mau ke mana?!”
Tangan Carla yang dingin menyentuh tanganku yang masih mengepal. “Lepas! Lu yang jalan gak liat-liat!” Usahaku mengubah suara gagal begitu saja.
“Oh, pantesan. Olivia Carter toh.” Genggaman Carla langsung kulepas, tapi justru dia menarik pergelangan tanganku. Rasa perih menusuk seluruh tubuh, membuatku mengernyit. “Minta maap! Lu yang udah nabrak gua! Dan lu harusnya yang minta maap!”
“Minta maap? Ngimpi aja lo!” Sekali lagi aku menarik tanganku dari genggaman Carla. Kali ini dia tidak memiliki kesempatan untuk menahanku lagi.
Betapa sialnya diriku harus dipertemukan dengan Carla di pagi-pagi seperti ini. Ditambah karena di kelas sudah buruk, mengapa harus Carla yang di hadapanku? Seperti dunia sedang mencoba mengolok-olokku. Beban apa lagi yang harus aku tanggung? Apakah tidak cukup dengan semua masalah di rumah dan dengan Rachelle? Mereka semua seperti puas melihatku terus menderita.
Pagiku ditambah sial karena telat pada pelajaran pertama. Guru yang ada, pelajaran sejarah, memang selalu bersikap dingin. Menganggapku tidak pernah ada di kelas, terlebih semenjak aku membuatnya membayar telah meremehkanku dengan nilai sempurna yang dituduh hasil mencontek. Lucu, tapi aku tidak bisa tertawa karenanya.
Hal yang membuatku kesal pagi itu adalah fakta seseorang kembali menulis dan menggambar hal menyebalkan di meja. Jika ada guru yang melihat, mereka akan melaporkanku, memarahi atau membentak teman sekelasku tidak akan membawa hasil apa-apa. Pilihan terakhirku membersihkannya dalam diam. Dengan begini aku juga bisa menyimpan seluruh tenagaku untuk latihan nanti, menggunakannya untuk sesuatu yang lebih berguna.
“Ternyata di sekolah ada babu baru, ya!” seru salah satu teman sekelasku. “Kenapa nggak belajar aja sama Carla? Kan ortunya cuma tukang bersih-bersih.” Mendengar namanya disebut, Carla langsung menggebrak meja.
“Kalo punya mulut dijaga, ya! Seenggaknya orangtua gua kerjaannya jujur, emang kayak lu pada? Isinya cuma korupsi!”
“Lu bilang usaha bokap gua korupsi?!” Anak yang pertama, aku bahkan tidak tau namanya, mendorong kepala Carla seperti dia adalah hama yang harus dibasmi. “Ngaca dong! Lu harusnya bersyukur sama orang-orang kayak gua yang bikin lu dapet beasiswa!”
Carla langsung terpaku mendengar itu. Memang itu sudah menjadi rahasia umum. Sekolahan menyediakan fasilitas gratis, program beasiswa, tapi ada bayarannya. Seseorang yang mendapat beasiswa wajib mendapat nilai di atas 85 dan bisa membawa medali dalam klub yang diikuti. sedangkan Carla terancam karena nilainya. Tentu dia juga menyadari ini karenanya dia memilih untuk bungkam dan tidak mengorek lebih dalam kuburnya sendiri.
Mungkin dia hidup terlalu nyaman karena kehadiran Stephanie, tapi bahkan Rena yang seperti itu masih meragukan anak yang dicintai semua murid. Stephanie yang menjadi role model patut dicurigai, bukan dipercaya. Carla yang percaya dan bergantung kepadanya sudah salah langkah, atau mungkin dia memiliki sebuah rencana sedari awal. Tentunya berbeda jauh dengan diriku sendiri. Aku tidak pernah menyukai Stephanie. Jelas sekali kalau dia bermuka dua ... bisa dikatakan semua orang bermuka dua.
Ketika bel masuk berbunyi, tulisan-tulisan di meja masih belum kunjung hilang. Meski aku sudah merutuk dan lainnya, tidak ada yang bisa menyelamatkanku, atau bahkan mengubah apa jadinya nanti. Usaha yang bisa kulakukan hanya berupa buku-buku pelajaran yang memenuhi meja. Hanya menunggu waktu hingga ada yang menyadarinya.
“Carter!” Panggilan guru matematikaku membuat aku terlonjak dari kursi. “Di mana tugasmu?”
“Tu … gas?” Semua anak di kelas mulai memperhatikanku. Tidak sedikit yang menatap dengan senyum. “Saya sudah mengumpulkannya. Buktinya saya yang membawa buku itu kemarin!”
“Kau yang membawa? Omong kosong apa lagi yang kau ucapkan? Kepada siapa kau menitipkan buku tugas?”
“Bapak sendiri yang menerimanya!” sahutku dengan suara tercekat. “Kemarin bahkan Anda memeriksa buku milik ketua kelas. Setelahnya ….”
“Cukup!”
Teriakan guru matematikaku berhasil membuat seluruh kelas terlonjak. Mereka yang memperhatikan pertengkaran ini juga termasuk. Tidak ada yang tidak memperhatikan kami sekarang. Apakah aku merasa malu? Apa aku terlihat ada waktu untuk malu? Tatapan anak-anak sama seperti dulu, penuh dengan hinaan dan penilaian.
Penilaian yang mereka berikan kepadaku bukanlah sebuah penilaian yang bagus. Bahkan aku yakin mereka sedang merendahkan lebih dari yang seharusnya ada. Guru matematika itu memperhatikan buku-buku yang ada sebelum membaca nama-nama yang ada, mengecek apakah benar aku sudah mengumpulkannya atau tidak dan bila buku ketua kelasku ada di sana juga. Pada buku terakhir, dia mengangkatnya cukup tinggi sebelum menggebrakkan buku itu ke meja.
“Carter! Bahkan buku ketua kelasmu itu tidak ada! Apa kau sedang bermain-main denganku, hah?”
“Tidak ada?!” Ketua kelasku bangkit dari kursi sebelum menatapku penuh kebencian. “Carter … kau sebaiknya menjelaskan segalanya. Sekarang juga!”
***
Buku ketua kelas akhirnya ditemukan di dalam tas guruku, dan dia berkata kalau ada anak yang bermain-main dengannya. Apa hasil yang aku dapatkan? Hukuman. Selain itu aku menemukan bukuku berada di lemari kelas, tertumpuk dengan tugas lain. Menganggap masalah sudah selesai, guruku menolak mengambil nilai dari tugasku. Tentu saja dia berhak melakukan semaunya. Dan memotong nilaiku adalah salah satu contohnya.
Seperti dugaanku, berita tentang aku dihukum sudah menyebar ke mana-mana. Bisa dikatakan satu sekolahan sekarang tau kalau aku dihukum. Permasalahan yang ada, mereka mengira itu dikarenakan video yang di-posting oleh Rachelle sendiri. Jika masalah ini sudah sampai di telinga Rachelle, sekarang yang aku tunggu hanya ajalku saja. Di rumah pun ayah akan marah besar. Tidak ada lagi tempat bagiku untuk kabur atau menyelamatkan diri.
“Gua mau ngomong.”
Mendengar suara itu membuatku menjawab dengan malas, “Gak bisa. Nggak liat orang lagi sibuk?” Bukannya menyerah, Rachelle justru menarik tanganku.
“Gua bilang gua mau ngomong. Lu harus ikut gua!”
“Gua bilang gak bisa!” Kuhentakkan tanganku agar genggaman Rachelle terlepas. “Lu tau gua lagi dihukum, kalo gua gak ada, lu mau tanggung jawab? Nggak, kan? Jadi gak usah banyak bacot!”
Memperlakukan Rachelle seperti sekarang bukanlah hal yang aneh lagi, tapi aku tidak pernah benar-benar marah dengannya. Dia yang selama ini sudah merawatku, dan aku bahkan sudah tau kondisi keluarganya di saat yang lain tidak. Bukankah itu artinya dia mempercayaiku? Jika dia memang percaya denganku, mengapa ini terjadi padaku? Apa memang kepercayaan adalah hal yang harus aku yakini saat ini?
Rachelle menghembuskan napas kasar sebelum dia menahan tanganku yang masih sibuk membersihkan kaca. Keberadaan tangannya meminimalisir kegiatan tanganku. Aku tau dia sedang bermaksud untuk membuatku menyerah, yang tentu saja berhasil dia lakukan hanya karena aku tidak ingin ada masalah dalam waktu dekat. Rachelle memberikan sebuah senyum mengerikan.
“Kenapa orang-orang bilang kalo gua juga harus dihukum? Gua gak ada salah apa-apa.”
“Nggak ada salah?” Refleks aku menatap Rachelle. “Lu nge-post di sosmed lu aja udah salah! Lu pikir nggak bakal ada anak yang ngelaporin lu?”
“Videonya gak jelas, mereka cuma asumsi. Lagian Rena dateng gak ada luka. Kita gak apa-apain dia. Tapi lu yang bikin masalah pake acara dihukum segala. Udah sadar?”
Ucapan Rachelle membuatku mencibir. “Right. Kapan sih gua pernah bener di mata orang? Mau apapun … gua emang penjahatnya, kan?”
Rachelle tidak memberi respons dari ucapan-ucapanku. Ketika aku melangkah pergi, dia juga tidak menahanku untuk mengomeliku, yang tidak seperti dirinya. Mungkin reaksi yang dia berikan disebabkan karena mengingatkan akan masa lalunya yang kelam. Berhubungan dengan Sony, atau sesuatu dengan keluarganya. Apapun alasannya, aku tidak peduli. Jika dia memang tidak mengelak ucapanku, berarti dia juga setuju dengan apa yang ucapkan barusan. Aku adalah penjahat di mata semua orang.
Setelahh balik dari ruang guru untuk melapor aku sudah menyelesaikan tugasku, aku harus berhadapan dengan Carla. Dia terlihat sedang bersiap-siap untuk menuju club dance-nya itu. Ketika dia menyadariku, secara bersamaan kami langsung menghela napas. Sekarang aku sudah tidak tau berapa kali aku menghela dalam sehari. Terlalu banyak melakukannya ketika bertemu dengan hal-hal yang tidak kusukai. Dalam sekolah, hampir semuanya kubenci, jadi itu sudah bisa menjelaskan segalanya.
“Minggir.” Carla tidak memandang mataku barang sekali saja.
“Jalanan lebar, gak usah sok yang punya sekolah.” Carla masih berdiam dan tidak bergerak. Hal seperti inilah yang membuatku semakin membenci dirinya. “Masih gak mau pergi?”
Carla berdiri semakin tegak. “Kenapa harus gua? Kenapa nggak lu aja? Kenapa harus gua yang ngalah?”
Mendengar Carla berbicara seperti itu kepadaku seketika menyulut emosi yang sudah kupendam sejak pagi. Belum sempat aku menyerang Carla, langkahku terhenti secara otomatis, teringat akan semua masalah yang sudah ada sejak pagi. Kuputuskan untuk menyerah saja sehingga satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanya menabrak pundaknya dengan keras. Bila dia memang ingin membuatku dihukum lebih banyak lagi, kali ini dia salah. Aku terlalu sibuk untuk itu semua.
Meski aku hanya melakukan itu, Carla sepertinya ikut tersulut emosi karena dia langsung menarik pundakku dan menampar wajahku tanpa ragu. Anak-anak yang berada di sekitar kami terdengar rusuh. Entah apa yang sedang mereka teriakan karena yang bisa kudengar hanya detak jantungku yang terus menggebu-gebu. Aku berusaha sekeras mungkin untuk menahan emosi yang siap keluar dari dalam diri, berusaha untuk menenangkan diri dan berkata kalau semua ini hanya salah paham saja.
“Stephanie! Panggil Stephanie, cepet!” Hanya itu yang bisa kudengar sebelum ada seseorang yang menarikku menjauh.
“Carla! Carter!”
“Dia yang memulai! Dia yang menyebabkan semua kekacauan ini. Jika dia bisa menutup mulutnya barang sekali saja …!”
“Carla, cukup!” Bentakan Stephanie berhasil membuat Carla diam. Di antara keramaian, hanya napas Carla yang berat kudengar.
Dua anak yang menahanku dengan mudah kulepaskan. Mereka juga tidak berniat untuk melawan. Mungkin merasa takut akan terjadi sesuatu jika melawan diriku. Pemikiran mereka akan seperti itu, tapi aku merasa tidak bisa melawan siapa-siapa hari ini. Rasa lelah yang tumbuh di dalam diriku nyaris membuatku jatuh saat ini juga.
“Jelaskan, apa yang sebenarnya kalian lakukan? Sikap bodoh apa yang kalian lakukan?!”
“Urus aja masalah lu sendiri!” tegasku kepada Stephanie yang memicingkan matanya ke arahku, menuduhku menjadi biang dari masalah.
Sebelum Stephanie bisa mengucapkan apa-apa kepadaku, aku langsung merapihkan jas dan mengambil tasku yang tergeletak di lantai. Kuberikan Carla tatapan mematikan untuk terakhir kali sebelum pergi meninggalkannya. Kata-kata kasar keluar dari bibirnya, tapi aku tidak bisa peduli. Aku bukanlah boneka siapa-siapa. Aku akan hidup sesuai kemauanku sendiri.
🌻✨🌻
(02/04/2021)
Ending semakin dekat!! Kalian udah siap belum nih menerima endingnya? Xixixixi
Jangan lupa tinggalkan vomments kalian dan share pendapat kalian soal cerita ini ya ^^
Masukin ke reading list dan follow author juga sangat diapresiasi~
Bisa rekomendasiin ke temen juga kalau kalian suka ^^
See you next update~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro