Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

❁ཻུ۪۪⸙͎ No Scars To Your Beautiful

"Satu, dua, step, step!"

Seruan instruksi yang terdengar hingga luar dari studio tari menarik perhatian Gojou. Pemuda itu baru saja selesai kegiatannya dari laboratorium, sibuk persiapan untuk kompetisi Sains. Lalu saat melangkah hendak pulang, ia melewati ruang studio tari dan mendengar suara-suara itu. Ia pun langsung teringat jika hari ini adalah jadwalnya latihan klub tari yang diikuti Utahime. Pemuda itu pun berhasrat untuk mengintip sejenak aktivitas klub tari. Lebih tepatnya ia ingin melihat Utahime berlatih tari.

Mengambil posisi di area depan ruangan, beruntung pintu studio terbuka agak lebar. Memastikan posisi tubuh tak terlihat dari dalam. Kelereng biru itu difokuskan dan pemandangan enam penari perempuan sedang bergerak ke sana kemari, berlatih tampak di mata. Utahime menjadi salah satunya.

"Ke kanan!"

Dari dalam terdengar guru tari memberikan instruksi sambil menepukkan tangannya. Para penari itu menari tanpa musik. Mereka bergerak diiringi ketukan dari sang guru. Gojou menyaksikan dengan seksama, iris terfokus pada gadis yang dikuncir tinggi, berponi, dan terdapat luka melintang di wajahnya, yaitu Utahime.

Gadis itu begitu fokus dengan gerakan. Luwes, lincah, berenergi, dan auranya begitu kuat di antara penari lain. Gojou akui jika Utahime adalah penari yang paling mencolok di antara yang lain dalam artian ia adalah penari yang paling bagus.

Tanpa Gojou sadari, musik telah dinyalakan. Mereka mulai menari dengan alunan musik. Aura Utahime semakin menguat seiring melodi kompak dengan gerak tubuh. Ekspresi yang diuarkan, senyum lembut lalu berubah menjadi datar dengan tatapan tajam mampu membuat Gojou terpana. Jika diibaratkan dalam persentase, penari lain mengerahkan kemampuannya sekitar 100%, sedangkan Utahime mengerahkan 200% kemampuannya. Utahime benar-benar menjadi pusat dan Gojou tak bisa mengalihkan pandangannya.

Dejavu

Maka debaran sama persis yang ia rasakan saat melihat tarian Utahime pertama kali di pusat kota dahulu, ia nikmati dengan senyuman dan tatapan kekaguman terhadap sang gadis.

Angsa cantik itu berhasil memikatnya ...

**********

Jam istirahat telah berbunyi. Murid-murid pun berhamburan menuju ke kantin. Biasanya Gojou juga akan pergi ke kantin bersama sohibnya, Getou Suguru. Akan tetapi, ia harus pergi menuju ruang guru guna bertemu Yaga-sensei, pembinanya, untuk membahas hal yang berkaitan dengan kompetisi Sains yang akan diikutinya.

Kini ia sudah berada di dalam di ruang guru, berdiri di hadapan meja Yaga-sensei yang dekat dengan pintu. Gojou hendak meminta jurnal-jurnal kompetisi tahun lalu untuk dijadikan contoh pembuatan jurnal sains miliknya.

"Sebentar, kucarikan dahulu."

Yaga-sensei meninggalkan mejanya menuju lemari dokumen yang ada di belakang. Gojou berdiri menunggu di depan meja Yaga-sensei sambil memerhatikan sekitar. Ruang guru yang ramai oleh obrolan para guru juga ada beberapa murid yang berurusan dengan segelintir guru.

"Bagaimana seleksi penari yang akan tampil di acara yayasan?"

Gojou sedikit melirik ke belakangnya. Meja Yaga-sensei kebetulan berhadapan dengan mejanya Gakuganji-sensei, guru seni, dan karena ia berdiri di depan meja Yaga-sensei  otomatis ia membelakangi meja milik Gakuganji-sensei.

"Ini, sudah saya tulis daftar penari yang akan tampil."

Telinga difokuskan pada percakapan di belakangnya. Topik penari menarik perhatiannya karena mengingatkannya akan Utahime.

'Apakah dia terpilih?'

"Sudah kubilang, kan, jangan memasukkan Utahime dalam daftar penari yang akan tampil!" suara Gakuganji-sensei sedikit meninggi, namun teredam oleh keramaian ruang guru sehingga tidak ada yang menghiraukannya.

Gojou mengernyit saat mendengar seruan yang tentunya terdengar olehnya. Berbagai pertanyaan pun muncul di kepalanya. Mengapa Utahime tidak boleh tampil?

"Tapi, dia memiliki kemampuan yang layak untuk tampil di acara tersebut, sensei. Di acara tersebut pasti ada perwakilan universitas-universitas seni. Siapa tahu dengan melihat kemampuan Utahime, mereka akan menawarkan free pass untuk sekolah kita dalam penerimaan mahasiswa baru," sanggah wanita yang ada di hadapan Gakuganji-sensei, guru klub tari sekolahnya.

"Ya, ya, ya, gadis itu memang memiliki kemampuan. Tapi, fisiknya itu tidak layak untuk tampil di acara tersebut. Kita harus menampilkan citra baik di hadapan kolega-kolega yayasan. Masih ada penari berbakat lainnya, kan, yang bisa menarik minat kolega universitas?"

"Ya, masih ada penari lainnya. Tapi, Utahime berhak untuk ikut tampil dan soal wajahnya itu masih bisa diakali oleh make up!"

"Tidak mau tahu, pokoknya ganti Utahime dengan gadis penari lain. Tentunya cari yang wajahnya lebih baik dari Utahime itu."

Gojou diam-diam mengepalkan tangannya. Iris birunya menyala oleh kemarahan. Tidak disangka jika dalam kalangan guru akan ada diskriminasi fisik terhadap murid apalagi Utahime yang menjadi korbannya. Amarah menguasainya. Seandainya ia bisa menggebrak meja Gakuganji-sensei untuk menegurnya. Akan tetapi, ia masih tahu batasan. 

"Owah, maaf Utahime-san!"

Gojou tersentak saat nama Utahime disebut. Sontak ia pun menoleh ke belakang dan mendapati salah satu guru berdiri berhadapan dengan Utahime di ambang pintu. Sepertinya salah satu ingin membuka pintu tapi keduluan sehingga hampir saja bertabrakan. Tunggu sebentar ... apakah Utahime baru saja datang dan hendak membuka pintu atau ia sebenarnya sudah di depan pintu cukup lama hingga guru tadi membuka pintu? Apakah Utahime mendengar percakapan Gakuganji-sensei dengan guru tari? Mengingat posisinya di dekat pintu, tentunya akan terdengar hingga luar. Ditambah suara Gakuganji-sensei agak meninggi tadi. Seseorang yang berdiri di depan mata ruang guru pasti akan mendengarnya dengan jelas. Apakah Utahime mendengar semuanya?

Setelah kejadian awkward tadi, Utahime pun masuk, sedangkan guru yang hampir menabraknya tadi sudah keluar. Gakuganji-sensei dan guru tari bersikap seolah tak terjadi apa-apa saat Utahime masuk membuat Gojou kesal setengah mati.

Maka dari itu, ia diam-diam mengawasi pergerakan Utahime di ruang guru hingga ia keluar. Setelah urusannya dengan Yaga-sensei selesai, pemuda itu langsung berlari mencari Utahime ke kelas, kantin, hampir ke seluruh penjuru sekolah mencarinya hingga akhirnya ia menemukan Utahime sedang duduk di taman belakang gedung sekolah, taman yang sangat jarang dikunjungi murid maupun guru.

Gadis itu duduk di bangku panjang yang ada di bawah pohon. Iris coklatnya menatap langit biru. Surai yang diikat dua menjuntai di masing-masing belikat dengan poni rata menghiasi dahi. Dilihat dari samping saja Utahime sudah terlihat cantik. Luka di wajahnya juga tidak terlalu mengganggu mata.

Gojou benar-benar heran dengan mata milik Gakuganji-sensei. Apa mungkin karena beliau sudah tua sehingga penglihatannya memburuk? Utahime tak mungkin akan meninggalkan citra buruk ke sekolah terhadap yayasan dengan tampilannya!

"Gojou? Sedang apa di sini?"

Ah, pemuda itu tidak sadar jika ia masih berdiri menatap Utahime dari samping. "Aku ... mencarimu," tukas Gojou sambil berjalan menghampiri Utahime lalu duduk di sebelahnya. Utahime hanya ber'oh' ria sambil mengangguk-ngangguk. Gadis itu pun kembali menatap langit.

"Tadi ... di ruang guru ... Gakuganji-sensei ... kau mendengarnya dari luar?" tanya Gojou hati-hati sambil melirik ke Utahime yang sibuk menatap langit.

"Hm, aku mendengarnya."

Gojou melebarkan matanya saat mendengar respon Utahime yang terlampau biasa saja. "Kau ... tidak mau protes atau semacamnya?"

"Aku sudah biasa diperlakukan seperti itu sejak SD, Gojou. Mau protes juga percuma, tidak akan dituruti," tutur Utahime sambil menumpukan kedua tangannya di tepian bangku masing-masing sebelah tubuhnya, menaikkan bahu seiring helaan napas lalu merilekskan tubuhnya.

Gojou hanya mengerjap mendengar jawaban Utahime. Pemuda itu tak tahu harus berkomentar apa. Kasus diskriminasi mungkin hal yang wajar. Akan, tetapi jika yang mengalaminya adalah orang terdekat rasanya ... bingung harus berbuat apa.

"Aku ... sejak kelas tiga SD, sejak pertama kali masuk klub tari, aku ... selalu diperlakukan seperti itu. Tidak terpilih tampil di suatu kompetisi atau acara hanya karena perkara wajahku. Aku ... sudah terbiasa," cerita Utahime sambil menatap kosong ke depan. Gojou di sampingnya memutuskan untuk diam menyimak sambil menatap wajah sang gadis dari samping.

"Kamu dulu bilang kalau mereka mengakuiku karena wajahku yang khas ini. Ya, mereka memang mengakuiku, tapi tidak menerimaku."

Gojou berusaha mengingat-ingat lagi dialog yang dimaksud Utahime. Apakah ia mengatakan hal semacam itu saat pertama kali mereka bertemu ketika sekolah dasar? Atau saat beberapa waktu yang lalu? Gojou sama sekali tidak ingat.

"Menjadi perempuan itu ... berat, Gojou. Kunci utama dari seorang perempuan itu penampilan. Perempuan dielu-elukan karena penampilan. Ya, memang ada beberapa orang yang mengutamakan sifat, tetapi mereka juga tidak ingin munafik, kan, kalau mereka mendambakan penampilan yang cantik dari perempuan?"

"Karena itulah jika ada perempuan yang cacat dalam penampilannya, ia akan selalu dipandang sebelah mata. Akan selalu tidak dianggap cantik."

Gojou termenung saat mendengar penuturan Utahime. Pemuda itu mencerna semua perkataannya lalu diam-diam membenarkan semuanya dalam hati. Lalu ia pun teringat akan sosok sang Ibunda yang begitu sensitif jika mengenai penampilan. Pemuda itu kini paham dan merasa miris dengan ketidakadilan dunia terhadap perempuan.

"Kamu mungkin memang tidak ingat dengan percakapan kita saat pertama kali bertemu di taman sekolah dasar, tapi aku ... masih mengingat semuanya dengan jelas. Kamu saat itu menyuruhku untuk memilih ingin terus menjadi pengecut atau berubah menjadi pemberani. Aku ... memilih untuk menjadi pemberani. Aku memutuskan untuk berani melawan penindasan yang aku alami demi ketenangan hidupku hingga sekarang. Tapi, kau tahu, dari dulu ... aku sama sekali tidak berani untuk mengakui diri hingga saat ini."

"Aku tidak berani untuk menganggap diriku cantik seperti perempuan pada umumnya. Aku ... tidak berani."

"Aku ... selalu menyimpan iri terhadap teman-teman perempuan yang lain. Mereka tak pernah mengkhawatirkan pandangan orang akan penampilan mereka karena tampilan mereka sudah sempurna."

"Ya, haha, inilah diriku yang sebenarnya Gojou. Utahime yang cuek dan bodo amatan itu cuma kamuflase saja. Utahime Iori yang sebenarnya ... ya ini. Gadis yang tidak percaya diri dengan penampilannya sendiri."

Utahime tersenyum hingga mata menyipit ke arah Gojou membuat sang pemuda membeku karena untuk pertama kalinya Gojou melihat gadis itu tersenyum indah seperti ini.

Angin semilir lembut, suara dedaunan pohon, dan tiadanya keramaian manusia. Gojou merasa waktu terhenti saat ini.

"Ah, maaf Gojou, kau malah jadi mendengar—"

Utahime tiba-tiba menghentikan ucapannya sambil membelalakkan matanya. Gojou membungkamnya dengan cara mempertemukan bibir mereka. Dingin dan manis. Surai putih memenuhi pandangannya dan netra biru cerah itu menjeratnya.

Gojou menciumnya sambil menatapnya lekat-lekat tepat di mata. Utahime membeku. Ia tak bisa menggerakkan tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang seiring Gojou menatapnya begitu dalam. Mereka terdiam saling menatap dengan bibir yang menempel seperti itu untuk beberapa lama hingga akhirnya Gojou pun melepaskan ciumannya, tapi tidak dengan tatapannya.

"Bagaimana bisa ... bagaimana bisa kamu mengatakan dirimu tidak cantik di saat kamu terlihat sangat cantik, Utahime?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro