Chapter 12 - Broken People
Raquel’s POV
“Lu gak ada niatan langsung lulus?” Rachelle yang bertanya kepadaku menyesap minuman di tangannya dengan pandangan menusuk.
“Gak.” Jawabanku yang singkat berhasil membuat Rachelle mencibir. “Kenapa lu tiba-tiba jadi peduli banget sama gua?”
“Penasaran.” Kini berganti Rachelle yang menjawabku dengan singkat.
Semenjak masalah dengan Sony, Rachelle memang sedikit berubah. Entah karena alasan apa, namun dia terlihat sangat hati-hati hampir dengan semua hal. Dan yang lebih anehnya, dia bahkan memerintahkan Olivia—yang anehnya menurut—untuk memantau Carla. Aku tidak pernah mendengar pembicaraan mereka dengan lengkap, tapi aku tau kalau Rachelle memerintahkan hal tersebut kepada Olivia, tanpa alasan yang jelas.
Aku tidak tau kali ini masalah apa yang akan diciptakan oleh Carla. Dia sudah terlalu banyak mencari gara-gara dengan banyak orang, tidak heran kalau dia sampai di-bully. Apa lagi karena penampilannya sekarang. Siapa pun juga akan setuju denganku dalam hal ini. Tapi terlepas dari itu semua, Carla memang terasa aneh. Dalam class meet ini dia seperti terus mencari cara untuk mendekatiku dan berbicara denganku.
Olivia terasa seperti personal guard-ku. Setiap Carla datang menghampiri, dia akan menghalanginya dalam hitungan detik. Sepertinya juga ada masalah yang terjadi di antara mereka di kelas, namun Olivia tidak menceritakan apa-apa kepada kami. Bahkan Rachelle yang biasa paling tau tentang kami tidak pernah bertanya atau merasa adanya masalah di antara mereka berdua. Mungkin itu dikarenakan dia yang fokus kepada Rena.
“Tumben banget anjing penjaga kalian gak ada. Bosen sih pasti abis jagain orang-orang kayak kalian.” Suara khas Carla memecahkan keheningan yang ada di antara aku dan Rachelle.
“Scram off!” Terlihat jelas kalau Rachelle sedang merasa tidak enak, hal yang patut aku pertanyakan mengapa.
“Lu sangka gua babu lu yang bakal nurutin lu kayak anjing penjaga lu? Gara-gara dia, semua orang jadi ngatain gua! Cuma hari ini, gua bakal biarin lu bedua seenaknya. Urusan gua ada sama si anjing.”
“Mata lu ada empat, cari aja sendiri,” ucapku datar. Kututup buku yang semula aku baca dan siap beranjak. Tangannya yang menjijikkan itu tiba-tiba menahanku, dari situ aku tau kalau Carla tidak akan keluar hidup-hidup.
Senyuman di wajahnya menghilang ketika ada tangan yang menonjok wajahnya, tentunya bukan aku. “Katanya lu ada urusan sama anjing penjaga ini, kan? Ngapain gangguin tuannya? Awas lho, anjingnya anjing herder, yang sekali gigit tangan lu bisa putus.”
Olivia sudah bersiap untuk memukul Carla sekali lagi, tapi Rachelle lebih cepat dan langsung memeluknya dari belakang. Untuk urusan kekuatan, Rachelle pastinya kalah, tapi dia sepertinya sudah menyentuh bagian sensitif Olivia karena anak itu mengernyit kesakitan. Aku tidak tau apakah Rachelle menyadarinya atau tidak, tapi dia tentu tidak terlihat akan segera melepaskan pelukannya itu.
Carla yang menerima pukulan keras dari Olivia mengerang dan menjerit kesakitan seperti hal yang sangat buruk terjadi kepadanya. Beberapa anak mulai mengerumuninya, bahkan guru olahraga kami datang untuk mengecek keadaan yang ada. Pastinya dia merasa kecewa, tapi dia lebih terlihat marah kepada Carla dan bukan Olivia yang melakukannya.
“Kooper! Apa yang kau lakukan?!”
“Saya tidak melakukan apa-apa, Olivia yang memulainya.”
“Seorang petarung tidak mungkin menggunakan kekuatannya tanpa alasan. Carter, basuh mukamu. Kau ada pertandingan setelah ini.”
“Baik,” jawab Olivia malas. Basket selalu jadi kebahagiaan Olivia, dan melihatnya seperti itu terasa layaknya dia yang sedang terpaksa.
“Demian, Owen, kalian pergi ke kantor guru dan laporkan ini. Cath, temani mereka.” Anak yang bernama Cath, kakak kelas kami, mengangguk takut-takut. “Dan Lambert, kau ikut aku.”
Carla yang masih merintih kesakitan tidak memiliki pilihan selain mengikuti kata-kata guru olahragaku. Kuperhatikan wajah Carla lekat-lekat, namun tidak ada darah yang keluar dari sudut bibirnya. Memang pipinya terlihat merah dan sedikit bengkak, namun tidak separah itu. Olivia benar-benar tidak mengkontrol kekuatannya cukup baik, tapi aku sendiri cukup puas dengan hasil yang dibuat oleh Olivia kepada Carla.
Hari ketiga class meet adalah jadwal full tanding untuk Olivia dan karena alasan itu, kami dipaksanya untuk menonton sehingga kalau Carla datang dia bisa berpura-pura melempar bola ke arahnya. Rachelle tertawa puas karena membayangkan dan aku hanya mengangguk kecil menanggapi ucapannya. Terkadang cara terbaik memang menggunakan kekerasan, terlebih untuk seseorang seperti Carla yang tidak kunjung mengerti.
“Jangan nangis kalo lu kalah,” ucap Rachelle yang sibuk memainkan piano di ponselnya. Dia sedang latihan untuk rekaman sebelum sekolah libur cukup panjang.
“Seorang Carter tidak akan kalah.”
“Hm, tumben bangga bawa nama Carter,” celetukku yang tidak kusadari. Olivia langsung melempar botol minumnya ke arahku.
“Diem kalo gak mau gua banting ke lantai.”
Bukannya aku takut dengan Olivia, dan lagipula, bukannya aku mau menantangnya atau merasa aku lebih kuat, tapi sesuatu dalam diriku merasa dia mengucapkan itu hanya sebagai candaan dan tidak benar-benar serius. Walau serius, mungkin saja dia akan menyesalinya seumur hidup. Atau tidak. Dia juga pernah berkata kalau seorang Carter tidak akan menyesali pilihan yang telah mereka ambil.
Permainan Olivia patut diacungi jempol. Bahkan dia bisa membuat Rachelle berhenti bermain ponselnya dan fokus menonton pertandingan yang ada di hadapannya. Melihat Rachelle yang terpana membuatku mulai berpikir apa alasannya memilih Olivia. Setelah sekian lama, aku tidak pernah tau alasannya atau bagaimana mereka bisa saling mengenal. Yang pastinya bukan karena aku karena selama satu tahun aku tidak pergi ke sekolah.
Setiap gol yang dicetak oleh Olivia membuatnya tersenyum puas. Matanya memang menunjukkan kepuasan, tapi aku tidak dapat melihat kebahagiaan. Dia terlihat kesepian. Ini membuatku sadar, walau dia mencetak gol, tidak ada partner-nya yang memberinya semangat atau berbagi kebahagiaan itu, semuanya hanya memanfaatkan dirinya untuk memenangi ini, tapi Olivia bahkan tidak melawan itu semua.
“Gua mau ngomong.”
“Minggir, kita lagi sibuk. Mending lu ganggu orang lain. Gabung sono bareng Gina lu tersayang.”
“Gua gak ada urusan sama dia, lagian, dia lagi sibuk bersihin hama satu itu.” Rachelle yang mendengarnya langsung bangkit dan menampar Carla. Dia tentu sudah tau siapa yang dimaksud oleh Carla.
“Lu apain Rena lagi, hah? Belom puas lu nyakitin dia?!”
“Lho? Seinget gua terakhir kali lu juga marahin dia deh. Jadi, gak usah sok main super hero.”
Kutatap Rachelle dengan bingung, aku memang menyadari perubahan pada Rena sebelum ujian berlangsung. Entah apa yang dikatakan atau dilakukan oleh Rachelle, tapi melihat dari responnya pasti ada yang salah. Saat di UKS aku memang mendengar samar-samar kalau Rena menanyakan sesuatu tentang kami lewat Olivia, tapi aku juga tau kalau Olivia tidak bisa menjawab pertanyaan itu karena dia tidak mengenal kami begitu dekat.
Rachelle menggigit bibir bawahnya, hal yang sangat jarang kulihat setelah kejadian itu. Carla menatap Rachelle dengan menantang. Sebuah senyum terukir di bibirnya. Terlihat dia seperti sudah menang akan sebuah permainan yang dia mulai. Aku memutuskan untuk membisikkan sesuatu kepada Rachelle. Walau dia terlihat dingin di hadapan beberapa orang, aku tau maksud sebenarnya dari dia baik.
“Cari Rena, biar gua yang urus.”
Rachelle menepuk pundakku tersenyum. “Kalo udah aneh-aneh, diemin aja.” Sebagai jawaban aku hanya menganggukkan kepala dan menatapnya pergi.
“Bakal seru nih,” kekeh Carla yang tidak kuhiraukan. Tidak ingin meninggalkan Olivia, aku memasang earphone-ku dan menatap Olivia yang sudah kelelahan.
“Pergi, gua gak ada urusan sama lu, mau lu ada urusan juga.”
Olivia yang sedang senggang menatap ke arahku dan menyadari kalau Rachelle sudah tidak ada di sekitar dan justru digantikan oleh Carla. Jelas sekali dari wajahnya kalau dia sedang panik, bahkan dia sudah mulai berkomat-kamit sendiri, tidak jelas apa yang dia bicarakan. Perhatiannya kembali ke permainan ketika seorang anak mendorongnya dengan keras.
Carla dengan beraninya melepas earphone-ku dari telinga dan bahkan mengambil ponselku yang berada di kantung jas sekolah. Dia memasukkan ponselku ke dalam saku roknya. Bisa saja aku langsung mengambilnya, tapi dia tentu akan memulai drama lagi. Aku tau permainan sekarang sangat penting bagi Olivia sehingga aku tidak mau mengganggu momen pentingnya.
“Balikin.”
“Oh, bisa ngomong toh? Gua kira selama ini butuh juru bicara. Anjing penjaga lu kayaknya keganggu tuh. Kalo sampe kelas gua kalah … kira-kira siapa yang bakal disalahin? Kan lu pinter, coba jawab buat gua.”
“Pake otak lu sendiri!” sahutku dingin. Tatapan dinginku kuubah jadi sebuah tatapan terkejut. “Oh, tunggu. Lu nggak punya otak!”
“Sialan!” jerit Carla yang meraih kerahku.
Serangannya sangat mudah dibaca dan juga tidak terlihat menyeramkan sama sekali. Aku langsung menghindari serangannya itu, membuat dia merasa semakin kesal lagi denganku. Reaksi yang dia berikan seketika membuatku merasa puas, seperti rasa sakit darinya adalah kebahagaianku tersendiri. Ini memang salah, tapi aku tidak bisa membiarkan diriku terbawa emosi yang ada.
Beberapa menit berlalu dengan carla yang terus berteriak mengucapkan hal-hal kasar dan mencoba menyerangku. Tidak pernah aku tau memperhatikan Olivia latihan dan mencobanya beberapa kali akan sangat bermanfaat. Tangan Carla yang menggapai dan siap menamparku dapat ditahan sebelum aku mengunci tangannya di punggung. Aku sudah sering melihat Olivia melakukan ini sehingga mencobanya sendiri tidak jadi masalah besar.
“Jangan remehin gua karena kita seumuran. Lu sangka gua bisa di atas lu kenapa?” Masih dengan tangan yang kukunci, aku mengambil ponselku yang berada di sakunya.
Carla mencibir sebelum tertawa. “Kenapa lu bisa di atas gua? Lu pasti nyogok! Siapa yang gak kenal keluarga Owen? Dengan putri sematawayangnya. Lu juga udah pindah-pindah negara dari kecil, kan? Semua gara-gara apa? Gara-gara orangtua lu!”
“Nggak usah sok tau.”
Bohong, semua yang diucapkan oleh Carla adalah kebohongan. Tidak pernah aku berpindah negara berkali-kali. Tahun pertamaku diadopsi oleh keluarga Owen aku langsung keluar negeri, tapi rasa rinduku kepada Rachelle membuat mereka kembali ke sini. Tak lama aku kembali, kejadian seperti itu menghancurkan kami sehingga aku lagi-lagi dipindahkan secara paksa, namun aku dan Rachelle tidak pernah putus kontak.
Semua kebohongan itu dibuat oleh kedua orangtuaku. Keluarga Owen yang terhormat mengadopsi anak? Ide gila itu akan merusak reputasi mereka. Lagi pula, apa salahnya berpura-pura menjadi anak kandung mereka? Apa ada masalah jika aku mempercayai semua kebohongan ini? Atau bahkan menikmatinya? Walau hanya sebentar, aku juga tentu boleh berpura-pura, bukan?
“Tau apa soal keluarga? Gak usah ikut campur!”
“Tau apa? Yang pasti lebih banyak dari lu! Idup lu cuma dimanjain, bahkan semua disuguhin buat lu! Tau apa lu soal dunia?!”
Sesuatu di dalam diriku terasa membakar ketika mendengar ucapan Carla. Kuncian Carla lepas begitu saja, namun kali ini aku menamparnya. “Gak usah sok tau soal idup gua. Benahin aja diri lu, kenapa lu bisa idup bareng orang-orang yang benci sama lu. Bukan gua penyebabnya, tapi ngaca!”
Carla juga sepertinya ikut terbawa emosi atas ucapanku karena dia tiba-tiba saja menarik rambutku dengan kekuatan penuh. Hebatnya aku bisa menahan teriakanku tapi tanganku bergerak dengan sendirinya. Aku juga ikut menjambak rambut pirang Carla yang dia kuncir. Berbeda denganku, dia langsung menjerit dengan keras. Teriakannya itu tentu menarik cukup banyak orang.
Guru olahraga anak SMP, yang juga jadi wasit, mendekati kami berdua. Tarikan Carla sama sekali tidak mengendur, justru dia menariknya semakin keras. Tentu perbuatannya ini mendapat balasan yang sama dariku. Semakin keras dia menarik, aku juga akan melakukan hal yang sama. Tidak segan-segan aku menyakitinya kalau dia juga berlaku yang sama kepadaku.
“Owen! Kooper!”
“Raquel!” jerit Olivia. dia tidak segan-segan menengahi kami, atau lebih tepatnya, memukul sisi Carla yang langsung menjerit kesakitan.
“Carter!” rintih Carla yang sekarang tersungkur di lantai.
Kutatap Olivia dari balik rambutku yang berantakan. Wajahnya penuh keringat, dia bahkan terengah-engah, dari semua itu yang paling menonjol adalah gambaran kekesalan di wajahnya. Bagaimana dia tidak kesal? Dia sudah kehilangan kesempatan untuk memenangkan lomba terakhirnya sebelum lulus. Jika aku ada di posisinya, pastinya aku juga sudah marah. Di balik tatapan kesal, siapa pun akan melewatkan ekspresi khawatir darinya.
“Ada apa dengan kalian? Sudah berapa hari ini kalian terlibat masalah terus!”
“Dia yang memulainya!” Carla yang masih berada di tanah dengan tangan di sisinya menunjuk ke arahku.
“Raquel? Si Ice Queen yang bahkan gak pernah jawab panggilan orang? Lu sangka orang-orang udah pada gila?!”
“Diem lu anjing penjaga! Nggak usah sok ikut campur!”
“Carter, mundur!”
Guru olahraga Olivia berdiri di hadapannya dan memberi tatapan mengancam sebelum menatap ke arahku sekilas dan Carla yang masih merintih. Dia membantu Carla untuk duduk di kursi yang ada lalu membubarkan kerumunan, mengatakan pertandingan akan dilanjut dalam lima belas menit. Tidak seperti yang lain, Olivia tetap diam ditempat, padahal dia bisa memanfaatkan keadaan untuk kabur dari masalah.
Guru olahraga itu mengecek lebam yang diciptakan oleh Olivia selama aku merapihkan rambut serta seragamku. Olivia memandang sekitar, terlihat kalau dia mencari Rachelle, sebelum menatapku dan meminta jawaban dari pertanyannya yang diam. Rasa malas menjawab membuatku menggelengkan kepala. Olivia yang melihat terlihat tenang, seperti dia sudah tau kalau ini akan menjadi jawabanku.
Butuh lima menit lamanya untuk mengecek kondisi Carla, yang menakjubkan karena Olivia bisa mengontrol kekuatannya sehingga jika diberikan salep dalam sehari akan hilang. Reaksi yang Carla berikan hanya karena berpura-pura, untukku, dan kaget karena memang kekuatan Olivia berbeda dari anak yang lain. Tepat setelah pemeriksaan selesai, guru itu langsung menatap kami bertiga secara bergantian.
“Saya tidak tau masalah apa yang kalian punya, tapi saya harap kalian bisa bersikap lebih dewasa. Terlebih kalian berdua. Carla, bukankah kau punya seorang kakak? Dia anak yang pintar dan sangat bertalenta! Bahkan adikmu bisa mencontoh kakakmu! Tidak ada alasan bagimu untuk bersikap manja!”
Carla yang mendengarkan sudah menundukkan kepala dalam-dalam. Sebagian dari diriku merasa kasihan. Siapa yang ingin dibandingkan dengan orang lain? Bukankah kita masing-masing adalah individu yang berbeda? Setiap orang memiliki kelebihannya sendiri dan apa yang mereka kuasai. Selama ini aku tidak pernah memiliki saudara, tapi aku tau bagaimana rasanya saat ada orang yang membandingkanmu.
“Dan kau Carter … Samuel pantas mendengar ini!”
“Jangan!” serunya. Terlihat dia menatapku dari sudut matanya. “DIa … sedang sibuk. Kirimkan saja … surat ke kantor ayah.”
“Tidak! Kakakmu wajib mendengarnya! Dia sangat pintar hingga bisa belajar sendiri, mengapa adiknya tidak bisa? Kalian bertiga, ke kantor setelah pertandingan!”
Aku, dan yang anehnya Carla, menatap ke arah Olivia dengan mata yang membesar. Dari sini aku bisa tau kalau tidak ada yang pernah mendengar tentang Samuel, kakak Olivia. Aku juga ragu kalau Rachelle mengetahuinya. Mengapa dia menutupinya? Karena malu? Kesal? Atau dia tidak mempercayai kami? Mana pun jawabannya, yang bisa kulakukan hanya menghela napas berat.
Carla menatapku tajam sebelum akhirnya pergi meninggalkan kami berdua. Awalnya terasa canggung dan tegang, tapi semua berubah ketika Olivia tiba-tiba memberi sebuah tawa, bukan tawa karena ada yang lucu, tapi tawa pahit. Setiap tawa yang keluar seperti menggambarkan rasa sakit yang selama ini dia simpan. Dia membalikkan tubuhnya dan menghela napas sepertiku sebelumnya.
“Mari kita bicarakan ini … lain waktu. Ada orang yang harus aku tunjuki kalau bisa.” Olivia menepuk pundakku beberapa kali sebelum lari ke lapangan.
“Semangat,” ujarku kecil yang masih dia dengar. Ucapan semangat itu terasa asing di lidahku, tapi terasa membahagiakan. Bahkan Olivia yang mendengarnya ikut tersenyum.
Olivia mengacungkan jempolnya ke arahku. “Thanks, akan aku tunjukan kepada Carla bahwa dia salah … tentang kita.”
Ketika dia sudah berada di tengah lapangan, barulah aku sadar kalau aku dan Olivia berbicara dengan halus. Seperti sebuah rasa hormat, tapi bukan kepada senior, melainkan seseorang yang dihargai. Mendengarnya berbicara seperti itu anehnya membuatku tersenyum cukup lebar. Apa kebahagiaanku selama ini semudah itu? Melihat seseorang yang senang berada di sekitarku?
“Raquel!” Rachelle, diikuti Rena, berlari tertatih-tatih kehabisan napas. “Gua denger tadi … dari anak laen ada yang berantem. Lu gak papa? Olivia gimana?”
“Gak papa. Nanti ke kantor. Olivia … gua rasa bakal ada hal yang perlu dia ceritain ke kita nanti.”
🌻✨🌻
(24/02/2021)
Oye update lagi!! Gimana nih chapter yang satu ini? Masih berhasil bikin deg2an?
Kalo ada yang masih bingung, jadi ceritanya si Olivia itu ngaku anak tunggal ke Rachelle sama Raquel, bahkan anak2 lain nggak tau. Maksud dari rahasia besar si Olivia soal Sam. Dan sekarang gara2 guru itu, semuanya jadi tau kalo Olivia punya kakak yang namanya Samuel.
Nahh, jangan lupa tinggalkan vomments kalian ^^ see you next update~~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro