Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 10 - A Crack On The Wall

Laurena’s POV

Sony yang merasa sangat malu sudah tidak pernah muncul lagi ke kelas kami. Dan atas perintah Daniel, Olivia tidak diperbolehkan untuk bertanding basket dengannya. Namun yang paling aneh dari mereka semua adalah sikap Rachelle dan Raquel yang seperti orang linglung. Beberapa kali mereka terlihat tidak fokus pada apa pun yang ada di hadapan mereka saat itu, perhatian mereka selalu teralihkan pada hal lain yang tidak mau diungkapkan.

Ketidakaktifan mereka membuat Gina merasa kalau dia adalah penguasanya di kelas sekarang. Berkali-kali dia mengancam anak kelas agar tutup mulut dan berkali-kali juga aku harus turun tangan untuk menghentikan perbuatannya yang kelewat batas. Raquel sama sekali tidak masalah, atau mungkin dia tidak sadar kalau ada hal-hal buruk terjadi di dalam kelas. Partisipasiku sebagai wakil justru membawaku kepada kesialan.

“Ren! Lauren! Oit!” buku yang sedang kubaca ditarik oleh orang yang tiba-tiba saja merangkulku. “Belajar terus nih, gak capek apa? Udah di kelas juga belajar, istirahat belajar. Makan sama gua yuk!”

“Boleh. Tapi gua gak bisa makan banyak.”

“Ah, santai aja! Yuk, gua udah laper nih.” Cindy langsung menarik tanganku tanpa berkata apa-apa.

Perjalanan menuju kantin dilengkapi dengan celotehan anak-anak yang berada di kanan-kiriku. Cindy tidak terlihat terganggu sama sekali, sedangkan aku merasa kebisingan ini seperti mencekikku. Keramaian di kantin untungnya lebih sedikit dari saat di koridor. Tidak banyak anak yang mengantri atau menempati meja untuk makan bersama dengan yang lain.

Cindy menyuruhku untuk mencari tempat duduk selama dia memesan makanan untuk kami berdua. Tentu saja aku tidak membantah karena aku bisa lanjut belajar seperti biasa yang kulakukan. Sialnya, Gina tiba-tiba saja datang ke mejaku dan menggebraknya, menarik perhatian beberapa orang di kantin. Kiara yang berada di belakangnya sibuk memainkan ponselnya.

“Hey, Tuan Putri. Apa kau tau ini kantin di mana orang harusnya makan dan bukan belajar?”

“Ya, tentu saja dia tau karena dia ke sini untuk makan.” Cindy yang membawa dua mangkuk mie ayam menatap Gina kesal. Dia meletakkan salah satu mangkuk di hadapanku “Apa kalian ada urusan di sini? Gua mau makan. Awas, lu ngalangin pemandangan gua.”

“Psh! Ngapain juga gua ganggu mahkluk rendahan kayak lu.”

“Iya, gua rendahan, tapi nilai gua jauh di atas lu!”

Gina terlihat mengepalkan tangannya. Kiara yang sedari tadi hanya menonton akhirnya turun tangan ketika melihat temannya ini mulai emosi. Dia memberi taukan Gina untuk diam saja sekarang karena banyak yang menonton mereka. Gina menggebrak meja sekali lagi dan pergi meninggalkan kami berdua agar bisa makan dalam tenang. Cindy tersenyum lebar ke arahku sebelum menyantap mie di hadapannya dalam diam.

Ini adalah hal yang kusuka dari Cindy. Dia selalu bisa mengungkapkan apa yang ada di pikirannya dan tidak terpengaruh oleh orang lain. Cindy mempercayai kalau dia benar, dia akan terus berjuang untuk mendapatkan keadilan tersebut. Di saat tunduk dan menerima keadaan adalah satu-satunya jalan termudah, Cindy menolak untuk menerima itu semua. Setelah beberapa saat aku menatap Cindy tanpa berkata apa-apa, masih mengaggumi dirinya, aku mulai menyantap mie yang dibelikan Cindy dan membantunya belajar.

***

“Owen, apa kau sudah selesai?” Raquel yang membaringkan kepalanya di meja menatap sekitar seperti tidak sadar dia berada di mana. “Raquel Daniel Owen?”

“Iya? Ah, iya. Saya sudah selesai.”

Wajah pucat Raquel membuat Rachelle yang duduk di belakangnya bangkit. “Lu panas banget!”

“Demian, bawa Owen ke UKS, kau juga sudah selesai, kan?”

“Sedikit lagi.”

Rachelle melanjutkan ulangannya, kali ini dia bergerak lebih cepat. Dalam hitungan menit dia sudah selesai dan mengumpulkannya kepada guru yang ada di depan sebelum membawa Raquel yang setengah sadar ke UKS. Terlihat mereka saling berbisik walau aku tidak bisa mengerti apa yang mereka ucapkan. Terlihat seperti Rachelle memarahi Raquel melihat dari ekspresi yang diberikannya.

Ketika semua sudah mengupulkan ulangan, Kiara lagi-lagi mengeluarkan ponselnya dan dapat kulihat dia melakukan live media sosialnya. Gina menatap sekitar dan menyadari kelas yang terasa sangat sepi, berbeda dari biasanya. Sebuah senyuman terukir di bibirnya. Jika dia sudah mengeluarkan tatapan itu, entah apa lagi yang sedang dia rencakan, yang pasti rencananya sama sekali bukan hal yang menyenangkan atau hal yang akan aku sukai.

“Emang beda ya … kalo anak manja sama yang udah dewasa. Emang gimana pun juga kan Raquel tuh cuma bocah.”

“Ngelantur apa lu? Jarang-jarang Raquel sakit, kan?”

“Paling dia lagi ada masalah aja.”

“Lagi M ya lu, Gin? Sensi banget sama si Raquel.” Kiara yang mendengarkan mereka mengambil ponselnya sebelum mematikan acara live yang dia lakukan.

“Gua nggak sensi, just stating the truth!”

Beberapa anak terlihat tertarik dengan apa yang dikatakan oleh Gina sedangkan yang lain fokus dengan urusan lain. Hanya membicarakan gosip seperti ini membuatku tidak bisa melakukan apa pun, atau melawannya. Apa yang harus aku katakan? Pencemaran nama baik? Penyebar rumor? Di saat pikiranku sangat dibutuhkan, justru aku malah menutup mulutku rapat-rapat. Apa akan ada perubahan jika aku melawan sekarang?

Cerita yang dibuat Gina terdengar semakin konyol. Dia bahkan dengan sengaja membesarkan suaranya. Beberapa anak kelas yang tidak ikut dengan Gina terlihat menatapku, seperti berkata kalau seharusnya aku melakukan sesuatu untuk menghentikannya. Ya, ini adalah tugasku. Kami bertemu dalam kelas yang sama, itu berarti kami adalah keluarga dan keluarga seharusnya saling melindungi, bukan menjatuhkan.

Jantungku berdegup kencang karena aku merasa takut, bahkan suara anak-anak yang berbicara mulai terdengar samar dan digantikan degup jantungku sendiri. Keringat dingin juga bahkan mulai membahashi telapak tanganku. Beberapa kali aku mengusap kedua tanganku sebelum menggebrak mejaku dengan keras. Semua anak terlonjak, bahkan Kiara yang masih sibuk dengan dirinya sendiri.

“Bisa pada diem nggak? Ngapain sih pake nyebar rumor segala? Emang kalo lu semua yang diomongin gitu lu pada mau? Pada mikir pake otak, gak?”

“Apaan sih, kan kita cuma tuker pikiran aja.”

“Tau nih. Kayak sendirinya gak pernah ngomongin orang aja. Nggak usah sok suci deh!”

Sebisa mungkin aku membuat tatapanku menjadi dingin. “Oh, jadi kalo gua sebar, kalo lu tuh cewek ganjen, gak papa dong? Yang setiap malem kerjannya keluyuran gara-gara kegatelan?”

Anak yang semula berkata semena-mena itu menjerit kesal mendengar ucapanku. Dia bahkan menatapku seperti ingin membunuhku. Namun tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya lagi. Gina menatapku sebelum dia melipat tangannya di depan dada dan memberikan sebuah seringai merendahkan. Dia menatap sekitarnya, seperti ingin memastikan kalau ada yang mendukungnya sekarang ini.

“Kan yang gua omongin ini fakta loh. Raquel kan masih bocah, nggak inget umur dia gara-gara sok dewasa?”

“Oke, fine, dia emang masih lebih muda dari kita semua. Terus kenapa? Seenggaknya dia nggak nyebar-nyebar rumor kayak lu. Gila kali, ya?”

“Emang lu siapanya Raquel, sih? Pacarnya?”

Beberapa anak menyahuti perkataan itu dengan bersemangat. Semua berkata kalau aku terlalu over reacting atas rumor ini. Gina yang mendengar ini terasa puas, semuanya terlihat dari wajahnya yang masih menatapku. Belum aku bisa mengatakan sesuatu untuk membalas, tiba-tiba Kiara melepas headphone-nya sebelum menatapku dan ke arah anak yang lain.

“Dari pada rusuh, langsung aja sono konsultasi sama Bu Ros. Ganggu yang lain. Katanya wakil, kok malah bikin ribut?”

“Guamau belajar nih! Bisa nggak sih bikin diem?”

Tiba-tiba saja aku kembali merasa sesak. Aku menatap semua anak di kelas, semuanya. Namun mereka semua menatapku dengan ekspresi yang sama. Walau arti yang mereka maksud berbeda, tapi semua sorot itu terasa menyesakkan. Mereka menatapku dengan kebencian dan amarah. Apa tindakanku salah selama ini? Bukankah mereka yang semula meminta untuk semua ini dihentikan? Mengapa aku yang justru menjadi korbannya sekarang?

Seperti ada tuas yang menggerakkan, aku mengatup bukakan mulutku beberapa kali sebelum aku kembali duduk tanpa mengucapkan apa-apa untuk membalas itu semua. Kiara yang melihatku seperti ini terlihat sangat puas dan langsung kembali menggunakan headphone-nya. Anak-anak yang lain juga mulai kembali ke urusan mereka masing-masing. Gina juga ikut tersenyum dan kuputskan untuk mengalihkan pandanganku darinya.

Sampai waktu istirahat kedua, Raquel dan Rachelle tidak terlihat kembali ke kelas. Aku tidak berharap banyak dari Raquel, namun seharusnya Rachelle sudah kembali sekarang. Semua anak keluar ketika bel berbunyi. Sebagian sudah tidak mendengarkan guru yang masih berbicara dan sebagian lain menunggu. Aku sendiri langsung pergi ke kantin, mencoba untuk mencari Olivia. Dia adalah satu-satunya harapanku untuk menemukan jawaban tentang Rachelle dan Raquel.

Semenjak battle yang mereka lakukan dan aksi melawanku, ketiga anak itu selalu mencoba untuk menghindariku. Memang semua itu adalah salahku, aku mengakuinya sekarang. Mereka dengan sengaja memasangkan Kak Sony dengan seseorang yang hebat agar dia berhenti mengejar Raquel. Namun tetap saja, saat mendengar nama Sony, Raquel dan Rahcelle seperti saling bertukar rahasia, sorot mata mereka membuatku penasaran.

“Olivia!” Anak yang kupanggil itu menatapku. Ekspresinya yang datar menjadi semakin menggelap ketika tau aku lah yang memanggilnya. “Gua mau nanya sesuatu sama lu.”

“Gua sibuk.” Jawaban singkat Olivia sama sekali tidak membuatku heran. Sebelum dia beranjak dari tempatku berdiri, aku sudah menghalanginya. “Minggir! Gua bilang lagi sibuk!”

“Lu pasti nungguin Rachelle, kan? Gua tau mereka di mana. Gua bakal kasih tau lu kalo lu mau gua tanyain sesuatu.”

Mengetahui Olivia, dia tidak memiliki teman yang bahkan bisa ditanyai. Semua orang terlihat takut padanya atau hanya tidak menyukainya. Olivia terlihat ragu beberapa saat sebelum menghembuskan napas mengalah. Dalam hati aku sudah bersorak karena kali ini aku dapat membuatnya menurut dengan sangat mudah. Sayang, tatapan yang diberikan Olivia sama sekali tidak berubah dan justru semakin gelap, membuat sebagian dari diriku merasa takut.

“Gua nggak janji bisa jawab semua.”

“Gak papa kok.” Kuberikan Olivia senyum terbaikku. “Soal Rachelle sama Raquel. Mereka pas dengan nama Sony kayak … kaget.”

Ekspresi Olivia sama sekali tidak berubah saat aku mengucapkannya. “Gua nggak tau, kan gua udah pernah bilang kalo gua nggak punya temen. Rachelle sama Raquel cuma … kenalan. Sewaktu-waktu juga bisa lost contact. Dah, gitu aja? Puas, kan?”

“Jadi lu nggak tau ….” Memang terlihat dari mata Olivia kalau dia sedang tidak berbohong. Dan memang, mereka tidak pernah terlihat sangat dekat. “Mereka ke UKS.”

Selama beberapa saat Olivia hanya diam saja, terlihat kalau dia ragu-ragu dengan ucapanku. Bahkan aku sempat berpikir kalau dia mengira aku berbohong dan baru akan menjelaskan ketika dia memotong perkataanku. Suaranya yang kecil dan ragu-ragu membuatku bingung selama sesaat sebelum aku menyadari apa yang dia katakan. Dia mengucapkan rasa terimakasihnya dan pergi meninggalkanku yang sudah tersenyum.

Rachelle kembali dengan tampang yang masam setelah bel istirahat telah usai berbunyi. Dia menatapku sekilas, terlihat seperti dia marah, sebelum duduk dan menggunakan earphone-nya. Sepanjang pelajaran dia tidak mendengarkan guru sama sekali, membuat perhatianku juga ikut teralihkan. Apa alasan dia seperti itu? Mengapa dia terlihat marah kepadaku? Apa aku salah telah mengatakan sesuatu kepada Olivia?

“Rena,” panggil Rachelle yang sudah menggendong tasnya bersama dengan milik Raquel. Caranya memanggilku membuat aku merasa takut. “Tolong, jangan urusi urusan kami lagi. Jangan coba-coba untuk mencari tau tentangku lagi. Awalnya aku memang membiarkanmu, tapi lama kelamaan, kau jadi menyebalkan.”

“Apa yang ….”

“Nggak usah sok polos deh, Laurena.” Gina yang masih ada di dalam kelas ikut bicara. “Gua udah liatin lu dari lama dan lu tuh bikin gua muak! Anak satu kelas juga ngerasain yang sama.”

Semua anak yang berada di dalam kelas menatapku. Mereka memang tidak berbicara, tapi kilatan mata mereka telah mewakili. Lagi-lagi tatapan itu, sebuah tatapan kebencian. Tanpa keraguan, mereka semua mengangguk sebagai tanda setuju atas ucapan Gina, bahwa aku ini memuakkan. Tidak terkecuali Cindy yang juga berada di kelasku. Dia menatapku tanpa meras bersalah meski tidak ikut mengangguk.

Gina kemudian berjalan ke sebalh Rachelle. Melihat cara mereka berperilaku membuatku berpikir dua kali kalau mereka sebenarnya musuh. Gina menepuk pundak Rachelle dan memberinya sebuah senyum kecil. Rachelle hanya menghembuskan napas dan menatapku sebelum meninggalkanku di dalam kelas sendiri. Setiap tatapan yang memandang ke arahku terasa menusuk tubuhku. Ingin aku memanggil Rachelle agar kembali dan menemaniku.

“Liat, kan, maksud gua? Lu terlalu ikut campur urusan orang sampe-sampe bikin semua sesek. Karena apa? Karena lu wakil? Please, ketua kita aja gak peduli sama anggota kelas, kenapa lu mesti peduli?” Gina menatapku dengan seringai yang aneh.

“Satu kelas artinya keluarga! Kalo lu emang keluarga, lu bakal saling ngelindungin dan support satu sama lain.”

“Keluarga? Apa sih yang lu tau soal keluarga? Nggak usah ngebual deh. Sakit kuping gua.”

“Yu, udahlah. Lu ngapain masih ngomong sama dia? Buang-buang tenaga aja.”

Gina mendengus mendengar itu. Mungkin dia memang percaya kalau berbicara denganku hanya membuang-buang tenaga saja. Dia memberikanku tatapan terakhir sebelum melihat ke arah Kiara yang sedari tadi memandang keluar. Dia melangkah pergi yang juga diikuti oleh anak-anak lain. Gina merangkul Kiara yang menggunakan headphone-nya dan keluar dari ruang kelas bersama.

Ketika aku jadi satu-satunya anak di dalam kelas, kusandarkan punggungku di kursi. Sejak kapan semuanya menjadi kacau seperti ini? Apa yang memulai semua ini? Bukankah seharusnya apa yang kuucapkan disetujui? Banyak anak yang mengeluh tidak memiliki pengurus kelas yang baik, dan ketika aku muncul, kenapa mereka menolaknya mentah-mentah? Apa aku memang terlalu ikut campur urusan orang lain?

Setelah beberapa saat menenangkan diriku, aku membereskan semua buku dan peralatan menulisku sebelum memasukkan asal ke dalam tas. Kakiku terasa berat untuk melangkah, tapi akan lebih baik jika aku cepat pulang dan berada di rumah. Berada di rumah berarti ketenangan dan ketenangan berarti healing time. Semua hal itulah yang paling aku nantikan. Untuk merasakan kesendirian.

“Tuan Putri kita datang.” Suara Carla yang khas terdengar olehku di gerbang. Secara otomatis aku langsung menatap ke arahnya. “Panik nih cerianya ketemu kita?”

“Padahal selama ini kita selalu baik, lho.” Gina yang ternyata ada bersama mereka ikut dengan Carla. "Kiara, ada ide gak hari ini ngapain? Kayaknya si tuan putri terlalu dimanja sampe-sampe dia berani ngelawan gua balik.”

“Jait aja mulutnya biar diem.” Kiara sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari ponsel miliknya. Bahkan dia terlihat tidak mendengarkan Gina sama sekali.

“Hm … cewek cantik kok banyak lagak.” Gina menarik jas sekolahku pelan.

Carla sendiri sudah berjalan memutariku, dia juga menepuk-nepuk pundakku dari belakang seakan-akan ada debu di jasku. Tubuhku terhentak ke belakang ketika Carla menarik tasku dari belakang, membuatku hampir terjatuh. Namun dia sepertinya tidak puas karena dia terus menghentakkannya berkali-kali. Rasa takut mulai tumbuh di dalam diriku. Apa salahku sehingga mereka berlaku seperti ini?

“Kan sayang kalo muka cantik lo harus rusak …. Jadi diem aja ya biar gak ada yang luka.” Gina menepuk pipiku pelan beberapa kali.

“Sampah kayak lo nggak pantes ikut urusan orang lain. Gak usah kekepoan! Emang lu siapa? Super hero?!”

Lidahku terasa kelu, bahkan untuk berteriak saja aku tidak sanggup. “Apa hanya karena itu?” Gina berhenti menampar pipiku dan Carla berhenti menarikku. “Apa kalian membenciku hanya karena itu? Emangnya lu siapa yang ngatur idup gua, hah?! Lu gak bisa atur idup gua!”

Gina mengangkat tangannya tinggi-tinggi, bersiap untuk menampar wajahku dengan keras kali ini. Perlakuan Gina terhenti ketika supirku datang dan memanggil namaku. Gina yang sudah pernah bertemu langsung menghindari kontak mata, dia bahkan menjadi pucat. Kali ini aku tidak bisa tersenyum menanggapi ini. Tidak, aku tidak pernah menang. Meski dia seperti itu, bukan berarti aku sudah menang melawannya.

Carla terlihat terkejut melihat perubahan yang dialami oleh Gina tapi dia tidak mengucapkan apapun. Dia mendorong punggungku kasar, membuatku hampir terjatuh dan menggandeng tangan Gina. Dia menepuk pundak Kiara dan mengambil tas Gina sebelum pergi dari tempat kejadian. Tidak aku atau mereka yang mengucapkan apa-apa lagi sebelum saling meninggalkan.

“Tidakkah seharusnya ini dilaporkan?”

Kugelengkan kepalaku. “Ini salahku. Lagi-lagi salahku. Perlakuanku tidak pernah benar. Aku yang bersalah di sini.”

“Anda yakin?”

“Jangan beritau orang rumah, mereka akan kecewa padaku.”

Sopirku hanya mengangguk dan membawaku menuju mobil. Selama perjalanan pulang, aku hanya bisa menatap keluar. Sejak kapan semua jadi berantakan seperti ini? Apa salahnya mencemaskan temanmu? Sesampainya aku di rumah, aku tidak mengindahkan panggilan ibu dan langsung masuk ke dalam kamar. Kukunci pintunya dan perlahan air mata mulai turun. Mengapa aku yang salah?

🌻✨🌻

(17/02/2021)

Hai, hai! New chapter sudah keluar~ gimana nih chapter yang satu ini? Jangan malu untuk mengeluarkan pendapat kalian ya ^^

Ada pengumuman penting nih, mulai minggu ini, update-nya jadi lebih sering, yakni rabu dan sabtu. So, stay tune terus nunggu kelanjutan cerita mereka!

See you next update! Jangan lupa tinggalkan vomments kalian, masukin library+reading list. Follow akun juga sangat diapresiasi ^^

Share ke temen kalian juga boleh 🌚👉🏻👉🏻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro