Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 15 - The Other Side

Raquel’s POV

“Niel, kenapa pulang terlambat? Kau bahkan tidak memberi kabar sama sekali.” Mom yang menyambutku menatap dengan bingung. “Darah? Apa kau terluka, Sayang?”

“Tidak, Mom. Ini … darah teman.” Mom menatapku dengan tajam, seperti meminta penjelasan lebih rinci. “Rachelle mengajakku makan es krim bersama satu anak lagi. Dia menghalau perampok di toko itu, tidak sengaja dia ikut terluka.”

“Siapa namanya? Apa latar belakangnya? Bagaimana kau bisa kenal dengannya? Dan kau masih dekat dengan Rachelle? Mom kan sudah bilang, siapa saja selain dia! Kau sendiri yang berkata ….”

Mom, cukup!”

Atas perintahku ini, mom akhirnya diam. Matanya menunjukkan amarah, tapi dengan cepat dia menggantikannya dengan sebuah senyuman. Ini tidaklah asing bagiku, ini adalah keseharianku di rumah ini. Mungkin jika aku anak kandung mereka, mereka akan bisa lebih menyayangiku. Walau begitu, mereka jauh lebih menyayangiku daripada keluargaku yang sebelum-sebelumnya, mereka sama sekali tidak menghargai diriku.

Mom meletakkan tangannya di pipiku dan mengelusnya beberapa kali sebelum menarik tanganku untuk mengikutinya masuk. Mom mendudukkanku di sofa sebelum pergi dan kembali dengan segelas teh hangat. Andai aku bisa menikmati teh ini dengan nikmat, sayangnya aku tau akan ada banyak pekerjaan yang menungguku bersamaan dengan datangnya teh ini. Kebaikan seseorang selalu harus dibayar, bukan?

“Bisa kau jelaskan bagaimana kejadiannya secara rinci?”

“Maaf, Mom, tapi aku harus membantu Rachelle.”

Mata mom berkedut ketika nama Rachelle lagi-lagi kusebut. Tapi bukannya marah, mom berusaha untuk menyunggingkan sebuah senyum kepadaku. Mom menganggukkan kepalanya dan memberi gelas teh itu kepadaku. Dia langsung bangkit dan membuatku ikut bangkit bersamanya. Tatapannya seperti ingin mengatakan kalau aku sudah tidak diperlukan lagi.

Berusaha menjadi anak yang baik, aku mengikuti permintaan mom dan masuk ke dalam kamar tidurku. Kuletakkan gelas berisi teh di atas nakasku dan kuletakkan tas sekolah yang masih tersampir di pundakku pada single sofa yang ada di kamarku. Masih dengan seragam, aku merebahkan diri di samping tas sekolahku. Mengambil bantal dan meletakkannya di atas ranselku.

Sebelum mataku sempat menutup, aku memutuskan untuk mandi dan mulai mengerjakan semua tugas sekolahku. Teh yang aku bawa kutinggalkan sampai dingin. Aku tidak pernah suka makanan atau minuman yang panas, mungkin karena alasan ini juga orang-orang menjulukiku sebagai ice queen. Ke mana pun aku pergi, aku selalu membeli yang dingin, termasuk makanan berkuah. Aku akan menunggu sampai sudah tidak panas lagi.

“Akhirnya lu nelepon juga! Gua udah mikir lu ganti pikiran buat ngajarin gua tau! Mau dari mana nih?”

“Bebas.” Kali ini aku membaringkan diri di kursi beroda. Berputar beberapa kali sembari mendengarkan ocehan Rachelle sebelum membuka buku pelajaran. “Soal-soal udah lu kerjain?”

“Baru setengah,” keluh Rachelle. “My Lord, bantu saya menyelesaikan soal-soal ini.”

“Apa sih?!”

Lagi-lagi Rachelle hanya terkekeh sebagai jawaban dari ucapanku ini. Awalnya kami hanya bercanda sebelum serius mengerjakan soal-soal yang ada. Rachelle sendiri merupakan anak yang pintar, dia hanya malas, tidak jauh berbeda dengan Olivia. Namun olivia tidak sepintar Rachelle, dia harus belajar keras untuk nilai yang  bagus. Rachelle sendiri lebih pintar dari Kiara, tapi nilainya sering berada di bawah anak itu.

Keluarga Rachelle tidak pernah memikirkan tentang nilai, yang paling penting mereka utamakan adalah sikap. Tapi dibalik itu semua, ada hal yang sampai sekarang Rachelle tutupi. Bahkan dia tidak pernah bercerita kepadaku. Kemisteriusannya inilah yang sering membuat Mom tidak ingin aku berada dekat dengannya. Alasan ini dan beberapa hal yang aku sendiri tidak mau ingat sama sekali.

“Selesai! Si Olip apa kabarnya ….” Rachelle terdiam dan suara buku yang dibanting menutup dapat terdengar. “Dia gak ada chat. Pas dia sebut nama gua, si Samuel itu kayak panik marah gimana gitu.”

“Mungkin gara-gara ‘Carter tidak akan memiliki teman’ itu,” jawabku tak acuh, mengingat kata-kata yang pernah dia ucapkan bersamaku pertama kali. Terdengar suara Rachelle menghembuskan napas berat, hal yang tidak biasa darinya. “Kenapa? Khawatir sama dia? Besok juga ketemu.”

“Gimana kalo si Samuel sampe nyakitin dia? Dia juga pernah cerita, kan? Gua … ngerasa gua harus peduli ke dia. Kayak dia itu adek gua sendiri.”

Ucapan itu membuat kami terdiam. Rachelle sendiri sudah menganggapku sebagai adiknya sendiri, tapi sering kali aku hanya membawa kenangan buruk baginya. Dia memang tidak mengakuinya, tapi aku dapat merasakannya. Kadang ini membuatku merasa bersalah, tapi aku membuang pikiran itu jauh-jauh. Jika Rachelle tau, dia bisa mengamuk.

Bagi Rachelle, aku adalah satu-satunya yang menjadi pengingat, dan dia tidak mau sampai kehilangan arahnya dan melupakan semua itu. Dia seperti menjadikanku sebuah tambat dan dirinya adalah kapal yang mengapung di lautan. Tanpa aku, Rachelle akan hilang, tersesat, dan tidak tau harus bagaimana. Kami saling membutuhkan.

Lamunanku terpisah ketika Rachelle kembali menghela napas berat. Satu-satunya yang bisa aku katakan kepadanya hanya sebuah kebohongan. Semuanya akan baik-baik saja. Kapan keadaan akan baik-baik saja? Masalah selalu datang silih berganti, tak pernah kenal lelah. Mereka juga tidak pernah memandang siapa yang akan mendapatkan masalah tersebut.

“Tidurlah. Besok ulangan, jangan sampe lu ngantuk di kelas.”

Says the one who always sleep at class,” sindir Rachelle diikuti dengan sebuah tawa. Andai aku bisa terus membuatnya tertawa.

“Gua tidur, tapi nilai selalu di atas lu, kan?” Gerutuan dan makian Rachelle dapat terdengar atas balasanku ini. Memang menjahilinya sangat menyenangkan. “Gua masih ada kerjaan. Gua tutup ya.”

“Hm. Good ….”

Belum habis Rachelle berucap, aku sudah mematikan sambungan telepon. Bukan karena apa, tapi aku akan merasa canggung, terlebih kalau aku juga harus mengucapkan kata ‘good night’ kepadanya. Memikirkannya saja sudah membuatku bergidik ngeri. Rachelle sekarang juga sudah terbiasa dengan aku yang langsung mematikan telepon. Tinggal menunggu besok dia marah.

***

Seperti dugaanku, ketika Rachelle datang pagi-pagi, dia langsung berderap ke arah kursiku dan menggebrak meja. Beberapa anak yang datang pagi, termasuk Rena, terlonjak dari kursi mereka dan menatap kami berdua. Pandangan marah Rachelle tidak kugubris, dan anak-anak lain pun sudah sibuk dengan diri mereka lagi, merasa tidak ada yang perlu ditonton. Hal seperti ini seperti sudah jadi asupan bagi mereka.

“Kenapa sih telepon gua dimatiin? Gua belom selesai ngomong tau!”

“Udah gak penting.” Rachelle menarik napas terkejut. “Belajar sana.”

“Gak. Sikap lu harus diubah. Pokoknya lu harus dengerin telepon gua, cuma gua yang boleh matiin pas lagi telepon.” Semua ucapannya itu tidak kujawab, Rachelle pun terlihat menyadari sesuatu. “Eh … udah ketemu Olip?”

“Belom dateng.”

Balasan singkatku itu berhasil membuat Rachelle menjadi tegang. Dia berdiri dengan tegak, wajahnya menatap kosong, menunjukkan dia memikirkan banyak hal sekaligus. Kutahan helaan napasku yang nyaris keluar ketika melihat keningnya berkerut sangat dalam. Dia tidak pernah memberi dirinya waktu sebentar saja hanya untuk rehat. Dia selalu saja memaksakan dirinya. Dia selalu merasa harus peduli kepada siapa pun saat itu juga sampai lupa untuk memperhatikan dirinya sendiri.

Rachelle menyadari tatapanku karena dia langsung mengubah ekspresinya. Susah payah dia mencoba mengukir sebuah senyuman di bibirnya. Tapi dapat sangat terasa kepalsuan dari senyuman itu. Kali ini Rachelle tidak mencari gara-gara dan duduk di kursinya. Suaranya yang bising mengeluarkan buku dapat terdengar oleh anak-anak kelas yang terdiam. Dia sudah terbiasa denganku, membuatnya tau untuk tidak berusaha melawan saat dia seharusnya memperhatikan diri sendiri.

Karena hari ini adalah hari ujian, jam masuk diperlambat tiga pulu menit, sehingga walau sudah pukul tujuh bel tidak berbunyi. Semua anak tetap diwajibkan masuk pukul tujuh karena wali kelas akan datang dan memantau. Setiap anak diberi kebebasan untuk bermain ponsel atau belajar, semua kecuali keluar ruang kelas. Bahkan kami sudah tidak diperbolehkan untuk ke perpustakaan.

“Waktu kalian lima menit lagi, yang mau ke toilet, pergi per lima orang, oke?”

“Baik.” Beberapa anak langsung bergerombol untuk memilih teman.

“Mau ke toilet?” bisik Rachelle dari belakang.

“Nggak, lu kalo mau pergi aja.”

Tanpa perlu melihatnya aku sudah tau bagaimana ekspresi Rachelle mendengar jawabanku itu. Kening berkerut, mata dipicingkan, dan bibir yang dimajukan. Mau cara apapun, dia tau kalau aku tidak akan menurut jika memang bukan kemauanku sendiri. Rachelle terkadang bahagia dengan ketetapan hatiku, tapi dia lebih sering benci fakta ini. Dia tidak bisa mengubah apa yang aku inginkan hanya dalam beberapa kali coba, dan sering kali tidak akan pernah berubah sama sekali.

Rena, yang entah bagaimana sepertinya mendengar percakapan kami, mengajak Rachelle pergi bersamanya. Selama Rachelle ke toilet, Kiara dan Gina saling tukar pandang tapi tidak melakukan apa pun. Aku tidak yakin kalau sebenarnya mereka takut, tapi mereka lebih terlihat sedang merencanakan sesuatu. Yang jadi pertanyaan, siapa target mereka? Rena atau Rachelle?

“Siapa yang masih di toilet? Berapa anak yang belum pergi?” Suara guru pengawas hari itu menggelegar, mengejutkan setiap anak yang belajar pada detik-detik terakhir. “Saya tunggu lima menit lagi.”

Waktu yang singkat itu berhasil membuat setiap anak berkumpul. “Tadi ada yang aneh, gak? Perasaan gua nggak enak nih.”

“Gina sama Kiara yang aneh.”

Terasa kalau Rachelle sedang termenung. Dia mengecek semua peralatannya, mencoba menggunakannya, bahkan membongkar pasang setiap alat yang bisa dibuka. Hukuman bagi orang yang mencontek sangat brutal, akan buruk jika pada saat seperti ini Rachelle mencontek. Lagipula, dia tidak perlu melakukannya. Semua jerih payah yang dia kerahkan lebih dari cukup. Aku sungguh yakin kalau dia akan baik-baik saja dalam ujian kali ini.

“Saya tidak akan menoleransi tindak kecurangan, dalam bentuk apa pun itu. Jika saya melihat hal tersebut, peserta ujian yang bersangkutan akan langsung masuk ke ruang guru dan lembar jawab kalian akan saya sita.” Semua anak kelas terdiam dan suasana tegang mulai tercipta. “Mengerti?”

“Mengerti, Pak.”

“Bagus. Beri kertas ke belakang.”

Pembagian lembar jawaban berlangsung cepat dan kami semua langsung mengisinya. Rachelle sempat-sempatnya mengetuk-ngetuk pensil ke meja, yang untungnya tidak jadi masalah, tindakannya ini sangat terbaca, dia sedang merasa khawatir, gelisah, gugup, takut, tegang. Semua itu bercampur menjadi satu membuatnya tidak bisa tenang. Rasa gugupnya sudah memenuhi dia.

Tanpa menghiraukan suara yang dikeluarkan oleh Rachelle, aku mulai membaca soal yang sudah dibagikan. Erangan beberapa anak dapat terdengar ketika mereka membaca soal yang ada, tapi aku hanya tersenyum kecil ketika membacanya. Aku merasa lega, bukan karena aku bisa, tapi Rachelle dapat menyelesaikan ini semua dengan mudah. Dia tidak akan menghadapi masalah apa-apa.

“Raquel,” panggil guru itu di tengah aku mengerjakan soal. “Kalau kau sudah selesai mohon langsung kumpul dan tunggu di depan sebentar.”

Setiap pasang mata dari anak kelas terlihat menyorot ke arahku. “Baik saya mengerti.”

Awalnya aku tidak merasakan tekanan apa pun saat mengerjakannya, tapi begitu guru itu menyebut namaku rasanya ada sebuah beban yang diletakkan di punggungku. Guru itu memiliki ekspetasi, dan aku harus memenuhi ekspetasinya. Ada harapan besar yang dia minta dariku, dan dia akan kecewa jika aku tidak bisa memenuhi itu. Aku harus bisa memenuhi ekspetasi itu, atau aku sendiri akan terlihat seperti lelucon. Jika aku gagal, aku adalah sampah.

Tanganku terasa gemetar, pen yang kugenggam pun ikut bergetar. Bahkan aku rasa seluruh tubuhku ikut gemetar karena rasa panik dan takut. Tangan yang hangat tiba-tiba saja menyentuh pundakku dan memberi gesture menenangkan. Rachelle seperti tau bahwa beban dari para guru itu terasa menyesakkan, dia seperti mengenalku yang tidak bisa ditekan seperti itu. Setelah beberapa saat, aku merasa jauh lebih tenang sehingga Rachelle juga melepas tangannya.

“Gak usah gugup. Tenang aja. Lu pasti bisa kok.”

Thanks,” gumamku yang tidak yakin didengar oleh Rachelle.

Kembali fokus pada ujian, semua terasa lebih mudah. Tidak ada lima belas menit semua soal sudah kujawab, bahkan aku sendiri merasa terkejut ketika melihat tidak ada lagi soal yang kosong. Setelah mengecek ulang jawaban, kuangkat tanganku yang menarik perhatian banyak anak. Beberapa mengerang kesal dan yang lain tidak peduli. Beberapa juga ada yang takjub melihatku sudah selesai mengerjakan soal. Respons yang selalu kulihat setiap kali aku mengumpulkan tugas atau lembar ujian.

“Ah, bagus, bagus. Maju ke depan dan bawa lembar jawabanmu, biar aku periksa lebih dulu.” Kertas yang aku berikan langsung dibaca saat itu juga.

“Bagaimana, Pak?”

“Kau boleh keluar. Pekerjaanmu sungguh menakjubkan. Istirahatlah.”

“Baik, terima kasih banyak.”

Sebelum keluar dari kelas aku melihat Rachelle yang mengeja nama Olivia. Dia memintaku untuk mengecek keadaannya. Awalnya aku menolak, tapi entah bagaimana kakiku sendiri yang membawaku menuju gedung SMP.  Sebenarnya aku tidak tau di mana kelas Olivia berada, tapi aku terus mengitari gedung, mencari ruang kelas sembilan, yang ternyata ada di lantai tiga.

Suasana semua kelas terasa menegangkan, tapi sudah banyak kursi yang juga kosong. Aku sama sekali tidak tau jadwal SMP di sini karena sebelumnya aku tidak sekolah di sini. Setelah beberapa menit mencarinya dan gagal, kuputuskan untuk bertanya kepada salah satu anak yang ada di sekitarku. Tidak ada salahnya kan jika bertanya? Benar … kan? Kukesampingkan keraguanku itu dan mendekati salah satu anak yang hanya diam saja.

“Uhm … kau kenal Olivia?”

Anak itu menatapku dari atas hingga bawah. “Olivia Carter? Dia sudah ke kantin. Anak itu sikapnya aneh, lebih aneh dari biasanya. Baguslah ada yang memperhatikannya.”

“Oh-ohh. Terima kasih.”

Anak itu menganggukkan kepalanya kepadaku sebelum pergi begitu saja. Setelah semua usahaku, jika dia sampai tidak ada di kantin, aku akan benar-benar mencekiknya. Tidak peduli apakah dia pandai bela diri atau tidak, aku tidak akan mengampuninya. Kuambil langkah besar dan mulai berjalan ke arah kantin yang telah aku lewati sebelumnya.

Kerumunan anak yang ada di sana membuatku merasa sesak. Aku berusaha untuk mencari Olivia tanpa harus masuk ke dalam kerumunan itu. Sayangnya, lautan manusia di hadapanku lebih parah dari dugaanku. Pilihan terakhirku, akhirnya aku masuk ke dalam kerumunan yang sibuk berteriak dan mencari Olivia. Dalam keramaian tersebut, mencari seseorang yang kecil tidaklah mudah. Seperti mencari jarum di dalam jerami.

Sepanjang pencarianku, banyak yang berhasil mendorongku dan bahkan menghimpitku. Setelah beberapa saat terjebak dalam hiruk pikuk anak-anak di kantin, aku memutuskan untuk duduk di kursi terdekat dan mengambil napas panjang. Jika bukan karena permohonan Rachelle, sudah pasti aku kembali ke kelas sekarang. Sayangnya, ini adalah Rachelle yang memintanya.

“Benar-benar,” gumamku kesal. Kukepalkan tanganku dan kugebrak meja di hadapanku. “Kalo sampe tuh anak ketemu, bakal ….”

“Raquel?”

Suara familier itu mengundang perhatianku. “Eh? Carter?”

“Ngapain lu di sini?”

Selama sesaat aku hanya bisa berkedip beberapa kali. Pakaiannya bukan aneh, melainkan berbeda dari biasanya. Dia mengenakan sebuah hoodie hitam yang jauh kebesaran, mungkin milik Samuel, dan dia bahkan menggunakan tudung dari jaketnya itu. Pantas saja aku sempat tidak bisa mengenalinya. Dia bahkan menunduk sangat dalam!

Tiba-tiba saja aku tersadar dari lamunanku dan ingat alasan mengapa aku ada di sini dan apa yang sedang aku lakukan. Aku juga kembali teringat alasan mengapa aku sangat marah sebelumnya. Kembali kukepalkan tanganku untuk menahan emosi yang mulai memuncak sebelum aku menunjuk Olivia yang justru ikut terlihat kesal dengan perbuatanku.

“Kenapa lu gak bales PC-nya Rachelle? Trus kemaren, lu di rumah kenapa? Rachelle sampe gangguin gua terus gara-gara penasaran!”

“Bukan urusan lu.” Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam ketika mendengar jawaban dingin dari Olivia.

Memang Olivia bisa bersikap dingin kapan pun dia inginkan, namun, sikapnya kali ini sungguh terasa aneh. Seperti dia sedang mencoba menutupi sesuatu. Kutarik jaket dari kepalanya agar aku bisa melihat wajahnya lebih baik. Kali ini aku tidak dipertemukan dengan lebam seperti biasanya. Pipinya terplester, bahkan rahang kanannya juga. Tanpa sadar aku sudah menahan napas ketika dia kembali menggunakan hoodie-nya. Dia berusaha menutupi itu semua dari orang lain yang berada di kantin.

“Maksud lu apa, hah?” serang Olivia yang bangkit berdiri.

Tidak mau kalah, aku juga ikut bangkit. “Apa maksud semuanya? Sebenernya lu kenapa? Cerita sama gua! Gua itu temen lu, kan?”

“Seorang Carter tidak ditakdirkan memiliki teman. Dan kau tidak menganggapku teman, bukan begitu, Raquel Daniel Owen?"

🌻✨🌻

(06/03/2021)

Update! Gimana nih chapter yang satu ini? Komen dungs perasaan pengalaman kalian baca ini xixixixi

Ucapan Olivia yang terakhir karena apa ya~ ada yang bisa tebak?

Jangan lupa tinggalkan vomments kalian! Masukkan ke reading list, share ke temen kalian, dan follow aku untuk update cerita lain ^^

See you next update!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro